Anda di halaman 1dari 13

Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 1

[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

DEKLARASI BALFOUR:

LATAR BELAKANG DAN KEDUDUKANNYA DALAM KONFLIK


ARAB-ISRAEL

Oleh Riyanti

Abstrak

Sampai saat ini, konflik Arab-Isarel yang telah dimulai kurang lebih seabad lalu,
belum mulai terlihat tanda-tanda penyelesaiannya. Baik di pihak Arab maupun Israel
sama-sama tidak ingin dirugikan. Kedua belah pihak saling menuntut satu sama lain.
Meskipun upaya damai sudah sering dilakukan, bukan berarti ada cahaya di antara
keruhnya konflik ini. Tulisan ini akan melihat bagaimana latar belakang terjadinya
Deklarasi Balfour yang dianggap sebagai salah satu faktor kemunculan konflik Arab-
Israel. Deklarasi Balfour tidak bisa dilepaskan dari kisah seputar Perang Dunia I,
gerakan Zionisme, Inggris dan wilayah Palestina. Semacam ada hubungan khusus yang
dapat dilihat secara tidak langsung antara gerakan Zionisme dan Inggris dibalik
deklarasi ini. Tulisan ini akan lebih menyoroti peristiwa-peristiwa di balik Deklarasi
Balfour.

Kata kunci: Yahudi, Zionisme, Palestina, Perang Dunia I, Inggris, Deklarasi Balfour

Pendahuluan

Pembahasan tentang konflik Arab-Israel selalu menarik untuk ditelusuri. Rentetan


peristiwa bersejarah yang ada di dalamnya seolah tidak selesai dibahas satu atau dua
kali. Selalu ada peristiwa yang menyimpan misteri dan teka-teki tak terpecahkan secara
kasat mata. Selalu ada pro dan kontra atas sebuah kebijakan yang coba dijadikan
sebagai bentuk win-win solution. Seperti ada kecurangan yang dimaafkan dan ada
kebenaran yang menyakitkan lantas ditutup rapat.
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 2
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Sepanjang perjalanan sejarah konflik Arab-Israel, selalu ada kaitan antara


peristiwa satu dengan peristiwa yang lain. Peristiwa ini adalah dampak terjadinya atau
munculnya kebijakan itu. Kabijakan ini diambil karena adanya peristiwa itu. Begitu.
Saling terkait antara peristiwa satu dengan lainnya. Dalam peperangan, baik secara fisik
maupun non fisik, tidak ada kata berhenti bagi pihak yang kalah. Selalu ada dendam
yang dapat menjadi pondasi kekuatan membalas.

Konflik Arab-Israel dipengaruhi masuknya invasi Barat ke dunia Arab. Negara-


negara seperti Inggris meluaskan wilayah okupasinya ke tanah Arab yang pada saat itu
sedang dikuasai sebuah kekuatan besar bercorak Islam, Turki Utsmani. Dengan
membawa pedang bermata dua bernama nasionalisme, Inggris berhasil memecah belah
tanah Arab dan meruntuhkan kekuatan besar yang telah berdiri selama berabad-abad.
Melalui Perang Dunia I, Inggris berhasil menebas leher kekuatan besar tersebut.

Dalam memainkan perannya, Inggris dipengaruhi oleh sebuah paham yang lahir
sekitar akhir abad ke-19, Zionisme. Entah apa yang diperoleh Inggris dari para Zionis,
sampai suatu masa Inggris membuka lebar peluang Zionisme dalam mencapai cita-
citanya melalui Deklarasi Balfour. Entah atas dasar apa Inggris memberikan tanah
kekuasaannya kepada sekelompok orang yang tengah haus mendirikan negara itu.
Tentunya Inggris yang cerdas itu, -seharusnya- tidak akan luluh hanya dengan
kampanye berslogan a land without the people for a people without land. Tulisan ini
mencoba menganalisis latar belakang terjadinya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan
Inggris yang sangat menguntungkan Zionisme. Deklarasi ini menjadi semacam salah
satu faktor merebaknya dan meluasnya konflik Arab-Israel.

Yahudi dan Zionisme

Yahudi dan Zionisme sering diidentikkan sebagai dua kata yang maknanya kurang
lebih sama. Padahal kedua kata ini memiliki perbedaan makna yang cukup mendasar.
Kesalahan dalam mempersepsikan dua makna ini dapat berakibat fatal dalam
memahami sejarah dan perkembangan konflik Arab-Israel. Sebelum saya membahas
lebih lanjut tentang latar belakang Deklarasi Balfour, terlebih dahulu saya akan
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 3
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

membahas perbedaan dua kata ini. Hal ini penting mengingat latar belakang terjadinya
Deklarasi Balfour tidak bisa dilepaskan dari gerakan Zionisme. Berbicara tentang
gerakan Zionisme, maka kita juga akan berbicara seputar Yahudi, sebagai agama
maupun sebagai ras.

Jika dilihat sebagai sebuah ras, maka yang dimaksud dengan Yahudi adalah
orang-orang keturunan Nabi Yakub As. Sekitar tahun 2000 SM, Ibrahim As berpindah
dari Babilonia lama (sekarang Irak) ke tanah Kanaan (sekarang Palestina). Di tanah
tersebut sudah ada penghuni tetap yaitu bangsa Kanaan. Di wilayah tersebut, Ibrahim
As hidup bersama generasi berikut-berikutnya. Sampai pada masa Nabi Yususf As,
keturunan Ibrahim As berpindah tempat ke Mesir (karena pada saat itu tanah Kanaan
sedang dilanda kemarau dan kering berkepanjangan, sehingga susah mencari makanan).
Keturunan Ibrahim As kembali dari Mesir ke tanah Kanaan pada masa Musa dan Harun
As. Setelah selama 40 tahun berputar-putar di Sinai, akhirnya mereka berhasil
memasuki tanah Kanaan dan menaklukkan orang-orang yang ada di dalamnya. Berhasil
menguasai tanah tersebut, membuat keturunan Ibrahim As mendirikan sebuah kerajaan
Israel dengan Daud As sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini cukup gemilang hingga
masa kekuasaan Sulaiman As. Sepeninggal Sulaiman As, beberapa kekuatan besar
berhasil menghantam kerajaan Israel. Kerajaan ini sempat terpecah menjadi dua
wilayah, bagian Utara dan Selatan. Selanjutnya, tidak ada lagi kisah emas bagi
keturunan Ibrahim As. Keturunannya terdiaspora ke berbagai penjuru dunia melalui
kekuatan-kekuatan besar yang terus bermunculan silih berganti (Yahya 2003: 38—39).

Sebagai sebuah agama, yang dimaksud Yahudi adalah sebuah sistem kepercayaan
yang dianut oleh keturunan Ibrahim As sebelum lahirnya agama Nasrani dan Islam.
Sebuah sistem kepercayaan yang memiliki Tuhan Esa dengan Taurat sebagai kitab
sucinya. Memang, sampai saat ini terdapat pro kontra terkait perkembangan Yahudi
sebagai sebuah sistem kepercayaan. Termasuk pro kontra terkait keorisinalan isi Taurat.
Sampai saat ini masih ada juga yang memperdebatkan hal ini.

Paham Zionisme mulai muncul di tengah-tengah arus nasionalisme Eropa. Dalam


paruh terakhir abad ke-19, gerakan-gerakan yang didorong oleh nasionalisme pertama-
tama melahirkan Jerman, kemudian Italia. Virus ini kemudian menyebar ke Eropa
Timur setidaknya melalui dua negara ini (Ansary 2009: 451). Gerakan nasionalisme
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 4
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Eropa lainnya yang memiliki konsekuensi langsung bagi sejarah dunia adalah gerakan
Zionisme. Gerakan ini setuju dengan pendapat Herder bahwa orang-orang yang
memiliki bahasa, budaya dan sejarah yang sama adalah sebuah bangsa. Gerakan ini
setuju dengan Mazzini bahwa sebuah bangsa memiliki hak atas negara yang dijalankan
dengan pemerintahan sendiri. Jika orang-orang Jerman adalah sebuah bangsa dan
memiliki hak tersebut, jika orang-orang Italia adalah sebuah bangsa, jika orang-orang
Prancis adalah sebuah bangsa, maka orang-orang Yahudi adalah sebuah bangsa (Ansary
2009: 453).

Namun, ada perbedaan penting antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang


Jerman, Italia dan Prancis. Orang-orang Yahudi tidak memiliki wilayah. Mereka
terdiaspora ke berbagai penjuru negeri selama ribuan tahun dan hidup sebagai minoritas
di negara lain. Rupanya ada semacam persatuan Yahudi yang diikat berdasarkan
kesamaan sejarah dan budaya. Di Eropa abad ke-19, sangat mungkin untuk menjadi
Yahudi tanpa menjalankan ibadah bahkan memercayai Yahudi. Anehnya, mereka yang
bersatu ini berkeyakinan bahwa tanah Kanaan telah dijanjikan oleh Tuhan untuk
mereka. Dalam bukunya, Ansary mengatakan,

Banyak Zionis Eropa abad ke-19 yang sekuler, tetapi ajaran tentang Tanah yang
Dijanjikan ini tetap saja masuk ke dalam argumen untuk sebuah negara-bangsa
Yahudi di sepanjang pantai timur Laut Tengah.

(Ansary 2009: 454).

Pendapat yang dikemukakan oleh Ansary senada dengan yang diungkapkan oleh
Yahya dan Goldschmidt. Yahya mendefinisikan Zionisme sebagai sebuah paham
persatuan ras yang ingin mendirikan sebuah negara. Paham ini didirikan oleh seorang
wartawan berkebangsaan Austria, Theodor Herzl, akhir abad ke-19. Herzl beranggapan
bahwa selama ras Yahudi menyebar di berbagai penjuru dunia, maka tidak akan ada
kebahagiaan bagi Yahudi. Selamanya Yahudi adalah ras minoritas yang terus tertindas
di negara lain, terlebih oleh negara penganut anti-semitisme. Maka, satu-satunya cara
adalah mengumpulkan bangsa Yahudi ke satu wilayah. Palestina menjadi pilihan
mereka dengan alasan ideologi-historis.
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 5
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Pendapat senada diungkapkan Goldschmidt berikut.

The meaning of Zionism itself has become controversial, ever since a 1975 UN
General Assembly resolution calling it ‘ a form of racism’. Almost no one
nowadays want to have his or her beliefs associated with racism –the idea that
one racial group is better than some other group and should therefore rule over
it- so Zionist naturally opposed the resolution, as did most Western countries. I
define ‘Zionism’ as the beliefe that the Jews constitute a nation, a people and that
they deserve the liberties of other such group, including the right to return to their
ancestral homeland, the land of Israel (or Palestine). Political Zionism is the
belief that the Jews should establish and maintain a state for themselves there.

(Goldschmidt 1979 : 228—229).

Goldschmidt menambahkan bahwa tidak semua Yahudi adalah Zionis. Beberapa


Yahudi menganggap diri mereka adalah bagian dari negara di mana mereka tinggal.
Mereka adalah bangsa dari negara tempat mereka lahir dan hidup. Mereka menolak ide-
ide Zionisme, termasuk konsep nasionalisme dan kembali ke Tanah yang Dijanjikan.
Tidak semua Zionis adalah orang-orang Yahudi. Beberapa umat Nasrani meyakini
bahwa kembalinya Yahudi ke tanah Palestina atau berdirinya negara Israel adalah awal
kemunculan kedua Yesus (Goldschmidt 1979 : 229). Beberapa orang non-Yahudi
mendukung pendirian negara Israel, karena mereka menganggap orang-orang Yahudi
tidak dapat menjadi bangsa lain. Orang-orang Yahudi di Jerman tidak dapat menjadi
bangsa Jerman. Mereka tidak akan dapat berbahasa Jerman dengan baik, meskipun
mereka lahir dan besar di Jerman.

Perang Dunia I

Palestina sebelum meletusnya Perang Dunia I merupakan salah satu wilayah


kekuasaan Turki Utsmani. Awal abad ke-20, kekacauan terjadi di dalam Turki Utsmani.
Muncul sekelompok kekuatan -yang terdiri atas golongan muda- sebagai bentuk
ketidakpercayaan pada kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II. Kekuatan ini menamai
dirirnya Committee of Union and Progress (CUP). Dalam perjuangannya merebut
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 6
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

kekuataan Sultan, para anggota CUP menggunakan slogan Equality, Fraternity, Liberty
and Justice (Jamil 2000: 151). CUP inilah yang menyetir kekuatan Turki Utsmani dari
awal abad ke-20 hingga Turki Utsmani menjadi sebuah negara nasionalis.

Perang Dunia I yang meletus Agustus 1914 dilihat oleh anggota CUP sebagai
kesempatan untuk mengembalikan kekuatan Turki Utsmani. Enver Pasha, yang saat itu
menjadi salah satu pemimpin CUP, mungkin terpengaruh oleh hasutan militer Jerman,
tetapi salah satu motif mengapa mereka memutuskan bergabung dengan Jerman adalah
mereka ingin mengambil kembali Mesir dari tangan Inggris dan Pegunungan Kaukasus
dari Rusia. Pertimbangan lainnya adaah bahwa Jerman adalah kekuatan industri paling
hebat di benua Eropa, yang berhasil menekan Prancis dan menggenggam Eropa tengah.
Tentu saja, dengan berpihak kepada Jerman, Turki akan memerangi dua musuh
utamanya, Inggris dan Rusia (Ansary 2009: 468).

Tetapi rupanya Inggris tidak membiarkan begitu saja perhitungan Turki menjadi
nyata. Merasa terancam oleh gabungan kekuatan Turki-Jerman, Inggris menggunakan
taktik yang cukup baik. Inggris mencium desas-desus pemberontakan yang terjadi di
tanah Arab Jazirah. Motif nasionalisme –ingin mencari kemerdekaan dari pengaruh
Turki-mewarnai pemberontakan ini. Hal ini dimanfaatkan oleh Inggris untuk
menggalang kekuatan melawan Turki. Dua golongan yang sangat menonjol dalam
pemberontakan ini adalah keluarga Ibn Saud yang bersekutu dengan ulama Wahhabi,
dan keluarga Hasyim yang memerintah Mekkah (Ansary 2009: 471).

Seorang agen Inggris diutus untuk menemui kepala Saudi dan membuat
kesepakatan. Mereka akan melakukan apa saja untuk membantu Saudi lepas dari
cengkeraman Turki, termasuk mendukung uang dan senjata. Ibn Saud menjawab dengan
hati-hati tetapi mengisyaratkan persetujuan atas kesepakatan tersebut. Maka, satu
kekuatan berada di pihak Inggris.

Pemimpin Hasyimiyah adalah Hussein ibn Ali. Dia adalah penjaga Ka’bah dan
dikenal dengan gelar Syarif, yang berarti dia adalah ketururnan dari klan Nabi, Bani
Hasyim. Mekkah tidak cukup bagi Syarif Hussein. Dia memimpikan kerajaan Arab
yang membentang dari Mesopotamia hingga ke Laut Arab. Dia berfikir bahwa Inggris
mungkin akan membantu mewujudkan itu. Inggris pun membiarkan dia menyangka
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 7
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

demikian, mereka mengutus seorang perwira intelijen militer untuk bekerja sama
dengannya, seorang mantan arkeolog bernama Kolonel Thomas Edward Lawrence yang
bias berbahasa Arab dan suka mengenakan pakaian suku Badui, sebuah praktik yang
akhirnya membuatnya mendapat julukan ‘Lawrence of Arabia’ (Ansary 2009: 472).
Maka satu kekuatan lagi memihak Inggris.

Pada waktu yang sama, saat dua agen Inggris membuat kesepakatan dengan dua
keluarga Arab, dua diplomat Eropa, Mark Sykes dari Inggris, dan Francois George Picot
dari Prancis, sedang duduk bersama sembari memegang pensil dan peta. Mereka tengah
membagi-bagi wilayah kemenangan Perang Dunia I nantinya. Mereka membagi daerah
mana yang akan menjadi milik Inggris, mana untuk Prancis, dan yang sedikit untuk
Rusia. Anehnya, tidak disebut juga bagian yang dijanjikan untuk dua keluarga Arab
Jazirah. Pembagian wilayah ini dikenal dengan Perjanjian Sykes-Picot dan terjadi di
tahun 1916 saat Perang Dunia I belum usai. Menurut perjanjian ini, Prancis akan
menguasai secara langsung Syiria bagian barat, Damaskus, Aleppo dan Mosul. Inggris
akan menguasai Iraq dan sepanjang wilayah perbatasan Mesir hingga Arabia bagian
timur. Area kecil di Jaffa dan Jerusalem akan menjadi wilayah internasional di bawah
pengaruh Inggris, Prancis dan Rusia. Satu-satunya wilayah yang tersisa bagi orang-
orang Arab adalah area Arab padang pasir (Goldschmidt 1979: 184).

Yang perlu diperhatikan lagi di sela-sela Perang Dunia I adalah imigrasi Yahudi
dari Eropa ke tanah Palestina. Anti-semitisme di Eropa yang membantu menimbulkan
Zionisme, semakin intensif seiring bergeraknya benua itu ke arah perang, membuat
hidup semakin tidak dapat ditangguhkan lagi bagi orang-orang Yahudi di seluruh Eropa.
Akibatnya, penduduk Yahudi di Paestina membengkak dari 4% pada tahu 1883,
menjadi 8% pada awal Perang Dunia I dan mencapai 13% di akhir Perang Dunia I
(Ansary 2009: 475).

Tahun 1918, Jerman menyerah tanpa syarat kepada Inggris dan sekutunya. CUP
kehilangan segala yang dimiiki Turki Utsmani di luar Asia Kecil. Termasuk di
dalamnya, wilayah Palestina lepas dari tangan Turki. Pemimpin CUP ditangkap dan
dibunuh setelah masing-masing berhasil melarikan diri.
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 8
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Inggris dan Zionis

Goldschmidt mengatakan bahwa Perang Dunia I merupakan peristiwa ke tiga


yang menyelamatkan politik Zionisme. Kedua kubu sama-sama membutuhkan
dukungan Zionis dalam perang ini. Tahun 1914, Berlin merupakan pusat pergerakan
Zionisme, dan secara politik tempat ini menjadi tempat tinggal para Yahudi. Dalam hal
ini, Yahudi berada di pihak Jerman, Austria-Hungaria dan Turki Utsmani. Tahun 1917,
ketika Amerika Serikat memutuskan bergabung dengan pihak sekutu, orang-orang
Yahudi Amerika cenderung mendukung Jerman, karena mereka sangat membenci tirani
Rusia. Fase ini menjadi fase krusial dalam perjalanan perang. Kedua belah pihak sama-
sama membutuhkan kekuatan Yahudi, tetapi keputusan Jerman bersekutu dengan Turki
Utsmani menjadi faktor berpalingnya Yahudi dari pihaknya. Kesempatan ini
dimanfaatkan dengan baik oleh Inggris (Goldschmidt 1917: 234).

Inggris, meskipun mempunyai hubungan yang tidak begitu erat dengan Zionisme,
tetapi dapat melakukan ancaman bagi pihak yang ingin membahayakan Zionisme. Hal
ini karena seorang juru bicara Zionis, Dr. Chaim Wiezman, merupakan seorang ahli
kimia yang terkenal karena berhasil menyintesiskan aseton menjadi bahan peledak
seperti yang pernah diimpor Inggris dari Jerman. Penemuannya ini membuatnya mampu
mempengaruhi para wartawan dan terkadang hingga jajaran kabinet Inggris. Perdana
Menteri Lloyd George contohnya, telah berhasil menaruh simpati kepada Zionisme dari
membaca bibel. Weizman pun telah mendapat dukungan penuh dari Lord Balfour.
Orang inilah yang berbicara kepada Kabinet Zionis Inggris untuk membantu pergerakan
mereka melalui Deklarasi Balfour (Goldschmidt 1917: 243).

Deklarasi Balfour

Keputusan Inggris mendukung pendirian negara Israel secara resmi dideklarasikan


tanggal 2 November 1917. Deklarasi ini dikenal dengan nama Deklarasi Balfour.
Dikatakan demikian karena keputusan ini keluar dari sebuah surat yang ditulis
Sekretaris Jenderal Luar Negeri, Lord Balfour, kepada Lord (Lionel) Rothschild, Kepala
Kehormatan Federasi Zionis di Inggris dan Irlandia. Berikut adalah isi surat tersebut.
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 9
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Foreign Office
November 2nd, 1917

Dear Lord Rothschild,


I have much pleasure in conveying to you, on behalf of His Majesty's
Government, the following declaration of sympathy with Jewish Zionist
aspirations which has been submitted to, and approved by, the Cabinet.
"His Majesty's Government view with favour the establishment in Palestine of a
national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to
facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing
shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-
Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by
Jews in any other country."
I should be grateful if you would bring this declaration to the knowledge of the
Zionist Federation.

Yours sincerelys,
Arthur James Balfour

Surat tersebut mempunyai inti sebagai berikut. 1) Pemerintah Inggris akan


membantu mendirikan wilayah nasional bagi orang-orang Yahudi, di Palestina, dan
akan mengerahkan upaya terbaik mereka untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini, 2)
tidak akan dilakukan sesuatu yang mungkin merugikan hak sipil dan keagamaan bagi
komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, dan 3) tidak akan mengganggu status atau
hak-hak orang Yahudi yang ingin tetap tinggal di luar wilayah Palestina.

Sampai sini, ada hal menarik yang diungkapkan oleh Ansary di bukunya. Inggris
pada dasarnya menjanjikan wilayah yang sama kepada Hasyimiyah, Ibn Saud dan zionis
Eropa, yaitu wilayah yang sebenarnya dihuni oleh orang Arab lain yang dengan cepat
mengembangkan aspirasi nasionalisme mereka sendiri. Sementara pada kenyataannya,
Inggris dan Prancis secara diam-diam telah sepakat untuk membagi-bagi seluruh
wilayah yang dijanjikan itu untuk diri mereka sendiri. Meskipun banyak saling bantah,
tarik ulur persyaratan, dan penyangkalan yang ditawarkan selama bertahun-tahun
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 10
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

tentang siapa yang setuju atas apa dan apa yang dijanjikan kepada siapa (Ansary 2009:
475).

Dampak Deklarasi Balfour bagi Konflik Arab-Israel

Deklarasi Balfour telah dijadikan semacam Magna Charta bagi politik Zionisme.
Dalam deklarasi tersebut tidak dikatakan bahwa Palestina akan diubah menjadi negara
Yahudi. Pada kenyataaannya, juga tidak dikatakan secara jelas mana batas-batas
wilayah Palestina, yang pada saat itu dan selanjutnya dalam jajahan Inggris. Pemerintah
Inggris berjanji hanya akan membantu pendirian semacam kampung nasional bagi
Yahudi di tanah Palestina dan tidak membahayakan hak sipil dan keagamaan bagi
komunitas non-Yahudi di Palestina. Sebanyak 93 persen dari penduduk yang tinggal di
Palestina itu –Muslim dan Nasrani- yang berbicara menggunakan bahasa Arab tidak
mau dipisahkan dari sesamanya. Ketakutan-ketakutan mulai muncul dari orang-orang
yang tinggal di Palestina tersebut (Goldschmidt 1917: 235).

Baik Inggris atau Zionis harus mencari cara terbaik untuk meredakan ketakutan-
ketakutan ini dan menjamin hak-hak mereka. Inilah inti dari konflik yang terjadi antara
Yahudi dan Palestina hingga saat ini. Dalam konflik Arab-Israel, yang diperdebatkan
adalah legitimasi atas hak orang-orang Arab di Palestina. Deklarasi Balfour juga
menyisakan ketakutan bagi orang-orang Yahudi yang memilih untuk tetap tinggal di
luar Palestina. Mereka yang tidak mau kehilangan status dan hak kewarganegaraan
seperti di Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat

Ketika Perang Dunia I berakhir, Inggris menguasai Palestina. Inggris membuat


perundang-undangan sementara di Yerusalem dan sesegera mungkin melibatkan dirinya
pada permasalahan orang-orang Yahudi -yang dengan cepat membanjiri wilayah
Palestina- dan orang-orang Arab –yang menentang usaha Yahudi-. Sejak saat itu,
konflik berkepanjangan terjadi antara Zionis dan orang-orang Arab. Dengan demikian,
dapat kita lihat, bahwa Deklarasi Balfour dapat dikatakan menjadi main factor dalam
sejarah konflik Arab-Israel.
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 11
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Kesimpulan

Melihat perjalanan sejarah konflik yang terjadi antara Arab dan Israel, saya dapat
melihat bahwa memang Deklarasi Balfour menjadi sumber konflik bagi keduanya.
Meskipun demikian, kita tidak dapat menutup mata atas peristiwa-peristiwa di belakang
terjadinya deklarasi ini. Beberapa peristiwa yang akan berkait dengan satu sama
lainnya.

Gerakan nasionalisme di barat yang dapat dikatakan melahirkan gerakan


zionisme tentu berperan penting. Gejolak politik yang terjadi di dalam tubuh Turki
Utsmani seolah mendukung langkah-langkah Zionisme untuk memenuhi tujuannya.
Perang Dunia I seperti menjadi meja judi bagi pemain-pemain yang berkepentingan.
Meskipun anehnya, harta yang mereka pertaruhkan bukanlah milik mereka. Palestina
adalah milik orang-orang yang tinggal di dalamnya. Palestina bukan tanah yang kosong
ataupun tanah tanpa administrasi wilayah. Bagaimanapun, Deklarasi Balfour
mengantarkan perhatian seluruh dunia pada sebuah wilayah Palestina yang masih
menjadi rebutan bagi Arab dan Israel.
Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 12
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Daftar Pustaka

Ansary, Tamim. (2009). Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta:
Zaman.

Chomsky, Noam. (2002). Pirates and Emperors, Old and New International Terrorism
in the Real World.

Dolphin, Ray. (2006). The West Bank Wall: Unmaking Palestine. London: Pluto Press.

Goldschmidt, Arthur. (1983). A Concise History of The Middle East. Egypt: The
American University in Cairo Press.

Husein, Machnun. (1995). Prospek Perdamaian di Timur Tengah: Sebuah Tilikan Latar
Belakang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jamil, M. F. (2010). Islam di Asia Barat Moden: Sejarah Penjajahan dan Pergolakan.
Selangor Darul Ehsan: Thinker’s Librarys SDN BHD.

Schoenman, Ralph. (1988). The Hiden History of Zionism. United States: Veritas Press.

Shaleh. M. M. (2001). Palestina: Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi. Jakarta:


Gema Insani Press.

Whitelam, K. W. (1996). The Invention of Ancient Israel: The Silencing of Palestinian


History. New York: Pointing-Green Publishing Services.

Yahya, Harun. (2003). Palestine. New Delhi: Islamic Book Service.


Deklarasi Balfour: Latar Belakang dan Kedudukannya dalam Konflik Arab-Israel 13
[Riyanti-Program Studi Arab FIB UI]

Anda mungkin juga menyukai