Agama
Agama
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami) maksudnya dilalaikan hatinya daripada Alquran, dan orang yang
dimaksud adalah Uyaynah bin Hishn dan teman-temannya (serta memperturuti
hawa nafsunya) yaitu melakukan perbuatan yang memusyrikkan (dan adalah
keadaannya itu melewati batas) terlalu berlebih-lebihan.
Waspadalah pula agar kita tidak berlalai-lalai, lupa akan Allah, sebutan nama-Nya,
dan kehidupan akhirat. Sebab, kelalaian termasuk di antara penyebab terbesar
kehancuran yang mendatangkan berbagai ragam kejahatan dan penderitaan di
dunia dan akhirat.
Kaum musyirikin Quraisy yang minta kepada Nabi Saw. untuk diberi kesempatan
khusus bagi orang-orang kaya saja, karena mereka mempunyai sifat sombong,
individualis dan zhalim. Sedangkan para sahabat Nabi Saw. yang diminta oleh
mereka untuk dijauhkan dari majelis beliau Saw. termasuk orang-orang yang
miskin seperti Suhaib, Bilal, Ammar dan Yasir, mereka adalah orang-orang yang
tidak mempunyai kedudukan apapun di tengah bangsa Quraisy, karena mereka
miskin. Bahkan, para tokoh musyrikin Quraisy menyatakan tidak mau menghadiri
majelis Nabi Saw., kecuali jika beliau Saw. telah menjauhkan sahabat-sahabat
beliau Saw. yang miskin dari majelis beliau Saw.. Tentunya, menurut Allah
permintaan mereka tidak perlu dikabulkan, karena permintaan mereka sangat
rendah.
1. IMAN
2. TAQWA
Kata taqwa menurut bahasa arab berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya
takut-menjaga-memelihara atau melindungi. Dalam arti yang sempit, taqwa berarti:
“Melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya”. Menurut
Al- Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa
yang diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah.
Taqwa juga berarti kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi
larangan. Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu
yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam
istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan dosa. Seseorang yang bertaqwa
akan meninggalkan dosa-dosa, baik kecil maupun besar.
Keimanan dan ketaqwaan merupakan suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya, karena antara keimanan dan ketaqwaan pada hakikatnya
saling berkaitan dan memerlukan, artinya keimanan diperlukan oleh manusia
supaya Allah swt dapat menerima ketaqwaannya. Iman tanpa taqwa, maka tidaklah
sempurna ibadah seseorang itu dan begitu pula taqwa tanpa iman.
3.https://image.slidesharecdn.com/materimanusiasbgkhalifah-151202012440-
lva1-app6891/95/manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi-1-
638.jpg?cb=1449019742
https://image.slidesharecdn.com/materimanusiasbgkhalifah-151202012440-lva1-
app6891/95/manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi-2-638.jpg?cb=1449019742
الر ِح ِيم
الرحْ َم ٰـ ِن ه ِبس ِْم ه
َّللاِ ه
Artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
menyembah kepadaku.” (QS Adz Zariyat : 56)
Surat Adz dzariyat ayat 56 mengandung makna bahwa semua makhluk Allah,
termasuk jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT agar mereka mau
mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah SWT. Kata
menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun (taat, tunduk,
patuh). Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan
hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendaknya, baik secara sukarela
maupun terpaksa.Jadi selain fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi (fungsi
horizontal), manusia juga mempunya fungsi sebagai hamba yaitu menyembah
penciptanya (fungsi vertikal), dalam hal ini adalah menyembah Allah karena
sesungguhnya Allah lah yang menciptakan semua alam semesta ini.
Perilaku yang mencerminkan surat Adz Dzariyat ayat 56
Allah SWT menganjurkan setiap umat islam untuk berdzikir kepada-Nya, artinya
manusia dianjurkan untuk mengiat kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Allah
SWT dengan perasaan harap dan takut dengan khusyuk dan rendah diri di
hadapan-Nya. Zikir merupakan pintu pembuka hubungan dengan hamba-Nya,
menjadi obat penawar hati, penyehat badan, cahaya mata, dan zikir merupakan
jenis ibadah yang dapat dikerjakan kapan saja, tidak tergantung pada tempat,
waktu, keadaan, dan dapat dikerjakan sendiri ataupun secara bersama-sama. Oleh
karena itu,zikir sebaiknya dilakukan dengan cara:
Menyembah kepada Allah artinya hanya Allah tempat kita berbakti,tempat kita
meminta,dan memohon bantuan,serta tempat kita berkeluh kesah.Sebagai umat
Islam. Ibadah muhdah (murni), yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata
caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya oleh nas, baik Al Qur’an maupun hadits
yang tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi.Menyembah kepada Allah tidak
hanya dengan melaksanakan sholat,puasa,zakat,dan naik haji,tetapi sebagai
khalifah di bumi ini Allah telah memberikan perintah kepada kita untuk
menjaga,memelihara,dan memakmurkan bumi ini. Ibadah ‘ammah (umum), yaitu
pengabdian yang dilakuakn oleh manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas
dan kegiatan hidup yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan Allah
SWT
Berikut ini tugas manusia lainnya di bumi ini selain menyembah kepada Allah
SWT.
Manusia Sebagai Khalifah di bumi-Pemimpin Dirinya Sendiri
Manusia sebagai khalifah di bumi artinya setiap manusia adalah
khalifah,pemimpin dirinya sendiri sebelum memimpin saudaranya yang lain.
Dengan belajar mengontrol apa yang dipikirkan kita,hati kita,tingkah laku
kita,perasaan kita,dan sikap yang seharusnya bagaimanaharus ditampilkan,tanpa
kita sadari bahwa kita sedang memimpin diri kita sendiri.
Kita hidup di dunia ini akan selalu dihadapkan pada dua pilihan,yaitu dengan
berujung denganbaik atau buruk.Itulah kelebihan kita lainnya yaitu diberi pilihan.
Analisa Teologis
Imam secara leksikal berarti pemimpin, dan imâmah bermakna kepemimpinan.
Akan tetapi dalam istilah ilmu kalam, para mutakallim menyebutkan definisi yang
berbeda untuk imâmah, dan mayoritasnya dengan makna kepemimpinan umum
masayarakat dalam persoalan-persoalan duniawi dan agama.
Karena itu, imam adalah pemimpin dimana perilaku dan tindak tanduknya
menjadi teladan bagi selainnya dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinan
masyarakat, baik kepemimpinannya ini sebagai penerus dari sisi Rasulullah Saw,
atau memang pada awalnya telah memiliki kedudukan ini.
Kata “imâm”, dalam al-Quran memiliki sebuah makna yang meluas dimana
banyak para nabi yang berada di bawah lingkupnya. Menurut Ibnu Manzhur,
Rasulullah Saw sendiri adalah imam para imam[2], karena beliau memiliki makam
tertinggi dan memegang kedudukan kepemimpinan, kepemimpinan beliau juga
memiliki orisinalitas dan keaslian yang khas, dimana beliau bukanlah penerus dari
seseorang.
Sementara dalam masalah khilâfah, topik tentang kepemimpinan memiliki bentuk
yang lain, kepemimpinan di sini merupakan penerus dari Rasulullah. Dari sini,
sebagian cendekiawan, dalam mendefinisikan imâmah lebih memilih interpretasi
“khilâfah ‘anirrasul”.
Khalifah secara leksikal bermakna penerus dan pelanjut seseorang, dan pada
dasarnya, bisa digunakan dengan makna ‘penggantinya’, karena itu, dengan
memperhatikan riwayat dari Rasulullah Saw mengenai khulafa dan para
pelanjutnya, saat beliau bersabda, “Imam setelahku ada dua belas orang, dimana
yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, dan yang terakhir dari mereka
adalah Mahdi Ajf. Mereka adalah khalifah, washi, dan auliyaku, dan hujjah-hujjah
Allah atas umatku setelahku”[3] bisa diketahui bahwa pada hadis ini beliau
memperkenalkan para Imam Maksum secara khusus sebagai pelanjutnya,
sementara di tempat lain, dengan memperhatikan hadis dimana Rasul Saw
bersabda, “Ilahi! Berilah rahmat-Mu kepada para khalifahku”, saat itu ditanyakan
kepada beliau, “Siapakah para khalifah Anda? Beliau bersabda, “Mereka yang
datang setelahku dan meriwayatkan hadits dan sunnahku”[4], di sini beliau
memperkenalkan para penerusnya dalam bentuk umum. Yang dimaksud di sini
dengan para perawi hadis dan sunnah Rasulullah Saw adalah para fakih di zaman
ghaibah Imam Mahdi Ajf.
Karena itulah sehingga khalifah Rasulullah dikatakan kepada orang yang
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas beliau, dan bertanggung jawab atas
kewajiban beliau dalam ketakhadiran beliau, kecuali dalam masalah membawa
syariat.
Perbedaan
Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan
di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-
masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi
perbedaan yang dimaksud:
v Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu
perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan
bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai,
pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika
bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada
intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat
tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang
menganutnya.
10) Akhlaq juga berada pada level spontanitas-spesifik, karena kebiasaan individual/
komunitas yang dapat disebut dengan “Adab” , seperti adab encari ilmu, adab
pergaulan keluarga dan lain-lain.[5]