Anda di halaman 1dari 12

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK GRADE III

Ambarwati MS, Bustomi EC, Nasution SH, Prabowo AY.


1
)
1)
Mahasiswa Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Latar Belakang. Sekitar 16% kematian akibat perdarahan dalam kehamilan dilaporkan
disebabkan
kehamilan ektopik yang pecah. Syok hipovolemik terjadi akibat berkurangnya volume plasma di
intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat, trauma dan dehidrasi berat. Kasus.
Ny. N, 29 tahun, dibawa ke RS dengan keluhan nyeri perut bagian bawah disertai keluar darah
dari
kemaluan sejak 2 hari SMRS. Pasien tidak menstruasi sejak 2 bulan SMRS dan dinyatakan hamil
berdasarkan tes kehamilan. Saat di kamar operasi, pasien kompos mentis, tekanan darah 90/50
mmHg, frekuensi nadi 134x/menit, frekuensi pernapasan 26x/menit, suhu 36,0ºC, BB 65 kg, TB
152 cm, konjungtiva anemis. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas pada
suprapubis. Pemeriksaan ginekologis tampak portio livide, oue tertutup, fluksus (+), darah tidak
aktif. Pada vagina toucher didapatkan AP kanan-kiri tegang, nyeri goyang portio (+), cavum
douglas menonjol, kuldosintesis (+). Ektremitas teraba dingin, turgor kurang, CRT >2 detik.
Pemeriksaan penunjang didapatkan: Hb 5,5 gr/dl, Ht 15%, leukosit 24.500/ul. Pasien didiagnosa
Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III dan diobati dengan
resusitasi
cairan dan laparotomi cito. Simpulan. Prognosisnya dubia ad malam dikarenakan pasien
didiagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III dimana
prognosis
ditentukan dari ketepatan dan kecepatan terapi.
Kata kunci: kehamilan ektopik terganggu, resusitasi cairan, syok hipovolemik grade III.

PENDAHULUAN
Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan yang penting,
bila tidak ditanggulangi akan menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi.Kematian seorang
ibu
dalam proses reproduksi merupakan tragedi yang mencemaskan (Barus, 1999).
World Health organization (2008) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000wanita
meninggal akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan, dan 400 ibu meninggal per 100.000
kelahiran hidup (Maternal Mortality Ratio). Angka Kematian Ibu (AKI) di negara maju
diperkirakan 9 per 100.000 kelahiran hidup dan 450 per 100.000 kelahiran hidup di negara yang
berkembang, hal ini berarti 99% dari kematian ibu oleh karena kehamilan dan persalinan berasal
dari negara berkembang (WHO, 2008).
Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetrik terbanyak pada tahun 2006 adalah
disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya dengan proporsi 47,3 %,
diikuti
dengan kehamilan yang berakhir abortus dengan proporsi 31,5% (DEPKES RI, 2008).
Kehamilan
ektopik merupakan salah satu kehamilan yang berakhir abortus, dan sekitar 16 % kematian oleh
sebab perdarahan dalam kehamilan dilaporkan disebabkan oleh kehamilan ektopik yang pecah
(Chalik, 1998).
Kehamilan ektopik terjadi apabila hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh dan berkembang di
luar endometrium normal. Kehamilan ektopik ini merupakan kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan gawat.
Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) dimana terjadi
abortus maupun ruptur tuba. Abortus dan ruptur tuba menimbulkan perdarahan ke dalam kavum
abdominalis yang bila cukup banyak dapat menyebabkan hipotensi berat atau syok. Bila tidak
atau
terlambat mendapat penanganan yang tepat penderita akan meninggal akibat kehilangan darah
yang
sangat banyak (Chalik, 1998).
Definisi Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan
tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim
misalnya
dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang
luar
biasa misalnya dalam cervik, pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim (Wiknjosastro,
H., 1999). Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul gangguan pada
kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan
keadaan
umum pasien (Wiknjosastro, H., 2000).
Klasifikasi Kehamilan Ektopik
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari kehamilan
ektopik, dapat dibedakan menurut :
a. Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi. Sebagian besar
kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%) (Marpaung, 2007). Konseptus dapat berimplantasi
pada ampulla (55%), isthmus (25%), fimbrial (17%), ataupun pada interstisial (2%) dari tuba
(Wiknjosastro, H., 2000). Tuba fallopi mempunyai kemampuan untuk berkembang yang
terbatas, sehingga sebagian besar akan pecah (ruptur) pada umur kehamilan 35-40 hari
(Pritchard, 1991).
b. Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh kehamilan ektopik
dimana
sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium (Manuaba, 1999). Meskipun daya akomodasi
ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium
umumnya mengalami ruptur pada tahap awal (Lindarnakis, 1998)
c. Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang sekali terjadi (Manuaba,
1999). Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks
mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya
hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase (Setiawan, 2008).
d. Kehamilan Abdominal merupakan kehamilan yang terjadi satu dalam 15.000 kehamilan, atau
kurang dari 0,1% dariseluruh kehamilan ektopik (Manuaba, 1999). Kehamilan Abdominal ada 2
macam (Setiawan, 2008):
1. Primer, dimana telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.
2. Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya didalam saluran telur
atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh karena terlepas dari
tempat asalnya. Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen.
Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini jarang
terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6)
karena pengambilan makanan kurang sempurna.
e. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi bersama dengan
kehamilan
intrauterin (Satrawinata, 1984). Kehamilan heterotipik ini sangat langka, terjadi satu dalam
17.000-30.000 kehamilan ektopik.
f. Kehamilan interstisial yaitu implantasi telur terjadi dalam pars interstitialis tuba. Kehamilan ini
juga disebut sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauteri, tetapi implantasi plasentanya di
daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah) (Marpaung, 2007).
g. Kehamilan intraligamenter
Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah. Konseptus
yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra peritoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan
baik dan memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup dan berkembang dan tumbuh
membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa dengan kehmilan abdominal sekunder
karena keduanya berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.
h. Kehamilan tubouteina merupakan kehamilan yang semula mengadakan implantasi pada tuba
pars interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara perlahan-lahan ke dalam kavum uteri.
i. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula mengadakan implantasi
di sekitar bagian fimbriae tuba, secara berangsur mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.
j. Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada tuba dan sebagian
pada jaringan ovarium.

Patofisiologi
Beberapa hal dibawah ini ada hubungannya dengan terjadinya kehamilan ektopik:
a. Pengaruh faktor mekanik
Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba,
salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap
diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen
tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut
secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga
menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanik lain adalah pernah menderita
kehamilan ektopik, pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau
tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur.
b. Pengaruh faktor fungsional
Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal.
Dalam hal ini gerakan peristaltik tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum
zigot mencapai kavum uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan
keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah
dan afinitas reseptor adrenergik yang terdapat dalam uterus dan otot polos dari saluran telur. Ini
berlaku untuk kehamilan ektopik yang terjadi pada akseptor kontrasepsi oral yang mengandung
hanya progesteron saja, setelah memakai estrogen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah
kehamilan. Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan meningkatkan insiden kehamilan
ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik
dalam tuba.
c. Kegagalan kontrasepsi
Sebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik berkurang karena kontrasepsi sendiri
mengurangi insidensi kehamilan. Akan tetapi dikalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan
insiden kehamilan ektopik apabila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat kontrasepsi
dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya
AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR
tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan
pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah
kehamilan ektopik.
d. Peningkatan afinitas mukosa tuba
Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya meningkatkan implantasi pada
tuba.
kehamilan. Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan meningkatkan insiden kehamilan
ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik
dalam tuba.
c. Kegagalan kontrasepsi
Sebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik berkurang karena kontrasepsi sendiri
mengurangi insidensi kehamilan. Akan tetapi dikalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan
insiden kehamilan ektopik apabila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat kontrasepsi
dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya
AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR
tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan
pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah
kehamilan ektopik.
d. Peningkatan afinitas mukosa tuba
Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya meningkatkan implantasi pada
tuba.
e. Pengaruh proses bayi tabung
Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses kehamilan yang terjadi
dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan
terjadi pada GIFT (gamete intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer,
dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat
menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan pengeluaran
estrogen urin melebihi 200 mg sehari.
Gejala dan Gambaran Klinis
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya penderita tidak
menyampaikan keluhan yang khas. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala seperti
pada kehamilan muda yakni mual, pembesaran disertai rasa agak sakit pada payudara yang
didahului keterlambatan haid. Disamping gangguan haid, keluhan yang paling sering ialah nyeri
di
perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-
kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan (Wiknjosastro,
1999).
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda, dari perdarahan banyak
yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar
membuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik
terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum
penderita sebelum hamil (Arnolu, 2005). Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada
kehamilan
ektopik. Nyeri dapat unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen,
atau
hanya di bagian atas abdomen. Umumnya diperkirakan, bahwa nyeri perut yang sangat menyiksa
pada suatu ruptur kehamilan ektopik, disebabkan oleh darah yang keluar ke dalam kavum
peritoneum. Tetapi karena ternyata terdapat nyeri hebat, meskipun perdarahannya sedikit, dan
nyeri
yang tidak berat pada perdarahan yang banyak, jelas bahwa darah bukan satu-satunya sebab
timbul
nyeri. Darah yang banyak dalam kavum peritoneal dapat menyebabkan iritasi peritoneum dan
menimbulkan rasa nyeri yang bervariasi. Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang
penting pada kehamilan ektopik. Lamanya amenorea tergantung pada kehidupan janin, sehingga
dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi
sebelum haid berikutnya.
Bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal merupakan juga tanda yang penting pada
kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari uteri karena
pelepasan desidua. Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat intermiten atau
terus-menerus.
Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa
nyeri dan kavum Doglas teraba menonjol, berkisar dari diameter 5 sampai 15 cm, dengan
konsistensi lunak dan elastis (Pritchard, 1991).
Terapi medikamentosa dan penatalaksanaan bedah
Dewasa ini penanganan kehamilan ektopik yang belum terganggu dapat dilakukan secara
medis ataupun bedah. Secara medis dengan melakukan injeksi lokal methotrexate (MTX),
kalium
klorida, glukosa hiperosmosis, prostaglandin, aktimiosin D dan secara bedah dilaksanakan
melalui :
a. Pembedahan konservatif
Dimana integritas tuba dipertahankan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita
kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk
mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal
tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas
hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan
kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat
dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali)
untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun
laparoskopi. Pada dasarnya prosedur salpingotomi sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa
pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara
salpingostomi dan salpingotomi.
b. Pembedahan radikal
Dimana salpingektomi dilakukan, salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut
ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas
pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi
tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pasca
salpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi
berdiameter lebih dari 5 cm.
Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan
jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di
intravaskuler (Guyton, 2010). Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma
yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi
berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat (Kolecki, 2013). Kasus-kasus syok
hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok
hipovolemik
dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma
hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung
pada pembuluh arteri utama (Pascoe, 2007).
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik
tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang
dilakukan pada ujung-ujung jari (refiling kapiler), suhu dan turgor kulit (Guyton, 2010).
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi
empat tingkatan atau stadium (George, 2009). Stadium syok dibagi berdasarkan persentase
kehilangan darah yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40% (Worthley, 2000). Setiap stadium syok
hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut (Armstrong, 2004):
1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal 15%
dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensasi dengan dengan vasokontriksi
perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit
cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas
masih dalam kedaan normal.
2. Stadium-II adalah syok hipovolemik jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini
vasokontriksi arteri tidak lagi mampu mengkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi
takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang
melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.
3. Stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada
stadium-
II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,
peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah
sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.
4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini
takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan
gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari
40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan
penurunan kesadaran atau letargik

Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat dilihat pada tabel-1.

Sumber : George, 2009; Guyton, 2010; Armstrong, 2004

Prinsip Penatalaksanaan Pada Syok Hipovolemik


Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan
hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan
dan
dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama
terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang (Kolecki, 2013). Jika
ditemukan
oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara
komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau
rumah sakit (Udeani, 2013).
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain
(Kolecki, 2013 dan Udeani, 2013):
1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan
saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan
segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas,
harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail
chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah
besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang
berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya
dihindari
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa
aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan
diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar;
diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena
antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik
Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter
lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling
penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan
memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik,
seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB
pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien
diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital
membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika
perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan
darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk
mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat
IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak
diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan
kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah
memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan
memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi
aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.
2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan
secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang
ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat
diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk
menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di
ruang operasi.
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah
digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi,
aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan
untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan.
Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan
gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja
vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat
dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama
dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini
dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi
mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat
sementara pada keadaan yang ekstrim.
Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik,
plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi
bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan
kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan
penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu
untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang
serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada
pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen
darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya
diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
3. Resusitasi Cairan.
Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium (croosmatch,
hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis gas darah dan pH, laktat,
parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau ventilasi (PO
2
> 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).
Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 3:1. Bila
kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara kehilangan darah >
60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam pemberian konsentrasi
eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama terapi syok hipovolemik
adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian volume intravascular sangat penting
untuk kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang
disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi darah.
Adapun indikasi transfusi darah atau komponen darah pada syok hipovolemik yaitu:
Tabel 2. Indikasi transfusi komponen darah
Indication for blood component therapy
Component Indication Usual strating dose
Packed RBC
Replacement of Oxygen-
carrying capacity
2-4 units IV
Platelets
Thrombocytopenia with
bleeding
6-10 units IV
Fresh frozen plasma
Coagulopaty 2-6 units IV
Crycoprecipitate
Coagulopaty with
fibrinogen
10-20 units IV

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan
kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut
kebutuhan
fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek
terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.
Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid dan darah. koloid
merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dibandingkan plasma (cairan
hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah cairan plasma expander karena kemampuan
untuk memindahkan cairan intrselular dan interstisial selama resusitasi dan dengan cepat
menggantikan volume plasma (seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan kristaloid adalah
cairan
yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa
isotonik,
hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang
Berat
Molekulnya tinggi. (Kolecki, 2013; George; 2009).
Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih menjadi
perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok hipovolemik post operative
dapat
meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat dibandingkan infus kristaloid. Inisial resusitasi
pada
syok hipovolemik sering dimulai dengan hypertonic dan isotonic kristaloid yang kemudian
dilanjutkan dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan plasma.
Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan plasma maka
dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada kasus diabetes yang tidak
terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan plasma
dan
elektrolit maka cairan resusitasi terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat
mempertahankan
volume intravascular, interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi darah diindikasikan pada
kasus dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV. Menurut CPG 2007 resusitasi cairan
optimal pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh trauma adalah penggunaan darah. Bila
transfusi darah tidak tersedia maka penggunaan kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena
kristaloid menghasilkan peningkatan cardiac output yang dapat diperkirakan dan secara umum
didistribusikan ke ekstraselular. Compound Sodium Lactat adalah alternative pilihan yang
dianjurkan untuk resusitasi awal pasien hipovolemik.compound sodium lactate mengandung
precursor bicarbonate yang ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis
metabolic.
Pemberian cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative lain yang dapat
diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%) meskipun pemberiannya dalam dosis besar dapat
menyebabkan asidosis metabolic. (Armstrong, 2004; Kolecki, 2013; Pascoe, 2007; Udeani,
2013).
KASUS
Ny. N, usia 29 tahun, agama Islam, ibu rumah tangga, beralamat di Natar-Lampung Selatan.
Pasien datang dengan mengaku sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) tidak
menstruasi lagi. Pasien mengecek kehamilan dengan alat tes kehamilan dan hasilnya positif.
Pasien
mengatakan hari pertama haid terakhir pada tanggal 5 April 2014. Sejak 2 hari SMRS, pasien
mengeluh nyeri perut bagi bawah disertai keluar darah dari kemaluan. Sebelum keluhan ini
timbul,
pasien mengaku sempat diurut bagian perut dikarenakan pasien mengeluh masuk angin.
Kemudian
pasien pergi ke dokter, namun oleh dokter pasien dinyatakan hanya gangguan pencernaan. Sejak
9
jam SMRS, pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah bertambah hebat dan pasien memutuskan
pergi ke RS U kemudian langsung dirujuk ke RSUDAM. Riwayat penyakit dahulu disangkal,
riwayat alergi obat disangkal, riwayat minum obat penenang disangkal, riwayat operasi
disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos
mentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15, tekanan darah 110/50 mmHg, frekuensi nadi
120x/menit, frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu 36,0ºC, BB 65 kg, TB 152 cm. Satu jam
kemudian tekanan darah 90/50 mmHg, frekuensi nadi 134x/menit, frekuensi pernapasan
26x/menit,
suhu 36,0ºC. Tampak konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan
dan
nyeri lepas pada bagian suprapubis (+). Pemeriksaan ginekologis tampak portio livide, oue
tertutup,
flour (-), fluksus (+), darah tidak aktif. Pada vagina toucher terdapat mukosa vagina licin, portio
lunak, oue tertutup, AP kanan-kiri tegang, nyeri goyang portio (+), cavum douglas menonjol,
kuldosintesis (+). Ektremitas superior dan inferior tampak dingin (+/+), turgor kurang, CRT >2
detik.
Pemeriksaan penunjang didapatkan: Hb 5,5 gr/dl, Ht 15%, leukosit 24.500 /ul, diff.count
0/0/2/84/10/4, trombosit 167.000 /ul, LED 8 mm/jam, masa perdarahan 4’, masa pembekuan
12’.
Pasien didiagnosis dengan Kehamilan Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik
Grade III.
Penatalaksanaan sesuai bidang anestesi pada kasus ini tanpa premedikasi, kemudian
dilakukan Induksi dengan Ketamin intravena dimana pemeliharaannya dengan memakai O
2
3
liter/menit, N
2
O 3 liter/menit, Sevoflurane 2 vol%, nafas kendali, dan dilakukan pemulihan dengan
cara O
2
dinaikkan sampai 8 liter/menit, N
2
O dimatikan, dan Sevoflurane dimatikan setelah
penjahitan luka operasi selesai. Selain itu dilakukan resusitasi cairan, laparotomi cito, evaluasi
perdarahan, urin output dan tanda-tanda vital.
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut bagi bawah disertai keluar darah dari kemaluan
sejak 2 hari SMRS. Sebelum keluhan ini timbul, pasien mengaku sempat diurut bagian perut
dikarenakan pasien mengeluh masuk angin. Kemudian pasien pergi ke dokter, namun oleh dokter
pasien dinyatakan hanya gangguan pencernaan. Sejak 9 jam SMRS, pasien mengeluh nyeri perut
bagian bawah bertambah hebat dan pasien memutuskan pergi ke RS U kemudian langsung
dirujuk
ke RSUDAM.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15, tekanan darah 110/50 mmHg, frekuensi nadi
120x/menit,
frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu 36,0ºC, BB 65 kg, TB 152 cm. Satu jam kemudian
tekanan
darah menurun menjadi 90/50 mmHg, frekuensi nadi 134x/menit, frekuensi pernapasan
26x/menit,
suhu 36,0ºC. Tampak konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan
dan
nyeri lepas pada bagian suprapubis (+). Pemeriksaan ginekologis tampak portio livide, oue
tertutup,
luksus (+), darah tidak aktif. Pada vagina toucher didapatkan nyeri goyang portio (+), cavum
douglas menonjol dan dilakukan kuldosintesis (+). Ektremitas superior dan inferior tampak
dingin
(+/+), turgor kurang, CRT >2 detik. Pemeriksaan penunjang didapatkan: Hb 5,5 gr/dl, Ht 15 %,
leukosit 24.500 /ul.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologis serta pemeriksaan penunjang lainnya,
disimpulkan pasien mengalami kehamilan ektopik terganggu disertai syok hipovolemik grade III.
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri dapat
unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen, atau hanya di bagian
atas
abdomen. Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang penting pada kehamilan ektopik.
Bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal merupakan juga tanda yang penting pada
kehamilan ektopik terganggu. Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat
intermiten atau terus menerus. Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan
serviks uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum Doglas teraba menonjol, berkisar dari diameter
5
sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis (Pritchard, 1991).
Syok hipovolemik grade III terjadi bila perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang
muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas
120
kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan
tekanan
darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat (George, 2009; Guyton, 2010;
Armstrong, 2004; Worthley, 2000).
Untuk pengobatan pada pasien ini yang harus dilakukan pertama kali adalah resisutasi
cairan. Diperkirakan perdarahan yang dialami oleh pasien ini sekitar 30-40% dari EBV.
Sebelumnya harus dilakukan pemasangan infus intravena dua jalur dan pemasangan urine
kateter.
Pada pasien sebelum tindakan anastesi dilakukan, kita menangani syok hipovolemi yang dialami
oleh pasien ini dimana tekanan darah pada saat sebelum operasi 80/50 mmHg dengan
memasukan
cairan RL dan Plasma ekspander (ekspafusin) sampai mencapai tekanan darah yang diinginkan,
setelah memasukan RL 1000 ml dan plasma ekspander 500 ml tekanan darah pasien mengalami
kenaikan sebasar 100/70, tindakan ini dilakukan sebelum memulai tindakan anastesi karena obat-
obat yang digunakan induksi bersifat mendepresi system kardiovaskular. Setelah syok teratasi,
diteruskan dengan tindakan anastesi. Berdasarkan literatur pilihan utama cairan pengganti adalah
ringer laktat atau pilihan kedua NaCl 0,9%. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar
20
ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya (Kolecki, 2013; George; 2009).
Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini sudah benar. Pasien diberikan cairan berupa
kristaloid,
koloid, dan WB. Kristaloid memiliki berat molekul yang lebih kecil dengan distribusi lebih cepat
sehingga lebih cepat pula mengisi dan meninggalkan vascular menuju intertisial. Oleh karena itu
terapi cairan perlu dikombinasikan dengan koloid. Molekul-molekul koloid lebih besar, dapat
bertahan lebih lama di dalam vascular dibanding kristaloid sehingga dapat lebih lama pula
mempertahankan volume intravaskular.
Penurunan nilai Hb dimana pada pasien ini nilainya 5,5 gr/dl harus dikoreksi segera dengan
tranfusi darah. Indikasi transfusi pada pasien ini adalah karena perdarahan yang dialami selama
operasi > 20 % dari estimasi volume darah. Pada pasien ini didapatkan estimasi volume darah
adalah = 75 cc/kg x 65 kg = 4875 cc dimana perdarahan yang terjadi selama operasi adalah 1500
cc
yaitu > 20% dari estimasi volume darah pasien. Kebutuhan transfusi darah pada pasien ini adalah
sebanyak 5 kantung whole blood (@ kantung 350 cc) berdasarkan hitung-hitungan pada pasien
ini
yaitu (10-5,5) x 65 x 6 = 1755 cc (Jumlah kebutuhan darah = ΔHb x BB x 6). WBC (whole blood
cell) merupakan darah lengkap yang berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma.
Indikasi pemberian WBC adalah untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume
plasma
dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan massif dengan kehilangan lebih dari
25-
30% volume darah total. Tindakan resusitasi cairan ini diikuti dengan tindakan laparotomi cito.
Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi umum dengan endotracheal tube karena
diperkirakan operasi akan berlangsung lebih dari 60 menit & agar lebih mudah mengontrol
pernapasan diberikan muscle relaxan karena obat ini sangat membantu dalam pelaksanaan
anestesi
umum dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta pelompuh otot
jangka panjang berupa Atracurium. Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular
sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi
menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin,
dan
obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini
memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi
relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. Atracurium merupakan
obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin
yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium
dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama
melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung
pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, dan tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Mula dan lama kerja atracurium
bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi
adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan
fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu
dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk
pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.
Kemasan dibuat dalam 1
ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat
bergantung
pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. Dosis intubasi : 0,5

0,6 mg/kgBB/iv. Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv. Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2
mg/kgBB/ iv (Hartanto, 2007; Udeani, 2010; Krauz, 2006).
Pada pasien ini induksi dilakukan dengan ketamin yang merupakan larutan yang tidak
berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik,
anestetik
dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi
lemah untuk sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan
curah
jantung sampai – 20%. Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-
4,5
mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk
mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula. Ketamin IM
untuk
induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit
(Hartanto, 2007; Udeani, 2010; Krauz, 2006).
Untuk maintenance Andrews (1868) menggunakan N
2
O bersama-sama O
2
utnuk
anestesiologi. N
2
O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia dengan N
2
O harus disertai dengan O
2
minimal 25%.Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesiknya kuat, sehinga sering
digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesia inhalasi jarang digunakan
sendirian,
tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada
akhir anestesia setelah N
2
O dihentikan, maka N
2
O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga
terjadi pengenceran O
2
dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi,
berikan O
2
100% selama 5-10 menit. Sevoflurane merupakan halogenasieter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibadingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang
jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar (Hartanto, 2007; Udeani, 2010; Krauz,
2006).
Operasi berlangsung selama 2 jam, setelah operasi selesai sevoflurane dan N
2
O dihentikan
dan diberikan O
2
100% 6-8 liter untuk mencegah hipoksia difusi. Setelah nafas spontan pasien
dibawa ke ruang pulih sadar.
Pada kasus ini prognosisnya dubia ad malam dikarenakan pasien didiagnosis Kehamilan
Ektopik Terganggu disertai Syok Hipovolemik Grade III dimana prognosis ditentukan dari
ketepatan dan kecepatan terapi.

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong DJ. Shock. In: Alexander MF, Fawcett JN, Runciman PJ, editors. Nursing Practice
Hospital and Home. 2nd ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2004.
Arnolu, RI., 2005. Risk Factors for Ectopic Pregnancy in Logos, Nigeria, 1999. Jurnal Obtetricia
et
Gynecologica Scandinavica, Vol 84, No 2, hal 184-188.
Barus, N. 1999. Tantangan dan Masalah Dalam Upaya Penurunan Resiko Kematian Ibu dan
Neonatal Menyongsong Era Globalisasi.Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM-USU.
Chalik, TMA., 1998. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi
FK-Universitas Syah Kuala, Cetakan Pertama, Widya Medika, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Profil Kesehatan IndonesiaTahun 2006.
Jakarta.
George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan Patofisiologi. In:
Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia; 2009. p. 16-36.
Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter 24). Textbook of
Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 273-84.
Hartanto, Widya W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi Klinik
Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD, et al. Hypovolemic
Shock
Treatment & Management 2013: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014.
Krausz, Michael M. 2006. Initial Resuscitation of Hemorrhagic Shock. Department of Surgery
A,
Rambam Medical Center, and the Technion-Israel Institute of Technology, Israel. P.O.B
9602, Haifa 31096.
Lindarnakis, NM., 1998. Obstetrics & Gynecology. Digging up the Bones, Singapore.
Manuaba, IBG., 1999. Operasi Kebidanan, Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Dokter
Umum. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Marpaung, C., 2007. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu di RS St.
Elisabeth
Medan tahun 1999-2006. Skripsi FKM-USU
Pascoe S, Lynch J. Management of Hypovolaemic Shock in Trauma Patient. Committee NICPG,
Sisson G, Parr M, Sugrue M, editors. Sydney: ITIM (Institute of Trauma and Injury
Management) NSW Health; 2007.
Pritchard, Donald, Gant., 1991.Obstetri Williams Edisi 17. Airlangga University Press,
Surabaya.
Satrawinata, S., 1984. Obstetri Patologi. Bagian Obstetri & Ginekologi FK Universitas
Padjajaran,
Bandung.
Setiawan, Y., 2008. Kehamilan Ektopik. http://www.Siaksoft.com/ kehamilan/Ektopik. Diakses
pada tanggal 21 Mei 2014.
Udeani J, Kaplan LJ, Talavera F, Sheridan RL, Rice TD, Geibel J. Hemorrhagic Shock 2013:
Available from: http://emedicine.medscape.com/article /432650-overview#showall. Diakses
pada tanggal 23 Mei 2014.
WHO, 2008. World Health Statistics. www.who.int. Diakses pada tanggal 23 Mei 2014.
Wiknjosastro, H., 1999. Ilmu KebidananEdisi Ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, Jakarta.
Wiknjosastro, H., 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo,
Jakarta.
Worthley LIG. Shock: a review of pathophysiology and management: Part I Critical Care and
Resuscitation. 2000;2:55-65.

Anda mungkin juga menyukai