Anda di halaman 1dari 20

ANTIBIOTIK AMINOGLYCOSIDA

Disusun Oleh : Kelompok

1. Miftakhul Aurossi

2. Nadiya Ayu Nopihartati

3. Rapika Apriliani

4. Tasya Ema Furi

5. Tiara Apriliani

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2017/2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat

limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini,

dengan judul Anibiotik Aminoglycosida.

Dalam penulisan Makalah ini Kami tidak henti-hentinya mengucapkan

banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan

Makalah ini dengan tujuan memberikan informasi tentang Antibiotik

Aminoglycosida.

Kami sadar sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan sebagaimana pepatah “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh

karenanya kami membuka tangan selebar-lebarnya guna menerima saran dan

kritik membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami mengharapkan agar makalah ini dapat berguna bagi

pembaca.

Bengkulu, Februari 2018


BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun unutk
seorang dokter ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat
untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain agar
mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit.
Antiboitika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat
menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga
dapar dibuat secara sintesis. Antimikroba diartikan sebagai obat pembasmi
mikroba khususnya yang merugikan manusia.
Aminoglikosida merupakan first-line terapi untuk penyakit-penyakit tertentu
yang spesifik, biasanya infeksi-infeksi yang dulunya terkenal, misalnya penyakit
pes, tularemia, dan tuberkulosis; obat-obat ini juga sering digunakan untuk
mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerobik gram-negatif. Tidak
seperti kebanyakan obat-obat yang menghambat sintesis protein mikroba, yang
merupakan bakteriostatik, aminoglikosida merupakan bakterisid (Brunton, et.al.,
2008).

b. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antibiotik aminoglycosida?
2. Bagaimana mekanisme kerja dari obat antibiotic aminoglycosida?
3. Bagaimana farmakokinetik pada antibiotic aminoglycosida?
4. Apa efek samping antibiotik aminoglycosida?
5. Apa indikasi dan kontraindikasi antibiotik aminoglycosida?
6. Bagaimana interaksi antibiotik aminoglycosida?
7. Bagaimana dosis dan aturan pakai antibiotik aminoglycosida ?
8. Bagaimana penyimpanan antibiotik aminoglycosida?
9. Apa saja contoh obat dan nama pasaran antibiotik aminoglycosida ?
c. Tujuan
1. Untuk mengetahui Antibiotik Aminoglycosida
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat antibiotik aminoglycosida
3. Untuk mengetahui farmakokinetik pada antibiotik aminoglycosida
4. Untuk mengetahui efek samping antibiotik aminoglycosida
5. Untuk mengetahui indikasi dan kontraindikasi antibiotik aminoglycosida
6. Untuk mengetahui interaksi antibiotik aminoglycosida
7. Untuk mengetahui dosis dan aturan pakai antibiotik aminoglycosida
8. Untuk mengetahui penyimpanan antibiotik aminoglycosida
9. Untuk mengetahui contoh obat dan nama pasaran antibiotic aminoglycosida
BAB 2
PEMBAHASAN

a. Antibiotik Aminoglycosida
Aminoglikosida adalah suatu jenis antibiotik yang digunakan untuk pengobatan
penyakit infeksi oleh bakteri-bakteri aerob gram negatif dan beberapa bakteri
anaerob yang belum resisten terhadap antibiotik golongan ini. Antibiotik ini
bekerja dengan cara mengikat ribosom 30s pada bakteri yang menyebabkan
kegagalan pembacaan mRNA sehingga bakteri tidak mampu mensintesa protein
untuk pertumbuhannya. Aminoglikosida secara umum termasuk golongan
antibiotik yang digunakan untuk infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri
dengan mekanisme pengobatan yang bekerja dengan menghambat pertumbuhan
bakteri atau membunuh bakteri tersebut. Terdapat beberapa jenis pada golongan
antibiotik ini, seperti gentamisin sulfat, amikasin sulfat, streptomisin sulfat,
tobramisin sulfat, dan neomisin sulfat.
Aminoglikosida adalah sekelompok antibiotik bersifat bakterisid yang berasal
dari berbagai spesies Streptomyces dan mempunyai sifat kimiawi, antimikroba,
farmakologi dan efek toksik yang sama (Jawetz et al., 2008). Aminoglikosida
merupakan senyawa yang terdiri dari dua atau lebih gugus gula amino yang terikat
lewat ikatan glikosidik pada inti heksosa (Ganiswarna, 1999).
Aminoglikosida merupakan first-line terapi untuk penyakit-penyakit tertentu
yang spesifik, biasanya infeksi-infeksi yang dulunya terkenal, misalnya penyakit
pes, tularemia, dan tuberkulosis; obat-obat ini juga sering digunakan untuk
mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerobik gram-negatif. Tidak
seperti kebanyakan obat-obat yang menghambat sintesis protein mikroba, yang
merupakan bakteriostatik, aminoglikosida merupakan bakterisid (Brunton, et.al.,
2008).
Secara kimiawi, golongan antibiotik aminoglikosida dibentuk oleh sekelompok
aminocyclitol yang "ditempeli" oleh gula amino pada ring aminoclitol di
"glycosidic linkage". Dikarenakan terdapat beberapa perbedaan kecil subsitusi
pada susunan molekul, maka terdapat beberapa bentuk yang berbebeda pada
setiap satu "amino-glycoside". Contohnya gentamisin adalah suatu senyawa
kompleks yang dibentuk oleh gentamisin C1 dan C2. Kelompok amino berkontribusi
pada sifat dasar kelas ini antibiotik, dan gugus hidroksil pada gugus gula kelarutan
air yang tinggi dan kelarutan lemak yang kurang. Perbedaan dalam substitusi pada
struktur cincin dasar dalam berbagai aminoglikosida terdapat perbedaan yang
relatif kecil dalam spektrum antimikroba, pola resistensi, dan toksisitas. Ketika
kelarutan air dari aminoglikosida marjinal, biasanya bentuk garam sulfat yang
sering digunakan untuk PO (Per Oral) atau pemberian parenteral.
Aminoglikosida lebih efektif terhadap organisme yang pertumbuhannya sangat
cepat, dan mempengaruhi pertumbuhan dan akhirnya membunuh bakteri melalui
beberapa mekanisme. Kontak yang diperlukan dengan bakteri hanya sebentar
untuk membunuh bakteri tersebut.Tempat kerja utama adalah di ribosom bakteri
membran terkait di mana antibiotik ini mengganggu sintesis protein. Untuk
mencapai ribosom, terlebih dulu haru melewati lipopolisakarida (LPS) yang
meliputi (organisme gram-negatif), dinding sel bakteri, dan akhirnya membran
sel.

b. Mekanisme kerja dari obat antibiotik aminoglycosida


Aminoglikosida bekerja dengan tiga cara, yaitu
1. Penghambatan sintesis protein dari bakteri. Setelah memasuki sel
aminoglikosida akan mengikatkan diri dengan reseptor pada 30s ribosom
bakteri, kemudian menghambat pengikatan dari aminoasil-tRNA dan
mengakibatkan kesalahan pembacaan mRNA, sehingga protein yang tidak
berfungsi yang disintesis;
2. Mengganggu kompleks awal pembentukan peptida
3. Menyebabkan suatu pemecahan polisom menjadi monosom yang tidak
berfungsi (Katzung, 1998).
Antibiotik aminoglikosida merupakan bakterisid yang kerjanya cepat.
Pembunuhan bakteri tergantung pada konsentrasi, tetapi aktivitas bakterisid
residual masih ada walaupun konsentrasi serum telah menurun di bawah
konsentrasi penghambatan minimum (Brunton, et.al., 2008).
Diatur oleh potensial elektrik membran, aminoglikosida berdifusi melalui
saluran-saluran encer yang dibentuk oleh protein porin pada membran terluar dari
bakteri gram negatif dan memasuki ruang periplasma. Proses yang kecepatannya
terbatas ini dapat diblok atau dihambat dengan penurunan pada pH atau kondisi
anaerobik, seperti pada bisul. Sekali berada di dalam sel, aminoglikosida mengikat
polysome dan mengganggu sintesis protein dengan menyebabkan kesalahan
pembacaan dan terminasi prematur dari translasi mRNA. Protein abnormal yang
dihasilkan mungkin dimasukkan ke dalam membran sel, mengubah permeabilitas
dan kemudian menstimulasi transpor aminoglikosida (Brunton, et.al., 2008).

c. farmakokinetik pada antibiotik aminoglycosida


1. Absorpsi dan waktu ke tingkat puncak
Konsentrasi serum puncak diukur sekitar 30-60 menit setelah penghentian
infus intravena, atau 30-90 menit setelah injeksi intramuskular. Aminoglikosida
tidak diserap setelah pemberian oral. Namun, instilasi lokal ke dalam ruang pleura
atau rongga peritoneal dapat menyebabkan konsentrasi serum yang signifikan.
2. Distribusi
Volume distribusi pada orang dewasa berkisar antara 0,2 – 0,4 L/kg, dan
meningkat pada pasien asites, luka bakar, kehamilan, dan kondisi lainnya
(seperti cystic fibrosis). Aminoglikosida mencapai konsentrasi dalam urin 25 –
100 kali lipat serum. Sebaliknya, aminoglikosida menunjukkan penetrasi yang
buruk ke dalam CSF, sistem empedu, dan sekresi bronkial.
3. Eliminasi
Sekitar 99 persen dosis diberikan tidak berubah dalam urin, terutama oleh
filtrasi glomerulus. Waktu paruh terminal berkisar antara 1,5 – 3,5 jam pada orang
dewasa dengan fungsi ginjal normal. Waktu paruh lebih panjang terjadi pada
neonatus, bayi, dan pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Aminoglikosida secara efektif dihilangkan dengan hemodialisis (kontinyu dan
intermiten) dan dialisis peritoneal. Akibatnya, dosis tambahan setelah
hemodialisis pada umumnya
d. efek samping antibiotik aminoglycosida
1. Efek samping antibiotik aminoglikosida yang diberikan secara parenteral
adalah toksisitas terutama jika dosis dan hidrasi yang sesuai tidak diperhatikan.
Oleh karena itu level obat dalam darah dan kondisi ginjal harus diperhatikan.
Reaksi toksik terpenting oleh aminoglikosid ialah pada susunan saraf, berupa
gangguan pendengaran dan keseimbangan; dan pada ginjal. Penyesuaian dosis
dapat dilakukan dengan mempelpanj ang interval pemberian, atau mengurangi
dosis atau keduanya
2. pemakaian antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan efek samping berupa
gangguan pendengaran , atau kehilangan keseimbangan, atau keduanya pada
individu yang rentan secara genetik. Semua aminoglikosida terutama pada
penggunaan parentera dapat mengakibatkan kerusakan pada organ
pendengaran dan keseimbangan (ototoksik) terutama pada lansia, akibat
kerusakan pada saraf otak kedelapan. Gejalanya berupa vertigo, telinga
berdenging (tinnitus), bahkan ketulian yang tidak reversibel.
3. Antibiotik ini juga nefrotoksik , dapat merusak atau menghancurkan jaringan
ginjal. Efek ini dapat sangat mengkhawatirkan ketika beberapa dosis
terakumulasi selama pengobatan. Hidrasi yang memadai dapat membantu
mencegah kelebihan nefrotoksisitas dan hilangnya fungsi ginjal yang semakin
parah.
4. Ada bukti positif antibiotik golongan aminoglikosida beresiko terhadap janin
manusia berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari penelitian, data post
marketing ataupun studi pada manusia. Namun jika manfaat penggunaan obat
ini dapat dijamin, penggunaan antibiotik aminoglikosida pada ibu hamil dapat
dilakukan meskipun potensi resiko sangat tinggi.
5. Pada penggunaan oral dapat terjadi nausea, muntah dan diare, khususnya pada
dosis tinggi.
6. Reakti alergi
Secara umum potensi aminoglikosid untuk menyebabkan alergi rendah. Ruam,
eosinofilia, demam, diskrasia darah, angio-edema, dermatitis
eksfoliatif; stomatitis dan syok anafilaksis pernah dilaporkan.
7. Reaksi iritasi
Reaksi iritasi berupa rasa nyeri , terjadi ditempat suntikan diikuti dengan
radang steril, dan dapat pula disertai peningkatan suhu badan.Reaksi ini sangat
terkenal pada suntikan streptomisin.
8. Perubahan biologik: Efek samping ini bermanifestasi dalam 2 bentuk, yaitu
gangguan pada mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus. Perubahan
pola mikroflora tubuh memungkinkan terjadinya superinfeksi oleh kuman
Gram positif, Gram negatif maupun jamur. Gangguan absorpsi dapat terjadi
bila pemberian neomisin per oral 3gr/lebih dalam sehari. Paromomisin oral
juga menimbulkan gangguan absorpsi.

e. Indikasi dan kontraindikasi antibiotik aminoglycosida


Indikasi
1. Kegunaan antibiotik aminoglikosida adalah untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri aerob gram negatif, misalnya Pseudomonas,
Acinetobacter, dan Enterobacter.
2. Antibiotik golongan ini, misalnya streptomycin berguna untuk pengobatan
penyakit TBC meskipun saat ini penggunaanya untuk ini relatif jarang karena
alasan toksisitas dan ketidaknyaman saat pemberian.
3. Secara umum antibiotik ini digunakan untuk terapi infeksi serius pada saluran
pencernaan, infeksi saluran kemih, dan infeksi pada saluran pernafasan.
Kontraindikasi
1. Antibiotik golongan aminoglikosida sebaiknya tidak diberikan pada pasien
miastenia gravis karena dapat memperburuk kondisi pasien tersebut.
2. Pemberian antibiotik aminoglikosida pada pasien penderita penyakit
mitokondria dapat mengakibatkan terjadinya gangguan terjemahan mtDNA.
3. Jangan memberikan antibiotik golongan ini pada penderita gangguan
pendengaran, gangguan organ jantung dan ginjal.

f. Interaksi antibiotik aminoglycosida


1. Amikasin dan gentamisin, dengan Amfoterisin B dapat menurunkan clearance
dan meningkatkan nephrotoxicity.
2. Gentamisin dan tobramisin, dengan cephalosporins dapat meningkatkan efek
nephrotoxicity.
3. Aminoglikosida dengan asam etakrinat dapat menyebabkan nephrotoxicity
4. Tobramisin dengan Miconazole, dapat menurunkan kadar dari tobramisin.
5. Aminoglikosida terutama gentamisin dan tobramisin diinaktivasi oleh
penicillin. Mekanisme : gugus amino dari aminoglikosida akan bereaksi
dengan cincin beta laktam kedua AB tidak aktif.
Penisilin anti pseudomonas, yaitu: karbenisillin, tikarsillin, mezlosilliq
azlosillin, piperazillin, yang umurn diberikan dalam dosis besar ternyata
menginaktivasi aminoglikosid, khususnya gentamisin dan tobramisin.
Belum ada bukti bahwa furosemid dan asam etakrinat memngkatkan ototoksisitas
aminoglikosid. Sebelum ada kepastian bahwa tidak ada interaksi, penggunaan
gabungan kedua obat yang ototoksik tersebut memerlukan pengamatan cermat
terhadap tanda dan gejala nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Jugajangan lupa
mengontrol keadaan hidrasi pasien pada pemberian kombinasi obat tersebut
karena keadaan dehidrasi meningkatkan kadar obat dan toksisitasnya.
Peningkatan nefrotoksisitas juga dilaporkan terjadi bila aminoglikosid
diberikan bersama metoksifluran, sefaloridin, amfoterisin B, siklosporin atau
indometasin intravena yang diberikan untuk menutup duktus arteriosi.rs patenpada
neonatus. Blokade neuromuskuler oleh pelumpuh otot (suksinilkolin,tubokurarin)
dapat diperberat oleh aminoglikosid sehingga terjadi paralisis
pernafasan. Absorpsi digoksin agaknya dipengaruhi oleh neomisin yang diberikan
oral sehingga kadar digoksin perlu dipantau bila kedua obat ini diberikan
bersamaan.

g. Dosis dan aturan pakai antibiotik aminoglycosida


Dosis satu kali sehari. Aminoglikosida umumnya diberikan 2-3 kali sehari
dalam dosis terbagi, namun sekarang lebih sering digunakan dosis satu kali sehari
asalkan kadar serum memadai. Namun demikian sebaiknya mengacu pada
panduan lokal mengenai kesetaraan dosis dengan kadar dalam serum. emantauan
kadar obat dalam serum dapat menghindari kadar yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah, sehingga dapat mencegah toksisitas dan juga menjamin efikasi. Pada
pasien dengan fungsi ginjal normal, kadar aminoglikosida sebaiknya diukur
setelah 3 atau 4 regimen dosis ganda harian. Pasien dengan gangguan ginjal
memerlukan pengukuran kadar aminoglikosida yang lebih awal dan lebih sering.
Untuk regimen dosis ganda harian, sampel darah sebaiknya diambil kira-kira 1
jam setelah pemberian intramuskular atau intravena (kadar puncak) dan juga
sesaat sebelum pemberian dosis berikutnya (kadar terendah). Untuk regimen dosis
sekali sehari, lihat panduan pemantauan kadar serum. Pengukuran kadar serum
sebaiknya dilakukan pada semua pasien, termasuk anak, bayi, neonatus, lansia,
dan pasien obes dan fibrosis sistik, atau pada pemberian dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal.

h. Penyimpanan antibiotik aminoglycosida


penyimpanan pada suhu 2-30 derajat Jangan disimpan di refrigerator serta
simpan dalam wadah tertutup dan kering

i. contoh obat dan nama pasaran antibiotic aminoglycosida


Contoh Nama Obat
1. Streptomycin
Diperoleh dari Streptomyces griseus oleh Walskman (1943) dan sampai
sekarang penggunaannya hampir terbatas hanya untuk tuberkulosa. Toksisitasnya
sangat besar karena dapat menyebabkan kerusakan pada saraf otak ke 8 yang
melayani organ keseimbangan dan pendengarna. Gejala awalnya adalah sakit
kepala, vertigo, mual dan muntah. Kerusakan bersifat reversible, artinya dapat
pulih kembali kalau penggunaan obat diakhiri meski kadang-kadang tidak
seutuhnya.
Resistensinya sangat cepat sehingga dalam penggunaan harus dikombinasi
dengan INH dan PAS Na atau Rifampisin. Pemberian melalui parenteral karena
tidak diserap oleh saluran cerna. Derivat streptomisin, dehidrostreptomisin
menyebabkan kerusakan organ pendengaran lebih cepat dari streptomisin
sehingga obat ini tidak digunakan lagi sekarang.
2. Neomycin
Diperoleh dari Streptomyces fradie oleh Walksman. Tersedia untuk
penggunaan topical dan oral, penggunaan secara parenteral tidak dibenarkan
karena toksik. Antibiotic ini baik untuk usus sehingga digunakan untuk sterilisasi
usus sebelum operasi. Penggunaan lokal banyak dikombinasikan dengan
antibiotic lain, seperti Polimiksin B dan Basitrasin untuk menghindari terjadinya
resistensi.
3. Framycetin
Diperoleh dari Streptomyces decaris. Rumus kimia dan khasiatnya mirip
Neomisin. Framisetin hanya digunakan secara lokal seperti salep atau kassa yang
diimpragnasi.
4. Paromomycin
paromomisina (paromomycin) adalah antibiotika amoebisidal yang termasuk
golongan aminoglikosida. Antibiotik yang juga dikenal dengan nama monomycin
dan aminosidine ini bekerja dengan cara mengikat secara ireversibel sub unit 16s
dari ribosom prokariotik bakteri yang peka sehingga menghambat sintesa protein
yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri itu. paromomisina
(paromomycin) mempunyai spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram negatif
maupun gram positif. Efektivitas paromomisina (paromomycin) terhadap
bakteri Escherichia coli dan Staphylococcusaureus telah terbukti.
5. Kanamycin
Diperoleh dari Streptomyces kanamyceticus oleh Umezawa pada tahun 1955.
Persediaan dalam bentuk larutan atau bubuk kering untuk injeksi, pemakaian oral
hanya untuk infeksi usus atau membersihkan usus untuk persiapan pembedahann.
Berkhasiat bakteriostatik pada basil TB, bahkan yang resisten terhadap
Streptomisin sehingga menjadi obat pilihan kedua bagi penderita TBC. Selain itu
digunakan dalam pengobatan infeksi saluran kemih oleh pseudomonas (suntikan).
Efek samping : gangguan keseimbangan dan pendengaran, toksis terhadap ginjal.
6. Amikacin
Amikacin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang merupakan hasil
sintesis dari kanamycin yang digunakan secara luas untuk pengobatan infeksi
bakteri. Antibiotik ini bekerja dengan cara mengikat ribosom 30s pada bakteri
yang menyebabkan kegagalan pembacaan mRNA sehingga bakteri tidak mampu
mensintesa protein untuk pertumbuhannya.
7. Dibekacin
Dibekacin atau 2′-4′ dideoksikanamisin-B adalah antibiotika semisintetik
golongan aminoglikosida derivat dari kanamisin. Dibekacin bekerja dengan cara
menghambat ikatan ribosom antara formylmethionyl-tRNA. Antibiotik ini
memiliki aktivitas bakterisida yang potensial melawan bakteri gram positif dan
negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Klebsiella pneumoniae
dan strain bakteri Escherichia coli dan Staphylococci yang resisten.
8. Tobramycin
Tobramisina (tobramycin) adalah antibiotik yang termasuk golongan
Aminoglikosida yang digunakan secara luas untuk berbagai infeksi bakteri
khususnya bakteri gram negatif. tobramisina (tobramycin) bekerja dengan cara
mengikat ribosom 30s dan 50s pada bakteri yang menyebabkan kegagalan
pembacaan mRNA sehingga bakteri tidak mampu mensintesa protein untuk
pertumbuhannya.Dihasilkan oleh Stapylococcus tenebrarius. Toksisitasnya paling
ringan, khasiat, efek samping seperti gentamisin sehingga dapat dipakai sebagai
pengganti gentamisin.
9. Gentamicin
Diperoleh dari Mycromonospora purpurea. Berkhasiat terhadap infeksi oleh
kuman gram negatiff seperti Protus, Pseudomonas, Klebsiella, Enterobacter yang
antara lain dapat menyebabkan meningitis, osteomilitis pneumonia, infeksi luka
bakar, infeksi saluran kencing dan THT. Oleh karena itu sebaiknya penggunaan
gentamisin secara topical khususnya di rumah sakit dibatasi agar tidak terjadi
resistensi pada kuman-kuman yang sensitive.
Efek samping : gangguan keseimbangan dan pendengaran, toksis terhadap ginjal.
Sediaan : dalam bentuk injeksi dan salep (topical)
AMIKASIN
Indikasi:
infeksi Gram negatif yang resisten terhadap gentamisin.
Peringatan:
lihat gentamisin.
Kontraindikasi:
lihat gentamisin.
Efek Samping:
lihat gentamisin.
Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus, 15 mg/kg bb/hari dibagi dalam
2 kali pemberian. Lihat juga catatan di atas.
Keterangan:
kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak
boleh lebih dari 10 mg/liter.

GENTAMISIN
Indikasi:
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP lainnya, infeksi
bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis karena Streptococcus
viridans atau Streptococcus faecalis (bersama penisilin), pneumonia nosokomial,
terapi tambahan pada meningitis karena listeria.
Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia (sesuaikan dosis, awasi fungsi ginjal,
pendengaran dan vestibuler dan periksa kadar plasma); hindari penggunaan jangka
panjang. Lihat juga keterangan di atas.
Interaksi:
lampiran 1 (aminoglikosida).
Kontraindikasi:
kehamilan, miastenia gravis.
Efek Samping:
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada
pemberian jangka panjang, kolitis karena antibiotik.
Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus, 2-5 mg/kg bb/hari (dalam dosis
terbagi tiap 8 jam). Lihat juga keterangan di atas. Sesuaikan dosis pada gangguan
fungsi ginjal dan ukur kadar dalam plasma. ANAK di bawah 2 minggu, 3 mg/kg
bb tiap 12 jam; 2 minggu sampai 2 tahun, 2 mg/kg bb tiap 8 jam. Injeksi
intratekal: 1 mg/hari, dapat dinaikkan sampai 5 mg/hari disertai
pemberian intramuskuler 2-4 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 8 jam.
Profilaksis endokarditis pada DEWASA 120 mg. Untuk ANAK di bawah 5 tahun
2 mg/kg bb.
Keterangan:
Kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar lembah (trough)
tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.

KANAMISIN
Indikasi:
(lihat catatan di atas).
Peringatan:
lihat gentamisin.
Kontraindikasi:
lihat gentamisin.
Efek Samping:
lihat gentamisin.
Dosis:
injeksi intramuskuler, 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 12 jam. Lihat juga
keterangan di atas.
Injeksi intravena: 15-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 8-12 jam.
Keterangan:
kadar puncak tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh
lebih dari 10 mg/liter.
NEOMISIN
Indikasi:
sterilisasi usus sebelum operasi. Lihat juga keterangan di atas.
Peringatan:
lihat gentamisin. Terlalu toksik untuk penggunaan sistemik.
Kontraindikasi:
lihat gentamisin.
Efek Samping:
lihat gentamisin. Lihat juga keterangan di atas. Hindari penggunaan pada
obstruksi usus dan gangguan fungsi ginjal.
Dosis:
oral, 1 gram tiap 4 jam.

NETILMISIN
Indikasi:
infeksi berat kuman gram negatif yang resisten terhadap gentamisin.
Peringatan:
lihat gentamisin.
Kontraindikasi:
lihat gentamisin.
Efek Samping:
lihat gentamisin.
Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus: 4-6 mg/kg bb/hari sebagai
dosis tunggal atau dosis terbagi tiap 8 -12 jam. Pada infeksi berat dosis dapat naik
sampai 7,5 mg/kg bb/hari dalam tiga kali pemberian (dosis segera diturunkan bila
terdapat perbaikan klinis, biasanya setelah 48 jam). NEONATUS kurang dari 1
minggu: 3 mg/kg bb tiap 12 jam; di atas 1 minggu, 2,5-3 mg/kg bb tiap 12 jam;
ANAK 2-2,5 mg/kg bb tiap 8 jam. Infeksi saluran kemih, 150 mg/hari (dosis
tunggal) selama 5 hari. Gonore: 300 mg dosis tunggal.
Keterangan: kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 12 mg/liter dan kadar
lembah tidak boleh lebih dari 2 mg/liter
TOBRAMISIN
Indikasi:
lihat gentamisin dan catatan di atas.
Peringatan:
lihat gentamisin.
Kontraindikasi:
lihat gentamisin.
Efek Samping:
lihat gentamisin.
Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus 3 mg/kg bb/hari dalam dosis
terbagi tiap 8 jam. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 5 mg/kg bb/hari
dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam (turunkan menjadi 3 mg/kg bb/hari setelah terjadi
perbaikan klinis). NEONATUS: 2 mg/kg bb tiap 12 jam. BAYI/ANAK di atas 1
minggu 2-2,5 mg/kg bb tiap 8 jam.
Infeksi saluran kemih, 2-3 mg/kg bb/hari, intramuskular, dosis tunggal.
Keterangan:
kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar lembah tidak
boleh lebih dari 2 mg/liter.

Nama Obat di Pasaran :


1. ALOSTIL (Phapros)
Komp: Amikacin Sulfate
2. ETHIGENT (Ethica)
Komp: Gentamicin Sulfate
3. GARAMYCIN (Schering-Plough)
Komp: Gentamicin Sulfate
4. GLYBOTIC (Sanbe)
Komp: Amikacin
5. KANAMYCIN MEIJI (Meiji)
Komp: Kanamycin monosulfate
6. MIKAJECT (Mahakam Beta Farma)
Komp: Amikacin Sulfate
7. MIKASIN (Kalbe Farma)
Komp: Amikacin Sulfate
8. OTTOGENTA (Otto)
Komp: Gentamicin sulfate
9. SAGESTAM (Sanbe)
Komp: Gentamicin sulfate
10. TIMACT INJEKSI (Fahrenheit)
Komp: Gentamicin Sulfate (IDI, 2012).
BAB 3
PENUTUP

a. Kesimpulan
Aminoglikosida secara umum termasuk golongan antibiotik yang digunakan
untuk infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri dengan mekanisme pengobatan
yang bekerja dengan menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri
tersebut. Terdapat beberapa jenis pada golongan antibiotik ini, seperti gentamisin
sulfat, amikasin sulfat, streptomisin sulfat, tobramisin sulfat, dan neomisin sulfat.
Secara kimiawi, golongan antibiotik aminoglikosida dibentuk oleh
sekelompok aminocyclitol yang "ditempeli" oleh gula amino pada ring
aminoclitol di "glycosidic linkage". Dikarenakan terdapat beberapa perbedaan
kecil subsitusi pada susunan molekul, maka terdapat beberapa bentuk yang
berbebeda pada setiap satu "amino-glycoside". Contohnya gentamisin adalah
suatu senyawa kompleks yang dibentuk oleh gentamisin C1 dan C2. Kelompok

amino berkontribusi pada sifat dasar kelas ini antibiotik, dan gugus hidroksil pada
gugus gula kelarutan air yang tinggi dan kelarutan lemak yang kurang.

b. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis
mohon kritk dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

http://ilmuantibiotik.blogspot.co.id/2013/04/golongan-amino-glikosida.html
http://www.farmasiana.com/farmasi/aminoglikosida/
Dalimnthe, A. (2009). Interaksi pada Obat Antimikroba. Medan : Departemen
Farmakologi Fakultas
Harkness, R. (1989). Interaksi Obat. Bandung : Penerbit ITB
ISFI.(2008). ISO. (Informasi Spesialite Obat) Indonesia. Bandung : PT. Errita
Pharma.
Sukandar, E.Y. (2008). Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT.ISFI
Tanu, I. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta : UI Press.

Anda mungkin juga menyukai