Anda di halaman 1dari 4

Pak Harto Ajak “Nobar” Warga Tambi-Indramayu

Warna jingga sinar mentari meluruh di air sungai Cimanuk tak jauh dari desa Rambatan
Wetan. Kami harus mengambil keputusan, apakah lanjut atau beristirahat saja dulu. Padahal
menurut foto dokumentasi Pak Harto pada hari pertama blusukan (6/4/1970) masih punya
satu agenda, mengunjungi desa Tambi, Kabupaten Indramayu. Dalam perhitungan kami, jika
dipaksakan tim akan tiba di lokasi itu hari sudah gelap. Ini bukan wilayah perkotaan, antara
satu kampung dengan kampung lain masih terdapat “celak” persawahan nan luas, aktivitas
warga di luar pun sudah tentu jauh menurun. Musykil rasanya keluar masuk kampung
bertanya tentang masa silam. Akhirnya kami sepakat, ekspedisi dilanjutkan besok hari.

Namun masalah datang kemudian. Dimana menginap? Tak ada penginapan disini, tak ada
kerabat, apalagi kami bukan para pejabat. Jarak dari desa Rambatan Wetan ke kota
Indramayu masih sekira 22 km demikian pula ke kota terdekat berikutnya, Cirebon. Tim
Advance yang terdiri dari Uud Udianto dan Haji Syukur pun ditugasi untuk mencari
penginapan di kota terdekat. Sungguh, teknologi memudahkan kami. Dengan menggunakan
mesin pencari di tabel Ipad yang kami bawa Tim dengan cepat mendapatkan tempat
penginapan yang diinginkan. Sebuah hotel cukup bagus tapi murah di kota Cirebon, Hotel
Permata Hijau. Kesanalah rombongan tim ekspedisi meluncur, berpacu dengan malam yang
turun dengan cepat di jalur pantura yang gelap.

Dalam perjalanan saya masih penasaran dengan foto-foto dokumentasi Incognito Pak Harto
hari pertama itu. Terlihat Pak Harto sedang berada di balai desa, duduk dikelilingi sejumlah
pria yang diperkirakan adalah warga atau petugas desa setempat, tak lupa Mang Ihin
(Solihin GP, Gubernur Jawa Barat saat itu) turut mendampingi sementara Eddie Nalapraya
berdiri dikejauhan mengamati. Pada foto lain terlihat warga berkerumun dengan latar
suasana gelap malam. Foto lainnya memperlihatkan Pak Harto berbicara dengan warga desa
yang berkerumun itu. Sebuah teks diketik rapi tertempel di atas foto itu:”Tgl.6 April1970.
Bapak Presiden R.I. Wawantjara dengan Rakjat/dan pemutaran film di Desa Tambi
Djatibarang.” Pemutaran film? Kok bisa? Film apa ya? Apa pula yang dibincangkan Pak Harto
bersama rakyatnya? Bisakah saya mendapatkan informasinya? Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang membuat kami berharap pagi lebih cepat tiba.
Tanpa membuang waktu, pagi hari (4/5/2012)sekitar pukul 7.00 kami sudah meluncur
keluar dari kota Cirebon. Kembali menyusuri jalur utara yang lurus dan datar. Kali ini yang
dituju adalah kota Jatibarang, Indramayu. Sesuai informasi dalam foto dokumentasi,
Jatibarang merupakan kota yang menjadi acuan untuk sampai ke desa Tambi (saat ini sudah
dimekarkan menjadi Tambi Lor dan Tambi Kidul). Rupanya desa ini masuk ke dalam
Kecamatan Sliyeg dan letaknya berada di perbatasan dengan Kecamatan Jatibarang.
Daerahnya yang datar dan subur menjadikan desa Tambi termasuk salah satu daerah
pertanian yang maju di Indramayu.

Kami tiba di balai desa Tambi sekira pukul 8.00 WIB. Hari masih pagi untuk aktivitas di Balai
Desa. Hanya ada beberapa petugas saja yang usianya masih tergolong muda sekira 25
tahun. Setelah menjelaskan maksud kedatangan, kami bertanya apakah disini ada
penduduk asli yang berusia sekira 60 hingga 70 tahun?

“Kami ingin ngobrol sama mereka tentang kunjungan Pak Harto ke desa Tambi waktu dulu,”
jelas saya.

“Coba saya cari Pak,”jawab petugas mengusahakan sambil pergi ke samping Balai Desa.

Aha...tak lama. Ia kembali bersama seorang pria tua dengan badan cukup tinggi namun
tampak sehat. Kami menyambutnya dan menanyakan nama Pak Tua ini.

”Saya Nartim, lagi bebersih kebon kacang”, Pa Tua menjelaskan siapa dirinya. Ia adalah
petani palawija yang memang terhampar cukup luas di sisi-sisi jalan yang kami lewati
sebelumnya.

Sepanjang pembicaraan Nartim selalu menggunakan bahasa Jawa Cirebon atau Jawa
Dermayon. Kami pun harus mengimbanginya agar bisa lancar menggaet informasi darinya.
Bersyukur penulis lahir dan dibesarkan di Cirebon, jadi meski bahasa Jawa dialek Dermayon
agak berbeda dengan dialek Cirebon, tak sulit untuk berbicang dengan pria berusia 80 tahun
itu.

Menurut pengakuannya, dirinya berusia 20 tahun ketika warga desa Tambi dikejutkan
dengan kedatangan orang penting yang kemudian diketahui sebagai Presiden Soeharto.
Penduduk pun segera bergegas mendatangi balai desa, tak terkecuali Nartim, untuk
memastikan apakah tamu yang datang benar-benar presiden mereka. Padahal hari sudah
sore, bukan waktu kunjungan yang lazim bagi seorang pejabat. Benar saja, Nartim melihat
ada rombongan orang-orang yang tengah berbincang dengan kepala desa setempat. Dan
salah satu dari mereka dikenali Nartim sebagai pria tampan berpakaian rapih dengan
wajahnya yang bersih. Kelak ia mengetahui itulah Pak Harto.

Berita dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut ke segenap penjuru desa yang juga
dikenal memiliki situs Makam Kramat Ki Buyut Tambi. Sampai saat ini, makam yang letaknya
tak jauh dari balai desa sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai penjuru
negeri. Konon Buyut Tambi adalah seorang spiritualis sekaligus dalang pertunjukan wayang
kulit yang menjadi leluhur penduduk setempat.

Hari menjelang malam ketika hampir semua penduduk berkumpul di halaman balai desa
yang lapang. Sejumlah lampu petromak dinyalakan dan ditempatkan di sudut-sudut
pelataran. Nartim yang sudah cukup dewasa pun ikut membantu persiapan, termasuk
memasang dua tiang dengan layar putih dibentangkan diantara keduanya.

Ya, malam itu Pak Harto mengakhiri perjalanan hari pertama incognito dengan mengajak
warga desa Tambi Nonton Bareng (Nobar) film layar tancap. Pak Harto memang sengaja
membawa proyektor dan rol-rol film. Ia ingin menghibur rakyatnya dengan sesuatu yang
langka dan baru pada masa itu. Sudah pasti televisi belum berkembang dan belum sampai
ke desa Tambi. Tak heran bila warga malam itu berdesak-desakan di halaman balai desa,
berharap agar film segera diputar.

Nartim menuturkan bahwa sebelum pemutaran film dimulai Pak Harto berbicara di hadapan
penduduk. Pesan Pak Harto: ”Mari kita bersatu padu untuk membangun negara dan bangsa.
Bertanilah yang sungguh-sungguh. Anak-anak harus sekolah.” Dan setelah itu Pak Harto
mengajak semua yang hadir untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia
Raya. Malam itu, seisi halaman balai desa gegap gempita dengan suara penuh
semangat:”Indonesia tanah airku....tanah tumpah darahku...” Gemuruh nyanyian itu
terdengar sampai jauh, menembus gelapnya malam dan melintasi waktu. Nartim masih
mengingatnya dengan jernih. (MhP)**

Anda mungkin juga menyukai