Anda di halaman 1dari 24

BAB 4 : RESUSITASI JANTUNG PARU DAN OTAK

1. Henti napas primer (respiratory arrest) seperti serangan stroke, keracunan

obat, tenggelam, inhalasi asa/gas, tercekik (suffocation), obstruksi jalan napas

oleh benda asing, tersengat listrik, trauma dan tersambar petir. Atau Henti

jantung primer (cardiac arrest).

2. Resusitasi ABC (Airway control atau Assessment, Breathing support,

Circulation support).

Pembebasan Jalan Napas : Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya

jalan nafas pada pasien tidak sadar. Pasien pada posisi terlentang pada permukaan

datar dan keras. Head tilt-chin lift maneuver dilakukan pada pasien jika tidak ada

trauma pada leher. Satu tanagn medorong dahi kebawah dan tangan lain

mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas

dan epiglotis terbuka. Jaw-thrust maneuver dilakukan pada pasien dengan trauma

leher. Rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa

menggerakkan kepala-leher.

Bantuan Napas : Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang.

Napas buatan tanapa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut, mulut ke

hidung atau via sungkup muka. Frekuensi dan besar hembusan lita sesuaikan

dengan usia pasien. Bantuan napas ini adekuat jika saat menghembuskan udara

dada naik dan ketika dilepas dada pasien turun dan terdengar udara ekspirasi

pasien. Hembusan tidak baik kalau terjadi kebocoran atau udara sebagian atau
seluruhnya masuk lambung melalui esofagus dan akan menyebabkan distensi

lambung.

Bantuan Sirkulasi : Pasien ditidurkan terlentang pada alas keras sebelum

melakukan kompresi jantung. Kompresi jantung luar yanf benar ialah bagian

tengah separuh bawah tulang dada. Pada pasien dewasa tekan tulang dada sedalam

3-5cm sebnyak 60-100 kali per menit. Pijatan jantung yang baik akan

menghasilkan denyut nadi pada karotis dan curah jantung sekitar 10-15% dari

normal.

3. D: Drug and fluid treatment

E: Electrocardiography

F: Fibrillation treatment

D: Adrenalin diberiakan bila henti jantung yang terjadi kurang dari 2 menit.

Dosisnya 0.5-1.0 mg untuk dewasa diberiakn melalui intravena dan 10mcg/kg

untuk anak. Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama

dengan dosis sama seperti dosis pertama.

Natrium Bikarbonat diberikan pertama kali bila henti jantungnya diperkiraka

lebih dari 2 menitkerana pada saat ini asidosis yang terjadi sangat berat. Dosis

mula 1 mEq/kg kemudian dapat diulang setiap 10 menit dengan dosis 0.5 mEq/kg

sampai jantung berdenyut spontan. Pemberian hanya secara intravena.


Glukosa 40% ditujukan untuk mencegah hipoglikemia karena pada keadaan

metabolisme anaerob, tubuh tidk mampu menyedikan glukosa. Dosisnya 1g/kgBB

diberikan secara intravena.

Kalsium diperlukan pada henti jantung oleh karena disosiasi elektromekanis,

setelaah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian adrenalin. Bentuk

garam adalah kalsium klorida 10% dan kalsium glukosa 10%. Dosisnya 5ml untuk

orang dewasa dengan berat badan 70kg diberikan intravena.

Terapi cairan. Menyediakan jalur ven terbuka untuk memasukkan obat-obatan

dan menambah volume sirkulasi darah terutama pada penderita syok akibat

perdarahan akut atau dehidrasi. Jenis cairan yang dipilih bisa cairan kristaloid

( Ringer Laktat dan Nacl 0.9%) tatu koloid secara tunggal atau kombinasi.

E: Diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG.

Ada tiga pola EKG pada henti jantung yaitu

 Asistol ventrikel, gambaran EKG yang isoelektris, yang paling sering

disebabkan oleh hipoksia, asfiksia dan blok jantung.

 Disosiasi elektromekanik (komplek aneh), gambaran EKG normal tetapi

tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi idak efektif

sehingga denyut nadi tidak teraba. Sebabnya adalah hipovolemia, emboli paru
masif, aneurisma, hipotermi dan ventilasi tidal adekuat serta gangguan

keseimbangan elektrolit.

 Fibrilasi ventrikel paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.

Gambaran EKG akan tampak osilasi yang khas tanpa kompleks QRS.

F: Usaha untuk segera mengakhiri disritmia takhkikardia ventrikeldan fibrilasi

ventrikel menjadi irama sinus normal dengan mempergunakan syok balik listrik.

4. Apabila hanya satu penolong, diberikan kompresi sebanyak 15 kali dan diikut

pemberian 2 kali nafas dalam dengan cepat dan dalam. Dalam satu menit harus

ada 4 siklus kompresi dan ventilasi yaitu 60 kompresi dan 8 nafas. Apabila ada

2 penolong, kompresi diberikan oleh salah satu penolong dengan laju 60/menit

dan nafas buatan oleh penolong kedua yang dilakukan pada akhir hitungan ke

lima sehingga frekuensi nafas menjadi 12 kal, sehingga perbandingan menjadi

5:1.

6. Tanda-tanda klinis kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk

membuat keputusan mengakhiri usaha resusitasi. Tidak adanya aktivitas listrik

jantung (asistol) walaupun dilakukan usaha resusitasi adekuat biasanya berarti

kematian jantung.
8. Obat-obat emergency atau obat-obat yang dipakai pada gawat darurat adalah

atrofin, efedrinn, ranitidin, ketorolak, metoklorpamid, amonofilin, asam

traneksamat, adrenalin, kalmethason, furosemid, lidokain, gentamisin,

oxitosin,methergin, serta adrenalin.

a) Adrenalin/ Epinefrin

Adrenalin sangat berguna pada pasien dengan syok anafilaktik yang ditandai

bronkospasme atau eksaserbasi asma yang hebat. Di evaluasi tiap 5 menit,

pemberian epinefrin dapat diulangi 3 kali. Kemudian jika sudah diulang 3 kali tapi

tidak ada respon/ asistole maka lihat pupil, jika sudah dilatasi maksimal maka

usaha dihentikan. Tapi jika miosis maka lanjutkan dengan VTP dan RJP, jika

sudah muncul tensi tapi masih rendah maka dapat dilanjutkan dengan obat-obatan

inotropik lain.

b) Efedrin

Kemasannya adalah ampul 50mg/cc, digunakan dalam bentuk larutan 1%.

Fungsinya adalah untuk meningkatkan tensi pada hipotensi yang tidak disebabkan

oleh karena kekurangan volume intravaskuler.

c) Sulfas Atropin.

Kemasannya adalah 0,25 mg/cc. Digunakan untuk bradikardi yanv disebabkan

oleh karena stimulas vagal, misalnya pada rangsang omentum, operasi urogenital.

d) Aminofilin

Obat-obatan anastesi seperti pentotal, propofol, muscle relaksan, dapat

menginduksi asma attack. Hal ini yang paling ditakutkan pada tindakan anastesi,

karena pada asma attack yang terganggu adalah fase ekspirasinya, sedangkan pada
intubasi yang dibantu adalah inspirasinya sedangkan untuk ekspirasi

menggunakan spontanitas dari pasien. Sehingga aminofilin sangat dibutuhkan

pada keadaan ini.

e) Furosemid

Pada tindakan anastesi furosemid sangat dibutuhkan pada keadaan dimana pasien

banyak sekali kehilangan darah dan darah belum tersedia, sehingga kita

menggantinya dengan menggunakan cairan dahulu, kemudian pada saat darah

sudah tersedia maka kita mencegah terjadinya overload cairan yang sudah masuk

tadi dengan menggunakan furosemid dengan dosis 5mg/kgbb.

f) Diazepam/ Midazolam, digunakan untuk melemaskan kejang oto dan sebagai

obat penenang. Termasuk dalam golongan benzodiazepine yang bekerja di otak

dan saraf untuk menghasilkan efek tenang. Tablet 2-10 mg 2-4 kali sehari. Injeksi

2-5 mg (cemas sedang) atau 5-10 mg (cemas berat) 1 kali dosis. Dapat diulag

dalam 3-4 jam, jika dibutukan.

g) Natrium Bicarbonat, digunakan pada saat pasien dengan asidosis metabolik

yang harus diperhatikan pada injeksi natrium bicarbonat adalah aliran darahnya

lancar, karena jika terjadi ekstravasasi maka akan menyebabkan nekrosis jaringan.

Hati-hati juga pemberian natrium bicarbonat karena akan menarik kalium dari

dalam vaskuler yang akan menyebabkan hipokalemia.


10. Jalur pemberian terapi cairan secara umum dilakukan melalui jalur vena, baik

vena perifer amupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan

seksi vena. Kanulasi vena perifer pilihan pertama adalah vena-vena di daerah

ekstremitas atas, dan daerah bawah. Hindari vena di daerah kepala karena sangat

tidak stabil fiksasinya, sehingga mudah terjadi hematom. Pada bayi baru lahir,

vena umbilikus bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan

daurat.Kanulasi vena sentral, dilakukan melalui vana Subkalvikula atau vena

jugularis interna.

11. Tujuan terapi cairan

 Mengganti cairan yang hilang

 Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung

 Mencukupi kebutuhan per hari

 Mengatasi syok

 Mengoreksi dehidrasi

 Mengatasi kelainan akibat terapi lain.

Cairan pemelihraan, untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses,

paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur,

yaitu Dewasa 1.5-2 ml/kg/jam, Anak-anak 2-4 ml/kg/jam, Bayi 4-6 ml/kg/jam
Orok (neonatus) 3 ml/kg/jam. Cairan yang hilang ini mengandungi sedikit sekali

elektrolit maka sebagai cairan pengganti adalah yang hipotonis-isotonis. Dextrose

5% NaCl, Ringer Laktat, Ringer dan Maltose 5% Ringer.

Cairan Pengganti, untuk mengganti kehilanga air tuuh yang disebabkan oleh

sekuestrasi atau proses patologi yang mislanya,fistula, efusi pelura, drainase,

dehidrasi dan perdarahan pda pembedahan atau cedera. Ciaran ganti yang

digunakan ialah kristaloid, misalnya NaCl 0.9% dan Ringer Laktat atau koloid,

misalnya Dextrans 40 dan 70.

Cairan untuk tujuan khusus, adalah cairan kristaloid misalnya natrium

bikarbonat 7.5%, kalsium glukonas dll untuk koreksi khusus terhadap gangguan

keseimbangan elektrolit.

Cairan nutrisi, digunakan untuk nutrisi parental pada pasien yang tidak mau

makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral.

14. Defibrilasi ventrikel adalah DC shock asinkron yang digunakan pada VF/VT

tanpa denyut. Kardioversi adalah DC shock secara sinkron yang digunakan pada

AF,VT ada denyut.

15. Indikasi : Ventrikel fibrilasi, Ventrikel tachicardi

Kontra indikasi: Keracunan, Hipokalemia, Hipomagnesemia AF atau atrial

flutter dengan AV-black komplit, AF kronis selma 5 tahun atau lebih, Operasi
katup baru

16. Pelaksanaan DC shock

 Memberikan sedative atau analgesic bila perlu.

 Memasang elektrode dan menyalakan EKG monitor.

 Cek ulang gambaran EKG dan print gambaran EKG tersebut untuk mencegah

kekeliruan.

 Set kebutuhan joule sesuai indikasi defibrilasi 150J cardioversi 50J.

 Pegang peddic 1 dengan tangan kiri, letakkanpada daerah mid sternum dan

paddle 2 dengan tangan kanan pada daerah mid aksila.

 Pastikan stff yang lain tidak ada yang mententuh pasien ataupun bed pasien.

 Bila terdengar ready dan mesin defibrilator, tekan tombol DC shock dengan

jempol agar arus masuk dengan baik.

 Amati EKG monitor bila tidk ada perubahan lanjutkan dengan memberi watt

second yang lebih tinggi.

 Bila gambaran EKG sudah sinus dan stabil hentikan tindakan.

BAB 6 : NYERI
1. Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Ketika suatu jaringan mengalami

cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat

menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin,

prostaglandin, dan substansi yang akan mengakibatkan respon nyeri. Nyeri juga

dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan

pada reseptor nyeri.

2.Fisiologi Nyeri

• Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius àaktivitas elektrik reseptor

terkait.

• Transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik

perifer yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf

yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis

ke batang otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara

thalamus dan cortex.

• Modulasi, yaitu aktivitas saraf utk mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras

tertentu telah diteruskan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat

transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat

analgetika seperti morfin (Dewanto).

• Persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan

perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak yang

menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri
secara mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan

keterbatasan untuk memahaminya.

Patofisiologi nyeri

Nyeri diawali dgn kerusakan jaringan (tissue damage), dimna jaringan tubuh yang

cedera melepaskan zat kimia inflamatori (excitatory neurotransmitters),

(histamine dan bradykinin) sbg vasodilator yg kuat -> edema, kemerahan dan

nyeri dan menstimulasi pelepasan prostaglandins

Transduksi (transduction) : perubahan energi stimulus menjadi energi elektrik,

-> proses transmisi (transmission) yakni ketika energi listik mengenai nociceptor

dihantarkan melalui serabut saraf A dan C dihantarkan dengan cepat ke substantia

gelatinosa di dorsal horn dari spinal cord -> ke otak melalui spinothalamic tracts

-> thalamus dan pusat-pusat yg lbh tinggi termsk reticular formation, limbic

system, dan somatosensory cortex

Modulasi (modulation) : saat otak mempersepsikan nyeri, tubuh melepaskan

neuromodulator, seperti opioids (endorphins and enkephalins), serotonin,

norepinephrine & gamma aminobutyric acid -> menghalangi /menghambat

transmisi nyeri & membantu menimbulkan keadaan analgesik, & berefek

menghilangkan nyeri.

Persepsi (perseption) : otak menginterpretasi signal, memproses informasi dr

pengalaman, pengetahuan, budaya, serta mempersepsikan nyeri -> individu mulai

menyadari nyeri.
3. Cara penilaian nyeri

Terdapat 3 cara untuk menilai derajat nyeri.

 Numeral Rating Scale merupakan sebuah alat ukur yg meminta pasien untuk

menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala

numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” & 10 atau 100

berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 & skala NRS-11

point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yg berarti & selanjutnya

digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor

apakah terjadi kemajuan.

 Visual Analog Scale


VAS merupakan alat ukur lainnya yg digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri

& dengan cara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai

dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” & ujung kanan

diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang

garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yg dirasakan pasien.

Selanjutnya jaraknya diukur dari batas kiri hingga pada tanda yg diberi oleh

pasien (ukuran mm), & itulah skorenya yg menunjukkan level intensitas nyeri.

Selanjutnya skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi

kemudian. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada

pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point lantaran responnya yg lebih

terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif pada perubahan terhadap nyeri kronik

daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984).

 Verbal Rating Scale

VRS merupakan alat ukur yg menggunakan kata sifat untuk menggambarkan level

intensitas nyeri yg berbeda, range dari “no pain” hingga “nyeri hebat” (extreme

pain). VRS ialah alat pemeriksaan yg efektif buat memeriksa intensitas nyeri.

VRS umumnya diskore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai

dengan tingkat intensitas nyeri yang dirasakan. Sebagai contoh, dengan

menggunakan skala 5-point yakni none (tidak ada nyeri) dengan diberi score “0”,

mild (kurang nyeri) dengan diberi score “1”, moderate (nyeri yg sedang) dengan

diberi score “2”, severe (nyeri keras) dengan diberi score “3”, very severe (nyeri

yg sangat keras) dengan diberi score “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata
sifat dalam VRS, selanjutnya digunakan untuk memberikan skore buat intensitas

nyeri pasien. VRS ini memiliki keterbatasan didalam mengaplikasikannya.

Beberapa keterbatasan VRS yakni adanya ketidakmampuan pasien untuk

menghubungkan kata sifat yg cocok untuk level intensitas nyerinya, &

ketidakmampuan pasien yg buta huruf untuk memahami kata sifat yg digunakan

4&5.Tatalaksana nyeri akut dan kronis

Nyeri akut merupakan nyeri yang menyusul adanya kerusakan jaringan yang

nyata (pain with nociception) biasanya terjadi kurang dari 1 bulan.

Nyeri Kronis nyeri yang tanpa terjadi kerusakan jaringan yang nyata (Pain

without nociception) yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama, biasanya

terjadi lebih 3 bulan.


6. WHO Step Ladder Pattern

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic

Ladder. Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang

berpusat pada 4 prinsip, yaitu:

 “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan,

bahkan untuk opiat.

 “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan

interval obat tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on

demand”.

 “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk

pengobatan nyeri, antara lain:

Langkah 1:
· Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik

non opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai

dosis maksimum yang direkomendasikan. Dapat digunakan obat adjuvan seperti

antidepresan atau antikonvulsi jika dibutuhkan. Jika pasien dengan nyeri sedang

atau berat maka dapat dlewati langkah 1.

Langkah 2:

· Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua,

yaitu ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein. Tambahkan atau

lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

Langkah 3:

· Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah

terakhir, disarankan untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin. Tambahkan

atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

 “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.

Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri

kronik maupun nyeri akut, yaitu:12

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.


Three

Step

Analgesic Ladder WHO


7. Apakah balans analgesia ?

Balanced Analgesia (Multimodal Analgesia) menggunakan dua atau lebih obat

analgesia yang bekerja pada mekanisme yang berbeda untuk mendapatkan efek

analgesia yang superior tanpa efek samping yang berarti bila dibandingkan

dengan pemberian obat tunggal dengan dosis yang besar. Beberapa contoh dari

balanced analgesia adalah 1) Kombinasi opioid epidural dengan lokal anestetik

epidural ; 2 ) kombinasi intravena opioid dengan NSAIDs yang mempunyai

“sparing effect “ terhadap efek sistemik opioid. Balanced analgesia sebaiknya

menjadi pilihan pada penanganan nyeri pasca bedah bila memungkinkan sesuai

dengan jenis operasi dan kondisi pasien. Parasetamol dan NSAIDs menjadi obat

utama pada nyeri pasca bedah dengan intensitas ringan sementara opioid dan atau

teknik anestesi lokal dapat digunakan untuk intensitas nyeri sedang (moderate

pain ).

Cth:

Beberapa kombinasi balans analgesia

 Pethidine 50mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam

dikombinasikan dengan NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg, ketorolac

3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).

 Tramadol 100mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam

dikombinasikan dengan NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg, ketorolac

3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).


BAB 5 : MONITORING PASIEN

2. Tekanan Darah merupakan kekuatan pemompaan darah oleh jantung untuk

mendorong darah di dalam arteri hingga ke seluruh tubuh. Tekanan darah normal

untuk orang dewasa adalah 120/80 MmHg. Pada bayi dan anak-anak tekanan

darah normal lebih rendah daripada dewasa. Ukuran tekanan darah ini dibagi

menjadi dua bagian yaitu Sistolik per Diastolik.

Denyut Nadi merupakanfrekuensi pemompaan jantung pada arteri. Pengukuran

denyut nadi dapat dilakukan pada arteri radialis (pergelangan tangan), arteri

brakialis (siku), arteri karotis (leher) atau arteri doralis pedis (kaki). Denyut nadi

normal untuk orang dewasa adalah 60-100 kali per menit.

Laju pernapasan merupkan frekuensi pernapasan. Pengukuran laju pernapasan

dilakukan dengan menghitung jumlah pengembangan dada seseorang untuk

menarik napas dalam waktu satu menit. Respirasi norml atau pernafasan normal

untuk orang dewasa adalah 12-20 kali per menit.

Suhu Tubuh merupakan ukuran panas badan seseorang. Pengukuran suhu tubuh

dilakukan dengan menggunakan alat ukur suhu yang disebut dengan Termometer.

Suhu tubuh normal untuk dewasa adalah 36,5 derajat Celcius - 37,5 derajat

Celcius.
3. Takikardia disebabkan oleh hipoksia, hipovolumia, demam, dan nyeri.

Bradikardi disebabkan oleh blok subarakhnoid, hipoksia (pada bayi) dan refleks

vagal. Disritima (diketahui dengan EKG), paling serig disebabkan karena

hipoksia.

4. Tujuan dari pemasangan CVC line diantaranya adalah :

 Sebagai pemantauan tekanan vena sentral terkait status cairan dan oksigenasi

tubuh.

 Memberikan cairan dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang

relative singkat.

 Untuk memberikan nutrisi via parenteral.

 Untuk memasukkan obat.

Cara pengukuran CVP bisa dilakukan dengan 2 metode, yaitu secara manual

dan membaca melalui monitor yang sudah dihubungkan oleh tranduser. Cara

melakukan pengukuran CVP secara manual, diantaranya :

 Persiapan alat. Alat yang biasanya digunakan untuk melakukan pengukuran

CVP diantaranya manometer, cairan, water pass, extension tube, three way,

bengkok, plester, dll.

 Jelaskan tujuan dan prosedur pengukuran CVP kepada pasien.


 Posisikan pasien dalam kondisi yang nyaman. Pasien bisa diposisikan semi

fowler (450).

 Menentukan letak zero point pada pasien. Zero point merupakan suatu titik

yang nantinya dijadikan acuan dalam pengukuran CVP. Zero point ditentukan

dari SIC (spatium inter costa) ke 4 pada linea midclavicula karena SIC ke 4

tersebut merupakan sejajar dengan letak atrium kanan. Dari midclavicula

ditarik ke lateral (samping) sampai mid axilla. Di titik mid axilla itulah kita

berikan tanda.

Gambar 1 : Posisi zero point

 Dari tanda tersebut kita sejajarkan dengan titik nol pada manometer yang

ditempelkan pada tiang infus. Caranya adalah dengan mensejajarkan titik

tersebut dengan angka 0 dengan menggunakan waterpass. Setelah angka 0

pada manometer sejajar dengan titik SIC ke 4 midaxilla, maka kita plester

manometer pada tiang infus.

 Setelah berhasil menentukan zero point, kita aktifkan sistem 1 (satu). Caranya

adalah dengan mengalirkan cairan dari sumber cairan (infus) kea rah pasien.
Jalur threeway dari sumber cairan dan ke arah pasien kita buka, sementara

jalur yang ke arah manometer kita tutup.

 Setelah aliran cairan dari sumber cairan ke pasien lancar, lanjutkan dengan

mengaktifkan sistem 2 (dua). Caranya adalah dengan mengalirkan cairan dari

sumber cairan ke arah manometer. Jalur threeway dari sumber cairan dan ke

arah manometer dibuka, sementara yang ke arah pasien kita tutup. Cairan

yang masuk ke manometer dipastikan harus sudah melewati angka maksimal

pada manometer tersebut.

 Setelah itu, aktifkan sistem 3 (tiga). Caranya adalah dengan cara mengalirkan

cairan dari manometer ke tubuh pasien. Jalur threeway dari manometer dan ke

arah pasien dibuka, sementara jalur yang dari sumber cairan ditutup.

 Amati penurunan cairan pada manometer sampai posisi cairan stabil pada

angka/titik tertentu. Lihat dan catat undulasinya. Undulasi merupakan naik

turunnya cairan pada manometer mengikuti dengan proses inspirasi dan

ekspirasi pasien. Saat inspirasi, permukaan cairan pada manometer akan naik,

sementara saat pasien ekspirasi kondisi permukaan cairan akan turun. Posisi

cairan yang turun itu (undulasi saat klien ekspirasi) itu yang dicatat dan

disebut sebagai nilai CVP. Normalnya nilai CVP adalah 5-12 cmH2O.

Nilai CVP yang kurang/rendah artinya pasien dalam kondisi kurang cairan,

mendapatkan ventilasi tekanan negatif, shock, dll. Sedangkan jika nilai CVP pada

pasien cenderung tinggi artinya klien mengalami kelebihan volume cairan, gagal

jantung kanan, dan pada pasien dengan ventilasi positif.


5.

6. Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak,

termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi

kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh reflex batang otak,

dan apneu.

7. Cara pemeriksaan mati batang otak

* Refleks cahaya pupil: tidak ada respon terhadap cahaya bilateral.

* Refleks okulo-sefalik (Doll’s eyes phenomena) negative: pemeriksaan ini hanya

dikerjakan jika tidak ada fraktur atau tidak stabilnya tulang leher secara jelas.

Respon tes ini ditimbulkan dengan membuat gerakan cepat, bertenaga dengan

memindahkan posisi kepala dari posisi ditengah ke 90˚ pada kedua sisi.
* Refleks kornea: tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan

ujung kapas.

* Respon motorik dari nervi kranialis: tidak ada seringai yang tampak jika

diberikan stimulis nyeri dengan melakukan penekanan pada saraf supraorbita,

tekanan dalam pada kedua kondilus persendian temporo-mandibula atau pada

kuku (nail bed).

* Refleks vestibulo-okular (tes kalori): pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika

ada perforasi membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat

30˚ dengan melakukan irigasi membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air

es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan jarak pemeriksaan

antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara

langsung terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.

* Refleks oro-faringeal: tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada

faring posterior.

* Refleks trakeo-bronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal

tube hingga mencapai karina atau lebih dalam. Hilangnya refleks batuk terhadap

penghisapan bronkial harus dijumpai.

Anda mungkin juga menyukai