Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas


ibu dan bayi yang tertinggi di Indonesia. Preeklampsia adalah suatu sindroma
yang berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer, dan penurunan perfusi organ yang ditandai adanya hipertensi, edema dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan.
Preeklampsia terjadi pada 5% sampai 9% dari semua kehamilan meskipun
prevalensi berbeda-beda ditiap Negara. Di United States, 7%-10% wanita
menderita preeklampsia, di Singapura 0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia 3,4-
8,5% dan ini menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu dan
neonatus . Antara tahun 1979 dan 1986 insidensi preeklampsia rneningkat dari 2,4
per 1000 persalinan, menjadi 5,2 per 1.000 persalinan di USA. Pada penelitian
terhadap 40.124 kelahiran yang berkaitan dengan kematian ibu setelah kehamilan
20 minggu di USA antara 1979 dan 1992. Telah dilaporkan bahwa rata-rata
kematian ibu karena preeklampsia atau eklampsia adalah 1.5 kematian dari
100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan Center for Disease Control and Prevention (CDC) lebih dari
700.000 orang menjalani sectio caesaria yang pertama dan 400.000 wanita
menjalani sectio caesaria berulang tiap tahun. Jumlah total sectio caesaria adalah
29% selama tahun 2004. Wanita dengan preeklampsia menunjukkan peningkatan
untuk dilakukan pengakhiran kehamilan dengan sectio caesaria, dalam satu
penelitian didapat 83% yang didiagnosis preeklampsia menjalani sectio caesaria.
Beberapa pasien yang memerlukan tindakan sectio caesaria tentunya
memerlukan penatalaksanaan anestesi. Dalam hal melakukan tindakan sectio
caesaria pada pre eklampsia, tentunya terdapat risiko dalam bidang anestesi
sehingga perlu pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode
perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi
prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai pemulihan pasca
bedah.

1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pre Eklampsia
1) Definisi
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi
kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, oedema disertai
proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu
bila terjadi penyakit trofoblastik.
2) Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui
dengan pasti. Banyak teori-teori dikemukakan tetapi belum ada yang
mampu memberi jawaban yang memuaskan tentang penyebabnya
sehingga disebut sebagai “penyakit teori”. Teori yang dapat diterima
harus dapat menerangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan
ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa.
b. Sebab bertambahnya frekuensi pada bertambahnya usia kehamilan.
c. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan
kematian janin intrauterin.
d. Sebab jarangnya ditemukan kejadian preeklampsia pada kehamilan
berikutnya.
e. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma.
Iskemia plasenta; peningkatan deportasi trofoblas, yang merupakan
konsekuensi dari iskemia, akhirnya dapat menimbulkan disfungsi
endotel.
Pada kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua
menghasilkan suatu ‘perubahan fisiologis’ pada arteri spiralis. Untuk

2
memenuhi kebutuhan kehamilan maka jalan yang paling mungkin
adalah membesarkan diameter arteri. Pada wanita hamil, pembesaran
diameter arteri spiralis meningkat 4-6 kali lebih besar daripada arteri
spiralis wanita tidak hamil, yang akan memberikan peningkatan aliran
darah 10.000 kali dibandingkan aliran darah wanita tidak hamil. Maka
kemampuan melebarkan diameter arteri spiralis ini merupakan
kebutuhan utama untuk keberhasilan kehamilan.
Hasil akhir dari perubahan fisiologis yang normal adalah arteri
spiralis yang tadinya tebal dan muskularis menjadi lebih lebar berupa
kantung yang elastis, bertahanan rendah dan aliran cepat, dan bebas
dari kontrol neurovascular normal, sehingga memungkinkan arus
darah yang adekuat untuk pemasokan oksigen dan nutrisi bagi janin.
Pada preeklampsia terjadi defisiensi plasentasi. Terjadi kegagalan
pada invasi trofoblas, sehingga ‘perubahan fisiologis’ pada arteri
spiralis tidak terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sebagian arteri
spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis segmen miometrium
masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu ditemukan pula
adanya hyperplasia tunika media dan thrombosis. Garis tengah arteri
spiralis 40% lebih kecil dibandingkan pada kehamilan normal, hal ini
menyebabkan tahanan terhadap aliran darah bertambah dan pada
akhirnya menyebabkan insufisiensi dan iskemia.
3) Insiden dan Faktor Risiko
Insidens preeklamsia relatif stabil antara 4-5 kasus per 10.000
kelahiran hidup pada negara maju. Pada negara berkembang insidens
bervariasi antara 6-10 kasus per 10.000 kelahiran hidup. Angka
kematian ibu bervariasi antara 0%-4%. Kematian ibu meningkat
karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem tubuh.
Penyebab kematian terbanyak ibu adalah perdarahan intraserebral
dan oedem paru. Kematian perinatal berkisar antara 10%-28%.
Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan karena
prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan meningkatnya karena

3
solutio plasenta. Sekitar kurang lebih 75% eklampsi terjadi antepartum
dan 25% terjadi pada postpartum. Hampir semua kasus ( 95% )
eklampsi antepartum terjadi pada terjadi trisemester ketiga.
Dilaporkan angka kejadian rata-rata sebanyak 6% dari seluruh
kehamilan dan 12 % pada kehamilan primigravida. Lebih banyak
dijumpai pada primigravida daripada multigravida terutama
primigravida usia muda.
Faktor risiko preeklampsia adalah:
a) Nullipara
b) Kehamilan ganda
c) Obesitas
d) Riwayat keluarga preeklampsia – eklampsia
e) Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
f) Diabetes mellitus gestasional
g) Adanya trombofilia
h) Adanya hipertensi atau penyakit ginjal

4) Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah
adanya spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air.
Bila dianggap bahwa spasmus arteriolar juga ditemukan diseluruh
tubuh, maka mudah dimengerti bahwa tekanan darah yang meningkat
nampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan tahanan perifer, agar
oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Peningkatan berat badan dan
oedema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam
ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Telah diketahui bahwa
pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar
prolaktin yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosteron penting
untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air
dan natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah
terhadap protein meningkat.

4
a) Perubahan Kardiovaskuler
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena
vasodilatasi perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol,
mungkin akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau
menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II dan adrenalin
serta noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap zat-zat
vasokonstriktor tersebut akan meningkatnya produksi vasodilator atau
prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi
peningkatan tekanan darah yang normal ke tekanan darah sebelum hamil.
Kurang lebih sepertiga pasien dengan preeklampsia akan terjadi
pembalikan ritme diurnalnya, sehingga tekanan darahnya akan meningkat
pada malam hari.
b) Regulasi Volume Darah
Pengendalian garam dan homeostasis juga meningkat pada
preeklampsia. Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu
tapi pada derajat mana hal ini terjadi adalah sangat bervariasi dan pada
keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya oedem. Bahkan jika
dijumpai oedem interstitial, volume plasma adalah lebih rendah
dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi.
Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan ringan volume
plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.
c) Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya
dengan wanita yang melahirkan BBLR.
d) Aliran Darah di Organ-Organ
- Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang
20%. Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak
yang mungkin merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya
kejang pada preeklampsia maupun perdarahan otak.

5
- Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering
menjadi pertanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus
darah efektif ginjal rata-rata berkurang 20% (dari 750 ml menjadi
600ml/menit) dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata 30% (dari
170 menjadi 120ml/menit) sehingga terjadi penurunan filtrasi.
Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit
kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal. Plasenta ternyata
membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya mungkin
untuk dicadangkan untuk menaikan tekanan darah dan menjamin
perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin
plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II dan aldosteron
semuanya meningkat nyata diatas nilai normal wanita tidak hamil.
Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar
progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek
progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin dan aldosteron,
namun keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsi. Sperof
(1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah
iskemi uteroplasenter, dimana terjadi ketidak seimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi
darah plasentanya yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi
uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang
mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan
pembuluh darah, disamping itu angiotensin menimbulkan
vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin sebagai
mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Glomerulus filtration rate (GFR) dan arus plasma ginjal
menurun pada preeklampsi tapi karena hemodinamik pada
kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%, maka nilai pada
preeklampsi masih diatas atau sama dengan nilai wanita tidak
hamil. Klirens fraksi asam urat juga menurun, kadang-kadang

6
beberapa minggu sebelum ada perubahan pada GFR, dan
hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula
peningkatan pengeluaran protein, biasanya ringan sampai sedang,
namun preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom
nefrotik pada kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein
urin adalah bagian dari lesi morfologi khusus yang melibatkan
pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus, yang merupakan
tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.
- Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah
perubahan patofisiologi terpenting pada preeklampsi, dan mungkin
merupakan faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang
disayangkan belum ada satupun metode pengukuran arus darah
yang memuaskan baik di uterus maupun didesidua.
- Aliran darah paru
Kematian ibu pada preeklampsi dan eklampsi biasanya oleh
karena edema paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
- Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah.
Bila terjadi hal-hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya PEB.
Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia
dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan
peredaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau
dalam retina.
e) Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk
sementara, asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi
selesai, zat-zat organik dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu
bereaksi dengan karbonik dengan terbentuknya natrium bikarbonat.
Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih kembali.

7
5) Manifestasi Klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi
dan proteinuria, merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh
wanita hamil. Pada waktu keluhan seperti oedema, sakit kepala,
gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium mulai timbul, kelainan
tersebut biasanya sudah berat.

1. Tekanan darah
Kelainan dasar pada preeklampsi adalah vasospasme
arteriol, sehingga tidak mengherankan bila tanda peringatan awal
yang paling bisa diandalkan adalah peningkatan tekanan darah.
Tekanan diastolik mungkin merupakan tanda prognostik yang lebih
andal dibandingakan tekanan sistolik, dan tekanan diastolik sebesar
90 mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan abnormal.

2. Kenaikan Berat badan


Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dapat mendahului
serangan preeklampsia, dan bahkan kenaikan berat badan yang
berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia pada wanita.
Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg perminggu adalah normal
tetapi bila melebihi dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam
sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus
dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan
terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan
sebelum timbul gejala edem non dependen yang terlihat jelas,
seperti kelopak mata yang membengkak, kedua tangan atau kaki
yang membesar.

3. Proteinuria
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya
suatu penyebab fungsional (vasospasme) dan bukannya organik.
Pada preeklampsia awal, proteinuria mungkin hanya minimal atau

8
tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang paling berat,
proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/lt.
Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan dengan
hipertensi dan biasanya lebih belakangan daripada kenaikan berat
badan yang berlebihan.

4. Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering
terjadi pada kasus-kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering
terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh
dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang
mengalami serangan eklampsi, nyeri kepala hebat hampir
dipastikan mendahului serangan kejang pertama.

5. Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan
keluhan yang sering ditemukan preeklampsi berat dan dapat
menunjukan serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini
mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat oedem
atau perdarahan.

6. Gangguan penglihatan
Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan
sebagian atau total. Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan
perdarahan ptekie pada korteks oksipital.

6) Klasifikasi
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah
adanya hipertensi dan proteinuria. Kriteria lebih lengkap digambarkan
oleh Working Group of the NHBPEP ( 2000 ) seperti digambarkan
dibawah ini:

Disebut preeklamsi ringan bila terdapat:

9
- Tekanan darah >140 / 90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria kuantitatif (Esbach)  300 mg / 24 jam, atau dipstick  +1.

Disebut preeklampsia berat bila terdapat:

- Tekanan darah >160 / 110 mmHg.


- Proteinuria kuantitatif (Esbach)  2 gr / 24 jam, atau dipstick  +2.
- Trombosit < 100.000 / mm3.
- Hemolisis mikroangiopathi ( peningkatan LDH )
- Peningkatan SGOT / SGPT
- Adanya sakit kepala hebat atau gangguan serebral, gangguan penglihatan.
- Nyeri di daerah epigastrium yang menetap.

Problem Mild Pre-Eclampsia Severe Pre-Eclampsia

Blood Pressure >140/90 >160/110

Proteinuria 1+ (300 mg/24 hours) 2+ (1000 mg/24 hours)

Edema +/- +/-

Increased reflexes +/- +

Upper abdominal pain - +

Headache - +

Visual Disturbance - +

Decreased Urine Output - +

Elevation of Liver
- +
Enzymes

Decreased Platelets - +

Increased Bilirubin - +

Elevated Creatinine - +

10
7) Penatalaksanaan
Pada dasarnya penangan preeklampsi terdiri atas pengobatan
medik dan penanganan obstetrik. Penanganan obsterik ditujukan
untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin
mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup
diluar uterus.
Tujuan pengobatan adalah :
- Mencegah terjadinya eklampsi.
- Anak harus lahir dengan kemungkinan hidup besar.
- Persalinan harus dengan trauma yang sedikit-sedikitnya.
- Mencegah hipertensi yang menetap.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita preeklampsia di
rumah sakit ialah:
- Tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih.
- Proteinuria 1+ atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 kg atau lebih dalam seminggu yang
berulang.
- Penambahan oedem berlebihan secara tiba-tiba.

Pengobatan preeklampsia yang tepat ialah pengakhiran kehamilan


karena tindakan tersebut menghilangkan sebabnya dan mencegah
terjadinya eklampsia dengan bayi yang masih premature.

 Penanganan Pre Eklampsia Berat (PEB)


Pada preeklapmsia ringan pengobatan bersifat simtomatis
dan istirahat yang cukup. Pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari
dapat dilakukan bila tidak bisa tidur. Bila tekanan darah tidak turun
dan ada tanda-tanda ke arah preeklamsi berat maka dapat diberikan
obat antihipertensi serta dianjurkan untuk rawat inap.
Untuk preeklampsia yang berat, dapat ditangani secara aktif
atau konservatif. Aktif berarti: kehamilan diakhiri atau diterminasi

11
bersamaan dengan terapi medikamentosa. Konservatif berarti:
kehamilan dipertahankan bersamaan dengan terapi medikmentosa.

1. Penanganan aktif

Ditangani aktif bila terdapat satu atau lebih kriteria berikut: ada tanda-
tanda impending eklampsia, HELLP syndrome, tanda-tanda gawat janin, usia
janin 35 minggu atau lebih dan kegagalan penanganan konservatif. Yang
dimaksud dengan impending eklampsia adalah preeklampsia berat dengan satu
atau lebih gejala: nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium dan kenaikan tekanan darah progresif.

Terapi medikamentosa:

a. Diberikan anti kejang MgSo4 dalam infus 500 cc dextrose 5% tiap 6


jam. Cara pemberian: dosis awal 2 gr iv dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2 gram per jam drip infus. Syarat
pemberian MgSO4: frekuensi nafas > 16x/menit, tidak ada tanda-
tanda gawat nafas, diuresis >100 ml dalam 4 jam sebelumnya dan
refleks patella positif. Siapkan juga antidotumnya, yaitu: Ca-glukonas
10% (1 gram dalam 10 cc NACL 0,9% IV, dalam 3 menit).
b. Antihipertensi: nifedipin dengan dosis 3-4 kali 10 mg oral. Bila dalam
2 jam belum turun, dapat diberikan 10 mg lagi.
c. Siapkan juga oksigen dengan nasal kanul 4-6 L /menit.
Terminasi kehamilan dapat dilakukan bila penderita belum inpartu,
dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter foley atau
prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila syarat induksi tidak terpenuhi atau
ada kontraindikasi persalinan pervaginam.

2. Penanganan konservatif

12
Pada kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsia dengan kondisi janin baik, dilakukan penanganan
konservatif.

Medikamentosa: sama dengan penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila


tidak ada tanda-tanda preeklampsia berat, selambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini harus dianggap sebagai
kegagalan pengobatan dan harus segera diterminasi. Jangan lupa diberikan
oksigen dengan nasal kanul 4-6 L/menit.

Penanganan Eklamsia

Tujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya


kejang dan mengahiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah ibu
mengijinkan. Pengawasan dan perawatan intensif sangat penting. Untuk
menghindari kejangan saat pengangkutan ke RS dapat diberikan diazepam 20mg
IM.

Obat yang dapat diberikan:

1. Sodium penthotal sangat berguna menghentikan kejangan dengan


segera bila diberikan intravena. Dosis inisial dapat diberikan 0,2-
0,3 g dan disuntikkan perlahan-lahan. Perlu pengaw2asan yang
sempurna.
2. Sulfas magnesicus yang dapat mengurangi kepekaan saraf pusat
pada hubungan neuro muskuler tanpa mempengaruhi bagian lain
dalam susunan saraf.
Dosis awal :

Dua gram Mg SO4 intravena , (40 % dalam 10 cc)


diberikan dalam waktu 10 mnt, cara:

13
5ml MgSO4 40% (setara 2 g MgSO4) + 5 ml Dextrose 5% 
bolus pelan 10mnt

6 jam berikutnya:

2-3g/jam IV drip diberikan dalam 6 jam, cara:

30ml MgSO4 40% (setara 12g MgSO4) + 495 dextrose 5%


= 525ml

Jumlah tetesan: (525ml/ 6jam) X (20/60) = 29 tetes/menit

Dosis Rumatan:

1g/jam MgSO4 diberikan selama 24 jam, cara:

12 jam pertama:

30ml MgSO4 40% (setara 12g MgSO4) + 500ml dextrose 5% =


530ml

Jumlah tetesan: (530ml/12jam) X (20/60) = 16 tetes/menit

12 jam kedua diberikan dengan cara yang sama.

Syarat - syarat pemberian MgSO4 :

▪ Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10


% ( 1 gram dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit (dalam
keadaan siap pakai)
▪ Refleks patella (+) kuat
▪ Frekuansi pernafasan > 16 kali permenit
▪ Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/kg
bb/jam )

14
Sulfas magnesikus dihentikan bila :

▪ Ada tanda - tanda intoksikasi


▪ Setelah 8 - 24 jam pasca persalinan.
3. Lyctic cocktail yang terdiri atas petidin 100mg, klopromazin
100mg, dan prometazin 50mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500ml
dan diberikan secara infuse IV. Jumlah tetesan disesuaikan dengan
tensi penderita.

Obat Dosis awal Dosis rumatan


Fenitoin 1-1,5g IV lebih dari 250-500mg setiap
1 jam (tergantung 10-12 jam oral/IV
berat badan)
Diazepam 10mg/jam IV
infuse
Chlormethiazole 40-100ml dari 0.8% 60ml/jam IV infuse
lebih dari 20 menit
Tabel . kasus yang refrakter dengan pemberian
MgSO4

15
4. Anestesi Pada Pasien Hipertensi
A. Penilaian dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi
Kebanyakan pasien hipertensi masuk ke ruang operasi dengan beberapa
derajat hipertensi. Meskipun pada saat preoperative pasien memiliki hipertensi
sedang (tekanan <diastolik 90-110 mm Hg) namun hal ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi. Penelitian lainnya
menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang tidak diobati atau tidak terkontrol
lebih cenderung untuk mengalami episode iskemia intraoperatif infark, aritmia,
atau hipertensi, dan hipotensi. Penyesuaian intrabedah selama anestesi serta
penggunaan obat vasoaktif diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi
postoperasi yang disebabkan preoperatif tidak memadai untuk mengontrol
hipertensi.1
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,
yaitu:

16
 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi
 Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi
 Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita
 Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya.Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut
apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu
relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator).
Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu.
Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat
ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal,
urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan
seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal
kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan
adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit
arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak
selalu layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.
Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral.
Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi
bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah
sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsiventrikel atau
komplikasi vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan

17
besar yang disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang
diperbolehkan). Dalam banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena
ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit
pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter
mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena
hubungannya dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor
diketahui dapat mencegah terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu
mencukupi kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien dengan
tekanan diastolik preoperatif lebih besar dari110 mmHg, terutama pada pasien
yang telah diketahui pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi harus
ditunda sampai tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari.1

B. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anesthesia
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual-muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflek yang membahayakan
Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat
dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah
sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti midazolam. Pemberian
antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai jadwal dan dapat diberikan
dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa dokter
melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapat mencegah
menurunkan tekanan darah intraoperatif. Pemberian α2 adrenergik agonis sentral
dapat dijadikan sebagai tambahan yang berguna untuk premedikasi penderita

18
hipertensi, pemberian sedasi tambahan klonidine dosis 0,2 mg dapat mengurangi
penggunaan obat anestesi intraoperatif dan mengurangi terjadinya hipertensi
perioperative. Sayangnya, pemerian klonidine selama selain dapat menimbulkan
hipotensi tapi juga menyebabkan terjadinya bradikardi selama operatisi.1

C. Manajemen Intraoperatif
1) Objektif
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat
diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan
autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi
mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien
dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit
arteri koroner dan hipertrofi jantung, sehingga peningkatan tekanan darah yang
berlebihan dapat dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan
takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan
keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat
pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih
dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas
normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg.1

2) Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan
pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai
dengan preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan
untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau
melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani
tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan

19
hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering
berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel.
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan
mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan
darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke
normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan beberapa acuan
yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia
dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang
(balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total
intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat
dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional
sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-
obatan yang diberikan, maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma,carcinoid syndrome dan tyroid storm.

20
3) Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia
sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi
sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor
bloker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat
membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik. Beberapa teknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.1
 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5-10 menit.
 Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
 Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
 Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.

Pemilihan obat anestesi


a. Obat induksi
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi.Meskipun dengan anestesi regional, penurunan

21
tekanan darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi
dibandingkan dengan pasien normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol,
dan etomidare adalah induksi anestesi yang paling aman diberikan pada
pasien hipertensi.Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk
tindakan operasi karena dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini
dapat dihilangkan dengan pemberian dosis kecil bersama dengan agen
lainnya, terutama benzodiazepin atau propofol.1

b. Rumatan
Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau
dengan oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous +
relaksan otot), atau sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik
pengobatan primer, penambahan agen volatile atau vasodilator intravena
umumnya memungkinkan kontrol lebih memuaskan tekanan darah
intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan miokard yang relatif cepat dan
reversibel yang diberikan oleh agen volatile dapat berpengaruhterhadap
tekanan darah arteri. Oleh sebab itu, beberapa dokter percaya bahwa
pemberian opioid dan sufentanil dapat menekansaraf otonom serta
mengontrol tekanan darah.1

c. Pelumpuh otot
Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh
otot dapat digunakan secara rutin.Pankuronium memiliki efek memblokade
syaraf vagal dan melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk
keadaan pasien hipertensi yang tidak terkontrol.Ketika pankuronium
diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit akan terjadi peningkatan
detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi pankuronium berguna
utnuk mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang disebabkan oleh
manipulasi opioid atau bedah. Pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine,

22
merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan
untuk pasien hipertensi.1

d. Vasopressors
Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk
kedua ranjau-catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan
agonis simpatik eksogen diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk
mengobati hipotensi berlebihan, dosis kecil agen langsung penuaan seperti
fenilefrin (25-50 Âμg) mungkin lebih baik untuk agen langsung.Namun
demikian, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal.
Kesabaran sympatholytics diambil sebelum operasi mungkin menunjukkan
respon jatuh ke vasopressors, terutama efedrin.1

D. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi intraoperatif tidak menanggapi peningkatan kedalaman anestesi
(terutama dengan agen volatile) dapat diobati dengan berbagai agen parenteral
(Tabel 20-5) menyebabkan Reversible siap seperti kedalaman anestesi yang tidak
memadai, hipoksemia, atau hiperkapnia harus selalu dikecualikan sebelum
memulai terapi antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi tergantung pada
ketajaman, keparahan, dan menyebabkan hipertensi, fungsi dasar ventrikel,
tingkat hem, dan adanya penyakit paru-paru bronchospastic. β-adrenergik blokade
sendiri atau sebagai dukungan-plement merupakan pilihan yang baik untuk pasien
dengan fungsi ventrikel yang baik dan detak jantung tinggi tetapi kontraindikasi
pada pasien dengan penyakit bronchospastic. Nicardipine mungkin lebih baik
untuk pasien dengan penyakit bronchospastic. Reflex tachycardia berikut
nifedipin sublingual telah associted dengan infark ischernia. Nitroprusside tetap
menjadi agen yang paling cepat dan efektif untuk pengobatan intraoperarive
hipertensi sedang sampai parah. Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga
berguna dalam mengobati atau mencegah iskemia miokard. Fenoldopam juga
merupakan agen yang berguna dan dapat meningkatkan atau mempertahankan
fungsi ginjal.hydralazine Berkelanjutan menyediakan kontrol tekanan darah

23
namun memiliki onset tertunda dan sering dikaitkan dengan takikardi refleks.
Yang terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena kombinasi blockade α dan
β adrenergik.1

E. Manajemen Postoperratif
Hipertensi pascaoperasi harus diantisipasi terutama pada pasien dengan
hipertensi kurang terkontrol. Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan
baik di ruang pemulihan dan periode pasca operasi dini. Iskemia miokard dan
gagal jantung kongestif dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah
sehingga terjadi hematoma dan luka pada garis jahitan gangguan pembuluh darah.
Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial dan ditingkatkan
dengan gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau distensi kandung
kemih. Masalah tambahan harus diatasi dan pemberian obat antihipertensi
parenteral dapat dilakukan jika perlu. Pemberian nicardipine melalui intravena
berguna dalam mengontrol tekanan darah terutama jika dicurigai iskemia miokard
dan bronkospasme. Ketika pasien kembali mendapatkan asupan oral, maka
pengobatan preoperatif harus ulang diulang kembali.

24
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita


yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa
menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit penyakit jantung, serebral,
ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang
bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman para
ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen
perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan
sampai periode pasca bedah.
Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting
dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama
intraoperatif maupun yang terjadi pada pascapembedahan. Goncangan
hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi,
yangbisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi
denganperlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen
cairanperioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-
obatanantihipertensi maupun obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut
yang adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-

25
penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa
menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: McGraw-
Hill; 2002.p.388-395.
2. Pescod D. Preoperative Management of Cardiovascular Disease. Developing
Anaesthesia Text Book.v.1.6: 2007
3. Podgoreanu MV, Mathew JP. Genomic Basis of Perioperative Medicine.
Clinical Anesthesia. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;
2006.p.480.
4. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC,
2001; 256-60
5. Sylvia A.P, Lorraine M.W. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC,
2006 ; 530-6.
6. Kusmana D, Hipertensi: Definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan fisik,
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta,
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran mei-juni 2009 hal 161-167. Dikutip dari
www.kalbe.co.id.

26
7. Anggraini DA, dkk, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas
Bangkinang Periode Januari Sampai Juni 2008, Faculty of Medicine –
University of Riau Pekanbaru, Riau, 2009. Di kutip dari
(Http://yayanakhyar.wordpress.com

27

Anda mungkin juga menyukai