Anda di halaman 1dari 8

« Menyambut UU Keterbukaan Informasi Publik

Rumah Murah : Upaya Mewujudkan Kota Tanpa Pemukiman Kumuh »

29 Jul

Air Bersih……….Air Bersih


Oleh adronafis28 pada Uncategorized. Tinggalkan sebuah Komentar

Tak dapat disangkal, air merupakan kebutuhan dasar manusia. Coba bayangkan,
bagaimana kehidupan kita tanpa air, sehari saja.

Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita akan
mati dalam beberapa hari saja. Dalam kehidupan ekonomi modern kita, air juga merupakan hal
utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.

Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai,
dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap pencemaran. Namun kenyataannya air selalu
dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di
negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit akibat kekurangan air, atau oleh air
yang tercemar.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit
murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian
lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.

Begitu pentingnya air, sehingga di negeri kita, kepemilikan maupun pemanfaatannya di


bebankan kepada negara. Seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
Ayat 3 : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Sayangnya, persoalan air di republik ini terkesan tak mendapat perhatian serius dari
penyelenggara negara. Ini dibuktikan masih rendahnya penyediaan air, terutama air bersih, bagi
warga. Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
mengamanatkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh rakyat.

Sehingga, tak jarang kita jumpai warga yang melakukan aktivitas rutin seperti mandi, mencuci,
maupun memasak dengan air yang yang sudah tercemar. Di beberapa tempat warga bahkan harus
berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan air bersih!

Jika dikaitkan dengan salah satu target Millenium Development Goals (MDGs), di mana pada
tahun 2015 setidaknya separo masyarakat dunia sudah harus mendapatkan akses terhadap air
bersih, maka Indonesia mungkin menjadi salah satu negara yang harus menata diri untuk
mencapai target global tersebut.
Saat ini, status Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia adalah sebanyak 52%
penduduk miskin tidak memiliki akses terhadap air yang aman dan higienis untuk di konsumsi,
sementara 44% tanpa sanitasi yang memadai. (Sumber: UNDP Indonesia– Millennium
Development Program, 2008).

Kondisi air bersih Indonesia saat ini baru dapat dinikmati kurang dari 40% jumlah penduduk dan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hanya melayani 7,1 juta pelanggan. Sejauh ini pasokan
air bersih dilakukan oleh PDAM melalui 7,1 juta sambungan rumah. Sedangkan dari swasta dan
masyarakat belum terhitung.

Adapun kebutuhan air minum saat ini sudah terindentifikasi, di mana untuk wilayah perkotaan
mencakup 45% dari jumlah penduduk, sedangkan untuk kawasan pedesaan mencakup 9% dari
jumlah penduduk. Sementara itu, pemerintah sudah mematok target 10 juta sambungan pipa baru
dalam kurun waktu lima tahun (2008-2013).

Sebagai perbandingan dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara, hingga tahun 2000,
persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia masih jauh lebih rendah
daripada beberapa negara tetangga.

Malaysia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara dengan tingkat akses sumber air di pedesaan
mencapai 94 persen. Sementara Vietnam telah mencapai 72 persen.

Kelangkaan Air bersih

Kita memang sering take it for granted terhadap air yang menjadi barang ultra esensial bagi
kehidupan manusia. Bahkan, dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah water-diamond paradox
yaitu air yang begitu esensial dinilai begitu murah sementara berlian yang hanya sebatas
perhiasan dinilai begitu mahal.

Secara fisik mungkin kelangkaan air hanya dirasakan pada musim kemarau. Namun, secara
ekonomi dan sosial, kelangkaan terhadap air dirasakan hampir setiap hari. Khususnya air bersih
yang dalam laporan UNDP dikatakan sebagai sumber pemicu yang dahsyat terhadap timbulnya
ketidakadilan, kemiskinan, konflik sosial, dan masalah kesehatan.

Kelangkaan air sungguh ironis dengan predikat Bumi sebagai “Planet Air” lantaran 70 persen
permukaan bumi tertutup air. Namun, sebagian besar air di Bumi merupakan air asin dan hanya
sekitar 2,5 persen saja yang berupa air tawar. Itu pun tidak sampai 1 persen yang bisa
dikonsumsi, sedangkan sisanya merupakan air tanah yang dalam atau berupa es di daerah Kutub.

Dengan keterbatasannya ini, sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi air secara berlebih.
Mereka memanfaatkan air seolah-olah air berlimpah dan merupakan “barang bebas”. Padahal
semakin terbatas jumlahnya, berlakulah hukum ekonomi, bahwa air merupakan benda ekonomis.

Buktinya, kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk membeli air ketika
terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis, seperti Indonesia, harus berjalan puluhan
kilometer untuk mencari sumber air di musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum
semuanya mendapatkan pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas.

Investasi

Sumber daya air adalah salah satu sumber daya alam yang mengalami tekanan yang berat di abad
ke-21 ini di tengah meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi masyarakat, serta
kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Bahkan, The Observer mensinyalir akan terjadi ”perang
air” (water wars) pada tahun 2020 mendatang jika sumber daya ini tidak ditangani secara serius
dari sekarang.

Era ketersediaan air yang melimpah dengan kebutuhan yang tidak terkendala serta risiko
lingkungan yang rendah sudah dianggap sejarah masa lalu. Bukti-bukti empiris menunjukkan
bahwa bahkan di negara-negara subtropis sekalipun, di mana ketersediaan air relatif banyak,
sumber daya air tidak lagi diperlakukan sebagai free good. Bagaimana kemudian kita
menyikapinya?

Sebagaimana dirilis oleh Human Development Report dari UNDP, krisis kelangkaan air
bukanlah berakar pada kelangkaan fisik, namun lebih pada penguasaan atas air, ketidaksetaraan
dan kemiskinan.

Saat ini ada sekitar 1,1 miliar penduduk negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak memiliki
akses yang cukup terhadap air bersih dan 2,6 miliar penduduk negara berkembang juga tidak
memiliki sanitasi dasar. Penduduk miskin di perkotaan seperti Jakarta bahkan harus membayar
per unit air 5 sampai 10 kali lebih mahal daripada penduduk kelas menengah ke atas.

Kondisi ini menyebabkan sulitnya memutus lingkaran kemiskinan dan buruknya lingkungan
penduduk miskin perkotaan sehingga memicu permasalahan sosial lainnya.

Oleh karena itu, diperlukan terobosan kebijakan terhadap penyediaan atas air ini. Investasi publik
sangat di butuhkan agar air tidak menjadi ’’full economic goods”. Investasi publik atas air juga
dibutuhkan untuk mencegah kerugian ekonomi akibat krisis air. Kerugian ini bisa mencapai
cukup besar.

Sebagai contoh negara-negara Afrika yang sering mengalami krisis air mengalami kerugian
sekitar USD28,4 miliar per tahun. Padahal, beberapa studi menunjukkan setiap USD1 investasi
di sektor ini sudah bisa membangkitkan USD8 produktivitas di sektor lainnya sehingga rantai
kemiskinan bisa dikurangi. Kita juga perlu menyikapi masalah sumber daya air ini secara serius
kalau kita mau komitmen terhadap pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).

Secara umum, pengelolaan air bersih di Indonesia masih terkendala pada beberapa hal. Antara
lain distribusi pelayanan air yang tidak merata; polusi air; ketidakmampuan pemerintah
memperluas jaringan irigasi bagi keperluan pertanian, sehingga salah satunya terjadi penurunan
produksi padi; serta berkurangnya sediaan (supply) air bersih maupun air minum yang
disebabkan berkurangnya daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan.
Dalam persoalan distribusi, tampak pengelolaan air lebih banyak difokuskan untuk melayani
kegiatan komersial yang mendukung pembangunan ekonomi. Hanya konsumen yang mampu
membayar yang dapat memiliki akses terhadap air bersih.

Political Will

Kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan air sebagai salah satu kebutuhan dan hak
dasar tiap manusia masih sangat kurang. Masalah yang hampir tidak jauh berbeda juga terlihat
pada kondisi sanitasi yang masih terbilang buruk di berbagai wilayah tanah air terutama di
pedesaan.

Terkait dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium pada 2015, separuh jalan Indonesia
terancam gagal. Laporan MDGs Asia-Pasifik 2006 yang dirilis UNDP, menempatkan Indonesia
ke dalam negara yang mundur bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua
Nugini, dan Filipina.

Sementara itu, dalam perspektif pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya bagi rakyat,
negara bertanggung jawab menyediakan dan mengelola sumber daya air sebagai pelayanan
publik. Artinya, meskipun ada swastanisasi sektor pengelolaan air bersih, bukan berarti negara
bisa lepas tangan.

Pemerintah pusat dalam hal ini, harus menjamin proses pengelolaan air oleh pemerintah daerah
dan swasta tidak mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Cukup banyak pihak
mengkhawatirkan peraturan yang terlalu membuka ruang keterlibatan sektor swasta untuk
pengelolaan air, bisa membuat mandat pelayanan publik terabaikan.

Di sinilah krisis air bisa menjadi ancaman serius. Krisis air tidak selalu dalam bentuk bencana
kekeringan atau kekurangan air pada saat musim kering. Namun lebih pada terhambatnya akses
rakyat bagi air sehat untuk kebutuhan sehari-hari. Air bisa saja melimpah di mana-mana, tetapi
publik begitu sulit untuk mengaksesnya karena tidak mempunyai sarana dan prasarana
pendukung yang memadai.

Masalah akses terhadap air bersih merupakan tujuan ketujuh dari MDGs yang harus dicapai pada
tahun 2015. Oleh karena itu, diperlukan ”political will” yang kuat untuk mencapai tujuan
tersebut dengan mengarahkan kebijakan makro ekonomi yang bersifat resource friendly.
Kelangkaan atas air lebih sering dipicu oleh kegagalan kebijakan (policy failiure) daripada faktor
alam.

Sistem perhitungan ekonomi nasional sering tidak memperhatikan ecological debt dan gagal
dalam menangkap biaya deplesi atas modal sumber daya alam yang relatif terbatas.
Ini terbukti dengan banyaknya alih fungsi lahan dan hilang atau berkurangnya situ-situ karena
terkalahkan oleh kebijakan yang mementingkan kepentingan ekonomi yang bersifat myopic.
Karena itu, sistem akuntansi sumber daya semestinya dapat menjadi pertimbangan kebijakan
ekonomi baik pada tingkat lokal maupun nasional dan bukan sebatas wacana akademis semata.

Aspek Permintaan dan Kelembagaan


Aspek lain yang penting dalam menjawab permasalahan sumber daya air adalah pengelolaan
pada sisi permintaan serta aspek kelembagaan yang menyertainya.

Suplai air memang bisa saja ditingkatkan (augmented) melalui rekayasa teknik. Namun, pilihan
ini bisa sangat terbatas manakala ketersediaan air secara alamiah tidak mendukung. Oleh karena
itu, selain sisi suplai, penting juga melakukan pengelolaan pada sisi permintaan.

Kebijakan sisi permintaan ini terbukti di beberapa negara lebih efektif. Kebijakan ini antara lain
berupa peningkatan ”crop per drop” pada produk-produk pertanian sehingga produk pertanian
dapat ditingkatkan dengan penggunaan air yang lebih efisien, serta kebijakan ”water pricing”
yang bisa mencerminkan nilai ekonomi kelangkaan air.

Kebijakan menyangkut water pricing ini juga sesuai dengan amanat Prinsip Dublin (Dublin
Principles) atas sumber daya air di mana selain aspek ekologi dan kemasyarakatan, juga di
perlukan prinsip instrumen pengelolaan air yang efisien mengikuti kaidah-kaidah dan instrumen
ekonomi yang efektif.

Dari sisi kelembagaan, Carruthers dan Morrison (1996) misalnya melihat bagaimana kegagalan
pengelolaan sumber daya air di beberapa negara terjadi karena terabaikannya aspek
kelembagaan.

Hal ini disebabkan dimensi ekonomi dari sumber daya air yang begitu beragam dari barang
publik, barang privat sampai nilai opsi yang dimiliki sumber daya air. Dengan demikian,
kalaupun ”privatisasi’’ pengelolaan sumber daya air terpaksa dilakukan, maka ia harus di
hadapkan pada kendala kelembagaan.

Sehingga, sering kemudian kita melihat bahwa kriteria efisiensi yang menjadi tujuan di
lakukannya privatisasi menjadi tidak sejalan dengan struktur kelembagaan yang ada dalam
masyarakat. Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi kelembagaan harus
mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan (resiliency),dan kesetaraan
(equity).

PDAM

Penyediaan air bersih di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala yang kompleks, mulai
dari penggunaan teknologi, anggaran, pencemaran, maupun sikap dari masyarakat.

Pengelolaan air bersih ini berpacu dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat serta
perkembangan wilayah dan industri yang cepat. Masyarakat dan industri di perkotaan inilah yang
termasuk boros air.

Di sisi lain, kesulitan masyarakat memperoleh air bersih semakin bertambah, ketika sebagian
besar perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia beroperasi dalam kondisi tidak sehat.
Data dari Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan, sampai tahun 2000, dari 290 PDAM yang
ada di seluruh Indonesia, jumlah pelanggannya baru mencapai 4,8 juta.
Dengan kapasitas produksi nasional air PDAM yang 72.000 liter/detik, sebagian besar PDAM
masih menghadapi masalah kebocoran air (unaccounted for water) hingga menyentuh level 40-
50 persen.

PDAM juga dihadapkan pada manajemen yang buruk, dimana hal itu berdampak pada sebagian
besar PDAM yang ada di Indonesia mengalami kerugian dan memiliki utang.

Menurut laporan Departemen Keuangan RI per 30 Juni 2008, tercatat Rp 4,6 triliun hutang
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Suatu jumlah dana yang tidak sedikit tentunya. Hutang
sebesar itu yang termasuk hutang pokok Rp 1,5 triliun dan non-pokok (bunga dan denda) Rp 3,1
triliun.

Sejak 10 tahun lalu, pemerintah memberi hutang pada PDAM. Dan dari 335 PDAM di
Indonesia, sejumlah 205 PDAM yang menghutang pada negara sementara hanya 30 PDAM yang
lancar dalam pembayarannya. Sisanya yaitu 175 PDAM, menunggak. Bahkan 167 PDAM
diantaranya macet sama sekali dalam pembayaran hutang.

Dana pemerintah pusat yang macet mencapal Rp 4,6 triliun pinjaman dari SLA (Sub Loan
Agreement) dan RDA (Regional Development Account). Masalahnya tampak menonjol di mana
utang terhadap SLA dan RDA yang besar dan tidak mampu dicicil, biaya bahan baku makin
mahal dan tarif air minum yang relatif masih rendah.

Restrukturisasi Utang

Terkait dengan utang yang melilit sejumlah PDAM di tanah air, pemerintah pusat pada 2008 lalu
akhirnya telah merestrukturisasi utang beberapa PDAM.

Menurut Direktur Jenderal Cipta Karya Budi Yuwono, dari 40 PDAM yang telah mengajukan
permohonan restrukturisasi utang kepada Departemen Keuangan, 15 PDAM di antaranya telah
mendapat persetujuan.

Pada sisi lain, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan, pemerintah selalu
mendorong agar kondisi seluruh PDAM di Indonesia menjadi sehat. Hal tersebut penting guna
mewujudkan target 10 juta sambungan rumah (SR) baru air minum dalam lima tahun ke depan.
“Kondisi PDAM itu penting agar mereka menjadi bankable,” ucap Djoko.

Sebagai langkah awal pelaksanaan target tersebut, 18 PDAM yang berkondisi sehat telah
menyusun rencana bisnis dengan total investasi Rp 10,14 triliun.

Dari total Rp 10,14 triliun tersebut, 30 persen diantaranya akan berasal dari dana PDAM sendiri
serta bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan Rp 7,1 triliunnya dari
pinjaman perbankan.

Sementara untuk 176 PDAM lainnya juga telah menyiapkan program optimalisasi dengan
prioritas tahun 2009-2010 dengan target sambungan rumah sebesar 1,4 juta unit.
“Total investasi sebesar Rp 7,7 triliun yang bersumber dari dana equity sebesar Rp 2,3 triliun dan
pinjaman perbankan sebesar Rp 5,4 triliun,” kata Djoko.

Saat ini, seluruh PDAM di Indonesia baru melayani 7,1 juta sambungan dari sejak zaman
kemerdekaan 60 tahun lalu. Penambahan sambungan air bersih yang akan dikerjakan oleh
seluruh PDAM tersebut harus dilaksanakan, mengingat air bersih merupakan kebutuhan pokok
kehidupan.

Dengan 10 juta sambungan rumah diharapkan 2-5 tahun lagi 90 persen rumah di kota besar dan 8
persen rumah di kota-kota sedang serta rumah di kota-kota kecil sudah mendapakan sambungan
air bersih.

Berdasarkan data Departemen PU, cakupan pelayanan air di perkotaan mencapai 45,1 persen.
Jumlah tersebut telah mengalami peningkatan dibanding tahun 2004 yang 41 persen. Sementara
cakupan pelayanan air bersih di pedesaan juga naik dari 8 persen di 2004 menjadi 12,4 persen
hingga awal 2009.

Bergerak ke Depan

Evolusi pada sektor air di negara-negara berkembang menunjukkan sejarah kemajuan yang ajeg,
dari air dan sanitasi tingkat rumah tangga hingga rancangan setingkat metropolitan dan regional.

Hal ini seharusnya cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa sesungguhnya tidak ada satu pun
teknologi yang tepat untuk masalah-masalah dalam sektor ini. Demikian juga, perubahan-
perubahan pada teknologi selalu disertai dengan perubahan yang searah pada reformasi lembaga
dan pendanaan.

Itu berarti bahwa diperlukan sejumlah pendekatan (yang menawarkan bermacam pilihan teknik,
finansial, dan institusional) untuk menyesuaikan dengan sifat-sifat sosial ekonomi penduduk
yang dilayani, dan dapat ditingkatkan apabila dikehendaki oleh perubahan keadaan.

Juga perlu disadari bahwa negara-negara berkembang hendaknya tidak meniru sistem
penyediaan air dan pembuangan limbah cair seperti negara maju. Lebih baik bila mereka
mencipta sistemnya sendiri berdasarkan pelajaran di masa lampau untuk menanggapi kondisi
masa kini, dan dengan demikian dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang dapat
mengakibatkan kegagalan sistem dan masalah lingkungan di negara-negara industri.

Tiga Prinsip

Ada tiga prinsip yang mendukung pembangunan masa depan yang sehat dalam sektor ini.

Konservasi. Ini berarti menggunakan air hanya secukupnya saja untuk memenuhi kebutuhan
yang senyatanya, tanpa pemborosan. Konservasi yang efektif biasanya meliputi suatu paket
langkah pengendalian kebocoran, penggunaan peralatan untuk penghematan air, tarif yang
berdaya mencegah pemborosan, dan kampanye untuk mendorong konsumen lebih sadar terhadap
akibat penggunaan yang boros.
Ketahanan. Ini berarti penggunaan teknologi dan sistem yang selalu siap bekerja dengan sumber-
sumber daya yang dapat diperoleh dari lingkungan masyarakat yang dilayani, tanpa
ketergantungan yang berlebih pada masukan dari luar.

Sumber daya ini meliputi tidak saja keuangan, melainkan juga mengelola sistem dan ketrampilan
yang diperlukan untuk merawat dan memperbaiki peralatan yang telah dipasang. Ketahanan juga
meliputi peduli terhadap keberterimaan (yaitu menggunakan sistem air minum dan sanitasi yang
disenangi masyarakat) dan juga peduli terhadap partisipasi masyarakat (dalam memilih teknologi
yang akan diterapkan dan dalam menentukan cara mengelolanya, demikian juga dalam
perencanaan, konstruksi, manajemen, dan operasi dan pemeliharaan yang tepat). Sistem yang
tidak mampu berjalan atau yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat yang seharusnya dilayani
merupakan pemubaziran investasi sumberdaya.

Sistem melingkar. Dengan meningkatnya tekanan jumlah penduduk terhadap sumber-sumber


daya yang terbatas, maka kita perlu memikirkan sistem melingkar, bukan garis lurus. Kota yang
membuang polusinya ke saluran air dan menyebabkan masalah bagi orang lain tidak bisa
diterima lagi. Sebaliknya, air limbah yang telah diolah seharusnya dianggap sebagai suatu
sumber bernilai yang dapat dipakai. (yat/berbagai sumber)

Anda mungkin juga menyukai