Anda di halaman 1dari 34

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A216014 / November 2018


** Pembimbing / dr. Monalisa, Sp.PD,

ULKUS PEDIS DEXTRA e.c DIABETES MELITUS TIPE 2 + ANEMIA e.c


PENYAKIT KRONIS

Prepti Serra Mardhotillah, S.Ked *

dr. Monalisa, Sp.PD, **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik


yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin, defek kerja insulin, atau keduanya-duanya.1

Menurut WHO, Prevalensi DM pada populasi dewasa di seluruh dunia


diperkirakan akan meningkat sebesar 35% dalam dua dasawarsa dan menjangkit
300 juta orang pada tahun 2025. Di indonesia DM berada dalam urutan 4 penyakit
kronik berdasarkan prevalensinya, Data risdenkes menyatakan prevalensi nasional
penyakit DM adalah 1,5%.1

Kombinasi antara faktor genetIk, faktor lingkungan, resistensi insulin dan


gangguan sekresi insulin merupakan penyebab DM tipe 2. Faktor lingkungan
yang berpengaruh seperti obesitas, kurangnya aktifitas fisik, stress dan
pertambahan umur. Selain itu terdapat faktor resiko seperti usia lebih dari 40
tahun, memiliki riwayat prediabetes, (A1C 6,0 %-6,4%) memiliki riwayat
diabetes melitus gestasional, memiliki riwayat penyakit vaskular, dan di picu oleh
penyakit HIV sera populasi yang beresiko seperti penduduk aborigin,afrika dan
asia berpengaruh terhadap terjadinya diabetes melitus.1

Diagnosa diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar


glukosa darah. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada peda penderita DM,
kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan yang dikenal
dengan keluhan klasik ( Poliuria,polifagia,polidipsia dan penurunan berat bdan
yang tidak dapat dijelaskan) dan gejala lain (badan lemas,kesemutan, gatal, mata
kabur, dll).1

Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada
tingkat mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik,
dan kardiomiopati) maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner,

1
2

peripheral vascular disease). Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan


berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih,
tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi
ulkus/gangren diabetik.1

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M
Umur : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : RT 20 Bayung lincir
Pekerjaan : IRT
MRS : 30 Desember 2018
Tanggal Pemeriksaan : 9 Desember 2018
2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan muntah yang


memberat sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Pasien datang dengan keluhan muntah yang memberat sejak kurang lebih 1
hari sebelum masuk rumah sakit. muntah lebih dari 8 kali, muntahan berwarna
kehitaman berisi cairan dan makanan yang dimakan, sebanyak lebih dari 1
gelas belimbing. Keluhan muntah disertai nyeri seperti berdenyut dan hangat
pada luka di telapak kaki kanan. Luka dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan
SMRS, awalnya luka hanya kecil akibat tertusuk penyangga obat nyamuk
bakar, luka dengan ukuran 1x3cm, terasa nyeri sesaat, darah sedikit dan tidak
disertai nanah. Namun semakin hari luka semakin membesar dan disertai
nanah kental, berwarna putih keruh, bercampur darah dan berbau busuk. saat
itu luka mulai terasa semakin nyeri dan mulai membengkak di kaki saja. luka
semakin dalam dan semakin lebar kira-kira sebesar telapak tangan, luka tak
kunjung sembuh atau pun kering. Pasien mengaku tidak pernah berobat untuk
luka tersebut dan hanya membersihkan luka dengan betadine dan kassa.
Namun jumlah nanah yang keluar cukup banyak hingga kasa pembungkus
luka basah karena nanah bercampur darah yang merembes. Pasien juga

3
mengatakan demam saat kaki mulai membengkak, demam dirasa naik turun,
dan tidak menggigil.
 ±3 hari SMRS nyeri pada luka semakin memberat dan berbau busuk,
kemudian pasien berobat ke RS Bayung lincir dan di lakukan operasi untuk
membersihkan luka, pasien diberikan obat-obatan dan insulin namun tidak
tahu namanya. karena keluhan tidak membaik, pasien dirujuk ke RSUD Raden
Mattaher Jambi.
 Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes sejak ± 5 tahun yang lalu dan
menkonsumsi obat pil namun pasien lupa namanya. Sebelumnya Pasien
mengeluh sering merasa lapar, suka makan tengah malam dan pasien juga
mengatakan sering terjaga saat malam hari karena sering buang air kecil
hingga 4x saat malam hari dan pasien juga mengatakan kuat minum air putih
dari dulunya. Pasien juga sering merasa lemas dan kesemutan. Selain itu
pasien mengeluh mengalami penurunan berat badan padahal sudah makan
banyak. Pasien hanya mengkonsumsi obat bila gula darah tinggi dan tidak
kontrol kembali bila obat habis. Saat ini mata sebelah kanan pasien kabur
sejak 3 bulan yang lalu, dan pasien tidak berobat untuk keluhan tersebut.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat dirawat di RS Bayung lincir dengan ulkus pedis selama 3 hari


 Riwayat DM (+) diketahui sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol.
 Riwayat Penyakit Jantung/Hipertensi (-)
 Riwayat Sakit magh (+)
 Riwayat Penyakit Ginjal (-)
 Riwayat Penyakit kuning (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat keluhan yang sama (-)


 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)

4
 Riwayat Penyakit Ginjal (-)
 Riwayat Penyakit Jantung (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien seorang ibu rumah tangga memiliki 5 orang anak,os sering

mengkonsumsi bodrex jika sedang tida enak badan. ekonomi menengah, pasien

berobat dengan menggunakan BPJS.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
TD : 140/80 Nadi : 90x/menit kuat angkat Suhu : 36,50C

Irama : Reguler RR : 20x/menit

Status Gizi
BB : 55 Kg TB : 150 cm IMT : 24,4 (Overweight)

Kulit
 Warna : sawo matang
 Jaringan Parut : (-)
 Pertumbuhan Rambut : normal
 Pertumbuhan Darah : (-)
 Suhu : 36,5 C
 Turgor : normal
 Lainnya : (-)

Kelenjar Getah Bening


 Pembersaran KGB : (-)

5
Kepala
 Bentuk Kepala : Normocephal
 Rambut : Hitam sedikit beruban
 Ekspresi : Tampak sakit sedang
 Simetris Muka : Simetris

Mata
 Konjungtiva : anemis (+/+)
 Sklera : Sklera Ikterik (-/-)
 Pupil : isokor
 Lensa : normal
 Gerakan : normal
 Lapangan Pandang : normal

Hidung
 Bentuk : Simetris
 Sekret : (-)
 Septum : deviasi (-)
 Selaput Lendir : (-)
 Sumbatan : (-)
 Pendarahan : (-)

Mulut
 Bibir : Kering (-), Sianosis (-), cellitis (+)
 Lidah : atrofi papila lidah (-)
 Gusi : anemis (-)

Telinga
 Bentuk : simetris
 Sekret : (-)
 Pendengaran : normal

6
Leher
 JVP : 5-2 cmH2O
 Kelenjar Tiroid : tidak teraba
 Kelenjar Limfonodi : tidak teraba

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Teraba ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra


Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS III Linea parasternal dextra
Batas Bawah : ICS IV Line parasternal dextra

Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider nervi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris, venatasi (-).
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+) epigastrik. Hepar, lien dan ginjal tidak
teraba
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : Bising Usus (+), Normal

Alat Kelamin : Tidak diperiksa

Ekstremitas
Ekstremitas :

 Superior :

7
o Kuku : Ikterik (-/-)
o Tremor : (-/-)
o Luka : (-/-)
o palmar eritem (-/-)
o jari tabuh (-/-)
o sensibilitas (-/-)
o Edema (-/-)
o akral dingin (-/-)
o varises (-)
 Inferior :
o Kuku : Ikterik (-/-)
o Luka : (+/-)
Luka pada dorsal pedis dextra ± berukuran 7 x 5 cm, dengan
kedalaman 1,5 cm, dengan dasar luka tampak tendon dan terdapat
pus, berbau busuk, dengan bentuk tidak beraturan. Warna kulit
disekitar luka kemerahan. Tepi luka tidak rata,kulit sekitar luka
edema. Terdapat gangren pada digiti 2 dan 3, warna hitam.
o sensibilitas (+/+) berkurang pada digiti 1-5
o Edema (+/-)
o akral dingin (+/+)
o varises (-/-)

Kriteria Wagner : Grade IV

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan ABI : Tekanan darah sistolik ankle tertinggi/Tekanan darah
sistolik brachialis tertinggi
150/140 = 1,071 (normal)
Darah Rutin (30/12/2017)
WBC : 16,91x109/L MCV : 75,6 fL
RBC : 2,8x1012/L MCH : 26,8 pg
HGB : 7,5 g/dL MCHC : 354 g/L

8
PLT : 502x109/L GDS : 414 mg/dl

HCT : 21,2 %
Urine Rutin (30/12/2017)
Urinalisa Hasil Nilai Rujukan
Warna Kuning Muda Kuning muda s/d tua
Kejernihan Sedikit Keruh Jernih
PH 5.0 4,6 – 8,5
Bobot jenis 1.015 1003 - 1030
Protein - Negatif
Glukosa +++ Negatif
Urobilinogen Negatif 0,1 mg/dl
Bilirubin Negatif Negatif
Keton + Negatif
Sedimen
Leukosit 7-8 / lpb 0-5/lpb
Eritrosit 1-2/lpb 0-3/lpb

Pemeriksaan Elektrolit (30/12/2017)

Parameter Nilai Normal


Natrium (Na) 128,72 mmol/L 135-148
Kalium (K) 5,81 mmol/L 3,5-5,3
Klorida (Cl) 90,12 mmol/L 98-110
Kalsium (Ca) 1,25 mmol/L 1,19-1,23

Diagnosa Primer : Ulkus Diabetikum dorsalis pedis Dextra Wagner IV ec.


DM Tipe 2 overweight Tidak terkontrol + Gastritis erosif
Diagnosa Sekunder : Anemia e.c Penyakit Kronis

2.6 Diagnosa Banding


 Ulkus Tropikum
 Ulkus Varikosum
 Anemia defisiensi besi
 Ulkus peptikum

9
2.7 Anjuran Pemeriksaan
 Rontgen Pedis AP/Lateral
 Pemeriksaan Albumin, GDS, SADT, Kultur pus, HbA1c
 Pemantauan Gula Darah
 Kimia Darah

2.8 Tatalaksana

Farmakologi

 IVFD NaCl 0,9% 8 ttpm


 Ceftriaxone 1x2gr drip nacl 100cc dlm 30 menit
 Transfusi PRC 3 kantung
 Metformin 3x500 mg
 Lantus 1 x 10 unit
 Novorapid 3 x 8 unit
 Perawatan Luka dgn gentamisin pagi dan sore
 Omeprazol 2x40
 Metoclopamid 3x1 amp

Non Farmakologis:

Non farmakologis

 Tirah Baring
 Istirahatkan kaki dengan meletakkan bantal pada kaki saat berbaring.
 Diet DM
o Kebutuhan kalori harian BBI x 25%
90% (TB-100) x 1kg x 25 kkal

90% (150-100) x 1kg x 25 kkal

45 kg x 25 kkal = 1125 kkal

o Protein : 10% x 1125 = 112,5 kkal

10
o Lemak : 20% x 1125 = 225 kkal
o Karbohidrat : 45% x 1125 = 506 kkal
2.9 Edukasi

 Luka dibersihkan secara rutin


 Kontrol gula darah secara rutin

2.10 Prognosis

 Quo Vitam : Dubia ad bonam


 Quo Functionam : Dubia ad malam
 Quo Sanactionam : Dubia ad malam

11
Tanggal Pemeriksaan Keterangan

10 – 01-2018 S : nyeri kaki kiri(+) , lemas (+) ,muntah (-), kaki terasa GDS :194
kebas

O: TD :140/80 mmHg, N : 98 x/i, RR : 20 x/i, T:37,2 0

Status Lokalis:

Ulkus : 7x5x15(Pus +,eritem+,edem+,gangren digiti 2-

3)

A: Ulkus Diabetikum dorsalis pedis Dextra Wagner IV

ec. DM Tipe 2 overweight Tidak terkontrol + Gastritis

erosif

P:

- IVFD Nacl 0.9% 20 tpm


- Meropenem 3x1 drip dalam nacl 100 cc
- Omeprazol 2x1
- Paracetamol 3 x 500 mg (jika demam)
- Lantus 1 x 12 IU
- Novorapid 3 x per pola makan
- Metoclopamid 3x1 amp
- Konsul Bedah
- Rawat Luka pagi dan sore
- Rencana transfusi darah

12
11-01-2018 S:Nyeri kaki kiri(+), demam(-), kaki terasa kebas(+), GDS: 298

muntah (-)

O: TD : 130/80 mmHg, N : 96 x/i, RR : 221 x/i, T:37,6 0

Status Lokalis:

Ulkus : 7x5x1,5cm (Pus +,edem+,eritem +,gangren

digiti 2-3)

A: Ulkus Diabetikum dorsalis pedis Dextra Wagner IV

ec. DM Tipe 2 overweight Tidak terkontrol + Gastritis

erosif

P : IVFD Nacl 0.9% 20 tpm


- Meropenem 3x1 drip dalam nacl 100 cc
- Omeprazol 2x1
- Paracetamol 3 x 500 mg (jika demam)
- Levemir 1 x 16 IU
- Novorapid 3 x 8 uiper pola makan
- Metoclopamid 3x1 amp (stop)
- Transfusi prc 250cc
- Konsul Bedah
- Rawat Luka pagi dan sore
- Ekg ulang

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus Tipe 2

3.1.1 Definisi Diabetes Melitus Tipe 2

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1
Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
ini. Factor resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah
bertambahanya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak
tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua factor ini
berinteraksi dengan beberapa factor genetic yang berhubungan dengan terjadinya
DM tipe 2.1

3.1.2 Patogenesis DM Tipe 25

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), ke semua nya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe – 2. Delapan organ penting
dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena
dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang :

14
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat
pada gangguan multiple dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa DeFronzo pada tahun 2009
menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja
yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe – 2 tetapi
terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar 1)

Gambar 3.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 21

3.1.3 Diagnosis DM Tipe 21

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat

15
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 3.2. Kriteria Diagnosis DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

16
Tabel 3.3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) :


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat
yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-
hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban
glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

17
3.1.4 Komplikasi Diabetes Melitus
3.1.4.1 Komplikasi Akut
1. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi
(300-600mg/dl),disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi
peningkatan anion gap. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat
tinggi (600-1200mg/dl), tanpatanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380mOs/ml),plasma keton (+/-), anion gap
normal atausedikit meningkat.
Catatan: Kedua keadaan (KAD dan SHH tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi,sehingga memerlukan perawatan
dirumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.

2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa
darah<70mg/dl. Hipoglikemia adalahpenurunan konsentrasiglukosa serum
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom,seperti adanya
whipple’s triad:
 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lain
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien dilakukan selama 24-

18
72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hari yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Pasien dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai
kemungkinan hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap
kesempatan.

3.I.4.2. Komplikasi Kronik


1. Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi
pada penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul
pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat
istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa
disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang
dapat ditemukan pada penderita.
 Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baikakan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin
tidak mencegah timbulnya retinopati
 Nefropati diabetik
o Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik mengurangi risiko
atau memperlambat progresinefropati.
o Untuk penderita penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan
protein sampai di bawah 0.8gram /kgBB /hari tidak

19
direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko kardiovaskuler
dan menurunkan GFR. ginjal (A).
 Neuropati
o Pada neuropatiperifer, hilangnya sensasi distal merupakan
faktor pentingyang berisiko tinggi untuk ulkus kaki yang
meningkatkan resiko amputasi
o Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.1

3.1.5. Kaki Diabetes

3.1.5.1 Definisi1

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling


ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya.

3.1.5.2 Patofisiologi1

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang


DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik sensorik maupun motoric dan autonomic akan mengakibatkan
berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadninya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Factor aliran
darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki
diabetes.

20
Gambar 3.5 Patofisiologi Terjadinya ulkus pada kaki diabetes

DIABETES MELLITUS
Penyakit pembuluh Neuropati otonom Neuropati perifer
darah tepi
Aliran Indera Gerak
 Keringat darah raba
Sumbatan Aliran
oksigen, nutrisi,
Resorpsi
antibiotik Kehilangan
tulang Atropi
Kult kering, rasa sakit
pecah Kerusakan
sendi Kehilangan
Luka sulit
sembuh Trauma bantalan
Kerusakan lemak
kaki
Tumpuan berat
yang baru
Sindrom jari biru INFEKSI ULKUS
Gangren
Gangren mayor
AMPUTASI

3.1.6. Klasifikasi Kaki Diabetes2

Suatu klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group


on Diabetic Foot.

Tabel 4.5. Klasifikasi Wagner

Derajat Lesi

Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai

Derajat I kelainan bentuk kakiUlkus superficial dan terbatas di kulit

Derajat II Ulkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulang

Derajat III Abses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitis

Dearjat IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa
selulitis
Derajat V
Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah

Suatu Klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan pengelolaan
adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes :

21
 Stage 1 : Normal Foot
 Stage 2 : High Risk Foot
 Stage 3 : Ulcerated Foot
 Stage 4 : Infected Foot
 Stage 5 : Necrotic Foot
 Stage 6 : Unsalvable Foot

3.1.7 Tatalaksana DM Tipe 2 dan Pengelolaan Kaki Diabetes

Gambar 4.3. Pengelolaan DM Tipe 21

Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera


mungkin. Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus
adalah :
 Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan metabolik
sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin,
hemoglobin dan sebagainya.

22
 Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular (dengan
operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus
iskemik.
 Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi
harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi
pertumbuhan organisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis,
bukan merupakan infeksi).
 Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan
nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol
infeksi, dengan konsep TIME:
o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
o Moisture Balance (menjaga kelembaban)
o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
 Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki, karena
tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus
dihindari. Mengurangi tekanan merupakan hal sangat penting dilakukan
pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan
ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.
 Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh pasien
dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri.1

3.2 Anemia

3.2.1 Defenisi3

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis
maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.

23
3.2.2 Etiologi dan Patogenesis3

Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri


subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa
hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia
sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan
dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan
setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi
dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi
kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen
dan artritis reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis
ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit
kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih
dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia
ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker.

3.2.3 Gambaran Klinis


Karena anemia yang terjadi umunya derajat ringan dan sedang, sering kali
gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasaranya, karena kadar Hb sekitar 7-11
gr/dl umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas
fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2 jaringan akan memperjelas
gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umunya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat
tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis yang biasanya
tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3.2.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding3

Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronis ,inflamasi dan keganasan


menderita anemia ,anemia tersebut dikatakan anemia penyakit kronis jika
anemiannya sedang. Selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan

24
TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum tulang normal atau
menignkat, serta feritin serum yang meningkat. Beberapa penyebaba anemia
berikut ini merupaka diagnosis banding atau mengaburkan diagnostic anemia
pada penyakit kronis :

1. Anemia delusional. Terutama pada penyakit kronis keganasan stadium


lanjut
2. Thalasemia minor
3. Perdarahan kronis
4. Ganguan ginjal
5. Metastasis pada sumsusm tulang
6. Drug induce hemolisis

3.2.5 Pengobatan3

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit


dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara
lain:
a. Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin
berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa
pasien anemi penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat
menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien
anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dL.
b. Preparat Besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik
masih terus dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat
besi dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-α. Alasan lain,
pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
xmeningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
c. Eritropoietin. Data penelitan menunjukkan bahwa pemberian
eritropoietin bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien

25
anemia akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid
dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek
sampingnya, pemberian eritropoietin mempunyai beberapa keuntungan,
yakni mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-
α dan IFN-γ. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah
proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker
kepala dan leher.
Saat ini terdapat 3 jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, beta dan
darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor
dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat
untuk suatu kasus.
Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis
merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan
transfusi, preparat besi maupun eritropoietin.

3.2 Gastritis erosif


3.2.1 Definisi Gastritis Erosif

Gastritis atau lebih dikenal sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu
gastro, yang berarti perut/ lambung dan itis yang berarti inflamasi/ peradangan.
Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan
submukosa lambung.
3.3.2 Faktor Risiko
a. Lanjut usia
b. Jenis Kelamin
c. Stres fisik
d. Stres Psikologis

3.3.3 Etiologi
Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis
erosif adalah sebagai berikut:

26
a. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus.
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) seperti aspirin,
ibuprofen,naproxen dan piroxicam dapat menyebabkan peradangan pada
lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi
dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali maka
kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya
dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat
mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer.
b. Penggunaan zat korosif, alcohol dan kokain secara berlebihan
Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada
dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap
asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga dapat
menyebabkan perdarahan
3.3.4 Diagnosis
Gejala dari gastritis erosif kronis berupa mual ringan dan nyeri
di perut sebelah atas. Jika gastritis menyebabkan perdarahan dari ulkus
lambung, gejalanya bisa berupa: Tinja berwarna kehitaman seperti aspal
(melena)- Muntah darah (hematemesis) atau makanan yang
sebagian sudah dicerna, yang menyerupai endapan kopi.

Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas


yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan
darah, tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan
segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau
kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal
dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris,
caput medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema
tungkai untuk menyingkirkan diagnosis banding lain.
Pemeriksaan fisik abdomen yang biasa ditemukan adalah nyeri
epigastrium dan pada pemeriksaan rectal touché dapat ditemukan BAB
yang berwarna hitam.

27
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai
macam tes, diantaranya :
1. Darah rutin
Digunakan untuk mengetahui apakah pasien mengalami anemia agar
segera mendapatkan terapi lanjut.
2. Rontgen
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang
dapat dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan
barium terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan
melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen.
3. Endoskopi
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang
mungkin tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan
cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui
mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus
kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi),
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman
menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat
mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari
jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium
untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30
menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini
selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang,
kurang lebih satu atau dua jam.
3.3.5 Terapi
Tujuan terapi adalah:
menghilangkan keluhan/symptom
1. Menyembuhkan/memperbaiki kerusakan lambung
2. Mencegah kekambuhan
3. Mencegah Komplikasi

28
Adapun terapi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

Non Medikamentosa :

a. Edukasi terhadap pasien beserta keluarga mengenai penyakit yang


dialami sehingga dapat menghindarkan dari penyebab awal terjadinya
gastritis erosif
b. Pasien dianjurkan untuk beristirahat.
c. Diberikan makanan halus, dalam porsi kecil, dan cukup cairan.

Medikamentosa :

a. Penyebab OAINS
1. Jika mungkin menghentikan pemakaian OAINS, walaupun biasanya
tidak memungkinkan pada penyakit seperti RA ataupun OA.
2. Penggunaan preparat OAINS (prodrug, OAINS terikat pada bahan
lain seperti Nitrit Oxide
3. Pemberian obat spesifik COX-2 inhibitor walaupun hal ini tidak
100% mencegah efek samping pada gastroduodenal
b. Penyebab non-OAINS
1. Antasida : untuk menetralisir asam cukup diberikan 120-240
mEq/hari dalam dosis terbagi
2. H2 Receptor Antagonist (H2RA)
Obat ini berperan menghambat pengaruh histamine sebagai mediator
untuk sekresi asam melalui reseptor histamine-2 pada sel parietal.
Beberapa jenis preparat yang dapat digunakan adalah:
Ranitidin 2 x 150 mg/hari
Famotidin 2 x 20 mg/hari
3. PPI
Dapat diberikan sekali sehari atau dua kali sehari. Adapun sediaan
yang tersedia adalah: Omeprazole 20 mg, rabeprazol 10 mg,
pantoprazol 40mg, lanzoprazol 30mg.

29
4. Obat lain seperti sucralfat 2 x 2 gr/hari atau 4 x 1 gr sehari berfungsi
untuk menghindari iritasi.pengaruh asam-pepsin dan garam empedu.
c. Mengatasi perdarahan
Untuk mengatasi perdarahan dapat diberikan beberapa obat berikut ini:
1. Injeksi Kalnex
Digunakan untuk menghentikan perdarahan pada gastritis erosif.
Diberikan 50 mg injeksi. Sehari 1-2 ampul (5-10 mL) disuntikkan
secara intravenous atau intramuskular, dibagi dalam 1-2 dosis. Pada
waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan
intravenous sebanyak 2-10 ampul (10-50 mL) dengan cara infus.
2. Injeksi Vitamin K
5. Membantu menyembuhkan luka. Inflamasi, infeksi, dan sebagai
hemostatik. Dapat diberikan oral ataupun intravena. Sediaan tablet
10 mg (4xsehari) atau injeksi 10 mg (4 x sehari).4

30
31
32

Anda mungkin juga menyukai