Anda di halaman 1dari 31

IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO TERJADINYA RESISTENSI

ENTEROBACTERIACEAE PADA DAGING AYAM BROILER


DAN AYAM LOKAL DI KABUPATEN BOGOR

WIDYATMOKO ADE PURBO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Faktor


Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae pada Daging Ayam Broiler dan
Ayam Lokal di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Widyatmoko Ade Purbo


NIM B04090110

 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK
WIDYATMOKO ADE PURBO. Identifikasi Faktor Risiko Terjadinya Resistensi
Enterobacteriaceae pada Daging Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh ABDUL ZAHID ILYAS dan TRIOSO
PURNAWARMAN.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko terjadinya resistensi
Enterobacteriaceae pada daging ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten Bogor
serta mengetahui tindakan pencegahan yang tepat untuk menekan kejadian
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Variabel penelitian meliputi data sekunder
kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada daging ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor dan manajemen penggunaan antibiotik serta keadaan umum
peternakan ayam broiler dan ayam lokal yang diperoleh melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner terstruktur yang dirancang oleh peneliti. Data yang telah
diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode chi─square dan odds
ratio. Manajemen penggunaan antibiotik dan keadaan umum peternakan ayam
broiler yang memiliki asosiasi terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada
daging ayam broiler (P<0.05) adalah jumlah tempat minum yang kurang,
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan ketentuan, tidak adanya pergantian
jenis antibiotik untuk jenis penyakit yang sama, dan dosis penggunaan antibiotik
yang selalu sama. Pada manajemen penggunaan antibiotik dan keadaan umum
peternakan ayam lokal tidak memiliki asosiasi terhadap kondisi resistensi
Enterobacteriaceae pada daging ayam lokal. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena penggunaan antibiotik bagi ternak ayam lokal hanya sebesar
16.7%. Tindakan pencegahan untuk menekan kejadian resistensi
Enterobacteriaceae dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan
ternak terutama dalam hal penggunan antibiotik bagi ternak serta menggunakan
alternatif growth promotor sebagai pengganti antibiotik diantaranya adalah
probiotik, bahan organik, imunomodulator, asam–asam organik, minyak esensial,
dan enzim.
Kata kunci: Antibiotik, Daging ayam, Enterobacteriaceae, Resistensi.

ABSTRACT

WIDYATMOKO ADE PURBO. Identification of Risk Factors Caused Occurrence


Enterobacteriaceae Resistance within Broiler and Native Chicken Meat in Bogor.
Supervised by ABDUL ZAHID ILYAS and TRIOSO PURNAWARMAN.
This research was aimed to identify risk factors associated with the
Enterobacteriaceae resistance within broiler and native chicken meat in Bogor and
to know the proper precautions to reduce the incidence againts bacterial resistance
towards antibiotics. The research variables used secondary data that included
Enterobacteriaceae resistance data within broiler and native chicken meat in Bogor
and management within antibiotics and the common condition of the broiler and
native poultry were analyzed with a chi─square and odds ratio analysis method.
Management within antibiotics and the common condition of the broiler poultry
was associated to Enterobacteriaceae resistance data of the broiler meat (P<0.05)
was deficient within chicken drinker, improperly used antibiotics on broiler poultry,
unchanged antibiotics type for the same disease, and dose of antibiotic used
invariably. Management within antibiotics and the common condition of the native
poultry was unassociated to Enterobacteriaceae resistance data of the native
chicken meat. This was potentially caused by the antibiotics was used for native
poultry amounted only 16.7%. Prevention to suppress Enterobacteriaceae
resistance can be done by improved management of poultry husbandry mainly in
management within antibiotics and alternative use of growth promoters which are
probiotics, organic growth promoters, immunomodulatory, organic acids, essential
oils, and enzymes.
Keywords: Antibiotics, Chicken meat, Enterobacteriaceae, Resistance.
IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO TERJADINYA RESISTENSI
ENTEROBACTERIACEAE PADA DAGING AYAM BROILER
DAN AYAM LOKAL DI KABUPATEN BOGOR

WIDYATMOKO ADE PURBO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
rahmat dan karunia─Nya sehingga karya ilmiah untuk tugas akhir (skripsi) berjudul
“Identifikasi Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae pada Daging
Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten Bogor.” berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi
dan Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi selaku pembimbing yang telah
memberi saran dan wawasan dalam proses penelitian hingga penulisan karya ilmiah
ini terselesaikan. Kepada Dr Dra Nastiti Kusumorini sebagai dosen pembimbing
akademik, penulis haturkan terima kasih atas motivasi dan bimbingannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah Sudik, Mommy Siti
Oemroh, Widyanto Purbo, dan Wida Ayu Pratiwi beserta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan
kepada kawan penelitian Yulita Mardiani atas segala semangat, bantuan, dan
kerjasamanya selama penelitian dan proses penulisan, serta kawan─kawan
Geochelone FKH 46 terkhusus Risnia Buatama, Acromion FKH 47, Tim Pendakian
Indonesia Summit 2014, dan Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar FKH IPB
yang selama ini telah bersama─sama menempuh suka dan duka demi mendapatkan
ilmu di almamater tercinta.
Semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2014

Widyatmoko Ade Purbo


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2
Sumber Data 2
Besaran dan Jenis Sampel 2
Variabel yang Diamati dan Pengodean 3
Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6


Keadaan Umum Peternakan Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten
Bogor 6
Manajemen Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Ayam Broiler dan
Ayam Lokal di Kabupaten Bogor 10
Kondisi Resistensi Enterobacteriaceae pada Peternakan Ayam Broiler dan
Ayam Lokal di Kebupaten Bogor 12
Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae Terkait Keadaan
Umum Peternakan 13
Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae Terkait Manajemen
Penggunaaan Antibiotik di Peternakan 14
Pencegahan Resistensi Enterobacteriaceae pada Peternakan Ayam Broiler
dan Ayam Lokal di Kabupaten Bogor 16

SIMPULAN DAN SARAN 17


Simpulan 17
Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 17

RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL
1 Besaran dan jenis sampel untuk setiap kecamatan di Kabupaten Bogor 3
2 Definisi operasional untuk setiap variabel yang diamati 3
3 Keadaan umum peternakan ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten
Bogor 7
4 Ketentuan tempat pakan dan tempat minum per ekor 8
5 Jenis antibiotik komersial 10
6 Manajemen penggunaan antibiotik peternakan ayam broiler dan ayam
lokal di Kabupaten Bogor 11
7 Kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada peternakan ayam broiler dan
ayam lokal 12
8 Asosiasi keadaan umum peternakan ayam broiler dan ayam lokal
terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae 14
9 Asosiasi manajemen penggunaan antibiotik peternakan ayam broiler
dan ayam lokal terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae 15
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010 tercatat mencapai


259 juta orang dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49% per tahun
(Deptan 2013). Tingginya tingkat pertumbuhan populasi penduduk harus diimbangi
dengan ketersediaan pangan. Secara umum sumber pangan bagi manusia terbagi
menjadi dua yaitu sumber pangan hewani dan sumber pangan nabati. Salah satu
pangan asal hewan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
adalah daging ayam (Deptan 2012). Hal ini dikarenakan daging ayam memiliki
harga yang relatif lebih terjangkau bila dibandingkan dengan sumber pangan asal
hewan lainnya. Selain itu, daging ayam merupakan sumber protein yang sangat
penting bagi tubuh manusia karena mengandung asam amino esensial seperti lisin,
metionin, sistein, dan triptofan (Yunilas 2005).
Jenis ayam yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah ayam
broiler dan ayam lokal. Ayam lokal merupakan plasma nutfah ternak asli Indonesia
yang banyak dimiliki dan dipelihara oleh masyarakat pedesaan Jawa Barat dengan
tujuan sebagai sumber pangan serta sumber pendapatan dan tabungan bagi suatu
keluarga (Dinas Peternakan Kabupaten Bogor 2000). Berdasarkan data populasi
ternak unggas tahun 2010, produksi ayam broiler di Kabupaten Bogor sebanyak 14
363 496 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2010). Jumlah
produksi tersebut tidak sebanding dengan tingginya permintaan daging ayam di
Kabupaten Bogor. Hal tersebut memicu peternak ayam broiler dan ayam lokal
untuk meningkatkan produksinya dengan menerapkan pola manajemen beternak
ayam secara intensif. Salah satu cara yang banyak dilakukan oleh peternak adalah
meningkatkan efisiensi pakan dengan cara mencampurkan antibiotik dalam pakan
sebagai pemacu pertumbuhan ternak (Antibiotic Growth Promotors/AGP).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Barton (2000) diungkapkan
bahwa penggunaan antibiotik sebagai AGP dapat memicu terjadinya resistensi
bakteri terhadap antibiotik.
Kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik sangatlah penting untuk
diperhatikan karena telah terbukti bahwa bakteri yang telah mengalami resistensi
dapat menyebabkan penyakit yang serius pada manusia. Sebagai salah satu contoh
adalah studi kasus yang telah dilakukan oleh Levy (1998) yang mengindikasikan
terjadinya penyebaran secara langsung bakteri komensal famili Enterobacteriaceae
yang resisten dari hewan ke manusia. Hal serupa juga telah diungkapkan oleh Van
Den Bogaard et al. (2000), Butaye et al. (2003) dan WHO (1997) bahwa beberapa
foodborne bakteri seperti Salmonella, Campylobacter, Enterococci, dan
Escherichia coli yang resisten terhadap antibiotik mampu mentransfer gen resisten
ke manusia melalui rantai makanan atau secara kontak langsung. Resistensi bakteri
dalam tubuh manusia menyebabkan kegagalan pengobatan seperti pada kasus
infeksi gastrointestinal yang disebabkan oleh Campylobacter dan Salmonella. Oleh
karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya
resistensi bakteri yang berkaitan dengan manajemen penggunaan antibiotik di
peternakan ayam guna menekan tingkat kejadian resistensi Enterobacteriaceae
pada daging ayam.
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko terjadinya resistensi


Enterobacteriaceae pada daging ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten Bogor
serta mengetahui tindakan pencegahan yang tepat untuk menekan kejadian
resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai terjadinya


resistensi Enterobacteriaceae pada daging ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor serta tindakan pencegahan yang tepat untuk mengatasi hal
tersebut.

METODE PENELITIAN

Sumber Data

Sumber data adalah data sekunder yang diperoleh dari kegiatan penelitian
cemaran bakteri komensal yang mengalami multidrug resistant pada daging ayam
yang dilakukan oleh peneliti dari Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner
(Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH–IPB)
bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Kabupaten
Bogor. Data terdiri atas data resistensi Enterobacteriaceae pada daging ayam serta
manajemen penggunaan antibiotik dan keadaan umum peternakan ayam broiler dan
ayam lokal. Data resistensi Enterobacteriaceae diperoleh dari hasil uji
Laboratorium Kesmavet FKH–IPB, adapun data manajemen penggunaan antibiotik
dan keadaan umum peternakan ayam broiler dan ayam lokal diperoleh melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang dirancang oleh
peneliti. Responden adalah peternak ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten
Bogor.

Besaran dan Jenis Sampel

Jenis sampel yang digunakan dalam penilitian ini adalah daging ayam broiler
dan ayam lokal. Total sampel yang digunakan adalah 60 sampel yang terdiri dari
30 sampel daging ayam broiler dan 30 sampel daging ayam lokal. Sampel daging
tersebut diperoleh langsung dari peternakan di Kabupaten Bogor. Peternakan
tersebut terletak di 9 Kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Dramaga, Pamijahan,
Ciampea, Rumpin, Gunung Sindur, Parung, Tenjolaya, Ciseeng, dan
Cibungbulang. Besaran dan jenis sampel untuk setiap Kecamatan di Kabupaten
Bogor tersedia pada Tabel 1.
3

Tabel 1 Besaran dan jenis sampel untuk setiap kecamatan di Kabupaten Bogor
Jumlah responden Jumlah sampel daging ayam
Kecamatan
(peternak ayam) Broiler (daging) Lokal (daging)
Dramaga 24 13 11
Tenjolaya 6 1 5
Parung 9 4 5
Rumpin 6 3 3
Gunung Sindur 2 2 –
Pamijahan 5 1 4
Cibungbulang 1 1 –
Ciampea 6 5 1
Ciseeng 1 – 1
Jumlah 60 30 30

Variabel yang Diamati dan Pengodean

Variabel yang diamati meliputi keadaan umum peternakan ayam broiler dan
ayam lokal, manajemen penggunaan antibiotik serta resistensi Enterobacteriaceae
pada daging ayam. Variabel yang termasuk keadaan umum peternakan ayam
meliputi jenis usaha, jenis peternakan, ketersediaan tempat minum, sumber air,
luasan kandang serta jenis pakan yang digunakan. Variabel yang termasuk dalam
manajemen penggunaan antibiotik meliputi program antibiotik, antibiotik sebagai
pengobatan, antibiotik digunakan untuk menjaga kondisi ternak, antibiotik dalam
kandungan pakan, kesesuaian penggunaan antibiotik, cara penggunaan antibiotik,
desinfektan air minum, serta pergantian jenis antibiotik. Variabel yang termasuk
dalam resistensi Enterobacteriaceae adalah kondisi resistensi Enterobacteriaceae
pada daging ayam broiler dan ayam lokal yang diuji dengan menggunakan dua
metode yaitu pengenceran dan agar difusi dengan media Mueller Hinton Agar
(MHA). Definisi operasional untuk setiap variabel tersedia pada Tabel 2.

Tabel 2 Definisi operasional untuk setiap variabel yang diamati


No Peubah Definisi Alat ukur Cara Skala ukur
operasional mengukur
A. Keadaan Umum Peternakan Ayam
1 Jenis usaha Jenis usaha di Kuesioner Dengan Ordinal
peternakan melakukan 1=Kemitraan
wawancara 2=Mandiri
di
peternakan
2 Jenis peternakan Jenis peternakan Kuesioner Dengan Ordinal
berdasarkan melakukan 1=Peternakan
jumlah wawancara rakyat
keseluruhan ayam di (≤15 000)
yang ada di peternakan 2=Pengusaha
peternakan kecil (15 000–
65 000)
3=Pengusaha
peternakan
(>65 000)
4

No Peubah Definisi Alat ukur Cara Skala ukur


operasional mengukur
3 Ketersediaan Kecukupan jumlah Kuesioner Dengan Ordinal
tempat minum tempat minum melakukan 1=Kurang
terhadap jumlah wawancara 2=Cukup
ayam di kandang di
pengambilan peternakan
sampel
4 Sumber air Sumber air di Kuesioner Dengan Ordinal
peternakan melakukan 1=PDAM
wawancara 2=Sumur
di 3=Sungai
peternakan 4=Mata air
5 Luasan kandang Kecukupan luas Kuesioner Dengan Ordinal
kandang terhadap melakukan 1=Kurang
jumlah ayam di wawancara 2=Cukup
kandang di
pengambilan peternakan
sampel
6 Pakan Jenis pakan yang Kuesioner Dengan Ordinal
digunakan di melakukan 1=Hanya
peternakan wawancara pakan
di komersial
peternakan 2=Hanya
pakan non
komersial
/campur
sendiri
3=Kombinasi
pakan
komersial dan
non komersial
/campur
sendiri
B. Manajemen Penggunaan Antibiotik
1 Program Program Kuesioner Dengan Ordinal
antibiotik penggunaan melakukan 0=Tidak
antibiotik terhadap wawancara di 1=Ya
ternak ayam peternakan
2 Antibiotik Antibiotik Kuesioner Dengan Ordinal
untuk digunakan hanya melakukan 0=Tidak
pengobatan untuk pengobatan wawancara di 1=Ya
saat ternak sakit peternakan
3 Antibiotik Antibiotik Kuesioner Dengan Ordinal
untuk menjaga digunakan rutin melakukan 0=Tidak
kondisi ternak untuk menjaga wawancara di 1=Ya
kondisi ternak agar peternakan
tidak sakit

4 Antibiotik Antibiotik dalam Kuesioner Dengan Ordinal


dalam kandungan pakan melakukan 0=Tidak
kandungan sebagai pemacu wawancara di 1=Ya
pakan pertumbuhan peternakan
5

No Peubah Definisi Alat ukur Cara Skala ukur


operasional mengukur
5 Kesesuaian Kesesuaian Kuesioner Dengan Ordinal
penggunaan penggunaan melakukan 1=Tidak
antibiotik antibiotik terhadap wawancara di sesuai
jenis penyakit yang peternakan 2=Sesuai
diobati

6 Cara pemberian Cara pemberian Kuesioner Dengan Ordinal


antibiotik antibiotik untuk melakukan 1=Dicampur
pengobatan wawancara di dalam pakan
peternakan 2=Dicampur
dalam air
minum
3=Melalui
penyuntikan

7 Desinfektan air Desinfektan Kuesioner Dengan Ordinal


minum digunakan untuk melakukan 0=Tidak
air minum ternak wawancara di 1=Ya
peternakan

8 Penggunaan air Antibiotik Kuesioner Dengan Ordinal


minum yang dilarutkan dengan melakukan 0=Tidak
mengandung menggunakan air wawancara di 1=Ya
desinfektan minum yang peternakan
untuk mengandung
melarutkan desinfektan
antibiotik

9 Pergantian jenis Ada pergantian Kuesioner Dengan Ordinal


antibiotik jenis antibiotik melakukan 0=Tidak
untuk kasus wawancara di 1=Ya
penyakit yang peternakan
sama

10 Dosis untuk Dosis/takaran yang Kuesioner Dengan Ordinal


jenis antibiotik diberikan untuk melakukan 1=Selalu
yang sama jenis antibiotik wawancara di sama
yang sama peternakan 2=Bertingkat
3=Dosis
/takaran yang
tidak tentu
C. Resistensi Enterobacteriaceae
1 Enterobacteria– Pengujian untuk Uji Pengujian Ordinal
ceae memperkirakan Laboratorium dengan 0=Tidak
kondisi resistensi menggunakan resisten
Enterobacteriaceae dua metode 1=Resisten
pada daging ayam yaitu
pengenceran
dan agar
difusi dengan
media
Mueller
Hinton Agar
(MHA)
6

Pengukuran pada ketersediaan tempat minum dibagi dalam dua kategori


yaitu cukup dan kurang. Adapun untuk mengetahui kriteria cukup atau kurang
diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan rasio perbandingan antara
jumlah dan ukuran tempat minum dengan jumlah ayam yang terdapat dalam
kandang pengambilan sampel. Rasio perbandingan tersebut berdasarkan ketentuan
manajemen pemeliharaan ayam pedaging yang baik yaitu 60 buah tempat minum
ayam ukuran minimal 1G (kapasitas 3.250─3.350 ml) untuk 1 000 ekor ayam
(Fadilah et al. 2007).
Pengukuran pada luasan kandang dibagi dalam dua kategori yaitu cukup dan
kurang. Adapun untuk mengetahui kriteria cukup atau kurang diperoleh melalui
perhitungan dengan menggunakan rasio perbandingan antara ukuran luas kandang
(per m2) dengan jumlah ayam yang terdapat dalam kandang pengambilan sampel.
Menurut Hardjosworo dan Rukmiasih (2000), kepadatan kandang yang baik untuk
ayam umur 15–21 hari adalah 8–10 ekor/m2. Pengukuran kesesuaian penggunaan
antibiotik dibagi dalam dua kategori yaitu sesuai dan tidak sesuai. Adapun untuk
mengetahui kriteria sesuai atau tidak sesuai diperoleh melalui pengolahan hasil
wawancara dihubungkan dengan ketentuan penggunaan antibiotik yang tercantum
dalam indeks obat hewan tahun 2009.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui keadaan


umum dan kondisi manajemen penggunaan antibiotik pada peternakan ayam broiler
dan ayam lokal di Kabupaten Bogor. Data keadaan umum dan kondisi manajemen
penggunaan antibiotik pada peternakan ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten
Bogor kemudian diuji asosiasi terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada
daging ayam dari masing─masing peternakan menggunakan metode chi─square
dan odds ratio untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya resistensi
Enterobacteriaceae terhadap antibiotik. Data dianalisis dengan piranti lunak
menggunakan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Peternakan Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten


Bogor

Setiap peternakan memiliki sistem manajemen pemeliharaan yang


berbeda─beda. Pemeliharaan ayam broiler memerlukan manajemen beternak
intensif mulai dari pengadaan bibit, pemberian pakan, pencegahan dan
pengendalian penyakit (Fadilah et al. 2007), sedangkan untuk ayam lokal
pemeliharaan dapat dilakukan secara tradisional karena ayam lokal memiliki
kondisi imunitas yang lebih kuat. Dari keseluruhan 60 responden yang terdiri dari
30 peternak responden ayam broiler dan 30 peternak responden ayam lokal
didapatkan informasi keadaan umum masing─masing peternakan (Tabel 3).
7

Tabel 3 Keadaan umum peternakan ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten
Bogor
Peubah Kategori Peternakan ayam
Broiler (N=30) Lokal (N=30)
n % n %
Jenis usaha Kemitraan 24 80.0 0 0.0
Mandiri 6 20.0 30 100.0
Jenis peternakan Peternakan rakyat 29 96.7 30 100.0
(≤15 000)
Pengusaha kecil 1 3.3 0 0.0
(15 000 ─ 65 000)
Pengusaha peternakan 0 0.0 0 0.0
(>65 000)
Ketersediaan tempat minum Kurang 22 73.3 17 56.7
Cukup 8 26.7 13 43.3
Sumber air PDAM 0 0.0 1 3.3
Sumur 21 70.0 24 80.0
Sungai 0 0.0 0 0.0
Mata air 9 30.0 5 16.7
Luasan kandang Kurang 8 26.7 5 16.7
Cukup 22 73.3 25 83.3
Pakan Pakan komersial 29 96.7 0 0.0
Pakan non komersial 0 0.0 27 90.0
/campur sendiri
Kombinasi pakan 1 3.3 3 10.0
komersial dan non
komersial /campur
sendiri

Sebesar 80.0% peternak responden ayam broiler berjenis usaha kemitraan dan
hanya 20.0% berjenis usaha mandiri (Tabel 3). Peternak ayam broiler memilih
berjenis usaha kemitraan dengan alasan bahwa pihak perusahaan yang bermitra
bersedia memberikan bantuan modal serta menanggung biaya oprasional utama,
seperti biaya pakan dan obat─obatan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 472/Kpts/TN.330/6/96, usaha peternakan ayam broiler terbagi menjadi tiga
kategori, yaitu peternak rakyat, pengusaha kecil peternakan, dan pengusaha
peternakan (Kementan RI 1996). Peternak rakyat adalah peternak yang
mengusahakan budidaya ayam dengan jumlah populasi maksimal 15 000 ekor per
periode. Pengusaha kecil peternakan adalah peternak yang membudidayakan ayam
dengan jumlah populasi maksimal 65 000 ekor per periode. Pengusaha peternakan
adalah peternak yang membudidayakan ayam dengan jumlah populasi melebihi 65
000 ekor per periode. Berdasarkan pembagian tersebut, mayoritas peternak ayam
broiler di Kabupaten Bogor (96.7%) merupakan peternak rakyat dengan jumlah
populasi kurang dari 15 000 ekor (Tabel 3). Hal ini didukung oleh Fadillah et al.
2007 bahwa secara kuantitatif dilaporkan terdapat 75 000 peternak rakyat yang
berperan dan mendominasi 65% dari produksi unggas nasional.
8

Peralatan pendukung kandang seperti tempat pakan dan tempat minum ayam
disesuaikan jumlahnya dengan luas kandang dan jumlah populasi ayam dalam
kandang. Menurut Hardjosworo dan Rukmiasih (2000), kepadatan kandang yang
baik untuk ayam umur 15–21 hari adalah 8–10 ekor/m2, sedangkan untuk jumlah
tempat pakan dan tempat minum tersedia dalam Tabel 4. Sebesar 73.3% peternak
responden ayam broiler memiliki luas kandang yang sesuai (cukup) terhadap
jumlah populasi dalam kandang sedangkan sebesar 26.7% memiliki luas kandang
yang kurang (sempit) (Tabel 3). Populasi yang terlalu padat dalam kandang yang
sempit dapat menyebabkan tidak meratanya pertumbuhan ayam akibat keterbatasan
mobilitas ayam untuk mencapai tempat pakan. Selain itu, populasi yang terlalu
padat juga dapat memicu munculnya penyakit bagi ternak ayam.

Tabel 4 Ketentuan tempat pakan dan tempat minum per ekor


Umur ayam Luas tempat pakan per ekor Luas tempat minum per
(minggu) (cm2) ekor (cm2)
0–4 2.5 0.5
4–8 2.5 0.5
Sumber: Fadilah et al. 2007

Sebesar 73.3% peternak responden ayam broiler memiliki jumlah tempat


minum yang kurang dan hanya 26.7% yang memiliki jumlah tempat minum yang
mencukupi. Fadilah et al. (2007) menyebutkan bahwa ketentuan manajemen
pemeliharaan ayam pedaging yang baik untuk ayam umur 15–28 hari yaitu 60 buah
tempat minum ayam ukuran minimal 1G (kapasitas 3.250─3.350 ml) untuk 1000
ekor ayam. Kurang tersedianya jumlah tempat minum ayam disebabkan
ketidaktahuan peternak tentang ketentuan manajemen berternak yang baik serta
beberapa peternak mengaku sengaja melakukan hal tersebut untuk menekan biaya
produksi. Sebesar 70.0% peternak responden ayam broiler memanfaatkan air sumur
sebagai sumber air minum bagi ternak dan 30.0% menggunakan sumber mata air
(Tabel 3). Peternak mengaku dengan menggunakan air sumur dan mata air,
peternak dapat menekan biaya produksi.
Secara umum jenis pakan ayam broiler terbagi menjadi tiga berdasarkan umur
ayam yaitu, starter, grower, dan finisher. Pakan starter diberikan pada ayam
berumur 1–14 hari, pakan grower diberikan pada ayam berumur 15–39 hari, dan
pakan finisher diberikan pada ayam berumur 40 hari sampai panen. Pakan yang
diberikan harus mengandung nutrisi seperti energi, protein, lemak, vitamin,
mineral, dan suplemen nutrisi lainnya (Fadilah et al. 2007). Saat ini telah banyak
pakan untuk ayam broiler yang beredar di pasaran dengan kandungan nutrisi yang
lengkap. Dalam pakan komersial umumnya telah ditambahkan pemacu
pertumbuhan atau growth promotor oleh pihak produsen pakan. Penambahan
growth promotor bertujuan untuk penggemukan dan meningkatkan palatabilitas
pakan sehingga pemanfaatan pakan lebih efisisen. Growth promotor yang sering
digunakan adalah antibiotik sehingga sering juga disebut sebagai antibiotic growth
promotor (AGP). AGP mampu memacu pertumbuhan ternak ayam broiler dengan
cara menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan
(Mulyantini 2010).
9

Sebesar 96.7% peternak responden ayam broiler di Kabupaten Bogor dengan


jenis usaha ternak kemitraan umumnya menggunakan pakan komersial sebagai
pakan ternak (Tabel 3). Menurut Bahri et al. (2005), hampir semua pabrik pakan
menambahkan obat hewan berupa antibiotik ke dalam pakan komersial, sehingga
sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotik.
Keadaan ini diperkuat oleh informasi bahwa sebagian besar sampel pakan ayam
dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang, dan Bekasi positif mengandung residu
antibiotik golongan tetrasiklin dan obat golongan sulfonamida (Balitvet 1990;
Balitvet 1991). Dengan demikian, apabila peternak yang menggunakan ransum
tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak
mengandung antibiotik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain
berupa resistensi terhadap antibiotik tertentu (Hurd et al. 2004). Hanya sebagian
kecil peternak responden berjenis usaha mandiri (3.3%) yang menggunakan pakan
kombinasi sebagai pakan utama bagi ternaknya. Peternak ayam broiler berjenis
usaha mandiri memilih menggunakan pakan kombinasi untuk menekan biaya
produksi. Pakan kombinasi adalah campuran dari pakan komersial dan pakan non
komersial/campur sendiri.
Peternak responden ayam lokal di Kabupaten Bogor mayoritas (100%)
berjenis usaha mandiri dengan jumlah populasi 1─15 ekor (Tabel 3). Peternak
mengungkapkan bahwa sistem pemeliharaan ternak diperoleh secara otodidak serta
informasi tambahan dari forum peternak ayam lokal yang ada di lingkungannya.
Sebesar 56.7% peternak ayam lokal memiliki jumlah tempat minum yang kurang
mencukupi (Tabel 3). Kurangnya jumlah tempat minum ayam tidak terlalu
berdampak bagi kondisi ternak. Hal ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan
ternak ayam lokal yang dilakukan secara tradisional yaitu dengan pola siang hari
ayam dilepas, dibiarkan bebas berkeliaran di pekarangan atau halaman rumah untuk
mencari makan, dan pada sore hari menjelang malam ayam akan dikandangkan
dalam kandang sederhana yang berada di samping ataupun di belakang rumah (Sari
2001).
Pada peternakan ayam lokal, sebesar 83.3% peternak responden memiliki
kandang yang sesuai (cukup) dan sisanya sebesar 16.7% memiliki kandang yang
terlalu sempit atau tidak memiliki kandang secara khusus. Menurut Rasyaf (2001)
pemeliharaan ayam secara tradisional dapat juga disebut sebagai pemeliharaan
umbaran/bebas dimana peternak tidak menyediakan kandang ayam secara khusus.
Sebagian masyarakat memanfaatkan bambu untuk membuat kandang ayam karena
bambu mudah didapatkan dan harganya relatif murah. Model kandang dibuat
bertingkat dengan atap terbuat dari anyaman daun kelapa atau yang disebut rumbia.
Peternak tidak memberikan perlakuan khusus untuk memisahkan ayam lokal muda
dengan yang sudah dewasa. Untuk ayam yang sedang bertelur, disediakan sebuah
sarang yang terbuat dari bakul atau peti bekas beralaskan koran bekas atau jerami
dan biasanya diletakkan di atas kandang atau di atas pintu rumah (Sari 2001).
Pemberian pakan umumnya dilakukan peternak sebanyak dua kali sehari
(Sari 2001). Peternak umumnya memberikan pakan pada pagi hari sebelum ayam–
ayam dilepas dan pada sore hari menjelang ayam masuk kandang. Sebesar 90%
peternak responden ayam lokal memberikan pakan non komersial/campur sendiri
sebagai sumber nutrisi utama bagi ternaknya. Jenis pakan tersebut adalah pakan dari
sisa–sisa rumah tangga, dedak, beras, menir, dan pakan komersial seperti pur untuk
anakan ayam lokal. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pakan, peternak
10

cenderung memberikan tambahan sisa sayur–sayuran seperti daun singkong, daun


sawi, kangkung, dan sebagainya. Sebelum diberikan, sayuran akan terlebih dahulu
diiris kecil–kecil kemudian dicampur dengan dedak yang telah diseduh dengan air
hangat. Peternak ayam lokal menggunakan air sumur (80%) sebagai sumber air
minum ternaknya (Tabel 3). Hal ini dilakukan untuk menekan biaya produksi
karena pemberian air minum pada ternak ayam lokal dilakukan secara tak terbatas
atau ad libitum (Rasyaf 2001).

Manajemen Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Ayam Broiler dan


Ayam Lokal di Kabupaten Bogor

Antibiotik untuk ternak memiliki konsentrasi dan keefektifan yang berbeda


tergantung dari merek dagang dan komposisi dari jenis antibiotik yang digunakan.
Penggunaan antibiotik dalam pengobatan sangat bervariasi, ada yang menggunakan
satu jenis antibiotik ada pula yang mengkombinasikan dua jenis antibiotik. Berikut
data antibiotik ternak komersial dipasaran dan telah mendapatkan sertifikasi dari
Departemen Pertanian (Tabel 5).

Tabel 5 Jenis antibiotik komersial


Dosis Lama pemberian
Jenis antibiotik
(air minum per liter) (hari)
Enrofloksasin 0.5 g 3
Ampisilin Trihidrat 1g 3─5
Amoksilin Trihidrat 1g 3─5
Amoksilin + Kolistin 0.5 g 3─5
Eritromisin 2.5 g ─
Norfloksasin 0.25 ─ 0.50 ml 3─5
Norfloksasin + Kolistin 0.25 g 3─5
Kolistin Sulfat 0.5 ml 3─4
Kolistin Sulfat + Spriramisin 0.3 ─ 0.4 g 3─5
Siprofloksasin 0.5 g 3─5
Sulfadiazin + Trimetoprim 1 ml ─
Eritromisin + Kolistin Sulfat 1g 3─5
Khlortetrasiklin 0.5 g 5─7
Siprofloksasin 0.5 g 5
Doksisiklin + Kolistin Sulfat 1g 3─5
Neomisin S. + Oksitetrasiklin 2g ─
Sulfaquinoksalin 5g 3
Spiramisin 1─2g 3
Doksisiklin 0.2 g 3─5
Klindamisin 0.5 g 3─5
Sumber: Indeks Obat Hewan Indonesia (2009)

Pada peternakan ayam broiler sebesar 100% responden memiliki program


penggunaan antibiotik yang lebih intensif daripada peternak responden ayam lokal
yang hanya sebesar 16.7% (Tabel 6). Hal ini karena mengingat kondisi dari ayam
broiler yang rawan stress sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit yang
dapat menyebabkan kerugian bagi peternak. Terlihat pula pada Tabel 6 bahwa
100% peternak responden ayam broiler mengaku bahwa penggunaan antibiotik
bertujuan untuk mencegah agar ternak tidak sakit serta sebagai pemacu
11

pertumbuhan (growth promotor) dalam pakan. Antibiotik yang lazim digunakan


untuk pencegahan dan pengobatan penyakit pada ternak ayam antara lain
streptomisin, kloramfenikol, doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin,
siprofloksasin, enrofloksasin, dan golongan sulfonamida. Antibiotik tersebut
diberikan dalam air minum pada ayam–ayam yang menunjukkan gejala sakit atau
setelah vaksinasi (Kusumaningsih 2007). Hal ini mengacu pada kesesuaian
penggunaan antibiotik pada peternakan ayam yaitu sebesar 50% peternak
responden ayam broiler menggunakan antibiotik sesuai ketentuan yang tertera
dalam label kemasan obat, sedangkan sebagian peternak lainnya menggunakan
antibiotik tidak sesuai ketentuan.

Tabel 6 Manajemen penggunaan antibiotik peternakan ayam broiler dan ayam lokal
di Kabupaten Bogor
Peubah Kategori Peternakan ayam
Broiler (N=30) Lokal (N=30)
n % n %
Program antibiotik Tidak 0 0.0 25 83.3
Ya 30 100.0 5 16.7
Antibiotik untuk pengobatan Tidak 30 100.0 0 0.0
Ya 0 0.0 5 16.7
Antibiotik untuk menjaga kondisi Tidak 0 0.0 0 0.0
ternak Ya 30 100.0 5 16.7
Antibiotik dalam kandungan pakan Tidak 0 0.0 27 90.0
Ya 30 100.0 3 10.0
Kesesuaian penggunaan antibiotik Tidak sesuai 15 50.0 1 3.3
Sesuai 15 50.0 4 13.3
Cara pemberian antibiotik Dicampur 0 0.0 0 0.0
dalam pakan
Dicampur 30 100.0 5 16.7
dalam air
minum
Melalui 0 0.0 0 0.0
penyuntikan
Desinfektan air minum Tidak 19 63.3 30 100.0
Ya 11 36.7 0 0.0
Antibiotik dilarutkan dengan air Tidak 28 93.3 5 100.0
minum yang mengandung desinfektan Ya 2 6.7 0 0.0
Pergantian jenis antibiotik Tidak 20 66.7 5 16.7
Ya 10 33.3 0 0.0
Dosis untuk jenis antibiotik yang Selalu sama 19 63.3 5 16.7
sama Dosis /takaran 11 36.7 0 0.0
bertingkat

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebanyak 30 peternak responden


ayam broiler memberikan antibiotik melalui air minum. Menurut Purvis (2003) dan
PIC (2006) pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan ayam broiler
12

merupakan cara terapi yang dianggap paling baik karena lebih cepat dan efektif.
Hal ini disebabkan karena pengobatan melalui cara parenteral (intramuskuler,
sub─kutan dan intra─vena) tidak mungkin dilakukan untuk pengobatan massal
dalam peternakan berskala besar.
Sebesar 66.7% peternak responden ayam broiler tidak melakukan pergantian
jenis antibiotik yang digunakan terhadap ternaknya. Peternak juga selalu
menggunakan dosis/takaran yang selalu sama untuk tiap jenis antibiotik (63.3%).
Hal ini dikarenakan pada peternakan ayam broiler program pemberian antibiotik
telah terjadwal dan diatur oleh perusahaan yang bermitra dengan peternak. Peternak
mengaku hanya mengikuti program tersebut sesuai dengan jadwal. Para peneliti
mengkhawatirkan bahwa penggunaan antibiotik secara terus–menerus dalam waktu
yang lama melalui air minum atau pakan dengan dosis sub─terapeutik akan
memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Bahri et al. 2005).
Pada peternakan ayam lokal, mayoritas peternak responden tidak
menggunakan antibiotik secara intensif pada ternaknya (83.3%) dikarenakan
minimnya pengetahuan peternak mengenai fungsi antibiotik sebagai growth
promotor serta untuk menekan biaya yang dikeluarkan selama pemeliharaan.
Peternak yang menggunakan antibiotik (16.7%) menggunakannya melalui air
minum karena dianggap mudah dan efektif. Peternak ayam lokal memberikan dosis
yang selalu sama (16.7%) serta jenis antibiotik yang tidak berganti─ganti (16.7%).
Peternak ayam lokal mengaku, apabila melakukan pergantian jenis antibiotik akan
berdampak buruk bagi kondisi ternaknya.

Kondisi Resistensi Enterobacteriaceae pada Peternakan Ayam Broiler dan


Ayam Lokal di Kabupaten Bogor

Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri


dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya
atau kadar hambat minimalnya, sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan
sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Cross
resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum
pernah dipaparkan (Tripathi 2003). Resistensi yang timbul berkaitan dengan
penggunaan antibiotik di peternakan untuk memacu pertumbuhan ternak dan
mengobati penyakit infeksi pada ternak (Yenny & Herwana 2007). Berdasarkan
hasil uji resistensi bakteri ditemukan adanya resistensi yang terjadi pada ayam
broiler dan ayam lokal yang diternakkan di Kabupaten Bogor. Berikut data
resistensi Enterobacteriaceae pada peternakan ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor (Tabel 7).

Tabel 7 Kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada peternakan ayam broiler dan


ayam lokal
Resistensi Enterobacteriaceae
Peternakan ayam Resisten Tidak resisten
n % n %
Broiler (N=30) 14 46.7 16 53.3
Lokal (N=30) 10 33.3 20 66.7
13

Pada peternakan ayam broiler kondisi resistensi Enterobacteriaceae sebesar


46.7%, sedangkan pada peternakan ayam lokal 33.3%. Perbedaan kondisi resistensi
disebabkan karena sistem pemeliharaan yang berbeda. Peternakan ayam broiler
memiliki sistem pemeliharaan yang intensif sedangkan peternakan ayam lokal
masih secara tradisional (Sari 2001). Semakin intensif usaha peternakan maka
semakin meningkat pula pemakaian antibiotik untuk mengatasi infeksi yang sering
timbul (Purvis 2003; PIC 2006).
Bakteri famili Enterobacteriaceae sering disebut juga sebagai bakteri
Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Bakteri ESBL adalah bakteri yang
mampu memproduksi enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, sefalosporin
generasi pertama, kedua, ketiga dan aztreonam (kecuali cefamycin dan
carbapenem) dimana aktivitas enzim tersebut mampu menghambat β lactam. Gen
pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke bakteri lain
sehingga terjadi penyebaran resistensi (Paterson 2005). Faktor–faktor yang
mendukung terjadinya resistensi bakteri pada peternakan antara lain: tersebar
luasnya ketersediaan obat antibiotik yang dapat dibeli tanpa resep, perilaku terapi
yang sub─optimal, penggunaan antibiotik lebih dari satu jenis secara bersamaan,
kurangnya fasilitas laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik untuk
penulisan resep, berpindahnya gen bakteri yang resisten, penyebaran galur bakteri
yang resisten di masyarakat dan rumah sakit (Yenny & Herwana 2007).

Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae Terkait Keadaan


Umum Peternakan

Hasil analisis antara keadaan umum peternakan terhadap kondisi resistensi


Enterobacteriaceae yang muncul pada peternakan ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 8. Variabel ketersediaan tempat minum
memiliki asosiasi yang signifikan terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae
yang muncul pada peternakan ayam broiler dengan nilai P<0.05 (Tabel 8).
Mayoritas peternakan ayam broiler melakukan pengobatan dengan cara melarutkan
antibiotik pada air minum ternak. Kurangnya ketersediaan tempat minum ternak
menyebabkan dosis antibiotik yang diterima oleh ternak tidak merata dan berada di
bawah batas optimum untuk antibiotik tersebut dapat bekerja (sub─terapeutik).
Bakteri Enterobacteriaceae yang bertahan setelah terpapar antibiotik pada
dosis sub─terapeutik mampu bermutasi dan menghasilkan enzim yang dapat
menghambat aktivitas β lactam. Gen pengkode enzim tersebut berada di plasmid
sehingga mudah dipindahkan ke bakteri lain dan menyebabkan terjadi penyebaran
resistensi (Paterson 2005). Peternakan dengan kondisi ketersediaan tempat minum
yang kurang memiliki kecenderungan menyebabkan kejadian resistensi
Enterobacteriaceae sebesar 10.11 (1.054─97.002) kali lebih besar dibandingkan
dengan peternakan dengan kondisi ketersediaan tempat minum yang cukup.
Berdasarkan hal tersebut maka ketersediaan tempat minum merupakan faktor risiko
terjadinya resistensi Enterobacteriaceae pada peternakan ayam broiler di
Kabupaten Bogor.
14

Tabel 8 Asosiasi keadaan umum peternakan ayam broiler dan ayam lokal terhadap
kondisi resistensi Enterobacteriaceae
Peternakan ayam
Variabela Kategori Broiler (N=30) Lokal (N=30)
R TR OR SK 95% R TR OR SK 95%
Jenis usaha Kemitraan 11 13 1.18 0.20 ─ 7.08 0 0
Mandiri 3 3 10 20
Jenis Peternakan 13 16 0.45 0.30 ─ 0.68 10 20
peternakan rakyat
Pengusaha 0 1 0 0
kecil
Pengusaha 0 0 0 0
peternakan
Ketersedia Kurang 13 9 10.11* 1.05 ─ 97.00 6 11 1.23 0.26 ─ 5.73
─an Cukup 1 7 4 9
tempat
minum
Sumber air PDAM 0 0 0 1 1.71 1.22 ─ 2.40
Sumur 11 10 0.46 0.09 ─ 2.32 10 14 0.60 0.44 ─ 0.83
Sungai 0 0 0 0
Mata air 3 6 0 5
Luasan Kurang 3 5 1.67 0.32 ─ 8.74 2 3 1.42 0.20 ─ 10.23
kandang Cukup 11 11 8 17
Pakan Pakan 14 15 1.93 1.36 ─ 2.75 0 0
komersial
Pakan non 0 0 10 17 0.63 0.42 ─ 0.84
komersial
/campur
sendiri
Kombinasi 0 1 0 3
pakan
komersial
dan non
komersial
/campur
sendiri
a
Tanda (*) pada baris yang sama menandakan adanya asosiasi yang signifikan antar variabel
P<0.05), R= Resisten, TR= Tidak resisten.

Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae Terkait Manajemen


Penggunaan Antibiotik di Peternakan

Hasil analisis antara manajemen penggunaan antibiotik di peternakan


terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae yang muncul pada peternakan ayam
broiler dan ayam lokal di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 9. Variabel
kesesuaian penggunaan antibiotik memiliki asosiasi yang signifikan terhadap
kondisi resistensi Enterobacteriaceae yang muncul pada peternakan ayam broiler
dengan nilai P<0.05 (Tabel 9).
15

Tabel 9 Asosiasi manajemen penggunaan antibiotik peternakan ayam broiler dan


ayam lokal terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae
Peternakan ayam
a
Variabel Kategori Broiler (N=30) Lokal (N=30)
R TR OR SK 95% R TR OR SK 95%
Program Tidak 0 0 9 16 2.25 0.22 ─ 23.32
antibiotik Ya 14 16 1 4
Antibiotik Tidak 0 0 9 16 2.25 0.22 ─ 23.32
untuk Ya 14 16 1 4
pengobatan
Antibiotik Tidak 0 0 9 16 2.25 0.22 ─ 23.32
untuk Ya 14 16 1 4
menjaga
kondisi
ternak
Antibiotik Tidak 0 0 10 17 1.59 1.19 ─ 2.12
dalam Ya 14 16 0 3
kandungan
pakan
Kesesuaian Tidak sesuai 12 3 26.00* 3.69 ─ 183.41 10 16 1.62 1.20 ─ 2.20
penggunaan Sesuai 2 13 0 4
antibiotik
Cara Melalui 0 0 9 16
pemberian pakan
antibiotik Melalui air 14 15 1 4 0.44 0.04 ─ 4.61
minum
Melalui 0 1 0.52 0.36 ─ 0.74 0 0
penyuntikan
Desinfektan Tidak 10 9 1.94 0.42 ─ 8.92 10 20
air minum Ya 4 7 0 0
Antibiotik Tidak 13 15 1.15 0.06 ─ 20.34 10 20
dilarutkan Ya 1 1 0 0
dengan air
minum yang
mengandung
desinfektan
Pergantian Tidak 13 7 16.71* 1.74 ─ 160.35 9 16 2.25 0.22 ─ 23.32
jenis Ya 1 9 1 4
antibiotik
Dosis untuk Selalu sama 12 7 7.71* 1.28 ─ 46.36 1 4 0.44 0.04 ─ 4.60
jenis Bertingkat 2 9 9 16
antibiotik
yang sama
a
Tanda (*) pada baris yang sama menandakan adanya asosiasi yang signifikan antar variabel
(P<0.05), R= Resisten, TR= Tidak resisten.

Peternakan yang menggunakan antibiotik tidak sesuai ketentuan memiliki


kecenderungan menyebabkan kejadian resistensi Enterobacteriaceae sebesar 26.00
(3.69─183.41) kali lebih besar dibandingkan dengan peternakan yang
menggunakan antibiotik sesuai ketentuan. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai
ketentuan juga telah diungkapkan oleh Kusumaningsih (2007) bahwa peternak
16

ayam broiler cenderung menggunakan antibiotik secara berlebihan dan kurang


tepat. Ayam yang masih menunjukkan tanda sakit setelah diberi antibiotik selama
3─5 hari, akan dilanjutkan pemberian antibiotik sampai delapan hari, bahkan
terkadang sampai ayam sembuh. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan
menimbulkan tekanan selektif yang mendorong perkembangbiakan bakteri yang
resisten (Yenny & Herwana 2007).
Variabel pergantian jenis antibiotik memiliki asosiasi yang signifikan
terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae yang muncul pada peternakan ayam
broiler dengan nilai P<0.05 (Tabel 9). Penggunaan jenis antibiotik yang selalu sama
memiliki kecenderungan menyebabkan kejadian resistensi Enterobacteriaceae
sebesar 16.71 (1.74─160.35) kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
antibiotik yang berganti─ganti. Variabel dosis untuk jenis antibiotik yang sama
memiliki asosiasi yang signifikan terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae
yang muncul pada peternakan ayam broiler (P<0.05) (Tabel 9). Penggunaan satu
jenis antibiotik dengan dosis yang selalu sama memiliki kecenderungan
menyebabkan kejadian resistensi Enterobacteriaceae sebesar 7.71 (1.28─46.36)
kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan dosis yang bertingkat sesuai
derajat keparahan penyakit. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan dosis
antibiotik yang selalu sama tanpa memperhatikan derajat keparahan suatu penyakit
akibat infeksi bakteri Enterobacteriaceae menyebabkan tingginya tingkat
resistensi. Mekanisme utama yang dilakukan populasi bakteri untuk bertahan hidup
dalam situasi terancam adalah dengan cara mutasi genetik, ekspresi dari suatu gen
resistensi yang laten, atau melalui gen yang memiliki determinan resistensi (Yenny
& Herwana 2007). Faktor risiko terjadinya resistensi Enterobacteriaceae pada
peternakan ayam broiler di Kabupaten Bogor terkait dengan manajemen
penggunaan antibiotik di peternakan adalah penggunaan anitbiotik yang tidak
sesuai dengan ketentuan, tidak adanya pergantian jenis antibiotik serta penggunaan
dosis yang selalu sama untuk satu jenis antibiotik.

Pencegahan Resistensi Enterobacteriaceae pada Peternakan Ayam Broiler


dan Ayam Lokal di Kabupaten Bogor

Maraknya penggunaan AGP dalam pakan dapat bersifat buruk bagi ternak
karena menyebabkan resistensi ternak terhadap jenis–jenis mikroorganisme
patogen tertentu serta menimbulkan residu antibiotik dalam produk pangan asal
unggas (Mulyantini 2010). Saat ini telah banyak alternatif growth promotor sebagai
pengganti antibiotik diantaranya adalah probiotik, bahan organik, imunomodulator,
asam–asam organik, minyak esensial, dan enzim. Probiotik adalah suatu mikrobial
hidup yang diberikan sebagai suplemen pakan dan memberikan keuntungan bagi
induk semang dengan cara memperbaiki keseimbangan populasi bakteri usus
sehingga dapat meningkatkan palatabilitas pakan (Choct 2000). Selain alternatif
pengganti antibiotik sebagai growth promotor perlu diperhatikan pula kesesuaian
penggunaan antibiotik serta pergantian penggunaan satu jenis antibiotik yang sama.
Perbaikan manajemen pemeliharaan ternak juga perlu diperhatikan untuk
mencegah timbulnya kondisi resistensi akibat kesalahan dalam penggunaan
antibiotik.
17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Faktor risiko penyebab kondisi resistensi yang tinggi pada peternakan ayam
broiler disebabkan oleh jumlah tempat minum yang tidak mencukupi,
ketidaksesuaian penggunaan antibiotik, antibiotik yang tidak berganti─ganti, dan
dosis penggunaan antibiotik yang selalu sama.

Saran

Kejadian resistensi antibiotik di Kabupaten Bogor perlu dicegah untuk


menghasilkan produk daging ayam yang aman, sehat, utuh, dan halal. Tindakan
pencegahan dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak,
manajemen pemberian antibiotik, dan dengan mengurangi penggunaan antibiotik
untuk ternak produksi.

DAFTAR PUSTAKA

[Balitvet] Balai Penelitian Veteriner. 1990. Residu Pestisida, Hormon, Antibiotika,


dan Standarisasi Kualitas Broiler untuk Ekspor. Laporan Penelitian Balai
Penelitian Veteriner, Bogor. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner.
[Balitvet] Balai Penelitian Veteriner. 1991. Residu Antibiotik pada Daging Ayam
Broiler dan Pakannya di Jawa Barat. Laporan Penelitian Balai Penelitian
Veteriner, Bogor. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner.
Bahri S, Masbulan E, Kusumaningsih A. 2005. Proses Praproduksi sebagai Faktor
Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia. J
Litbang Pertanian. 24 (1).
Barton MD. 2000. Antibiotic Use in Animal Feed and Its Impact on Human Health.
Nutrition Research Reviews. 13 (2): 1─19.
Butaye P, Deviase LA, Hasebrouck F. 2003. Antimicrobial growth promoters used
in animal feed: effects of less well known antibiotics on gram─positive
bacteria. Clin Microbiol Rev. 16 (2):175─188.
Choct M. 2000. The Role of Feed Enzyme in Animal Nutrition Towards 2000
(interim report). Proceedings of the World Poultry Science Congress New
Delhi 2: 1─125. India (IN).
[Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2012
[Internet]. [diunduh 2013 November 14]. Tersedia pada: http:// pusdatin.
deptan.go.id/admin/satlak/Statistik_Konsumsi_2012.pdf
[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Laporan Data Kinerja Kementrian
Pertanian Tahun 2004─2012 [Internet]. [diunduh 2013 November 14].
Tersedia pada: http:// perencanaan.setjen.deptan.go.id/ downlot.php?
file=Laporan%20 kementan % 202004─2012.pdf
18

[Disnakkan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2010. Populasi


Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor Tahun 2010. Bogor (ID): Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
[Disnakkan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2000. Budidaya
Ternak Ayam Buras: Modul Proyek Peningkatan Mutu Bibit dan
Pengembangan Peternakan Tahun 2001. Bogor (ID): Dinas Peternakan
Kabupaten Bogor.
Fadilah R, Agustin P, Sjamsirul A, Eko P. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler.
Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Hardjosworo PS, Rukmiasih MS. 2000. Meningkatkan Produksi Daging.
Yogyakarta (ID): Penebar Swadaya.
Hurd HS, Doores S, Hayes D, Mathew A, Maurer J, Silley P, Singer RS, Jones RN.
2004. Public health consequences of macrolidenuse in the food animals: A
Deterministic Risk Assessment. J Food Prot. 67: 980─992.
[ASOHI] Asosiasi Obat Hewan Indonesia dan Ditjen Bina Produksi Peternakan.
2009. Indeks Obat Hewan Indonesia (IOHI) Edisi ke─7. Jakarta (ID):Gita
Pustaka.
[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1996. Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 472/Kpts/TN.330/6/96. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Kusumaningsih A. 2007. Profil dan Gen Resistensi Antimikroba Salmonella
enteritidis Asal Ayam, Telur dan Manusia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Levy SB. 1998. The Challenge of Antibiotic Resistance. Scie American. 46─53.
Mulyantini NGA. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Yogyakarta (ID): Gajah
Mada University Press
Paterson DL, Bonomo RA. Extended─spectrum E─ lactamases: a clinical update.
Clin Microbiol Rev. 2005;18(4):657─86.
[PIC] Poultry Industry Council. 2006. Water Medications [Internet]. [diunduh 2013
November 14]. Tersedia pada http://poultryindustrycouncil/.
Purvis A. 2003. Meat Bacteria Can Breed Deadly Superbugs In Humans. [Internet].
[diunduh 2013 November 14]. Tersedia pada http://www.rense.com/.
Rasyaf M. 2001. Berternak Ayam Kampung. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Sari TK. 2001. Performa Ayam Kampung yang Divaksinasi Tetelo di Desa Karacak
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tripathi KD. 2003. Essentials of Medical Pharmacology 5th Ed. New Delhi (IN):
Jaypee Brothers.
Van Den Bogaard AE, Bruisma N, Stoberingh EE. 2000. The effect of banning
avopracin on VRE carriage in the netherlands (five abattoirs) and Sweden. J
Antimicrob. 46 (1): 146─148.
[WHO] World Health Organization. 1997. The Medical Impact of the Use of
Antimicrobials in Food Animals: Report and Proceedings of a WHO Meeting
13─17 October. Berlin (DE): WHO.
Yenny, Herwana E. 2007. Resistensi dari Bakteri Enterik: Aspek Global terhadap
Antimikroba. Universa Medicina. 26(1): 46─56.
Yunilas. 2005. Performans Ayam Pedaging yang Diberi Berbagai Tingkat Protein
Dalam Ransum. J Agri Petern. 1(1): 22─26.
19

RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Widyatmoko Ade Purbo, merupakan anak
ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Sudik dan Siti Oemroh. Penulis dilahirkan
di Gresik, Jawa Timur pada tanggal 19 Januari 1991. Penulis menyelesaikan
pendidikan menengah di SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2009 dan pada tahun
yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mayor Kedokteran
Hewan melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif mengikuti
kegiatan─kegiatan intra kampus. Selain itu, penulis juga menjadi anggota pada
Organisasi Mahasiswa Daerah Malang (AREMA) pada tahun 2009. Tahun 2010
setelah masuk di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis diterima masuk menjadi
anggota Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (Himpro Satli). Penulis juga
pernah mengikuti kegiatan magang di Taman Nasional Waykambas tahun 2010 dan
Ekspedisi I Satli tahun 2012 di Kepulauan Karimun Jawa.

Anda mungkin juga menyukai