Anda di halaman 1dari 7

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah Sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom

(Provinsi/Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu
komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD.

DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). DAU
diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan PAD-nya. DAU
bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan
daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU terdiri dari:
a. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi.

b. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten /Kota.

DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk
daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Disebutkan pula dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP No 55 Tahun 2005 Dana Perimbangan ini terdapat berbagai
macam, yaitu DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). Dana perimbangan
tersebut diperu ntukkan untuk: (i) menjamin terciptanya perimbangan secara vertikal di bidang keuangan antar tingkat
pemerintahan; (ii) menjamin terciptanya perimbangan horizontal di bidang keuangan antar pemerintah di tingkat yang
sama; (iii) dan menjamin terselenggaranya kegiatan-kegiatan tertentu di daerah yang sejalan dengan kepentingan
nasional. Dana yang biasanya ditransfer dari pemerintah pusat adalah DAU. Proporsi DAU terhadap penerimaan daerah
masih yang tertinggi dibandingkan dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk PAD (Pendapatan Asli Daerah)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. sumber –
sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:

a. Pajak Daerah

b. Retribusi Daerah

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan.

d. Lain-lain PAD yang Sah.

Kenaikan PAD dapat berpengaruh terhadap jumlah DAU yang ditransfer dari pemerintah pusat. Sejak diterapkannya
desentralisasi fiskal, pemerintah pusatmengharapkan daerah dapat mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak
hanya mengandalkan DAU. Dibeberapa daerah peran DAU sangat signifikan karena karena kebijakan belanja daerah
lebih di dominasi oleh jumlah DAU dari pada PAD.

Tujuan dan Fungsi Dana Alokasi Umum

Ada beberapa alasan perlunya dilakukan pemberian Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat ke daerah, yaitu:

1. Untuk mengatasi permasalahan ketimpangan fiskal vertical. Hal ini disebabkan sebahagian besar sumber-
sumber penerimaan utama di negara yang bersangkutan. Jadi pemerintah daerah hanya menguasai sebahagian
kecil sumber-sumber penerimaan negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak yang bersifat lokal dan
mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan relatif kurang signifikan.
2. Untuk menanggulangi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Hal ini disebabkan karena kemampuan daerah
untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah dan sangat bergantung
pada sumber daya alam yang dimiliki daerah tersebut.
3. Untuk menjaga standar pelayanan minimum di setiap daerah tersebut.
4. Untuk stabilitas ekonomi. Dana Alokasi Umum dapat dikurangi di saat perekonomian daerah sedang maju
pesat, dan dapat ditingkatkan ketika perekonomian sedang lesu.

Sedang tujuan umum dari Dana Alokasi Umum adalah untuk:


1. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertical
2. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal
3. Menginternalisasikan/memperhitungkan sebahagian atau seluruh limpahan manfaat/biaya kepada daerah yang
menerima limpahan manfaat tersebut.
4. Sebagai bahan edukasi bagi pemerintah daerah agar secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya,
sehingga hasil yang diperoleh menyamai bahkan melebihi kapasitasnya.

Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada
provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk Dana Perimbangan, di sampingDana
Alokasi Umum (DAU).

DAK Dapat Bantu Perkembangan Daerah

Oleh: Tim Website


Tanggal: Jumat, 02 Agustus 2013
Dibaca: 6032 Kali

Salah satu wujud dari komitmen pemerintah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan otonomi daerah (Otda) dan
desentralisasi adalah dengan mengalokasikan anggaran transfer ke daerah dalam APBN, terutama dana perimbangan
yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketiga komponen
dan perimbangan itu merupakan trilogi yang tidak dapat dipisahkan karena tujuan dari ketiganya saling melengkapi.
DAK sebagai salah satu bentuk pendanaan desentraslisasi fiskal, dialokasikan pada dasarnya untuk meningkatkan
penyediaan sarana dan prasarana fisik yang menjadi prioritas nasional dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna
menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah serta pelayanan antar sektor. DAK juga memiliki peran strategis dalam
pembiayaan pemerintah daerah. Karena itu, diperlukan komitmen agar pengelolaan DAK benar-benar memenuhi
prinsip efektif dan efisien, ekonomis, transparan, akuntabel, memperhatikan asas keadilan, kepatutan serta manfaat
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah tertentu dan sesuai dengan prioritas nasional, sesuai dengan
fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua
daerah mendapatkan alokasi DAK. Penyaluran DAK dilaksanakan secara bertahap yaitu Tahap I sebesar 30%, Tahap II
sebesar 45%, dan Tahap III sebesar 25%. Penyaluran setiap tahap harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Laporan realisasi penyerapan DAK Tahap I atau II dapat dibuat setelah penggunaan atau penyerapan DAK di daerah
mencaai 90% atau lebih dari DAK yang diterima Kasda. Penggunaan dana tersebut diutamakan untuk proses
pembangunan yang menyangkut infrastruktur maupun sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat, antara
lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan
fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Daerah yang keuangannya
kurang mencukupi akan terbantu oleh DAK, sehingga dapat meminimalisir kecemburuan antar daerah. Di samping itu
pula diharapkan dapat mencapai standar pelayanan minimal bagi setiap daerah, karena masyarakat memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang baik. Oleh karena itu, DAK menjadi sangat penting fungsinya untuk mencapai kegiatan
yang menjadi program nasional. Sejak dialokasikan pertama kali pada tahun 2003, DAK mengalami peningkatan yang
cukup signifikan, baik dari besaran alokasinya maupun dari cukupan bidang dan kegiatan yang didanai dari DAK. Salah
satu contoh alokasi anggaran DAK Bidang Lingkungan Hidup (LH) Tahun 2013 disadari masih jauh bila dibandingkan
dengan DAK bidang-bidang lain, walaupun untuk tahun 2013 terjadi peningkatan anggaran sebesar 10% yaitu sebesar
Rp. 530.548.000.000 yang dialokasikan untuk 432 Kabupaten/Kota. Kemampuan Kabupaten/Kota dalam mengelola DAK
Bidang LH dengan lebih baik dan tepat sasaran merupakan gambaran meningkatnya kinerja DAK Bidang LH
Kabupaten/Kota. Sementara di tahun yang sama, alokasi DAK pendidikan bagi daerah mencapai Rp.11 triliun lebih.
Penggunaannya seperti untuk rehab bangunan, laboratorium, perpustakaan, hingga pengadaan buku.

Dengan melihat perkembangan DAK tersebut, dipandang perlu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam
pelaksanaan pemantauan dan evaluasi DAK. Dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005, tentang Dana
Perimbangan telah mengatur pelaksanaan pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi terhadap pemanfaatan DAK
yang dilaksanakan secara bersama-sama antara Bappenas dan menteri teknis. Meski pentingnya DAK bagi
perkembangan suatu daerah, namun masih banyak daerah yang setiap tahunnya tidak memanfaatkan DAK yang
disalurkan pemerintah pusat, salah satu penyebab adalah kurangnya koordinasi dengan pejabat sebelumnya dan tidak
mengetahui adanya penyaluran DAK oleh pemerintah pusat juga kurangnya pemahaman dalam menerapkan kebijakan
pengelolaan DAK. Dan yang lebih parahnya lagi ada daerah yang tidak mau menerima DAK dengan alasan dana APBD
sudah cukup dan bisa mengatasi beberapa masalah yang memang seharusnya bisa ditutupi dari anggaran DAK.

Beberapa daerah yang tidak tersalurkan dana DAK, tahun 2012 ada 17 daerah yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kabupaten Panajam Paser Utara, Kabupaten Tana Tidung, dan Kabupaten Bogor yang hanya sampai pada Tahap I saja.
Sementara beberapa daerah lainnya yang hanya mencapai tahap II antara lain, Kota Sungai Penuh, Kabupaten Blitar,
Kabupaten Samosir, Kabupaten Bukit Tinggi, dan Kabupaten Nunukan. Padahal di tahun sebelumnya daerah-daerah
tersebut ada yang mencapai Tahap III. Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata memang berdasarkan hasil monitoring di
beberapa daerah, perencanaan dan penganggaran DAK belum didukung dengan sistem dan data yang akurat sehingga
belum dapat merefleksikan sesuai kondisi dan karakteristik daerah. Juga, terkait dengan petunjuk teknis (Juknis), adanya
ketidaksesuaian Juknis dengan kebutuhan daerah sebagai akibat rigidnya Juknis tersebut, keterlambatan Juknis dan
seringnya terjadi perubahan Juknis, serta pertentangan aturan Juknis dengan beberapa peraturan di bidang lain,
misalnya dengan aturan pengelolaan keuangan daerah.

Rendahnya daya serap DAK yang secara umum disebabkan Penetapan Perda APBD terlambat, dan adanya keraguan
aparat/pejabat pengelola kegiatan dalam menerapkan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengadaan
barang dan jasa, serta dana pendamping yang belum tersedia. Dengan masalah yang ada, maka salah satu cara
mengatasi permasalahan tersebut dengan meningkatkan penyediaan data-data teknis, koordinasi pengelolaan DAK
secara utuh dan terpadu, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang didanai APBN maupun APBD, serta
meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan DAK. Dalam hal Pemda memperoleh DAK setelah Perda
tentang APBD ditetapkan dan belum dianggarkan dalam APBD, maka untuk menghindari terlambatnya pelaksanaan
DAK, Pemda dapat melaksanakan DAK dimaksud mendahului penetapan Perda Perubahan dalam tahun anggaran yang
berkenaan dengan menetapkan peraturan kepala daerah tentang perubahan penjabaran APBD sesuai mekanisme yang
diatur dalam Pedoman Pengelolaan Keuangan DAK di Daerah. Beberapa Daerah penerima DAK tahun sebelumnya masih
ada yang belum dapat mencantumkan secara pasti mengenai lokasi/tempat pembangunan, sehingga memberikan
dampak terhadap keterlambatan dalam pelaksanaan, maka dihimbau agar sejak awal sudah dapat ditetapkan dan
dikonsultasikan dengan DPRD dan satuan kerja terkait. Untuk itu, agar DAK ini terserap oleh daerah-daerah yang
menerima, maka diharapkan Juknis DAK telah diterbitkan oleh instansi terkait, untuk itu agar setiap daerah segera
menyelesaikan rencana penggunaan DAK dengan masing-masing Juknis apabila terdapat rencana kegiatan DAK yang
belum sesuai dengan Juknis terkait. Juga, perlu koordinasi SKPD pelaksana DAK dan SKPD pengelola keuangan daerah
(Dinas/Bagian Keuangan) dalam perencanaan anggaran, pelaksanaan dan pelaporan kegiatan dana keuangan.

Bagi pejabat yang menangani dan telah memahami pengelolaan keuangan daerah, khususnya DAK agar melakukan
sosialisasi kepada pejabat lain ternasuk SKPD pelaksana kegiatan agar memperlancar pelaksanaan kegiatan DAK. Bagi
daerah yang telah menerima penyaluran DAK Tahap I agar segera merealisasikan kegiatannya dengan berpedoman pada
Juknis masing-masing DAK. Beberapa langkah agar percepatan penyalura dana DAK ini adalah harus menyampaikan
laporan penyerapan sesegera mungkin, meminta kontraktor mempercepat pelaksanaan pekerjaan, dan yang pasti harus
melakukan koordinasi antar perangkat daerah melalui pertemuan rutin. Bagi daerah yang memaksimalkan DAK, maka
akan ada dana insentif atau dana tambahan yang lebih dikenal dengan nama Proyek Pemerintah Daerah dan
Desentralisasi (P2D2).

Tapi sebaliknya, jika tidak memaksimalkan DAK maka dana tersebut akan hangus di tahun itu dan akan dipertimbangkan
di tahun berikutnya. Diharapkan, semua daerah yang menerima DAK dapat menyalurkan dana tersebut untuk
kepentingan daerahnya agar lebih baik, karena DAK dapat membantu perkembangan daerah meski dana yang diterima
mungkin tak sebesar yang diharapkan. Dan tidak ada alasan lagi bagi pemimpin daerah tidak menggunakan dana DAK
yang telah disiapkan untuk daerahnya.
PENTINGNYA DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS SEBAGAI DANA PERIMBANGAN DALAM KERANGKA
OTONOMI DAERAH
Posted 14 November 2011 by Dikko Alrakhman Makruf in Uncategorized. 2 Komentar

Indonesia adalah salah satu negara dari sekian banyak negara yang merupakan negara kesatuan. Dalam hal ini, penyelenggaraan
pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Oleh karena itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, adanya pemerintah daerah adalah ciptaan dari pemerintah
pusat melalui undang-undang. Sepenuhnya kedaulatan hanya berada di tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya
menjadi subordinasi pemerintah pusat.
Pada dasarnya, seiring dengan cita-cita demokrasi nasional dan proses percepatan pembangunan maka muncul suatu yang
dinamakan dengan otonomi daerah. Ini berarti bahwa suatu daerah itu memiliki sifat yang otonom. Menurut Encyclopedia of Social
Science, otonomi adalah “the legal self suffiency of social body and its actual independence.” Lebih jauh, berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi, otonomi dapat diartikan sebagai hak untuk mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah. Tentunya, otonomi diberikan
sebagai upaya percepatan pembangunan dan peningkatan pelayanan sesuai tuntutan dan prakarsa masyarakat di daerah
bersangkutan. Otonomi sebenarnya mengandung nilai-nilai kepercayaan yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat
daerah, sehingga akan meredam potensi terjadinya disintegrasi bangsa.
Hal ini menjadi semakin logis dengan diberikannya otonomi pada daerah karena akan sangat sulit mengurus seluruh kepentingan
negara yang banyak dan luas ini jika hanya dikerjakan secara terpusat. Oleh karena itu, dalam menjalankan pemerintahannya,
utamanya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, Indonesia menganut asas desentralisasi, yang di samping itu terdapat
pula asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, hal ini berarti semua urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan
pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
Dengan terselenggaranya otonomi seluas-luasnya maka diperlukan suatu pengaturan secara adil dan selaras mengenai hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dan antar pemerintah daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber
pendanaan perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang merupakan subsistem
keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas atau sejalan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah menganut prinsip money follow function,
yang bermakna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing
tingkat pemerintahan.
Selanjutnya, perlu untuk diketahui bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan
pembiayaan. Sumber pendapatan daerah dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pendapatan asli daerah, yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi;
2. Dana perimbangan, yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan
antarpemerintah daerah;
3. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal pendapatan
asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah.
Adapun sumber pembiayaan yaitu sebagai berikut.
1. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
2. Penerimaan pinjaman daerah;
3. Dana cadangan daerah; dan
4. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Berdasarkan uraian di atas, secara khusus akan dijabarkan mengenai dana perimbangan, utamanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khsusus (DAK). Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Menurut sejumlah literatur, dana perimbangan
memiliki makna yang sama dengan pendapatan transfer. Salah satu bentuk pendapatan transfer adalah bantuan (grants). Bantuan
(grants) menjadi sumber pendapatan yang utama bagi pemerintah daerah di banyak negara (Bird, 2000; Humes IV, 1991; Wilson
dan Game, 1994; Shah, 1994). Istilah lain dari grants yang juga seringkali dipergunakan adalah subsidies atau subventions. Terdapat
tiga alasan utama dari penggunaan jenis bantuan ini (Humes IV, 1991: 239) yakni: untuk menambah sumber pendapatan daerah,
lalu untuk memenuhi kebutuhan yang berlebihan pendapatan yang terbatas dari area tertentu, dan untuk meningkatkan program
tertentu serta menyelipkan kontrol terhadapnya.
Menurut Shah (1994) salah satu jenis utama bantuan adalah non matching transfer, di samping terdapat pula jenis bantuan lain
yaitu matching transfer. Namun, di sini akan dipersempit pembahasan mengenai non matching transfer. Non matching
transfer dapat dibedakan menjadi selective (conditional) atau general (unconditional) transfer. Selective nonmatching
transfermemberikan sejumlah dana tanpa adanya penyesuaian lokal, yang dibelanjakan untuk tujuan tertentu. Bantuan jenis ini
cocok untuk menyubsidi aktivitas tertentu yang dinilai berprioritas tinggi bagi pemerintah pada tingkatan yang lebih tinggi tetapi
berprioritas rendah bagi pemerintah daerah.
Dalam unconditional (general) nonmatching transfer, tidak ada batasan yang ditentukan mengenai bagaimana bantuan tersebut
dibelanjakan. Tidak seperti dalam jenis yang pertama, dalam jenis kedua ini tidak ada batas pembelanjaan minimum bagi area-area
tertentu. Karena bantuan ini bisa dibelanjakan atas berbagai kombinasi barang dan layanan publik atau memberikan keringanan
pajak bagi warga, maka jenis bantuan ini tidak memengaruhi harga relatif dan memberikan stimulasi terkecil bagi pembiayaan lokal.
Implikasi yang disebabkan alasan politis dan birokrasi, bantuan kepada pemerintah daerah cenderung menghasilkan pembelanjaan
daerah yang lebih besar daripada transfer tersebut langsung diberikan kepada warga lokal.
Terdapat pula jenis lain beserta peristilahan yang berbeda namun dengan maksud yang sama. Specific grants mempunyai karakter
yang mirip dengan conditional non matching transfer. Sementara general atau block grants memiliki karakter yang
menyerupai unconditional nonmatching transfer (Humes IV, 1991; Wilson dan Game, 1994; Devas, 1988; Davey, 1988; Shah, 1994).
Dengan melihat uraian sebelumnya, dipahami bahwa di Indonesia penerapan general purpose grant atau block grant merupakan
Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan, specific purpose grantmerupakan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU atau general purpose grant atau block grants adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota. Namun demikian, daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah
Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Setiap
daerah memperoleh besaran DAU yang tidak sama, karena harus dialokasikan atas dasar besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) dan
alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi
dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan
daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan pendanaan daerah diukur secara berturut-turut dari jumlah
penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan
manusia. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif
kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar.
Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.
Pendapatan dalam negeri neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan
penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Jumlah DAU 26% ini merupakan jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan
kabupaten/kota. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal penentuan proporsi ini belum dapat dihitung secara kuantitatif.
Proporsi DAU antara DAU provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%. Jumlah keseluruhan DAU
ditetapkan dalam APBN setiap tahun dan bersifat final.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK atau specific purpose grant adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
DAK dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan
fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam
APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau
peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang,
termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi
DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Hal yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian belanja
negara antara lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan
fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Daerah tertentu yang dapat memperoleh alokasi DAK ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
Kriteria umum berarti mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus berarti memerhatikan
peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Kriteria teknis merupakan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian
negara atau departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi
DAK. Dana Pendamping harus dianggarkan dalam APBD, namun bagi daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan
menyediakan dana pendamping.
Analisis Mengenai DAU dan DAK Dalam Tataran Otonomi Daerah: Problematika dan Urgensi
Dewasa ini, sejumlah permasalahan kian bermunculan seiring berjalannya otonomi daerah. Salah satu dampak yang krusial adalah
banyak wacana mengenai pemekaran daerah. Hal ini menjadi masalah serius di saat suatu daerah pasca pemekaran menjadi sebuah
daerah otonom yang baru ternyata tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana tujuan negara yang diamanatkan
di dalam konstitusi. Pada dasarnya, tujuan pemekaran adalah positif yaitu untuk lebih mendekatkan pelayanan bagi masyarakat dan
meningkatkan pembangunan agar lebih merata. Kendati demikian, cita-cita tersebut akan menjadi sia-sia jika ternyata upaya
pemekaran hanya menjadi sebuah alat untuk menguntungkan kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan, bukan berlandaskan
kepentingan rakyat banyak. Akibatnya, bukan pembangunan yang lebih baik tercipta, melainkan kemerosotan kesejahteraan rakyat
daerah tersebut, karena pemerintah setempat tidak sanggup mengelola pemerintahan dengan baik.
Kondisi yang demikian tentu sangat dipengaruhi oleh kapasitas keuangan suatu daerah guna menjalankan pemerintahannya.
Sederhana saja, bahwa untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat ataupun melakukan pembangunan
diperlukan dana untuk mewujudkannya. Jika pemerintah daerah tidak memiliki dana, lalu apa yang dapat dilakukan oleh daerah
tersebut. Terlepas dari permasalahan ini, praktik otonomi yang telah diterapkan selama ini memiliki konsekuensi hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Realita menunjukkan yang terjadi selama ini adalah masih terdapatnya kesenjangan fiskal vertikal dan kesenjangan fiskal horizontal
bagi sejumlah daerah di Indonesia. Kesenjangan fiskal vertikal timbul karena adanya keterbatasan sumber dan kewenangan
penerimaan daerah, baik dalam bentuk pajak maupun bukan pajak, serta adanya kebutuhan pengeluaran daerah yang jauh lebih
besar. Sedangkan, kesenjangan fiskal horizontal terjadi karena perbedaan kapasitas antardaerah untuk menghasilkan pendapatan
sendiri yang tergantung dari distribusi luas dan besarnya kewenangan atas objek dan basis pajak serta kewenangan sumber-sumber
nonpajak. Kesenjangan ini dapat pula terjadi karena adanya perbedaan biaya dan tekanan permintaan atas pelaksanaan fungsi-
fungsi yang menjadi tanggung jawab daerah bersangkutan.
Hal tersebut tentu berimplikasi pada terjadinya peningkatan kesenjangan pertumbuhan ekonomi antardaerah, kurangnya
kemandirian daerah, dan munculnya ketidakpuasan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat memberikan dana
perimbangan dalam rangka menciptakan keadilan dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan bagi kepentingan
daerah. Dalam hal perimbangan keuangan, pemerintah pusat memberikan bantuan diantaranya berupa Dana Alokasi Umum dan
Dana Alokasi Khusus, di samping Dana Bagi Hasil (DBH). Dana perimbangan yang diberikan pemerintah pada dasarnya adalah untuk
menambah sumber pendapatan bagi daerah.
Melalui DAU, pemerintah bertujuan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang berdasarkan
pertimbangan kebutuhan dan potensi daerah, sehingga daerah dapat membelanjakan dana tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan
daerahnya. Dalam DAU ini tidak terdapat batasan mengenai bagaimana dana tersebut dibelanjakan, sehingga daerah dapat dengan
leluasa memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan yang diinginkan. Namun, masalah yang muncul adalah kemampuan daerah
dalam mengelola DAU. Apabila daerah kurang mampu mengelola dana tersebut, maka tidak menutup kemungkinan yang terjadi
adalah semakin meningkatnya ketergantungan daerah pada dana perimbangan ini. Pengelolaan terhadap DAU sebaiknya dilakukan
dengan selektif agar dananya tidak sia-sia dan bermanfaat bagi publik. Pemanfaatan DAU yang dominan untuk belanja pegawai
negeri sipil daerah dapat berdampak pada berkurangnya alokasi belanja modal, berkurangnya alokasi dana untuk penciptaan
lapangan pekerjaan, ataupun berkurangnya alokasi dana untuk program penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, sebaiknya
pemanfaatan DAU dibuat seimbang dengan belanja lainnya atau mengkaji kembali alokasi yang sangat penting bagi daerah, namun
tidak pula melupakan belanja pegawai/penggajian pegawai sebagai suatu keharusan daerah untuk mengembangkan potensi sumber
daya manusia.
DAU diharapkan menjadi sebuah modal dalam rangka menciptakan pemanfaatan yang lebih baik. Sebagai contoh, jika dana
dialokasikan untuk kepentingan pembangunan, misal infrastruktur atau layanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) atau
upaya perluasan lapangan pekerjaan, maka hal ini akan memiliki dampak yang besar bagi masyarakat dengan tersedianya pelayanan
publik yang lebih baik maupun mengurangi pengangguran dengan penyerapan tenaga kerja di sejumlah sentra-sentra lapangan
kerja. Dengan demikian, DAU menjadi penting bagi suatu daerah sebagai salah satu pendapatan daerah yang dapat digunakan
sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan daerah.
Di sisi lain, pemberian DAK oleh pemerintah yang dialokasikan bagi daerah tertentu bertujuan untuk mendanai kegiatan tertentu
yang menjadi prioritas nasional. Jadi, penggunaan DAK telah ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga daerah tidak dapat
membelanjakannya untuk kebutuhan lain. Daerah yang memenuhi kriteria pada setiap tahunnya akan diberikan DAK. Penggunaan
dana tersebut diutamakan untuk proses pembangunan yang menyangkut infrastruktur maupun sarana dan prasarana fisik
pelayanan dasar masyarakat. Dengan DAK diharapkan terjadi pemerataan dalam pembangunan, serta pelayanan bagi masyarakat.
Daerah yang keuangannya kurang mencukupi akan terbantu oleh DAK, sehingga dapat meminimalisir kecemburuan antardaerah. Di
samping itu pula diharapkan dapat mencapai standar pelayanan minimal bagi setiap daerah, karena masyarakat memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang baik. Oleh karena itu, DAK menjadi sangat penting fungsinya untuk mencapai kegiatan yang menjadi
program nasional.
Kembali pada konteks otonomi daerah, hendaknya para elit politik semakin sadar akan kepentingan masyarakat umum dalam upaya
peningkatan kesejahteraan melalui otonomi yang diberikan kepada daerah, bukan mencari-cari kesempatan untuk terus
menciptakan daerah-daerah otonom yang baru demi menikmati kekuasaan, yang terkadang mengabaikan sejumlah pertimbangan-
pertimbangan. Akibatnya, akan menimbulkan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan karena minimnya keuangan
daerah yang bersangkutan. Hal ini kemudian berdampak pada beban negara untuk memberikan bantuan secara terus-menerus yang
tidak didukung dengan tata kelola keuangan yang baik. Sejatinya, permasalahan tersebut tidak mungkin sampai sejauh itu, apabila
sebuah rencana pemekaran daerah dipertimbangkan dengan baik dan benar, bukan hanya memikirkan kepentingan sesaat para elit
politik. Dengan demikian, pemerintah pusat sebaiknya memfokuskan penataan daerah yang ideal untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan potensi keuangan yang dimiliki yang diimplementasikan baik melalui DAU dan DAK.
Terakhir, melalui dana perimbangan ini pemerintah pusat dapat mengontrol pemerintah daerah, sehingga harapan jangka panjang
adalah dapat menjaga keutuhan Indonesia dari munculnya berbagai gerakan separatis yang ingin memisahkan diri karena masalah
keuangan.

Referensi:
http://kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/8.%20Hubungan%20Keuangan%20Pusat-Daerah.pdf
Muluk, Khairul. 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: ITS Press.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan.
Pramusinto, Agus (ed). 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: GAVA MEDIA.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah.
Yani, Ahmad. 2009. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai