Anda di halaman 1dari 15

1.

janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami) maksudnya dilalaikan hatinya daripada Alquran, dan orang yang
dimaksud adalah Uyaynah bin Hishn dan teman-temannya (serta memperturuti
hawa nafsunya) yaitu melakukan perbuatan yang memusyrikkan (dan adalah
keadaannya itu melewati batas) terlalu berlebih-lebihan.

Maka, waspadalah dan jauhkanlah dirimu sejauh-jauhnya dari sifat takabur.


Sebab, ia adalah penyakit yang menimpa iblis sehingga mencegahnya dari
menaati Allah ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Bahkan, ia
berani membangkang dan bertakabur. Dan, dengan ketakaburan dan
pembangkangannya itu, patutlah ia terhinakan, terkutuk, dan terusir dari rahmat
Allah serta terjerumus dalam nestapa abadi. (Semoga Allah mengaruniai kita
keselamatan dari segala bala’ dan penyakit.)

Waspadalah pula agar kita tidak berlalai-lalai, lupa akan Allah, sebutan nama-Nya,
dan kehidupan akhirat. Sebab, kelalaian termasuk di antara penyebab terbesar
kehancuran yang mendatangkan berbagai ragam kejahatan dan penderitaan di
dunia dan akhirat.

Kata "Janganlah kamu mengikuti" dalam ayat ini adalah


larangan, sedangkan larangan di situ
menunjukkan keharaman.

Adalah urusannya kalau dia melampaui batas, oleh karena


mengikuti hawa nafsu serta kelalaian
hanya akan membawa cerai berainya urusan, lepasnya
ikatan di antara manusia, hilangnya
pemikiran yang sehat dan lenyapnya logika yang benar.
Ketiga: Hawa Nafsu

Hawa nafsu adalah kecenderungan manusia untuk


memperturutkan syahwat/keinginannya. Haw^
nafsu lawarmya adalah kebenaran. Allah adalah Dzat yang
Maha Benar, Dia menciptakan langit dan
bumi dengan alasan yang benar. Firaian-Nya :
Firman Allah di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa kaum musyrikin
Quraisy minta kepada Nabi Saw. untuk mengusir sahabat-sahabat beliau Saw. yang
fakir dari majelis beliau Saw. dan memberi kesempatan tersendiri bagi kaum
musyrikin Quraisy tanpa disertai atau dihadiri sahabat-sahabat beliau Saw. yang
miskin. Tentunya, jika permintaan kaum musyrikin Quraisy itu dikabulkan, maka
Islam akan dianut oleh orang-orang kaya saja. Tetapi, wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Saw. tidak akan mengabulkan permintaan kaum musyrikin
Quraisy seperti itu, karena tugas Nabi Saw. menyebarkan agama Islam ini untuk
semua orang dan untuk semua lapisan masyarakat tidak pandang bulu. Karena
yang diharap oleh Islam bukannya banyak jumlah pengikutnya, tetapi yang diharap
oleh Islam adalah kualitas para pengikutnya. Dan kita tahu bahwa Islam berdiri
tegak di atas kedua kakinya tanpa bantuan atau peraturan tertentu. Islam didirikan
bersifat dinamika yang dimiliki oleh Islam dan Islam akan terus tersebar, karena
kekuatan Islam datangnya hanya dari sisi Allah semata. Karena itu, siapapun yang
berpegang teguh kepada ajaran Islam, maka ia akan menjadi orang mulia, tetapi
jika sebaliknya, maka ia akan menjadi orang hina. Sejarah Islam telah
membuktikan secara terang masalah ini.

Kaum musyirikin Quraisy yang minta kepada Nabi Saw. untuk diberi kesempatan
khusus bagi orang-orang kaya saja, karena mereka mempunyai sifat sombong,
individualis dan zhalim. Sedangkan para sahabat Nabi Saw. yang diminta oleh
mereka untuk dijauhkan dari majelis beliau Saw. termasuk orang-orang yang
miskin seperti Suhaib, Bilal, Ammar dan Yasir, mereka adalah orang-orang yang
tidak mempunyai kedudukan apapun di tengah bangsa Quraisy, karena mereka
miskin. Bahkan, para tokoh musyrikin Quraisy menyatakan tidak mau menghadiri
majelis Nabi Saw., kecuali jika beliau Saw. telah menjauhkan sahabat-sahabat
beliau Saw. yang miskin dari majelis beliau Saw.. Tentunya, menurut Allah
permintaan mereka tidak perlu dikabulkan, karena permintaan mereka sangat
rendah.

2. Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid


dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis
adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan
keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi,
dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid
teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya
Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.

Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan


dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari
tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah)
lebih menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah
adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang
disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata
dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan
langkah.

Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian


beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan
Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta
tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang
yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang
dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin
dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari.
Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis
dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni
dan konsekuen.

Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan


amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan
konteks. Dengan demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam
pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui pikiran, membenarkan
dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan
perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan
bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat
asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.

1. IMAN

Pengertian Iman menurut bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sedangkan


menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan
dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Jadi iman kepada Islam
maksudnya tidak hanya meyakini dalam hati dan mengatakan bahwa saya adalah
orang Islam akan tetapi juga harus memenuhi satu komponen lagi yaitu
membuktikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari hari.
Dalam hadist di riwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal
perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil
arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati,
ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan
sikap hidup atau gaya hidup.

2. TAQWA

Kata taqwa menurut bahasa arab berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya
takut-menjaga-memelihara atau melindungi. Dalam arti yang sempit, taqwa berarti:
“Melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya”. Menurut
Al- Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa
yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah.
Taqwa juga berarti kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi
larangan. Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu
yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam
istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan dosa. Seseorang yang bertaqwa
akan meninggalkan dosa-dosa, baik kecil maupun besar.

3. TANDA-TANDA ORANG BERIMAN


Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang beriman sebagai berikut :
1. Jika di sebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu
Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika di bacakan ayat suci Al-Qur’an,
maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal:2).
2. Senantiasa tawakal, yaitu kerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah,
diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut
6.sunnah Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at- Taubah: 52,
Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Thaghabun: 13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-
Anfal: 3, dan al-Mu’minun: 2,7).

4. TANDA-TANDA ORANG BERTAQWA


1. Beriman kepada ALLAH dan yang ghaib(QS. 2:2-3)
2. Sholat, zakat, puasa(QS. 2:3, 177 dan 183)
3. Infak disaat lapang dan sempit(QS. 3:133-134)

Korelasi antara Keimanan dan Ketaqwaan

Keimanan dan ketaqwaan merupakan suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya, karena antara keimanan dan ketaqwaan pada hakikatnya
saling berkaitan dan memerlukan, artinya keimanan diperlukan oleh manusia
supaya Allah swt dapat menerima ketaqwaannya. Iman tanpa taqwa, maka tidaklah
sempurna ibadah seseorang itu dan begitu pula taqwa tanpa iman.

3.https://image.slidesharecdn.com/materimanusiasbgkhalifah-151202012440-
lva1-app6891/95/manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi-1-
638.jpg?cb=1449019742

https://image.slidesharecdn.com/materimanusiasbgkhalifah-151202012440-lva1-
app6891/95/manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi-2-638.jpg?cb=1449019742

Manusia dan Tugas'nya sebagai Khalifah di Bumi

‫الر ِح ِيم‬
‫الرحْ َم ٰـ ِن ه‬ ‫ِبس ِْم ه‬
‫َّللاِ ه‬

Manusia dan Tugasnya Sebagai Khalifah di Bumi


Yang dimaksud dengan khalifah ialah bahwa manusia diciptakan untuk menjadi
penguasa yang mengatur apa-apa yang ada di bumi, seperti tumbuhannya,
hewannya, hutannya, airnya, sungainya, gunungnya, lautnya, perikanannya dan
seyogyanya manusia harus mampu memanfaatkan segala apa yang ada di bumi
untuk kemaslahatannya. Jika manusia telah mampu menjalankan itu semuanya
maka sunatullah yang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi benar-benar
dijalankan dengan baik oleh manusia tersebut, terutama manusia yang beriman
kepada Allah SWT dan Rasulullah SWT.
Tugas utama manusia sebagai khalifah di bumi ini,yaitu beribadah kepada
Allah,manusia Allah turunkan dengan segala fasilitas yang telah
disediakan,tentunya bukan hanya untuk dipergunakan begitu saja,melainkan juga
untuk dijaga,dirawat,dilestarikan,dan dimanfaatkan keberadaannya.
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk ciptaan Allah
lainnya.Karena manusia diberikan Allah pikiran dan dapat memikir dengan
akal.Karena itu Allah mempercayakan manusia sebagai khalifah di muka bumi
ini.Tidak ada yang dapat manusia lakukan tanpa adanya campur tangan dari Allah
swt,karena itu beribadah adalah satu wujud bakti sebagai hamba Allah.
Allah tidak akan menyulitkan hambanya,telah ia berikan umat Islam pedoman
berupa Al-qur’an untuk kita ikuti petunjuk yang ada di dalamnya,dan juga telah
Allah kirimkan Rasulullah sebagai pemimpin bagi umat Islam,yaitu nabi
Muhammad SAW.Menyembah hanya kepada Allah dan beribadah kepadanya
adalah sebuah kewajiban kita sebagai khalifah,kita hanya harus menyembah dan
berserah diri kepadanya.Mengikuti aturannya dan menjauhi larangannya.
Dimana di dalam Surat adz-dzaariyaat (Q.S 51), ayat 56,
51:56

Artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
menyembah kepadaku.” (QS Adz Zariyat : 56)
Surat Adz dzariyat ayat 56 mengandung makna bahwa semua makhluk Allah,
termasuk jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau
mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah SWT. Kata
menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun (taat, tunduk,
patuh). Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan
hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendaknya, baik secara sukarela
maupun terpaksa.Jadi selain fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi (fungsi
horizontal), manusia juga mempunya fungsi sebagai hamba yaitu menyembah
penciptanya (fungsi vertikal), dalam hal ini adalah menyembah Allah karena
sesungguhnya Allah lah yang menciptakan semua alam semesta ini.
Perilaku yang mencerminkan surat Adz Dzariyat ayat 56
Allah SWT menganjurkan setiap umat islam untuk berdzikir kepada-Nya, artinya
manusia dianjurkan untuk mengiat kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Allah
SWT dengan perasaan harap dan takut dengan khusyuk dan rendah diri di
hadapan-Nya. Zikir merupakan pintu pembuka hubungan dengan hamba-Nya,
menjadi obat penawar hati, penyehat badan, cahaya mata, dan zikir merupakan
jenis ibadah yang dapat dikerjakan kapan saja, tidak tergantung pada tempat,
waktu, keadaan, dan dapat dikerjakan sendiri ataupun secara bersama-sama. Oleh
karena itu,zikir sebaiknya dilakukan dengan cara:

Di awali dengan wudhu 3. Khusyuk


Duduk menghadap kiblat 4. Pada tempat yang tenang dan bersih.

Menyembah kepada Allah artinya hanya Allah tempat kita berbakti,tempat kita
meminta,dan memohon bantuan,serta tempat kita berkeluh kesah.Sebagai umat
Islam. Ibadah muhdah (murni), yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata
caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya oleh nas, baik Al Qur’an maupun hadits
yang tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi.Menyembah kepada Allah tidak
hanya dengan melaksanakan sholat,puasa,zakat,dan naik haji,tetapi sebagai
khalifah di bumi ini Allah telah memberikan perintah kepada kita untuk
menjaga,memelihara,dan memakmurkan bumi ini. Ibadah ‘ammah (umum), yaitu
pengabdian yang dilakuakn oleh manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas
dan kegiatan hidup yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan Allah
SWT

Berikut ini tugas manusia lainnya di bumi ini selain menyembah kepada Allah
SWT.
Manusia Sebagai Khalifah di bumi-Pemimpin Dirinya Sendiri
Manusia sebagai khalifah di bumi artinya setiap manusia adalah
khalifah,pemimpin dirinya sendiri sebelum memimpin saudaranya yang lain.
Dengan belajar mengontrol apa yang dipikirkan kita,hati kita,tingkah laku
kita,perasaan kita,dan sikap yang seharusnya bagaimanaharus ditampilkan,tanpa
kita sadari bahwa kita sedang memimpin diri kita sendiri.
Kita hidup di dunia ini akan selalu dihadapkan pada dua pilihan,yaitu dengan
berujung denganbaik atau buruk.Itulah kelebihan kita lainnya yaitu diberi pilihan.

4. Kendati menurut pandangan sebagian cendekiawan Ahli Sunnah, seperti Ibnu


Khaldun, tidak ada perbedaan antara imam dan khalifah, dan keduanya adalah
satu makna yaitu pelanjut dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan
kebijakan atau politik dunia, akan tetapi, secara umum dan ringkas bisa dikatakan
bahwa kedudukan imâmah, sebagaimana yang bisa disimpulkan dari al-Quran dan
riwayat, merupakan sebuah kedudukan yang tinggi dan mulia dimana bahkan juga
lebih tinggi dari kedudukan nabi serta risalah, sebagaimana yang bisa diambil dari
makna imam itu sendiri. Imam adalah seseorang yang bertanggung jawab dan
memegang kepemimpinan manusia dari seluruh dimensi kehidupan agama dan
dunia.
Akan tetapi, khalifah bermakna penerus atau pelanjut kedudukan, dan ini jelas
tidak memiliki syarat-syarat dan tingkatan yang dimiliki oleh imam. Kendati dari
pandangan Syiah, kedua maqam ini (imâmah dan khilâfah) bisa berkumpul
menjadi satu, sebagaimana Imam Ali dan para Imam Maksum As lainnya yang
selain sebagai imam, dengan memiliki syarat-sayarat dan karakteristik-karakteistik
imam, juga merupakan penerus Rasulullah dan kekhalifahan beliau.
Akan tetapi, kadangkala seseorang adalah imam, akan tetapi bukan khalifah,
seperti Nabi Ibrahim As, dimana setelah melewati cobaan dan ujian-ujian yang
berat, beliau sampai pada maqam imâmah, namun ia bukan sebagai khalifah dan
penerus nabi dengan makna khusus. Dan kadangkala pula, seseorang adalah
khalifah, akan tetapi bukan imam, seperti kekhalifahan Rasulullah Saw ketika
beliau tidak hadir di Madinah dan beliau menempatkan orang-orang seperti Ibnu
Maktub untuk menggantikannya. Oleh karena itu, antara imam dan khalifah
terdapat hubungan umum dan khusus sebagian.

Namun secara ringkas, imam dari aspek keberadaan awalnya dan


keabadiaannya adalah cermin kekhalifahan, dan khalifah adalah seseorang yang
merupakan cermin Tuhan dari awal dan akhir kehidupannya dengan tidak
diwarnai oleh egoisme sama sekali dan tidak melenceng sedikit pun dari kiblat
yang telah ditentukan baginya.
Tanpa ragu lagi, khalifah bermakna seseorang yang menjadi penerus dari selain
dirinya, dengan demikian, setiap khalifah bertanggung jawab atas kekhilâfahan
dari mustakhlafu anhu (yaitu Tuhan, sebagai pemberi kekhalifahan) dengan
demikian setiap khalifah yang menerima jabatan kekhalifaan dari Tuhan, mesti
berakhlak sesuai dengan akhlak-Nya serta menjadi pelaksana hukum-hukum-Nya.
Kekhalifaan Ilahi sejenis kesempurnaan eksistensial dan memiliki tingkatan-
tingkatan, dimana puncak tertingginya berada pada manusia-manusia sempurna,
seperti para nabi dan wali, dan tahapan lebih rendahnya bisa ditemukan pada
manusia-manusia saleh.[1]
Oleh itu, pada teks kata khilâfah dan penerus, terdapat makna tersembunyi
bahwa khilâfah adalah kemunculan mustakhlafu anhu (Tuhan) dalam khalifah,
dan khalifah adalah seseorang yang identitasnya bergantung pada mustakhlafu
anhu, dan keterpisahannya dengannya tidak bisa tergambarkan makna dan
realitasnya.

Imam harus mengamalkan apa yang dikatakannya dan membimbing


manusia, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, akan tetapi dalam
keterwujudan makna leksikal khilâfah, cukup hanya dengan makna seorang
khalifah sebagai pelanjut Rasulullah Saw dalam melaksanakan tugas-tugas beliau
saat beliau tidak ada. Bahkan jika khalifah ini tidak mengamalkan sesuai yang
dikatakannya, kembali dari sisi makna leksikal, ia tetap akan dikatakan sebagai
khalifah.
Karena itu, imâmah tidak ekuivalen dan tidak sinonim dengan khilâfah. Bisa jadi
kedua makna ini berkumpul dalam diri satu orang; misalnya jika Rasul memilih
orang pillihan untuk melaksanakan hukum dan aturan-aturan agama, dan dari sisi
amal ia adalah pemimpin manusia, seperti Imam Ali As sebagai penerus dan
khalifahnya, dan meletakkan tanggung jawab urusan sosial, politik dan penjagaan
agama serta aturan-aturan syariat di atas pundaknya, maka orang seperti ini
secara hakiki adalah imam, yang sekaligus khalifah berkaitan dengan pelaksanaan
aturan-aturan agama dan hukum-hukum Ilahi.
Kadangkala, mungkin seseorang adalah imam, akan tetapi bukan khalifah, seperti
Nabi Ibrahim As. Maksudnya di sini adalah Nabi Ibrahim bukanlah khalifah dan
penerus nabi dalam makna khusus, yang berarti selain sebagai imam, ia juga
sebagai khalifah (seperti Imam Ali As dimana ia adalah imam sekaligus khalifah),
akan tetapi khalifahnya Nabi Ibrahim As dengan makna khalifatullah, karena
seluruh anbiya adalah khalifah dan pelanjut Allah di muka bumi ini.
Kadangkala pula terjadi, yang terwujud pada seseorang adalah khilâfah, bukan
imâmah, yaitu mungkin seseorang adalah khalifah dan pelanjut, akan tetapi ia
bukan seorang imam, misalnya jika Rasulullah menempatkan seseorang sebagai
pengganti dan khalifahnya, dan ia diserahi serangkaian tugas tertentu yang harus
ia laksanakan dalam ketidakhadiran beliau, maka kepada orang seperti ini, dari
sisi leksikal bisa dikatakan sebagai khalifah Rasul, akan tetapi tidak termasuk
sebagai imam mutlak dan pemimpin dalam seluruh tingkatan.
Demikian juga jika sebuah bangsa memilih salah seorang diantara mereka dan
salah satu dari tugas-tugas Rasul diserahkan kepadanya, bisa jadi, sesuai akidah
mereka, orang ini disebuat sebagai khalifah, dan secara leksikal hal seperti ini
tidak bermasalah, akan tetapi imâmah mutlak dan pemimpin hakiki tidak benar
untuknya.

Analisa Teologis
Imam secara leksikal berarti pemimpin, dan imâmah bermakna kepemimpinan.
Akan tetapi dalam istilah ilmu kalam, para mutakallim menyebutkan definisi yang
berbeda untuk imâmah, dan mayoritasnya dengan makna kepemimpinan umum
masayarakat dalam persoalan-persoalan duniawi dan agama.
Karena itu, imam adalah pemimpin dimana perilaku dan tindak tanduknya
menjadi teladan bagi selainnya dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinan
masyarakat, baik kepemimpinannya ini sebagai penerus dari sisi Rasulullah Saw,
atau memang pada awalnya telah memiliki kedudukan ini.
Kata “imâm”, dalam al-Quran memiliki sebuah makna yang meluas dimana
banyak para nabi yang berada di bawah lingkupnya. Menurut Ibnu Manzhur,
Rasulullah Saw sendiri adalah imam para imam[2], karena beliau memiliki makam
tertinggi dan memegang kedudukan kepemimpinan, kepemimpinan beliau juga
memiliki orisinalitas dan keaslian yang khas, dimana beliau bukanlah penerus dari
seseorang.
Sementara dalam masalah khilâfah, topik tentang kepemimpinan memiliki bentuk
yang lain, kepemimpinan di sini merupakan penerus dari Rasulullah. Dari sini,
sebagian cendekiawan, dalam mendefinisikan imâmah lebih memilih interpretasi
“khilâfah ‘anirrasul”.
Khalifah secara leksikal bermakna penerus dan pelanjut seseorang, dan pada
dasarnya, bisa digunakan dengan makna ‘penggantinya’, karena itu, dengan
memperhatikan riwayat dari Rasulullah Saw mengenai khulafa dan para
pelanjutnya, saat beliau bersabda, “Imam setelahku ada dua belas orang, dimana
yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, dan yang terakhir dari mereka
adalah Mahdi Ajf. Mereka adalah khalifah, washi, dan auliyaku, dan hujjah-hujjah
Allah atas umatku setelahku”[3] bisa diketahui bahwa pada hadis ini beliau
memperkenalkan para Imam Maksum secara khusus sebagai pelanjutnya,
sementara di tempat lain, dengan memperhatikan hadis dimana Rasul Saw
bersabda, “Ilahi! Berilah rahmat-Mu kepada para khalifahku”, saat itu ditanyakan
kepada beliau, “Siapakah para khalifah Anda? Beliau bersabda, “Mereka yang
datang setelahku dan meriwayatkan hadits dan sunnahku”[4], di sini beliau
memperkenalkan para penerusnya dalam bentuk umum. Yang dimaksud di sini
dengan para perawi hadis dan sunnah Rasulullah Saw adalah para fakih di zaman
ghaibah Imam Mahdi Ajf.
Karena itulah sehingga khalifah Rasulullah dikatakan kepada orang yang
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas beliau, dan bertanggung jawab atas
kewajiban beliau dalam ketakhadiran beliau, kecuali dalam masalah membawa
syariat.

5. Persamaan Akhlak, Etika dan Moral


Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, dan moral yang dapat dipaparkan
sebagai berikut:
 Pertama, akhlak, etika, dan moral mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang
perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangai yang baik.
 Kedua, akhlak, etika, moral merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk
menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah
kualitas akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang, maka semakin
rendah pula kualitas kemanusiaannya.
 Ketiga, akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata
merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi
merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan
aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan
keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat secara tersu menerus, berkesinambungan, dengan tingkat
konsistensi yang tinggi.
6. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral
Dari Seginya di bagi menjadi 2 bagian yaitu : 1) berdasarkan tolak ukur dan 2)
berdasarkan sifat
 Berdasarkan Tolak Ukur
o Akhlak tolak ukurnya al-qur’an dan As Sunnah
o Etika tolak ukurnya pikiran atau akal
o Moral tolak ukurnya norma hidup yang ada di masyarakat berupa adat atau aturan
tertentu.
 Berdasarkan Sifat
o Etika bersifat teori
o Akhlak dan Moral bersifat praktis

PERSAMAAN ANTARA AKHLAK, ETIKA, MORAL, DAN


SUSILA.
Akhlaq, Etika, Moral , dan Susila secara konseptual memiliki makna yang
berbeda, namun pada aras praktis, memiliki prinsip-prinsip yang sama, yakni
sama-sama berkaitan dengan nilai perbuatan manusia. Seseorang yang sering kali
berkelakuan baik kita sebut sebagai orang yan berakhlaq, beretika, bermoral, dan
sekaligus orang yang mengerti susila. Sebaliknya, orang yang perilakunnya buruk
di sebut orang yang tidak berakhlaq, tidak bermoral, tidak tahu etika atau orang
yang tidak berasusila. Konotasi baik dan buruk dalam hal ini sangat bergantung
pada sifat positif atau negative dari suatu perbuatan manusia sebagai makhluk
individual dalam komunitas sosialnya.
Dalam perspektif agama, perbuatan manusia didunia ini hanya ada dua
pilihan yaitu baik dan benar. Jalan yang di tempuh manusia adalah jalan lurus yang
sesuai dengan petunjuk ajaran agama dan keyakinannya, atau sebaliknya, yakni
jalan menyimpang atau jalan setan, kebenaran atau kesesatan. Itu sebuah logika
binner yang tidak pernah bertemu dan tidak pernah ada kompromi. Artinya, tidak
boleh ada jalan ketiga sebagai jalan tengah antara keduanya. Keempat istilah
tersebut sama-sama mengacu pada perbuatan manusia yang selanjutnya ia
diberikan kebebasan untuk menentukan apakah mau memilih jalan yang berniai
baik atau buruk, benara atau salah berdasarkan kepeutusannya. Tentu saja, masing-
masing pilihan mempunyai konsekuensi berbeda.
Ditinjau dari aspek pembentukan karakter, keempat istilah itu merupakan
suatu proses yang tidak pernah ada kata berhenti di dalamnya. Proses itu harus
terus-menerus di dorong untuk terus menginspirasi terwujudnya manusia –manusia
yang memiliki karakter yang baik dan mulia, yang kemudian terefleksikan ke
dalam bentuk perilaku pada tataran fakta empiric di lapangan sosial dimana
manusia tinggal. Kesadaran terhadap arah yang positif ini menjadi penting
ditanamkan, agar supaya tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi menjadi
kenyataan sesuai titah Allah swt. Bukankah Allah telah membekali manusia berupa
sebuah potensi fitri, jika manusia mampu memeliharanya, maka ia akan mencapai
drajad yang lebih mulia dari pada malaikat. Sebaliknya, jika tidak mampu, maka ia
akan jatuh ke posisi drajad binatang dan bahkan lebih sesat lagi. Inilah di antara
argumentasinya, bahwa betapa perilaku manusia itu harus senatiasa dibina, di
bombing, di arahkan bahkan harus di control melalui regulasi-regulasi, agar supaya
manusia selalu berada di jalan yang benar dan lurus. Untuk mewujudkan cita-cita
luhur itu, memang dibutuhkan suatu proses yang panjang sekaligus dengan cost
yang tidak sedikit.
3. PERBEDAAN ANTARA AKHLAK DENGAN ETIKA, MORAL,
DAN SUSILA.
Berdasarkan paparan di atas, maka secara formal perbedaan keempat istilah
tersebut adalah antara lain sebagai berikut:
1) Etika bertolak ukur pada akal pikiran atau rasio.
2) Moral tolak ukurnya adalah norma-norma yang berlaku pada masyarakat.
3) Etika bersifat pemikiran filosofis yang berada pada tataran konsep atau teoritis.
4) Pada aras aplikatif, etika bersifat lokalitas dan temporer sesuai consensus,
dengan demikian dia disebut etiket (etiqqueta), etika praksis, atau dikenal juga
dengan adab/tatakrama/tatasusila.
5) Moral berada pada dataran realitas praktis dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang dalam masyarakat.
6) Etika di pakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
7) Moral yang di ungkapkan dengan istilah moralitas di pakai untuk menilai suatu
perbuatan.
8) Akhlaq berada pada tataran aplikatif dari suatu tindakan manusia dan bersifat
umum, namun lebih mengacu pada barometer ajaran agama. Jadi, etika islam
(termasuk salah satu dari berbagai etika relegius yang ada) itu tidak lain adalah
akhlaq itu sendiri.
9) Susila adalah prinsip-prinsip yang menjadi landasan berpijak masyarakat, baik
dalam tindakan maupun dalam tata cara berpikir, berdasarkan kearifan-kearifan
local.

Perbedaan

Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan
di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-
masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi
perbedaan yang dimaksud:
v Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu
perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan
bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai,
pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika
bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada
intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat
tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang
menganutnya.

10) Akhlaq juga berada pada level spontanitas-spesifik, karena kebiasaan individual/
komunitas yang dapat disebut dengan “Adab” , seperti adab encari ilmu, adab
pergaulan keluarga dan lain-lain.[5]

Anda mungkin juga menyukai