Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Imunisasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi yang dilakukan terhadap seorang
anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetap juga
berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas imun yang
meningkat dan mengurangi penyebaran (Prayogo, dkk, 2009)
Imunisasi merupakan bentuk inversi kesehatan yang sangat efektif dalam
menurunkan Angka Kematian Bayi dan Balita dan tidak dapat ditunda
pelaksanaannya (Prayoga, dkk, 2009). Penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi antara lain TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, Poliomyelitis,
dan Campak. Pemberian imunisasi pada bayi dan anak tidak hanya memberi
pencegahan penyakit tertentu, tetapi juga memberikan dampak yang lebih luas
karena dapat mencegah penularan penyakit untuk anak lain. Oleh karena
pengetahuan dan sikap orang tua terutama ibu sangat penting untuk memahami
tentang manfaat imunisasi bagi anak Indonesia (Ranuh, 2008)
Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya. Sebagai penyelenggara pembangunan kesehatan,
puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan per orangan
dan upaya kesehatan masyarakat, yang ditinjau dari Sistem Kesehatan Nasional
merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (Depkes RI, 2009)
Pentingnya Kunjungan Puskesmas bagi Mahasiswa Kedokteran adalah sebagai
media pembelajaran, dimana Mahasiswa dapat terjun langsung ke masyarakat dan
mengetahui bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas,
khususnya dalam hal ini Imunisasi dan P2M (Pencegahan Penyakit Menular).
Selain itu, Mahasiswa juga dapat mengetahui cara mengetahui pemberian
imunisasi, edukasi kepada masyarakat mengenai vaksin, serta semua program
yang dilaksanakan dan kendala yang dialami oleh Puskesmas berkaitan dengan
Imunisasi dan P2M.

5
II. TUJUAN
Tujuan dari Kunjungan Puskesmas ini adalah melihat program-program
Pemerintah di bidang Kesehatan yakni Imunisasi dan P2M, prosedur di lapangan,
kelancaran pelaksanaan program, serta tingkat kesuksesan program ini di daerah
lingkup Puskesmas Oesapa.

III. MANFAAT
Manfaat Kunjungan Puskesmas adalah berdasarkan :
a. Manfaat teoritis
Dapat membuktikan teori bahwa dengan imunisasi dapat membantu mencegah
penularan penyakit, seperti Varisela, Influenza, TBC, Hepatitis, dan lain
sebagainya.
b. Manfaat Praktis
 Bagi praktisi kesehatan
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan dalam
meningkatkan pengetahuan tentang imunisasi dan tingkat kesuksesan
program kesehatan pemerintah.
 Bagi masyarakat umum
Dapat memberikan informasi tentang imunisasi wajib sehingga
masyarakat, khususnya ibu yang memiliki bayi dan balita dapat
menaati jadwal kunjungan ulang imunisasi wajib.
 Bagi penulis
Dapat dijadikan sebagai data penelitian lebih lanjut tentang pemberian
Imunisasi dasar kepada masyarakat, khususnya bayi, anak, dan ibu
hamil.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator


kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Indikator status
kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir
pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatus, cacat lahir atau kecacatan pada
anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak
meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi,
kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan,
pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD),
pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan.

Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian


Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya
menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu
tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan
imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB,
empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada
bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis
berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi
umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan
imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.

Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang
mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat
sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang
mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan
anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak
sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang
ditanyakan.

Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila
sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB,

7
empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio,
DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis
dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Analisis
imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1)
hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”; (2) survei-survei lain juga
menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat
dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data
lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya.

Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan
beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali
sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/
buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak
disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu
balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses
wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi
hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam
Riskesdas 2013.

Grafik dibawah menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23
bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali
DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap
cenderung meningkat dari tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%).

Tabel dibawah menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio
empat kali (polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut provinsi.

8
Berdasarkan jenis imunisasi persentase tertinggi adalah BCG (87,6%) dan terendah adalah
DPT-HB3 (75,6%). Papua mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis
imunisasi, meliputi HB-0 (45,7%), BCG (59,4%), DPT-HB 3 (75,6%), Polio 4 (48,8%), dan
campak (56,8%). Provinsi DI Yogyakarta mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk jenis
imunisasi dasar HB-0 (98,4%), BCG (98,9%), DPT-HB 3 (95,1%), dan campak (98,1%)
sedangkan cakupan imunisasi polio 4 tertinggi di Gorontalo (95,8%)

Tabel selanjutnya menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik.


Cakupan imunisasi tidak berbeda menurut jenis kelamin. Persentase semua jenis imunisasi
lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Terlihat kecenderungan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi cakupan jenis
imunisasi. Pada kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lainnya.

9
Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar provinsi, yaitu tertinggi di DI
Yogyakarta (83,1%) dan terendah di Papua (29,2%). Secara nasional, terdapat 8,7 persen
anak 12-23 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di
Papua (36,6%) dan terendah di DI Yogyakarta (1,1%).

10
Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di
perdesaan (53,7%) dan terdapat 11,7 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan yang tidak
diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan
imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi
dasar lengkap anak umur 12-23 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (72,5%) dan
terendah pada kelompok tidak tamat SD (49,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan
semakin tinggi cakupan imunisasi dasar lengkap. Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan
peningkatan cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-23 bulan pada kepala keluarga yang
bekerja sebagai pegawai maupun wiraswasta. Hasil lebih rinci dapat dilihat di tabel di bawah
ini.

Data di bawah menunjukkan 8,7 persen anak 12-23 bulan belum pernah diberikan
imunisasi. Pada Tabel 3.13.9, alasan utama tidak diimunisasi adalah takut anak menjadi panas
(28,8%), namun Gambar 3.13.6 memperlihatkan bahwa persentase anak umur 12-23 bulan
yang mengalami demam tinggi setelah imunisasi hanya 6,8 persen. Tabel 3.13.9 juga
menunjukkan terdapat 26,3 persen yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan anak
diimunisasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin
tinggi pula persentase keluarga yang tidak mengizinkan anaknya diimunisasi. Persentase anak
di perkotaan yang tidak diizinkan keluarga untuk diimunisasi (35,5%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (21,3%). Persentase balita yang menyatakan bahwa keluarga tidak

11
mengizinkan diimunisasi tertinggi pada kelompok kepala rumah tangga yang bekerja sebagai
pegawai. Pada balita yang tidak diimunisasi karena tempat imunisasi jauh, terlihat bahwa
semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, persentase balita yang tidak diimunisasi
semakin rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena tempat jauh
(7,4%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (29,2%).

91,3 persen yang pernah diimunisasi, terdapat 33,4 persen yang pernah mengalami
KIPI. Keluhan yang sering terjadi adalah kemerahan dan bengkak, sedangkan keluhan
demam tinggi dialami oleh 6,8 persen anak

Ada perbaikan untuk cakupan imunisasi lengkap yang angkanya meningkat dari 41,6
persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan tetapi masih dijumpai 32,1 persen yang

12
diimunisasi tapi tidak lengkap, serta 8,7 persen yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan
takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu
tempat imunisasi, serta sibuk/repot. Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar lengkap
semakin meningkat jika dibandingkan tahun 2007, 2010 dan 2013 yaitu menjadi 58,9 persen
di tahun 2013. Persentase tertinggi di DI Yogyakarta (83,1%) dan terendah di Papua (29,2%).
Cakupan pemberian vitamin A meningkat dari 71,5 persen (2007) menjadi 75,5 persen
(2013). Persentase tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat (89,2%) dan yang terendah di
Sumatera Utara (52,3%).

13

Anda mungkin juga menyukai