Anda di halaman 1dari 11

Gerakan Perempuan di Era Reformasi:

Capaian dan Tantangan

Neng Dara Affiah1

Organisasi gerakan perempuan, tidak hanya berperan menumbangkan rezim Orde Baru
dan berkontribusi membangun sistem demokrasi di era Reformasi, tetapi juga ia mengisi era
Reformasi ini dengan sejumlah kerja-kerja kongkret yang berorientasi kemajuan untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan menuju kesetaraan dan keadilan. Tulisan ini akan
memaparkan tentang peran organisasi-organisasi gerakan perempuan dalam membangun
demokrasi dan mengisi negeri ini dengan kerja-kerja kongkret dalam rentang waktu 16 tahun
reformasi.

1. Peran Gerakan Perempuan dalam Membangun Demokrasi

Organisasi gerakan perempuan merupakan organisasi yang pertama kali turun ke jalan di
tahun 1998. Mereka melakukan demonstrasi memprotes rezim otoriter Orde Baru yang
melakukan pemusatan kekuasaan dalam hampir semua aspek kehidupan. Berbekal kekuatan
jaringan dan keterampilan dalam membangun strategi yang terlatih sebagai organisasi penentang
di Era Orde Baru, mereka menghimpun diri dalam suatu organisasi bernama Suara Ibu Peduli.
Organisasi ini semula bertujuan untuk mendistribusikan susu yang pada saat itu harganya naik
hingga 400 persen, padahal susu sangat dibutuhkan sebagai nutrisi baik bagi anak maupun bagi
ibu-ibu. Dengan isu 'susu' tersebut, simpati dari banyak ibu tumbuh karena memiliki kebutuhan
yang sama dan mereka bergabung dalam organisasi tersebut. Organisasi ini dalam
perkembangannya tidak hanya berfungsi mendistribusikan susu, tetapi juga membagi-bagi
makanan bagi para demonstran, terutama untuk para mahasiwa baik di jalan-jalan utama maupun
di gedung parlemen. Politik kepedulian susu bisa menunjukkan bahwa yang 'personal' dan
'keluarga' adalah hal yang politik dan bersifat publik, bahkan ia menjadi bagian dari yang
menggentarkan rezim sehingga pemerintahan Orde Baru tumbang pada tanggal 21 Mei 1998.

Sebelumnya, tiga hari menjelang Presiden Soeharto turun, berdiri pula Koalisi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI). Organisasi ini didirikan atas inisiatif para aktivis

1Neng Dara Affiah adalah Komisioner Komnas Perempuan untuk Komisi Pendidikan dan
Partisipasi Masyarakat. Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati Hari Kartini, 21 April 2014.
perempuan di Jakarta dan didukung kurang lebih 75 aktifis perempuan lainnya dari berbagai
tempat di tanah air sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru yang
mengendalikan secara cermat dan sistematis organisasi-organisai perempuan ketika itu seperti
organisasi Kowani, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Aisyiah, Muslimat NU dan organisasi-
organisasi lainnya. Kelahiran organisasi ini didasarkan pada semangat hendak mengembalikan
keberadaan organisasi gerakan perempuan berbasis massa independen tanpa kendali negara.
Karena itu, untuk mengingatkan peran sejarah gerakan peran perempuan ini, kongres pertama
dilakukan di Yogyakarta, tempat dimana Kongres Pertama Perkumpulan Pergerakan Perempuan
Indonesia pada tahun 1928 diadakan. Kongres ini menghadirkan kurang lebih dari 6000 orang
dari pelbagai latar belakang organisasi perempuan dari seluruh Indonesia dengan menegaskan
tentang perlunya mengetengahkan kembali peran politik perempuan yang lebih luas, baik dalam
ranah domestik maupun publik.

2. Peran Organisasi-Organisasi Gerakan Perempuan di Era Reformasi

Gerakan Perempuan tidak hanya berperan menumbangkan rezim, tetapi juga melakukan aksi-
aksi kongkret dalam sistem pemerintahan di era reformasi ini. Disaat teridentifikasi bahwa
banyak perempuan yang mengalami perkosaan pada peristiwa Mei 1998, sejumlah perempuan
mendatangi presiden baru BJ Habibie untuk menyampaikan bahwa negara harus bertanggung
jawab terhadap kekerasan pada perempuan yang berlangsung pada Mei 1998 tersebut. Dari
kunjungan terhadap presiden tersebut, berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) dengan mandat utama dari presiden adalah menciptakan
situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, melakukan
pemantauan atasnya dan memberi masukan kepada para pengambil kebijakan untuk memastikan
bahwa setiap kebijakan tidak diskriminatif yang berdampak kekerasan terhadap perempuan.

Selain pendirian Komnas Perempuan, sejumlah organisasi perempuan yang pada masa Orde
Baru berada di posisi pinggiran, di Era Reformasi ini ia merangsek ke tengah berjuang untuk
mendesakkan pelbagai agenda yang sejak awal perjuangan mereka wacanakan. Di Era Reformasi
ini mereka melakukan konsolidasi gerakan dan menggolkan perbagai peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) di
tahun 2004, mendesakkan kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan yang hendak mewujudkan bahwa semua
departemen pemerintah, termasuk birokrasi di daerah harus memberlakukan pengarusutamaan
gender dengan penekanannya pada program penguatan institusi.

Ide-ide gerakan perempuan pun tidak hanya mewarnai beragam aturan dan kebijakan, tetapi
juga mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi gerakan perempuan dalam
kelompok civil cociety. Organisasi-organisasi tersebut misalnya Pemberdayaan Perempuan
Kepala Keluarga (PEKKA, tahun 2000) yang pada awal berdirinya hendak mendokumentasikan
kehidupan perempuan janda di wilayah konflik, terutama para janda korban konflik di Aceh dan
mendorong program Pengembangan Perempuan di tingkat Kecamatan (PPK). Upaya ini awalnya
diberi nama “widows project” atau “Proyek untuk Janda” yang kemudian diubah namanya
menjadi Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga atau disingkat Program PEKKA;
Yayasan Pulih (tahun 2002), sebuah organisasi yang mencegah kekerasan terhadap perempuan
dengan melakukan fokus kerjanya pada pemberian layanan psikologis bagi perempuan yang
mengalami peristiwa kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga, konflik, bencana alam, dan
pengalaman traumatis lainnya, Migran Care yang melakukan fokus kerja pada masalah-masalah
perempuan yang bekerja di luar negeri dengan mengembangkan wacana keadilan global bagi
buruh mirgan dengan menyebarkannya di forum nasional dan regional, terutama di kawasan Asia
Tenggara dan Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan atau KAPAL Perempuan yang
berdiri pada 8 Maret 2000, sebuah organisasi gerakan perempuan yang mengembangkan
pendidikan alternatif dengan mengembangkan wacana keragaman atau pluralisme serta
memfasilitasi dan memperkuat kapasitas komunitas-komunitas belajar di Indonesia.

Organisasi-organisasi gerakan perempuan serupa tumbuh dalam lingkungan komunitas


Muslim seperti Rahima yang berdiri tahun 2000 dengan memokuskan kerjanya sebagai pusat
pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan Pendidikan Orang
Dewasa (andragogy) dengan peserta gerakan para pemuka agama, pimpinan pesantren, pimpinan
majlis ta’lim, guru-guru agama di sekolah-sekolah tingkat menengah dan organisasi-organisasi
mahasiswa-mahasiswi Islam; Fahmina (berdiri tahun 2000) di Cirebon yang bekerja untuk
penyadaran publik dengan tiga isu utama yakni Islam dan demokrasi (Isdem), Islam dan gender
(Isgen) serta Islam dan otonomi komunitas (Iskom) yang didekati dari sudut Islam dan tradisi
keilmuan pesantren; Perempuan Kajian Islam dan Sosial (LKIS), terbentuk tahun 2006 dengan
melakukan kajian dan pelatihan hak-hak perempuan dalam Islam, penerbitan buku-buku tentang
hak-hak perempuan dan pendampingan perempuan korban kekerasan, terutama di komunitas-
komunitas pesantren dan majlis ta’lim.
Organisasi-organisasi gerakan perempuan pun tumbuh dan berkembang pelbagai daerah di
Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut adalah SAPA Institut di Bandung yang berdiri tahun
2007 dengan fokus kerja pada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan, hak-hak
reproduksi remaja dan pemberdayaan perempuan di pedesaan dan Institut Perempuan yang
melakukan kerja-kerja pendidikan kritis Feminis dengan membangun kesadaran, pemahaman,
dan keterampilan menggunakan feminisme sebagai sebuah ideologi, menyebarkan informasi dan
dokumentasi serta advokasi kebijakan berupa peraturan perundang-undangan yang berpihak bagi
perempuan dan anak. Di Semarang, Jawa Tengah, ada organisasi Legal Research Center untuk
Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LKJHAM) yang bergerak untuk penghapusan kekerasan
terhadap perempuan dengan mengusahakan akses keadilan bagi perempuan korban, penguatan
ekonomi perempuan, khususnya kelompok perempuan pekerja migran dan perempuan eks
prostitusi.

Di Padang, Sumatera Barat, ada Nurani Perempuan yang melakukan kerja-kerja


penanganan kasus dan pendampingan perempuan korban kekerasan, membantu memberikan
akses keadilan bagi perempuan korban, mendorong kebijakan yang memberikan perlindungan
terhadap perempuan korban kekerasan dan melakukan pendidikan dan kampanye publik untuk
penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Organisasi ini telah menjadi sahabat bagi
perempuan korban kekerasan dimana para perempuan yang datang ke kantor mereka tidak hanya
mempunyai kebutuhan untuk mengadu atau melakukan konseling, melainkan juga sebagai rumah
mereka1. Di Aceh, berdiri Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) pada 7 Agustus 1998 yang kelahirannya
berangkat dari kongres besar yang didukung oleh organisasi perempuan berbasis massa dengan
rekomendasi diantaranya diselesaikannya masalah perdamaian di Aceh dan mendorong pelibatan
penuh perempuan dalam proses perdamaian Aceh. Selain itu, ada Inong Bale yang merupakan
organisasi para janda yang suaminya meninggal karena ditembak atau mendapatkan perlakuan
keras dari pihak militer atau kepolisian RI karena dipandang bagian dari pasukan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).

Di Menado, Sulawesi Utara, berdiri Suara Parangpuan yang melakukan pendidikan politik
untuk para pemilih perempuan (vote education), membangun taman belajar untuk perempuan
dengan sasaran ibu-ibu kampung di dua lokasi, yakni Timoho dan Bajo. Di Taman belajar ini
para perempuan tersebut diberikan pemahaman atas isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan
perspektif kesetaraan gender. Capaian yang diperoleh dari gerakan Suara Parangpuan adalah

1
Wawancara dengan Yefri Heryani, Direktur Nurani Perempuan, Padang, Sumatera Barat, 2
November 2013.
adanya pembelajaran bersama mulai dari perempuan di tingkat akar rumput dengan para elit lokal
dan mulai adanya keberanian ibu-ibu di kampung menyuarakan aspirasi mereka ke DPRD seperti
mengenai infrastruktur di pedesaan.2 Di Bone, Sulawesi Utara, ada Lembaga Pemberdayaan
Perempuan (LPP) yang fokus diantaranya pada pendidikan politik perempuan dan di Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTT) ada lembaga Tim Relawan Untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F).

Organisasi-organisasi gerakan perempuan di daerah memiliki fokus kerja yang kurang lebih
sama dengan organisasi gerakan perempuan di tingkat nasional, meskipun ada program-program
khusus yang terkait dengan kebutuhan lokal setempat. Program-program tersebut diantaranya
adalah: 1) Penghapusan kekerasan terhadap perempuan; 2) Pendidikan pemilih bagi perempuan;
3) Mendorong perempuan untuk menjadi bagian dari pengambil keputusan dengan mendorong
isu kepemimpinan politik perempuan; 4) Pemberdayaan perempuan di pedesaan; 5) Mendorong
akses keadilan bagi perempuan korban; 6) Penguatan ekonomi perempuan dalam bentuk
koperasi, terutama bagi perempuan pekerja migran dan perempuan eks prostitusi; 5) Mendorong
kebijakan pemerintah untuk memiliki anggaran yang memperhatikan keadilan gender.

3. Capaian Gerakan Perempuan dan Adopsi Kebijakan Negara

Capaian dari proses gerakan perempuan di era reformasi ini diantaranya adalah penggunaan
kata ‘perempuan’ yang semula kata ini merupakan kata yang dipergunakan sebagai counter
terhadap penggunaan kata ‘wanita’ yang dipakai pemerintah Orde Baru.3 Di Era reformasi ini,
kata ‘perempuan’ semakin populer dipergunakan masyarakat dan menjadi nama-nama lembaga
negara seperti ‘Komnas Perempuan’, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(KPPA) yang semula bernama “Menteri Peranan Wanita” dan biro-biro Pemberdayaan
Perempuan di pelbagai daerah di Indonesia. Selain itu, adanya penggantian istilah pada organisasi
perempuan PKK, sebuah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru untuk
perempuan akar rumput dari singkatan “Pembinaan Kesejahteraan Keluarga” menjadi

2
Wawancara dengan Lily Jenaan, Direktur Suara Parangpuan, Menado, Sulawesi Utara, 2
November 2013.
3 Pemerintah Orde Baru menggunakan istilah “peranan wanita” untuk meningkatkan peran

perempuan. Konon, pengertian “wanita” berasal dari bahasa Jawa, wanito. Kata ini diartikan
sebagai “wani ditoto” (berani diatur). Implisit di sini diartikan bahwa kaum perempuan harus bisa
diatur oleh kaum laki-laki. Kata ini jelas dianggap merendahkan posisi kaum perempuan. Karena
itu kalangan aktifis perempuan yang mempunyai perspektif kesetaraan gender lebih memilih kata
perempuan. Pilihan kata ini didasarkan pada anggapan bahwa akar kata perempuan adalah
“empu”, yang berarti kemandirian. Lihat: Lucas, Anton E. 1996. Wanita dalam Revolusi:
Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi, 1942-1950. Jurnal Prisma, No.5
“Pemberdayaan kesejahteraan Keluarga”. Penggantian istilah ini merupakan implementasi dari
kebijakan yang menggunakan perspektif pemberdayaan perempuan dimana aspirasi-aspirasi
perempuan dari bawah dimunculkan ke atas untuk menjadi bagian dari keputusan dan kebijakan
pemerintah.

Adanya pengakuan hak-hak asasi perempuan sebagai hak-hak asasi manusia melalui Undang-
undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mempunyai aturan khusus untuk
melindungi hak-hak perempuan (dalam Undang-undang disebut hak Wanita) diantaranya adalah:
1) Pengakuan hak perempuan sebagai hak asasi manusia; 2) Jaminan keterwakilan perempuan
dalam sistem pemilihan umum, kepartaian, pemerintahan, baik legislatif, eksekutif maupun
yudikatif; 3) Hak untuk memperoleh pendidikan; 4) Hak untuk memilih, dipilih dan diangkat
serta perlindungan terhadap hak kesehatan reproduksi.4 Undang –undang ini disahkan di masa
presiden BJ Habibie (1998-1999)

Diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan


Gender Dalam Pembangunan Nasional. Kebijakan ini terbit di masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid (November 1999- Juli 2001) yang bertujuan agar semua departemen
pemerintah, termasuk birokrasi di daerah harus memberlakukan pengarusutamaan gender dengan
penekanannya pada program penguatan institusi. Meskipun dalam pelaksanaannya, Inpres ini
belum sepenuhnya berjalan karena masih lemahnya komitmen dan kesadaran pemerintah di
tingkat departemen mengenai pemenuhan hak-hak perempuan. Selain itu, para birokrat pun
belum memahami perspektif gender secara utuh dan adanya kekeliruan pandangan bahwa
‘gender’ dipahami dengan jenis kelamin, sehingga kebijakan ini seringkali diserahkan
pengelolaannya kepada para birokrat perempuan.

Capaian lainnya adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang


Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Undang-undang ini bertujuan untuk
mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, melindungi korban
dan menindak pelakunya. Undang-undang ini hasil kerja panjang yang dilakukan oleh sejumlah
LSM gerakan perempuan yang bekerja sama dengan pemerintah dan parlemen. Sebagai tindak
lanjut dari pemberlakuan Undang-undang tersebut, terdapat beberapa kerja sama antara Menteri
Pemberdayaan Perempuan, berbagai instansi pemerintah dan LSM perempuan untuk
menyediakan pelayanan khusus bagi para perempuan korban kekerasan, terutama bagi instansi
kepolisian yang ditangani oleh para polisi wanita, rumah sakit dan berbagai instansi lainnya.

4
Undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bagian
Kesembilan.
Hanya sampai sejauh ini, masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami Undang-
undang ini dan beragamnya penafsiran atas Undang-undang tersebut. Kurangnya pemahaman
aparat penegak hukum ini ditengarai terkait karena kurangnya sosialisasi atas undang-undang
tersebut yang dilakukan dari tingkat nasional ke tingkat lokal dan unit-unit terkecil dari
pemerintahan. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pun masih cukup sulit
mendapatkan akses keadilan, terutama di pelosok-pelosok pedesaan karena lokasi yang cukup
jauh dengan lembaga-lembaga penegak hukum, sikap aparat penegakan yang menyalahkan
korban dan proses hukum yang berkepanjangan. Meskipun demikian, isu kekerasan terhadap
perempuan telah menjadi isu yang memperoleh perhatian publik. Banyak perempuan yang
memiliki keberanian untuk mengadu atas kekerasan yang dialaminya kepada lembaga-lembaga
layanan yang ada dan juga seringkali kasus-kasusnya menjadi berita utama di media nasional
maupun lokal. Undang-undang ini disahkan di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri
(2004) di bulan September 2004.

Pada tahun 2007, disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang bertujuan untuk mencegah sedini
mungkin perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak dan memberi sanksi yang berat
kepada para pelaku (traffiker) tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut diikuti dengan
perkembangan dan munculnya lembaga-lembaga yang secara khusus menangani kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak keadilan atas korban seperti didirikannya Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan ada 253 lembaga baru –dari Aceh hingga Papua—
telah didirikan oleh masyarakat dan negara: 129 Unit Pelayanan bagi Perempuan dan Anak dalam
institusi kepolisian, 42 Pusat Pelayanan Terpadu di rumah-rumah sakit, 23 Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dann 41 Women Crisis Centre di pelbagai
daerah. Meskipun lembaga-lembaga tersebut seringkali mengalami keterbatasan dan bahkan
kekurangan dukungan pendanaan, baik dari pemerintah maupun dukungan pendanaan dari
masyarakat sipil.

Sementara beragam capaian yang diperoleh dari proses gerakan perempuan di daerah-
daerah, seperti memberikan akses keadilan bagi perempuan korban, mendorong adanya kebijakan
yang memberikan perlindungan terhadap perempuan korban, adanya kemitraan strategis dengan
para penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian dan adanya penyebarluasan pemahaman
publik tentang kekerasan terhadap perempuan. Selain itu tumbuhnya kemampuan daya analisis
perempuan di pedesaan untuk mengontrol berjalannya pemerintahan, adanya sikap kritis
terhadap pelbagai kebijakan dan adanya keberanian dari para perempuan di pedesaan untuk
menyampaikan aspirasi mereka ke lembaga-lembaga penyelenggara negara seperti ke DPRD
untuk menyampaikan aspirasi berdasarkan kebutuhan praktis mereka sehari-hari.

Pelbagai keberhasilan dan capaian gerakan perempuan tersebut tak lepas dari beragam faktor
pendukungnya, diantaranya adalah memilih isu yang tepat yang dibutuhkan oleh publik luas
sehingga memperoleh dukungan dari masyarakat, adanya aktor gerakan dan konsisten dengan isu
yang dipilihnya, tersedianya arena dialog diantara sesama anggota gerakan sehingga
memungkinkan terjadinya pembagian peran diantara anggota gerakan, dan pendukung lain yang
tak kalah penting bagi keberhasilan gerakan perempuan adalah teknologi yang memudahkan
anggota gerakan berkomunikasi seperti handphone, email, milis, internet, facebook, twitter dan
lainnya.

4. Tantangan Gerakan Perempuan

Meskipun gerakan perempuan memperoleh capaiannya sebagaimana disebut di muka,


tetapi juga terdapat tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tersebut muncul di tingkat internal
maupun di tingkat eksternal. Tantangan gerakan perempuan di tingkat internal adalah belum
kuatnya gerakan yang berbasis kesukarelaan diantara anggota gerakan, sehingga ia memiliki
ketergantungan pendanaan dari donor internasional. Ketika pendanaan dari donor internasional
itu dihentikan, maka banyak organisasi-organisasi gerakan perempuan tidak dapat beroprasi lagi,
karena tidak ada program yang bisa dijalankan. Akibat tidak ada dana pula, maka para aktor
gerakan banyak yang keluar dari organisasi gerakan dan berpindah kepada lembaga-lembaga yang
menjamin dari aspek ekonomi.

Selain itu, belum kuatnya kader-kader baru yang dapat melanjutkan gerakan perempuan
ke depan, sehingga belum terjadi penyebaran pengetahuan dan keahlian kepada generasi
berikutnya di dalam anggota gerakan. Gerakan perempuan pun cenderung terbagi ke dalam
pelbagai faksi karena perbedaan pandangan dan strategi gerakan, sehingga kurang terjadi aksi,
refleksi dan aksi bersama dalam menghadapi tantangan yang dapat melemahkan gerakan
perempuan. Organisasi-organisasi gerakan perempuan cenderung sibuk dengan pelaksanaan
programnya masing-masing, sehingga kurang terjadi interaksi antaranggota gerakan.

Tantangan lainnya adalah pelbagai kebijakan yang telah disahkan di tingkat nasional yang
melindungi hak-hak perempuan dan kekerasan terhadap perempuan belum banyak diketahui dan
dipahami oleh para eksekutif dan aparat penegak hukum di bawahnya, baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten. Hal ini disampaikan oleh Suster Estokia dari TRUK Flores yang menyatakan
bahwa aparat penegak hukum di daerah belum banyak yang memahami peraturan dan Undang-
undang yang melindungi perempuan atau dengan sengaja tidak ingin mengetahuinya. Hal serupa
disampaikan oleh Farid Ma’ruf dari SAPA Institut bahwa ketika pemimpin daerah tidak punya
perspektif gender, hal ini akan berpengaruh juga terhadap kebijakan mereka.5

Pelanggaran terhadap hak-hak perempuan pun semakin meluas, baik yang dilakukan oleh
aktor non negara atau masyarakat maupun dilakukan oleh pejabat negara. Kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilakukan pejabat negara tidak pernah diselesaikan di muka hukum,
sehingga penegakan hukum terhadap mereka cenderung diabaikan. Penerbitan kebijakan yang
mendiskriminasi terhadap perempuan pun semakin cepat ketimbang kesiapan anggota gerakan
perempuan dalam mencegah kebijakan diskriminatif tersebut. Hal ini terlihat dari terbitnya
peraturan-peraturan daerah yang bernuansa diskriminatif terhadap perempuan yang menurut
catatan Komnas Perempuan hingga tahun 2013 berjumlah 342 dengan lebih dari 200 kebijakan
berdampak laungsung maupun tak langsung terhadap perempuan. Wujud diskriminasi tersebut
terkait dengan pengaturan atas pakaian perempuan karena perempuan dipandang sebagai
pemikul tanggung jawab moralitas masyarakat, pengaturan duduk di kendaraan, pembatasan
keluar malam yang mengingkari fakta bahwa banyak perempuan yang menjadi penopang
ekonomi yang harus bekerja di malam hari.

Situasi sosial-politik dan ekonomi pun cenderung melemahkan gerakan perempuan,


seperti kebijakan negara yang pro-pasar cenderung memiskinkan dan melemahkan perempuan,
karena modal ekonomi diakses oleh para elit ketimbang kaum perempuan di akar rumput. Selain
itu juga menguatnya puritanisme agama yang agenda mereka lebih banyak bertolak belakang dan
bertentangan dengan isu yang diperjuangkan dalam gerakan perempuan, seperti penolakan
terhadap perspektif kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan dari Muslimah
Hizbuttahrir Indonesia (MHTI), dukungan terhadap praktik perkawinan poligami dari organisasi
perempuan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan suburnya organisasi-organisasi agama yang
bercorak puritan sebagai garda terdepan yang menentang penegakan hak-hak perempuan dan
perjuangan pemberdayaan perempuan.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa di Era Reformasi ini Indonesia mengalami
pertarungan dan sekaligus adanya paradoks antara penegakkan hak-hak asasi perempuan dan

5
Disampaikan dalam acara Refleksi Ulang Tahun ke-15 Komnas Perempuan “Merekam Jejak
Sejarah Gerakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan bersama Komnas Perempuan’
pada 22 Oktober 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta.
upaya penghapusan terhadapnya dengan pelanggengan diskriminasi atas nama ajaran agama dan
juga budaya.

5. Kesimpulan

Dari pemaparan tulisan tentang gerakan perempuan di Era Reformasi, beberapa hal dapat
disimpulkan:

1) Gerakan perempuan di Era reformasi adalah organisasi gerakan yang mendorong


terbentuknya sistem demokrasi dan merupakan aktor utama-- beserta organisasi
mahasiswa dan organisasi pro-demokrasi lainnya-- dalam menumbangkan rezim
paternalistik Orde Baru;
2) Organisasi-organisasi gerakan perempuan ini tidak hanya turut membentuk sistem
demokrasi, lebih dari pada itu, ia pun mengisinya dengan kerja-kerja nyata seperti
menangani masalah-masalah: 1) kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, upaya
pencegahan dan pemulihannya serta bantuan hukum dan psikologis bagi korban; 2)
pemberdayaan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, akses terhadap informasi dan
sumberdaya kehidupan dan akses terhadap keadilan hukum; 3) Penanganan terhadap
kasus-kasus kekerasan perempuan pekerja migran yang di era reformasi ini arus migrasi
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri semakin tinggi; 4) Penanganan terhadap kasus-kasus
perdagangan perempuan (trafiking); 5) Perjuangan untuk partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan di semua tingkatan pemerintahan; 6) merespon politisasi agama,
etnis dan gender sebagai bagian dari penyingkiran atas hak-hak perempuan yang tumbuh
subur di era demokrasi ini.
3) Dari proses kerja-kerja yang dilakukan gerakan perempuan ini, terdapat beberapa capaian
penting yang mesti tercatat dalam pencapaian gerakan perempuan ini. Diantaranya adalah
mempopulerkan kata ‘perempuan’ yang semula kata ini merupakan kata yang
dipergunakan sebagai counter terhadap penggunaan kata ‘wanita’ yang dipakai pemerintah
Orde Baru. menjadi menjadi nama-nama lembaga negara seperti ‘Komnas Perempuan’,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) biro-biro Pemberdayaan
Perempuan di pelbagai daerah di Indonesia dan lainnya; mengambil inisiatif dan
mendorong kebijakan negara yang melindungi hak-hak perempuan dalam bentuk
peraturan dan pelembagaan seperti terbitnya Instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan
Gender Dalam Pembangunan Nasional, disahkannya Undang-Undang tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), disahkannya Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan adanya kemitraan
strategis dengan para penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian dan adanya
penyebarluasan pemahaman publik tentang kekerasan terhadap perempuan.
4) Meskipun sejumlah capaian telah diperoleh, gerakan perempuan pun mengalami beragam
tantangan di Era reformasi ini. Tantangan tersebut baik di tingkat internal maupun
eksternal. Di tingkat internal adalah belum kuatnya gerakan yang berbasis kesukarelaan
diantara anggota gerakan, sehingga ia memiliki ketergantungan pendanaan dari donor
internasional. Ketika pendanaan dari donor internasional itu dihentikan, maka banyak
organisasi-organisasi gerakan perempuan tidak dapat beroprasi lagi, karena tidak ada
program yang bisa dijalankan; belum kuatnya kader-kader baru yang dapat melanjutkan
gerakan perempuan ke depan, sehingga belum terjadi penyebaran pengetahuan dan
keahlian kepada generasi berikutnya di dalam anggota gerakan.

Tantangan lainnya di tingkat eksternal adalah pelbagai kebijakan yang telah disahkan di
tingkat nasional yang melindungi hak-hak perempuan dan kekerasan terhadap perempuan
belum banyak diketahui dan dipahami oleh para eksekutif dan aparat penegak hukum di
bawahnya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Pelanggaran terhadap hak-hak
perempuan pun semakin meluas, baik yang dilakukan oleh aktor non negara atau
masyarakat maupun dilakukan oleh pejabat negara. Kasus-kasus kekerasan seksual
semakin mengkhawatirkan, terutama untuk anak perempuan di bawah umur.

Situasi sosial-politik dan ekonomi pun cenderung melemahkan gerakan perempuan,


seperti kebijakan negara yang pro-pasar cenderung memiskinkan dan melemahkan
perempuan, karena modal ekonomi diakses oleh para elit ketimbang kaum perempuan di
akar rumput. Selain itu juga menguatnya puritanisme agama yang agenda mereka lebih
banyak bertolak belakang dan bertentangan dengan isu yang diperjuangkan dalam
gerakan perempuan. ***

Anda mungkin juga menyukai