Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kenyataannya bahwa sosialisasi politik dalam masyarakat itu penting
adanya, karena dengan adanya sosialisasi politik maka masyarakat akan dapat
menerima apa itu politik dan ikut andil di dalamnya sehingga dengan demikian
maka akan terciptanya perubahan sosial, modernisasi dan kemajuan dalam
industrialisasi. Sehingga masyarakat yang berkembang tadinya akan dapat
menjadi masyarakat yang maju. Jadi, cara yang baik untuk mensosialisasikan
politik terhadap masyarakat berkembang yaitu dengan cara mengkombinasikan
antara hal-hal yang baru dengan hal yang telah lama, masyarakat yakin karena
mustahil jika para politik ingin memusnahkan begitu saja sesuatu yang tradisional
dalam masyarakat tersebut secara cepat tanpa adanya tahapan-tahapan yang jelas.
Sosial adalah keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain. Kehadiran itu
bisa nyata dilihat dan dirasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Lembaga
adalah alat mempertahankan ketertiban hubungan sosial yang mapan (stabil)
dalam status hukum keluarga, undang-undang yang mengatur barang-barang hak
milik dan konstitusi politik.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana pengaruh faktor sosial terhadap lembaga politik?
1.2.2 Bagaimana pengaruh budaya terhadap lembaga politik?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui dan memahami pengaruh faktor sosial terhadap lembaga politik.
1.3.2 Mengetahui dan memahami pengaruh budaya terhadap lembaga politik.

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara
teoritis maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna menjadi penambah
wawasan bagi pembaca agar dapat mengetahui apa saja pengaruh faktor sosial
terhadap lembaga politik dan pengaruh budaya terhadap lembaga politik.

1
2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Faktor Sosial Terhadap Lembaga Politik


Lembaga adalah alat mempertahankan ketertiban hubungan sosial yang
stabil dalam status hukum keluarga, undang-undang yang mengatur barang-barang
hak milik dan konstitusi politik. Kehidupan masyarakat ditentukan dan digerakkan
oleh lembaga-lembaga yang terdapat didalamnya. Tanpa lembaga-lembaga sosial,
kehidupan masyarakat berantakan, dan cita–cita individual dan sosial tidak
mungkin terwujud. Karena manusia tidak bisa hidup sendirian, manusia
membutuhkan aktivitas–aktivitas bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidup dan cita–citanya.
Menurut Duverger, ada dua jenis lembaga yang perlu diperhatikan, yaitu
lembaga model struktural yang menentukan sistem hubungan antar manusia yang
biasa disebut institusi dan lembaga model formal teknis dan material, yang
menekankan segi-segi seperti konstitusi, perkumpulan lokal, perlengkapan fisik,
mesin, kop surat, staf hierarki administratif, dan sebagainya ini biasa disebut
organisasi, yang termasuk disini juga yaitu parlemen, kementerian, kantor,
asosiasi, dan semacamnya.
Kamus Robert mendefinisikannya sebagai bentuk kolektif atau struktur
dasar dari organisasi sosial sebagaimana dibangun oleh hukum atau manusia.
Dalam arti ini lembaga mempunyai pengaruh yang tidak dapat disangkal terhadap
fenomena politik lembaga politik pers dengan mewujudkan organisasi dan
struktur kekuasaan. Lembaga dibagi atas dua unsur yaitu unsur strutural dan unsur
keyakinan manusia dan cita-cita rakyat.
2.1.1 Jenis Lembaga-Lembaga yang Berbeda-Beda
Sangat sulit jika ingin mengklasifikasikan lembaga-lembaga karena
tergantung tujuannya, hanya bisa di bedakan dari politik, agama, ekonomi,
keluarga, administrasi, dan sebagainya. Adapun lembaga dibedakan menjadi :
a. Institution by design (lembaga yang di bentuk dengan sengaja) atau lembaga
normatif, karena mereka didasarkan pada norma-norma.
b. Institution by fact bersifat deterministik yang berarti bahawa seseorang
mengalami kekuasaan dan pengaruhnya secara otomatis.
2.1.2 Lembaga-Lembaga Politik Klasifikasi Rezim-Rezim Politik
Lembaga politik adalah lembaga-lembaga yang mengontrol atau
memperhatikan kekuasaan, organisasinya, pengalihannya, pelaksanaan, legitimasi

3
dan lainnya. Lembaga-lembaga ini telah bergabung menurut jenis-jenis yang
berbeda-beda yang disebut rezim-rezim politik. Adapun klasifikasinya sebagai
berikut:
a. Klasifikasi Purba
Sampai pada abad 19, rezim politik memakai sistem klasifikasi yang
diwariskan sejak zaman yunani yang membagi rezim-rezim politik ke dalam
monarki, oligarki, demokrasi. Pada zaman montesquieu dan bahkan
kemudian monarki, aristokrasi, dan demokrasi menguasai teori-teori politik.
b. Klasifikasi Legal Masa Sekarang
Para ahli hukum sekarang ini masih berpegang pada ide montesqieu
meskipun tidak lagi pada teori, praktisnya mereka membuat klasifikasi
rezim politik menurut hubungan internal antara kekuasaan yang berbeda-
beda elemen yang membentuk negara. Maka tibalah pada pembagian
tripartide dari rezim pemerintah yaitu sebuah rezim dimana pemusatan
kekuasaannya, sebuah rezim dengan pemisahan kekuasaan dan sebuah
rezim parlementer.

2.2 Pengaruh Budaya Terhadap Politik


Kebudayaan mengacu pada keyakinan ideologi, dan mitos, yaitu citra-citra
kolektif dan suatu komunitas, yang disebut elemen spiritual dan psikologis
kebudayaan. Kebudayaan dalam arti luas yaitu mengacu pada bentuk-bentuk
yang unik yang merupakan gabungan dari semua unsur, yaitu citra kolektif,
keyakinan, ideologi, lembaga-lembaga sosial, teknologi dan bahkan faktor-faktor
goegrafis dan demografis.
Jika digabungkan budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat
dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik
pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh
seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan
sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan
kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
2.2.1 Keyakinan Ideologi dan Mitos
Ideologi adalah keyakinan yang lebih rasional, sedangkan mitos adalah
keyakinan yang irasional, yang lebih bersifat spontan. Itu tidak berarti bahwa
yang disebut ideologi itu selalu rasional, dan mitos itu selalu irasional, terkadang
ideologi juga tidak irasional dan mitos pun bisa menjadi rasional. Ideologi adalah

4
kumpulan keyakinan-keyakinan yang dirasionalkan dan sistematisasikan, yang
mencerminkan situasi masyarakat pemiliknya. Ideologi mengungkapkan
kecenderungan psikologisnya sendiri serta konflik batinnya dalam doktrin-doktrin
yang dirumuskannya, tetapi juga mengungkapkan aspirasi sosial, harapan, dan
cita-citanya bersama. Penerimaan dan penolakan terhadap suatu sistem ideologi
tergantung dari sejauh mana ideologi yang bersangkutan mencerminkan
kebutuhan-kebutuhan komunitas dan kekuatan-kekuatan sosial didalamnya.
Sedangkan mitos adalah keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional, dan diolah
secara teliti pula jika dibandingkan dengan ideologi.
2.2.2 Pengaruh Keyakinan Terhadap Kehidupan Politik
Pengaruh keyakinan terhadap kehidupan politik bersifat sekunder, karena
keyakinan itu hanyalah cerminan atau pantulan dari struktur sosio-ekonomis.
2.2.3 Entitas Kultural dan Pengaruhnya Terhadap Politik
Entitas kultural adalah suatu istilah yang mengacu pada semua unsur yang
membentuk kebudayaan, dengan kata lain entitas kultural merupakan sintesis dari
semua faktor kultural. Dapat dikatakan bahwa setiap kelompok sosial adalah
entitas kultural. Entitas kultural berbeda menurut periode sejarah dan lokasi-lokasi
geografis. Ada periode dimana kelompok suku atau etnik yang kecil membentuk
entitas kultural dasar, pada periode yang lain, terbentuk kota-kota, negara kota,
dan kini terbentuk bangsa-bangsa dan negara-negara besar. Dengan demikian
tampak adanya korelasi antara hakikat entitas kultural dan karakter kelompok-
kelompok sosial yang mempunyai organisasi-organisasi politik yang paling kuat.

2.2.4 Tipe-tipe Budaya yang Mempengaruhi Politik


1) Berdasarkan Sikap yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,
menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi
ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap “militan” atau sifat “toleransi”.
a) Budaya Politik Militan
Budaya politik di mana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari
alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang.
Bila terjadi krisis, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan

5
disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu
sensitif dan membakar emosi.
b) Budaya Politik Toleransi
Budaya politik di mana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang
harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu
membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap lde
orang, tetapi bukan curiga terhadap orang. Jika pernyataan umum dari
pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat
menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu
menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa
toleransi hampir selalu mengundang kerja sama.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan, maka budaya politik
terbagi atas:
a) Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-
nilai dan kepercayaan yang dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah
lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan
kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang
selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru
atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut
bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya
berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan
dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap
tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b) Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia
menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan
tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi
berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai
suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai
suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan

6
dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik
melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan.
Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih
sempurna dan komprehensif.
2) Berdasarkan Orientasi Politik
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa
variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam
budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang
berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik
yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel
Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut.
a) Budaya Politik Parokial (Parochial Political Culture)
Yaitu, tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan
faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Beberapa ciri
budaya politik parokial dapat dilihat sebagai berikut.
1) Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek input,
objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
2) Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
3) Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan
perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
4) Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.
5) Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih
sederhana di mana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat
minim.
6) Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.
b) Budaya Politik Subjek (Subject Political Culture)
Yaitu, masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial
maupun ekonominya), tetapi masih bersifat pasif. Beberapa ciri budaya
politik subjek (kaula) dapat dilihat sebagai berikut.

7
1) Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik
yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi
orientasi terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap
pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
2) Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah.
3) Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap
output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
4) Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur
input yang terdiferensiasikan.
5) Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
c) Budaya Politik Partisipan (Participant Political Culture)
Yaitu, budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat
tinggi. Beberapa ciri budaya politik partisipan dapat dilihat sebagai berikut.
1) Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objek input,
output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
2) Bentuk kultur di mana anggota-anggota masyarakat cenderung
diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta
administratif (aspek input dan output sistem politik).
3) Anggota masyarakat partisipatif terhadap objek politik.
4) Masyarakat berperan sebagai aktivis.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa
terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut
di atas. Tentang klasifikasi budaya politik dalam masyarakat lebih lanjut sebagai
berikut.
Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa
mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik.
Mereka memiliki kebanggan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk
mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat
mempengaruhi pengambilan kebijkan publik dalam beberapa tingkatan dan
memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok
protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

8
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh
sumburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan
warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukkan oleh tingkat kompetensi
politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau
keberdayaan karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang
ditunjukkan oleh warga negara. Mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses
pemilu dan memercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu,warga
negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela,
karena adanya saling percaya (trust) antarwarga negara. Oleh karena itu, dalam
konteks politik tipe budaya im merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara
politik.
Budaya politik subjek lebih rendah satu derajat dari budaya politik
partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang
sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi
keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-
berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan
komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak
nyaman bila membicarakan masalah masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya
politik subjek karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan
berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak
dengan pejabat lokal. Selain itu, mereka juga memiliki kompetensi politik dan
keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan
partisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap
berjalannya sistem politik.
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah,
yang di dalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah
warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentiiikasikan dirinya pada
perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut.
Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-
masalah politik.

9
Budaya politik parokial ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya
tidak memiliki minat ataupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik.
Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul,
ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu, terdapat
kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial,
hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru.
Budaya politik ini bisa ditemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara
belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataannya tidak ada satu pun negara yang memiliki
budaya politik murni partisipan, pariokal, atau subjek. Melainkan terdapat variasi
campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut. Ketiganya menurut Almond dan
Verba tervariasi dalam tiga bentuk budaya politik, sebagai berikut:
a) Budaya politik subjek-parokial (the parochial-subject culture).
b) Budaya politik subjek-partisipan (the subject-participant culture).
c) Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture).
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, maka
dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut.
1) Model demokratis industrial ditunjukkan dengan cukup banyaknya aktivis
politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran
pemberian suara yang besar.
2) Model sistem otoriter ditunjukkan dengan adanya jumlah industrial dan
modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan
politik seperti mahasiswa, kaum intelektual dengan tindakan persuasif
menentang sistem yang ada, tetapi sebagian besar jumlah rakyat hanya
menjadi subjek yang pasif.
3) Model demokratis pra-industrial dengan ditandai dengan hanya terdapat
sedikit sekali partisipan dan sedikit pula keterlibatannya dalam
pemerintahan.
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut
konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia,
pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala
bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan

10
dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik.
jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat
menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang
menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu
sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak
mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari
rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik
dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat
setiap anggota merupakan usaha percampuran politik dengan cir dominan dalam
masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan
suatu agama politik di suatu masyarakat,yaitu kondisi politik yang terlalu
sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik
para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau
menghambat pembangunan karena massa rakyat. harus menyesuaikan diri pada
kebijaksanaan para elite politik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan kami mengenai pengaruh faktor sosial lembaga
terhadap politik dan pengaruh budaya terhadap politik dapat disimpulkan bahwa
lembaga mempunyai pengaruh yang tidak dapat disangkal terhadap fenomena
politik lembaga politik pers dengan mewujudkan organisasi dan struktur
kekuasaan. Lembaga dibagi atas dua unsur yaitu unsur strutural dan unsur
keyakinan manusia dan cita-cita rakyat. Budaya politik merupakan pola perilaku
suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi
negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang

11
dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga
dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang
memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif
dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Tipe-tipe budaya
yang mempengaruhi politik ada tiga yaitu budaya politik parokial, budaya politik
kaula, dan budaya politik partisipan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ary, Zhala. Konsep Sosiologi Politik.


(http://zhal89ry.blogspot.co.id/2009/11/konsep-sosiologi-politik.html, diunduh pada
tanggal 9 Maret 2018)
Darmadi, Hamid. Lembaga Sosial dan Perubahan Sosial.
(http://hamiddarmadi.blogspot.co.id/2012/04/lembaga-sosial-dan-perubahan-
sosial.html, diunduh pada tanggal 9 Maret 2018)
Setiadi, Elly dan Usman Kolip. 2013. Pengantar Sosiologi Politik Edisi 1. Jakarta:
Kencana Prenadamedia.

13

Anda mungkin juga menyukai