Anda di halaman 1dari 22

Peranan Penjamah Makanan*

Makanan yang aman dalam mencukupi kebutuhan kehidupan kita ketika pengolahan dan penyajian
sangatlah penting. Penanganan makanan yang kurang bahkan tidak baik dapat menimbulkan penyakit,
kecacatan dan bahkan kematian. Penjamah makanan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam
penyiapan dan penyajian makanan kepada orang lain. Perlindungan konsumen, perusahaan dan diri
sendiri dapat dilakukan dengan mempelajari dan menerapkan penanganan makanan yang aman.

Pemeriksaan Kesehatan
Setiap penjamah makanan yang melayani konsumen harus terlebih dahulu melakukan pemeriksaan
kesehatan dengan tujuan agar dapat diketahui bahwa penjamah makanan bebas dari penyakit menular
ataupun tidak (carier). Pemeriksaan kesehatan harus dilakukan secara rutin minimal setiap enam bulan
sekali dengan tujuan apakah penjamah makanan potensial dalam menularkan penyakit melalui
makanan ataupun tidak sehingga penularan penyakit
melalui makanan dapat dicegah.

Pada sebuah industri pangan, penjamah makanan diharuskan mempunyai sertifikasi dan biasanya
diberikan berupa kartu yang menerangkan bahwa penjamah makanan telah melakukan pemeriksaan
kesehatan dan dinyatakan sehat serta telah diberikan pelayanan kesehatan (misalnya vaksin Hepatitis,
thypoid ataupun pemberian obat untuk mencegah kecacingan) serta tanggal kembali pemeriksaan
kesehatan.

Pentingnya Personal Higiene


Personal higiene penjamah makanan sangatlah perlu dipelajari dan diterapkan dalam pengolahan
makanan untuk mencegah penularan penyakit menular melalui makanan. Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh setiap penjamah makanan ketika mengolah dan menyajikan makanan untuk mencegah
penularan penyakit menular yaitu:
Selalu mencuci tangan sebelum menjamah makanan, minuman dan peralatan. Tangan dapat
memindahkan kuman (bibit penyakit) dari sampah, daging mentah, piring kotor ataupun dari kotoran
hidung maupun tenggorokan kedalam makanan.

Memotong kuku agar tetap pendek dan tidak menggunakan cat kuku dan selalu mencuci
tangan menggunakan sabun dan air hangat. Gosok tangan terutama dibawah kuku selama 20 detik
dengan sabun, kemudian bersihkan dengan menggunakan air hangat. Jika tidak ada kertas toilet bisa
menggunakan pengering tangan dan tidak boleh menggunakan apron (celemek) atau lap cuci untuk
mengeringkan tangan.

Pencucian tangan perlu dilakukan kembali setelah menggunakan kamar kecil ataupun setelah kontak
dengan cairan tubuh ketika batuk atau bersin. Setelah makan, merokok, memegang daging mentah,
membuang sampah atau memindahkan piring kotor.

Penjamah makanan tidak boleh makan, minum atau merokok didalam area dimana terdapat makanan,
peralatan, barang sekali pakai dan benda-benda lain yang tidak boleh terkontaminasi.

Sarung tangan sekali pakai (disposable) yang kuat direkomendasikan digunakan untuk mengolah
makanan dimana sebelumnya harus mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memakai sarung tangan
dan digunakan sekali pakai. Ganti sarung tangan setelah memegang daging mentah atau barang
(benda) kotor.

Kapan Penjamah Makanan Tidak Boleh Bekerja


Apabila penjamah makanan menderita sakit menular maka dilarang untuk menyajikan atau mengolah
makanan. Kuman (bibit penyakit) dapat terbawa dan menularkan kepada pekerja lain atau konsumen
melalui makanan, peralatan dan benda lain yang dijamah.
Penjamah makanan sebaiknya:
. Tidak bekerja ketika menderita gejala flu seperti demam, hidung meler atau tenggorokan serak.
. Tidak bekerja ketika menderita penyakit saluran pencernaan seperti diare.
. Tidak bekerja ketika muntah-muntah.
. Tidak bekerja ketika menderita penyakit Hepatitis A, dan terinfeksi Salmonella Thypi, Shigella atau
E.coli.
. Tidak bekerja apabila terdapat luka infeksi (terpotong, terbakar atau tersayat) pada tangan. Apabila
luka tidak terinfeksi diharuskan menggunakan sarung tangan untuk melindungi luka setelah mencuci
tangan terlebih dahulu.
. Jika di rumah terdapat orang yang sakit pastikan mencuci tangan sesering mungkin untuk membantu
mencegah penularan penyakit.

Bila anda seorang penjamah makanan maka ingatlah bahwa anda sangatlah berperan dalam
menentukan terjadinya keracunan makanan atau kesakitan disebabkan lewat makanan, maka dengan
selalu bertindak aman terhadap makanan mencerminkan anda Penjamah Makanan yang baik.

Referensi:
dari berbagai sumber

*) telah dipublikasikan oleh Bulletin Public Health & Malaria Control Department, PT Freeport Indonesia, Edisi 026.
September 2004.
P O ST ED BY K3LH ON W ED NE SD AY , J UN E 14, 2006 AT 1:27 PM
PERILAKU HIGIENIS DALAM PENGOLAHAN PANGAN

Pangan olahan sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisma, baik itu


bakteri, jamur, virus, maupun toksin. Sumber kontaminasi pangan
bermacam2, mulai dari bahan pangan mentah, peralatan masak yang tidak
bersih, proses pemasakan yang tidak sempurna, lingkungan yang tidak bersih,
sampai kepada kebersihan diri yang mengolah makanan tersebut.

Pangan yang telah terkontaminasi sangat berbahaya dan tidak aman untuk
dikonsumsi karena dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti mual,
muntah, diare, infeksi bahkan keracunan. Beberapa mikroorganisma dapat
memproduksi toksin yang sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan
kematian, contohnya adalah Clostridium botulinum (botulinum toxin) dan
Clostridium perfringens.
Toksin lain yang juga berbahaya adalah enterotoxin yang dihasilkan oleh
Bacillus cereus dan dapat mengakibatkan “bloody diarrhea” yaitu diare yang
disertai pendarahan serta aflatoxin yang diproduki oleh jamur Aspergillus
flavus dan dapat mengakibatkan kanker hati.

Untuk menghindari terkontaminasinya pangan olahan, perilaku higienis


dalam pengolahan pangan sangat penting. Perilaku higienis didefinisikan
sebagai perilaku yang bersih, dengan menjaga kebersihan diri dan
lingkungan. Dalam hal pengolahan pangan, perilaku higienis dapat diartikan
sebagai perilaku yang bertujuan untuk mencegah atau meminimalisir
terkontaminasinya pangan oleh mikroorganisma.

Beberapa perilaku higienis dalam pengolahan pangan yaitu :

1. Mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah pangan.


2. Memakai pakaian yang bersih.
3. Dalam kondisi yang sehat, karena virus dapat mencemari pangan melalui batuk
atau bersin.
4. Memilih bahan pangan yang segar, bermutu baik dan bersih.
5. Tidak menyimpan bahan pangan terlalu lama, walaupun disimpan di dalam
kulkas. Karena ada beberapa mikroorganisma yang dapat tumbuh di suhu dingin,
misalnya Listeria monocytogenes.
6. Mencuci bahan2 pangan dengan air mengalir sebelum diolah.
7. Menjaga kebersihan dapur, alat-alat masak dan lingkungan.
8. Memisahkan peralatan masak untuk bahan pangan yang berbeda, misalnya
memisahkan pisau untuk memotong daging dengan pisau untuk memotong
sayuran untuk menghindari kontaminasi silang.
9. Memasak pangan dengan cukup, tidak terlalu lama ataupun terlalu sebentar.
Tujuan pemasakan adalah untuk inaktivasi mikroorganisma, menghilangkan racun
alami dalam bahan pangan, meningkatkan nutrisi dan nilai gizi serta
meningkatkan rasa dan aroma.
10. Menyantap pangan segera setelah disiapkan. Jika pangan akan dikonsumsi
setelah disimpan agak lama, hendaknya dipanaskan kembali dengan sempurna.

Perilaku higienis sangat penting tidak hanya dalam pengolahan pangan, tapi
juga dalam kehidupan sehari-hari. Membiasakan diri untuk berperilaku
higienis berarti menjaga diri, keluarga dan lingkungan agar selalu bersih dan
sehat. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati.

(artikel dibuat oleh Irma Arlinidewi)

Judul: TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PRAKTEK PENJAMAH MAKANAN TENTANG UPAYA
HYGIENE MAKANAN PADA JASA BOGA YANG PENGUSAHANYA TELAH MENDAPAT PENYULUHAN DI
KOTAMADYA YOGYAKARTA (1992 - Skripsi)
Oleh: FX AMANTO RAHARDJO -- G.101790282

Kata Kunci: HYGIENE MAKANAN

Perkembangan jasa usaha penyediaan makanan dalam bentuk jasa boga cenderung
meningkat karena banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Tetapi jasa boga juga dapat
merupakan sarana penularan penyakit perut dan keracunan makanan. Pada dasarnya
penyakit perut dan keracunan makanan dapat ditularkan dari penjamah makanan yang
mengelola makanan tidak secara hygienis. Untuk mencegah kemungkinan buruk yang tidak
diinginkan, Dinkes kotamadia Yogyakarta menyelenggarakan kursus/penyuluhan hygiene
makanan bagi pengusaha jasa boga dan rumah makan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan praktek
penjamah makanan dalam upaya peningkatan hygiene makanan pada jasa boga yang
pengusahanya telah mendapat penyuluhan hygiene makanan.

Jenis penelitian ini adalah deskriptip explanatory dengan menggunakan methode survey dan
pendekatan cross sectional. Sebagai populasi adalah penjamah makanan pada jasa boga di
kotamadia Yogyakarta.

Data yang dikumpulkan antara lain umur, jenis kelamin pendidikan, lama bekerja, tingkat
pengetahuan, sikap dan praktek. Cara pengumpulan data dengan wawancara dan
pengamatan.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan, sikap dan praktek
penjamah makanan pada kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama bekerja. Juga
tidak ada kaitan tingkat pengetahuan, sikap dan praktek. Responden dengan sumber
informasi yang berlainan menunjukkan ada perbedaan bermakna pada sikap dan praktek
dalam upaya hygiene makanan.

Saran diusulkan untuk diadakan kursus/penyuluhan hygiene makanan lagi bagi pengusaha
jasa boga yang belum pernah ikut penyuluhan, peningkatan pembinaan kepada penjamah
makanan, melengkapi fasilitas jasa boga yang berkaitan dengan upaya hugiene makanan
serta memeriksakan kesehatan penjamah makanan enam bulan sekali.

(AR/ 270803)
Fenomena Diare dan Sanitasi
Oleh. Ir. I Gde Suranaya Pandit, M.P.

DALAM pembangunan kesehatan masyarakat telah digariskan dasar-dasar pembangunan


kesehatan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal agar
dapat hidup layak, bekerja sesuai dengan martabat manusia dan pemerintah bersama-sama
dengan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan
rakyat.

------------------------------------------------------------

Fenomena akhir-akhir ini di banyak daerah di Indonesia warga masyarakat mengalami penyakit
diare, baik yang bersifat akut maupun kronis. Situasi ini lumrah dijumpai seiring dengan
berakhirnya musim penghujan dan awalnya musim kemarau. Fenomena diare ini
mengindikasikan buruknya sanitasi makanan dan lingkungan masyarakat di Indonesia. Dampak
penyakit diare ini tidak sedikit masyarakat yang dirawat inap di rumah sakit bahkan telah
beberapa memakan korban jiwa yaitu kematian. Hal ini tentu menimbulkan pemikiran bagi kita
semua, sudah sampai begitu buruknya pembangunan kesehatan lingkungan (sanitasi) di
Republik ini?

Penyebab diare sudah kita ketahui bersama adalah adanya kontaminasi bakteri pathogen (suatu
makhluk hidup kecil yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia) pada makanan baik
disegaja ataupun tidak, masuk melalui mulut dan sampai kepencernaan sehingga akan
menimbulkan diare. Bakteri ini terdapat di mana-mana, terutama di daerah yang kotor,
tercemar, bangkai binatang yang membusuk, kotoran manusia atau hewan bahkan terdapat
pada air minum. Bakteri pathogen dapat memproduksi racun yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Berdasarkan racun yang dihasilkan oleh bakteri dapat dibedakan atas dua yaitu
endotoksin yaitu suatu racun yang diproduksi oleh bakteri dan berada dalam sel bakteri dan
akan keluar jika sel bakteri pecah atau mati. Eksotoksin adalah suatu racun yang dikeluarkan
oleh bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan (gangguan
gastroenteritis) berupa diare. Contoh bakteri pathogen tersebut adalah Staphylococcus,
Salmonella, Escherichia coli, Vibrio, Shigella dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) jenis bakteri pathogen ini sama sekali
tidak diizinkan (tidak diperbolehkan ada) pada makanan ataupun minuman yang akan
dikonsumsi.

Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam saluran pencernaan, melalui makanan yang dikonsumsi
sehari-hari. Untuk itu keamanan pangan yang akan dikonsumsi perlu mendapat perhatian, di
mana pangan yang akan dikonsumsi harus bebas dari bakteri pathogen, bebas racun, bebas dari
pemalsuan, disimpan pada kondisi yang efektif dan memiliki nilai gizi yang cukup. Di samping
itu untuk mendeteksi makanan yang aman dikonsumsi dapat dilakukan secara visual dengan
menggunakan panca indra manusia yaitu kondisi makanan dan minuman yang tidak menyimpang
dari aslinya, baik dari segi kenampakan, tekstur dan bau. Cara deteksi lain adalah dengan
dibawa ke laboratorium. Hal ini tentu memakan waktu dan biaya.

Tingkatkan Sanitasi

Untuk mencegah diare, ada baiknya kita semua selalu meningkatkan sanitasi makanan dan
lingkungan, sehingga kasus diare dapat diminimalkan atau dicegah. Beberapa sanitasi dapat
diterapkan.
Pertama, mengkonsumsi makanan yang sudah dimasak dengan baik dan benar. Bahan baku
makanan yang akan dikonsumsi berasal dari berbagai daerah. Hal ini dapat kita duga berbagai
jenis kuman dan bakteri ada di sana. Untuk itu bahan baku makanan tersebut perlu dicuci dulu
dengan menggunakan air bersih, lalu dimasak, diolah dengan sempurna (mendidih kalau
direbus, matang kalau digoreng) dengan waktu yang cukup untuk membunuh bakteri dan
kuman. Makanan yang tersisa agar disimpan di kulkas, dan besoknya dipanaskan lagi dengan
sempurna.

Kedua, memakai dan memelihara peralatan dalam keadaan bersih. Peralatan memasak atau
peralatan untuk makan haruslah dicuci sebelum dan sesudah digunakan agar tidak
terkontaminasi oleh bakteri.

Ketiga, selalu menjaga agar kondisi kita (manusia) selalu dalam keadaan bersih dan sehat.
Bersihkanlah badan dan anggota tubuh yang lain agar selalu tampak bersih dan sehat. Biasakan
mencuci tangan sebelum dipakai untuk menjamah makanan.

Keempat, mempergunakan air yang bersih dan sehat, baik untuk memasak, mandi dan minum.
Khusus untuk air yang akan diminum harus dimasak dulu hingga mendidih. Air yang bersih dapat
diamati secara visual seperti tidak berwarna (jernih), tidak berasa dan tidak berbau.

Kelima, menjaga lingkungan dalam kondisi bersih dan lancar. Membuang sampah pada
tempatnya dan diangkut secara periodik, begitu juga terhadap saluran pembuangan agar dijaga
tetap lancar.

Keenam, menjaga binatang peliharaan dan membersihkan binatang kotor secara teratur.
Binatang peliharaan seperti anjing, burung, ayam maupun kucing haruslah selalu dimandikan
dan kotorannya dibersihkan secara teratur agar tidak membawa penyakit dan tidak
mengkontaminasi makanan yang akan dikonsumsi. Begitu juga dengan binatang kotor seperti
kacoa, tikus dan lalat agar selalu dibasmi, karena binatang ini sering hinggap dan
mengkontaminasi peralatan dan makanan yang akan dikonsumsi.

Penulis,staf pengajar Fak. Pertanian Unwar, mahasiswa Program S-3 Ilmu Kedokteran
Unud

Balispot.co.id/balispotcetak/2006/5/12/01.htm
Mencegah Keracunan Makanan Siap Santap
Ratih Dewanti-Hariyadi

Beberapa minggu terakhir berturut-


turut diberitakan peristiwa
keracunan makanan yang terjadi di
perusahaan maupun perhelatan
yang diduga disebabkan oleh
makanan katering yang disajikan.
Peristiwa keracunan makanan siap
santap atau siap saji memang
seringkali terjadi ketika makanan
tersebut dimasak dalam skala
besar untuk banyak orang. Di
Indonesia, data yang dilaporkan ke
Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular menunjukkan
bahwa 30 persen dari kasus-kasus
Dok kompas/kartono ryadi keracunan di Indonesia disebabkan
oleh makanan siap santap yang dihasilkan oleh jasa katering.

Dengan data yang sangat terbatas, dapat diduga bahwa keracunan makanan jenis
ini banyak disebabkan oleh mikroba patogen asal pangan (foodborne pathogen). Di
negara maju seperti di Amerika Serikat, wabah (outbreak) keracunan makanan yang
disebabkan oleh patogen asal pangan juga paling banyak (70 persen) disebabkan
oleh makanan siap santap olahan industri jasa boga.

Mengapa makanan siap santap menyebabkan keracunan?

Makanan siap santap adalah makanan yang umumnya telah diproses melalui proses
pemanasan. Di Indonesia, sebagian besar makanan siap santap diproses dengan
panas tinggi dalam waktu yang cukup lama karena pada umumnya masyarakat
Indonesia terbiasa menyantap makanan yang benar-benar matang (well done).
Kekecualian tentu ada, misalnya pada lalap sayur atau buah mentah. Namun,
sebagian besar makanan olahan adalah makanan yang telah mengalami proses
yang cukup untuk membunuh bakteri patogen bukan pembentuk spora. Oleh karena
itu, kemungkinan terbesar keracunan disebabkan oleh bakteri-bakteri tahan panas
yang membentuk spora selama pemasakan. Spora ini dapat bergerminasi ketika
makanan mengalami pendinginan dan peristiwa ini didukung oleh pendinginan yang
lambat sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mencapai suhu yang aman (4
derajat Celsius atau lebih rendah). Hal ini menjawab pertanyaan mengapa
kebanyakan keracunan makanan siap santap tidak terjadi di rumah-rumah tangga
dengan ukuran (jumlah) masakan kecil. Jumlah makanan yang kecil lebih
memungkinkan penurunan suhu lebih cepat. Kebiasaan masyarakat Indonesia
menyimpan makanan di suhu ruang dan tidak tersedianya sarana pendinginan cepat
sehingga menyebabkan tumbuh kembalinya bakteri pembentuk spora tersebut.

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora

Laporan mengenai kasus keracunan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kasus


keracunan pangan oleh patogen paling sering (30 persen) disebabkan oleh tidak
tepatnya proses pendiginan setelah pemasakan. Bakteri-bakteri yang bertahan dan
membentuk spora selama pemanasan yang lazim ditemukan pada makanan siap
santap misalnya Clostridium perfringens dan Bacillus cereus. C perfringens yang
bergerminasi pada saat pendinginan lambat dan tertelan bersama-sama dengan
makanan dapat menginfeksi usus dan menimbulkan gejala khas keracunan seperti
diare, mual, dan muntah selama 16-24 jam setelah mengonsumsinya. C perfringens
telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui makanan-makanan olahan daging
dan gravy. B cereus yang memperoleh kesempatan bergerminasi pada makanan
siap santap dapat tumbuh dan membentuk toksin dalam makanan tersebut.
Sedikitnya dua macam toksin B cereus yang telah diketahui dapat menyebabkan
keracunan, yaitu toksin emetik yang menyebabkan muntah selama 2-6 jam setelah
konsumsi dan toksin diare yang menyebabkan diare, 12-24 jam setelah konsumsi. B
cereus telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui nasi goreng, puding pati
beras, dan sebagainya.

Keracunan makanan oleh bakteri patogen bukan pembentuk spora

Kebiasaan makan masyarakat Indonesia yang cenderung mengonsumsi makanan


yang benar-benar matang dan bukan makanan yang dimasak ringan (medium, rare)
sebenarnya dapat menghindarkan kita dari keracunan yang disebabkan oleh
patogen yang tidak membentuk spora. Hal ini disebabkan karena patogen-patogen
jenis ini, relatif tidak tahan panas dan dapat dimusnahkan selama proses
pemasakan.

Meskipun demikian, pada kenyataannya, keracunan makanan siap santap kadang-


kadang terjadi karena bakteri patogen bukan pembentuk spora ini. Hal ini seringkali
terjadi karena kontaminasi silang (cross contamination) maupun kontaminasi ulang
(recontamination) yang terjadi setelah pemasakan.

Kotaminasi silang dapat terjadi jika sarana, wadah atau alat pengolahan dan atau
penyimpanan digunakan bersama-sama, baik untuk bahan mentah maupun bahan
yang telah matang. Kontaminasi ulang terutama terjadi karena kurangnya sanitasi
dan higiene. Kontaminasi ulang dapat disebabkan karena penggunaan air, sarana,
wadah, atau alat penyimpanan yang tercemar. serta oleh pekerja yang tidak
menjaga kebersihan dirinya.

Bahkan di negara maju, kontaminasi ulang dari pekerja adalah faktor yang cukup
sering (13 persen) berkontribusi pada peristiwa keracunan. Patogen asal pekerja
dapat berupa Staphylococcus aureus yang berasal dari rongga mulut, hidung atau
tangan pekerja. Jika ada jeda waktu yang cukup antara pemasakan dan konsumsi,
S aureus yang mencemari makanan matang akan tumbuh dan membentuk berbagai
enterotoksin. Enterotoksin S aureus bersifat tahan panas sehingga tidak dapat
dihilangkan dengan pemanasan kembali yang benar sekalipun. Keracunan
enterotoksin S aureus dapat dikenali dengan tanda utama muntah 1-6 jam setelah
mengonsumsi makanan tersebut. Bakteri ini telah dilaporkan menyebabkan
keracunan melalui roti lapis daging, pastry berisi krim, dan sebagainya.

Cemaran lainnya yang mungkin berasal dari pekerja dapat berasal dari usus yang
mencemari secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui air).
Yang termasuk patogen enterik ini antara lain Salmonella, Escherichia coli, Vibrio
parahaemolyticus, Campylobacter jejuni, dan Listeria monocytogenes. Apabila
kondisi (kandungan air, pH, aw, dan suhu) makanan memungkinkan, maka bakteri
ini dapat tumbuh dan berkembang biak dan mungkin mencapai jumlah yang cukup
tinggi yang menyebabkan infeksi usus jika dikonsumsi. Keracunan oleh kelompok
bakteri ini ditandai dengan lebih lamanya (12-48 jam) jangka waktu antara konsumsi
dan munculnya gejala-gejala penyakit yang umumnya terdiri dari diare, mual,
muntah (kadang-kadang), dan demam (kadang-kadang). Bakteri-bakteri ini telah
diketahui sebagai penyebab berbagai wabah keracunan besar, misalnya E coli
O157:H7 pada hamburger, L monocytogenes pada keju lunak dan salad kubis, C
jejuni pada makanan sala ternak dan sebagainya.

Investigasi keracunan makanan

Jenis-jenis keracunan yang dilaporkan di Indonesia pada umumnya adalah


keracunan makanan dengan skenario konvensional. Ciri-ciri keracunan dengan
skenario ini adalah terjadi pada acara sosial yang dihadiri banyak orang, banyak
korban, keracunan bersifat akut namun meliputi daerah yang terbatas (lokal), jumlah
patogen tinggi, sering disebabkan oleh kesalahan dalam penangan makanan.
Apabila sisa makanan masih tersedia maka investigasi keracunan jenis ini relatif
lebih mudah dilakukan karena korban umumnya dapat dilacak kembali dan diambil
sampel klinisnya untuk pengujian lebih lanjut. Demikian juga studi epidemiologi
secara case-control maupun secara cohort mungkin dilakukan karena identitas
korban maupun orang-orang yang hadir dalam acara sosial tersebut mudah
diketahui. Sumber daya manusia yang cukup dan laboratorium uji yang baik akan
sangat menentukan keberhasilan investigasi.

Investigasi akan lebih sukar dijalankan pada keracunan atau wabah yang mengikuti
skenario baru. Keracunan dengan skenario baru umumnya ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut: tersebar luas, disebabkan oleh kontaminasi dalam jumlah rendah,
disebabkan oleh makanan yang dijual dalam jangkauan yang lebih luas, dan
peningkatan jumlah kasus tidak nyata. Investigasi keracunan ini umumnya hanya
dapat disimpulkan dari suatu data surveilan penyakit atau laboratorium.

Bagaimana mencegahnya?

Investigasi yang baik dapat mengidentifikasi patogen dan makanan penyebab


keracunan serta tahap pengolahan yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
penyimpangan pada produk makanan. Dengan demikian, dari kasus-kasus
keracunan dapat dipelajari, misalnya, kelompok mikroba yang mana yang paling
sering menyebabkan keracunan. Apabila mikroba pembentuk spora yang dominan,
maka permasalahan utama terletak pada proses pendinginan setelah pemasakan.
Sebaliknya, apabila bakteri patogen enterik bukan pembentuk spora yang sering
menjadi penyebab, berarti permasalahannya adalah kontaminasi setelah
pemasakan terjadi. Meskipun pemasakan tidak sempurna (underprocessing)
mungkin menjadi penyebab keracunan oleh patogen bukan pembentuk spora, tetapi
untuk kebanyakan jenis makanan di Indonesia penyebab ini peluangnya kecil.

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora terutama dapat diatasi dengan


pendinginan cepat, di mana makanan yang usai dimasak sesegera mungkin dibawa
ke suhu di bawah 4 derajat Celsius jika tidak langsung dikonsumsi. Untuk jumlah
makanan yang besar maka sebaiknya diusahakan dapat mencapai suhu 31,5
derajat Celsius dalam waktu dua jam dan mencapai empat derajat Celsius dalam 4
jam berikutnya. Ketika jumlah makanan yang dimasak sangat besar maka
penurunan suhu yang cepat sukar dicapai. Untuk itu pendinginan dapat dibantu
dengan meletakkan makanan dalam wadah di atas sink atau ember berisi es,
menambahkan garam pada es yang digunakan untuk mendinginkan makanan,
menggunakan pengaduk bersih yang dibekukan, mengaduk makanan setiap 15
menit, menggunakan panci yang dangkal dan tidak menyimpan makanan di dalam
panci dengan ketebalan lebih dari lima cm (untuk makanan yang encer, misalnya
soto) atau lebih dari 2,5 cm (untuk makanan yang kental, seperti kari), atau
meletakkan makanan dalam kantung plastik dan direndam dalam air es. Jika dana
memungkinkan maka disarankan untuk membeli blast chiller.

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora dapat juga diatasi dengan memasak
dalam waktu yang dekat dengan waktu penyajian. Pendeknya rentang waktu akan
membatasi terjadinya germinasi spora. Di samping itu, sel yang bergerminasi dapat
dikurangi dengan cara memanaskan kembali makanan sebelum dikonsumsi. Untuk
itu, maka pemanasan kembali harus dilakukan sehingga suhu makanan siap santap
mencapai 60 derajat Celsius atau lebih, karena suhu pemanasan kembali yang tidak
cukup dapat merangsang germinasi spora.

Pencegahan keracunan oleh bakteri bukan pembentuk spora dilakukan dengan


tujuan untuk mencegah kontaminasi silang maupun kontaminasi ulang. Pemisahan
ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang dapat menghindarkan
kontaminasi silang. Pemanasan kembali dengan suhu yang cukup hanya dapat
menghilangkan bakteri enterik tetapi tidak dapat menginaktifkan enterotoksin yang
telah telanjur terbentuk oleh S aureus. Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui
program sanitasi dan higiene yang baik pada ruangan, peralatan maupun pekerja
dan pengawasan kebiasaan-kebiasaan pekerja.

DR RATIH DEWANTI-HARIYADI Staf pengajar pada Jurusan Teknologi Pangan dan


Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas 30 April 2007


Oleh: Reza Pahlevi
Salah satu masalah yang hampir setiap hari terjadi di tempat kerja adalah
kecelakaan yang menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan, seperti
kerusakan peralatan kerja, cedera tubuh, kecacatan bahkan kematian। Apabila
kematian menyangkut banyak nyawa, maka yang terjadi adalah bencana.
Menurut International Labour Organization (ILO), setiap tahun terjadi 1,1 juta
kematian yang disebabkan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat
hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan
dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat hubungan pekerjaan,
dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru
setiap tahunnya.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi
kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa
kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban
jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini
merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya
sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun. Kerugian yang
langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan
dan kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak
ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih
baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu kerja.
Kecelakaan kendaraan merupakan kecelakaan yang seringkali terjadi di sebuah
perusahaan. Dari tahun ketahun angka kecelakaan kendaraan/lalu lintas secara
umum terus bertambah. Dari data yang ada tercatat sekitar 3,5 juta jiwa manusia
di dunia terenggut tiap tahunnya akibat kecelakaan dan kekerasan. Sebanyak 2
juta diantaranya adalah korban kecelakaan di jalan raya. Itu artinya setiap hari
setidaknya 3.000 orang di seluruh dunia meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Di Indonesia, jumlah kecelakaan meningkat meningkat dari tahun ke tahun..
Menurut data Kepolisian RI pada tahun 2003 jumlah kecelakaan di jalan
mencapai 13.399 kejadian dengan jumlah kematian mencapai 9.865 orang, 6.142
orang mengalami luka berat dan 8.694 luka ringan. Dari data tersebut rata-rata
setiap hari terjadi 40 kejadian kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 30
orang meninggal dunia. Angka ini bertambah naik pada tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 2004 menurut data Departemen Perhubungan setiap tahunnya rata-
rata 30.000 nyawa melayang di jalan raya.
Kecelakaan secara umum menurut Suma’mur (1996) adalah kejadian yang tidak
terduga dan tidak diharapkan. Tidak terduga oleh karena dibelakang peristiwa
itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan.
Tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian material
maupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Secara defenisi kecelakaan kerja (accident) menurut Didi Sugandi (2003) adalah
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang merugikan terhadap
manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Kecelakaan ini
biasanya juga terjadi akibat kontak dengan suatu zat atau sumber energi. Secara
umum kecelakaan kerja dibagi menjadi dua golongan, Pertama; Kecelakaan
industri (industrial accident) yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja
karena adanya sumber bahaya atau bahaya kerja. Kedua; Kecelakaan dalam
perjalanan (community accident) yaitu kecelakaan yang terjadi di luar tempat
kerja yang berkaitan dengan adanya hubungan kerja.
Kecelakaan lalu lintas menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Bab XI pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa
kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa yang tidak disangka-sangka dan
tidak disengaja melibatkan kendaraan dan atau tanpa pemakai jalan lainnya,
mengakibatkan korban jiwa atau kerugian harta benda.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 3 (tiga ) klasifikasi kecelakaan lalu
lintas, yakni:
1. Kecelakaan lalu lintas kendaraan bermotor adalah setiap kecelakaan
kendaraan bermotor yang tejadi di jalan umum.
2. Kecelakaan kendaraan bermotor yang bukan kecelakaan lalu lintas adalah
setiap kecelakaan bermotor yang terjadi di tempat selain di jalur umum.
3. Kecelakaan lalu lintas bukan dari kendaraan bermotor adalah setiap
kecelakaan yang terjadi di atas jalan umum, dimana yang terlibat didalamnya
adalah manusia atau kendaraan tidak bermotor yang menggunkan jalan tersebut.
Kecelakaan lalu lintas tambang adalah kecelakaan yang terjadi pada semua
aktivitas pengangkutan baik manusia, peralatan, maupun material galian dengan
menggunakan kendaraan bermotor yang melewati ruas jalan angkutan tambang
yang dilaporkan dan memenuhi 5 (lima) unsur kecelakaan tambang:
1. Kecelakaan benar terjadi, artinya tidak ada unsur kesengajaan dari pihak lain
ataupun dari si korban itu sendiri.
2. Menimpa karyawan, yang mengalami kecelakaan itu adalah benar-benar
karyawan yang bekerja di perusahaan tambang tersebut.
3. Ada hubungan kerja, bahwa pekerjaan yang dilakukan benar-benar untuk
usaha pertambangan dari perusahaan yang bersangkutan.
4. Waktu jam kerja, kecelakaan tersebut terjadi dalam waktu antara mulai kerja
sampai berakhir kerja.
5. Di dalam wailayah kuasa pertambangan, kecelakaan terjadi masih dalam
wilayah yang dimaksud.
Dari defenisi di atas Kecelakaan traffic/kendaraan tambang pada pekerja
perusahaan tambang dapat digolongkan sebagai kecelakaan kerja. Hal ini
dikarenakan pekerja perusahaan yang berkendara dan mengalami kecelakaan
tersebut masih dalam jam kerja dan berada dalam area perusahaan ataupun bila
kecelakaan itu terjadi di luar tempat kerja yang berkaitan dengan adanya
hubungan kerja.
Ada berbagai faktor yang terkait dengan terjadinya kecelakaan berkendaraan,
mulai dari faktor manusia sampai sarana jalan yang tersedia. Secara garis besar
ada 4 (empat) faktor yang berkaitan dengan kecelakaan kendaraan, yaitu:
a. Faktor Manusia
Faktor manusia ini mencakup faktor pengemudi, penumpang dan pemakai
jalanan. Faktor pengemudi menjadi salah satu faktor yang utama yang
menentukan kecelakaan kendaraan. Bahkan sebuah penelitian yang diadakan di
Inggris dan AS telah menunjukkan bahwa sekitar 95% dari jumlah kecelakaan
kendaraan yang tercatat, kesalahan pengemudi merupakan faktor yang paling
berperan. Dalam mengemudi manusia dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari
dalam diri sendiri seperti:
· Usia
Kelompok usia remaja dan dewasa muda (25 tahun ke bawah) mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami kecelakaan. Hal ini dikarenakan perkembangan jiwanya
belum mantap (labil) cenderung lebih emosional dalam mengendalikan
kendaraan sehingga kurang waspada dan kurang memperhatikan bahaya.
Sedangkan pada usia lanjut (diatas 50 tahun), terjadi proses biologis penurunan
ketajaman penglihatan dan pendengaran serta daya reaksi yang lambat. Teori ini
didukung oleh fakta yang didapat dari studi Transport Reserach Laboratory
(TRL) Ltd yang dilakukan di 21 negara yang menyatakan bahwa umumnya
mereka yang terkena kecelakaan lalu linras adalah usia produktif, yaitu 15-44
tahun seperti disebut di atas.
· Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka tingkat kecelakaan akan semakin
rendah, karena pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak dalam
menghadapi pekerjaan termasuk risko pekerjaan.
· Keahlian (skill) mengemudi
Kemampuan pengetahuan yang berkaitan dengan lalu lintas dan kendaraan
sangat penting bagi pengemudi. Kesanggupan dan kecakapan ini dinyatakan
dalam bentuk Surat Izin Mnegemudi. (SIM). Hal ini dibuktikan dengan fakta
yang menyatakan bahwa lebih dari 19 Juta kasus kecelakaan kendaraan terjadi
setiap tahunnya dan diantaranya hanya 1 dari 9 orang pemegang SIM mengalami
kecelakaan tersebut.
· Kondisi tubuh pengemudi
Kondisi tubuh pengemudi ini akan mempengaruhi kemampuan pengemudi
dalam mengendarai kendaraan. Apabila kondisi tubuh pengemudi sehat maka
pengemudi akan mengendarai mobil dengan kontrol yang penuh sehingga
kendaraan lebih terjamin.
Faktor penumpang juga bisa berperan dalam terjadinya kendaraaan, misalnya
pada kendaraan yang jumlah muatannya (baik penumpangnya maupun
barangnya) berlebih, dapat mengurangi keseimbangan kendaraan dan secara
psikologis dapat mengganggu pengemudi dalam berkendaraan.
b. Faktor Kendaraan
Faktor kendaraan seringkali juga memegang peranan penting dalam terjadinya
kecelakaan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa faktor kendaraan
menyumbang peranan 1% pada peristiwa terjadinya kecelakaan. Kerapkali faktor
kendaraan ini diabaikan oleh pengendara, sehingga pada saat mengemudikan
kendaraan, secara tiba-tiba pengemudi di hadapkan pada situasi yang sulit
dimana akar masalahnya adalah pada pemerikasaan dan perawatan kendaraan.
Kondisi kendaraan yang baik tentunya akan mengurangi risiko terjadinya
kecelakaan di jalan raya. Kemampuan pengendara untuk mengenali sistem
kontrol, fisik kendaraan dan karakter kendaraan dapat mengurangi faktor resiko
kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan.
Beberapa hal penting yang harus mendapat perhatian, terkait dengan faktor
kendaraan antara lain:
1. Jenis dan ukuran kendaraan
Jumlah berat maksimum beban yang diangkut harus disesuaikan dengan jenis
dan ukuran kendaraan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada
saat operasi.
2. Kondisi kendaraan dan pengaruhnya bagi pengemudi
Kekurangan-kekurangan kondisi kendaraan yang dapat berpengaruh pada
pengemudi, antara lain:
· Tidak ergonomis, seperti tinggi tempat duduk dan tinggi mata/pandangan,
ketinggian lutut dan panjang kaki.
· Keterbatasan pandangan (blind spot), baik pada pandangan ke depan ataupun
pandangan ke belakang.
3. Penerangan
Penerangan sangat dibutuhkan untuk perjalanan malam hari untuk melihat
jalan, sebagai tanda adanya kendaraan dan memberi syarat untuk belok atau
berhenti. Lampu penerangan meliputi lampu besar/utama, lampu kecil dan
rotary lamp, lampu belakang ataupun lampu rem.
4. Rem
c. Faktor Jalanan
Faktor jalanan ini mencakup keadaan fisik sarana jalanan dan ketersediaan
rambu-rambu lalu lintas. Keadaan fisik sarana jalan dapat dinilai dari panjang
dan lebar jalan, kondisi permukaan jalan, dan struktur jalan.
Jalan dengan kondisi permukaan rata maupun berlubang dapat menjadi faktor
resiko terjadinya kecelakaan kendaraan. Sementara struktur jalan yang datar,
mendaki, menurun, lurus dan berkelok-kelok juga dapat faktor pemicu terjadinya
kecelakaan kendaraan.
Faktor jalan memiliki peranan besar dalam kecelakaan yang sering terjadi di
perusahaan-perusahaan tambang. Hal ini haruslah menjadi perhatian pihak-
pihak yang terkait dalam perusahaan untuk membenahi sarana prasarana jalan
agar dapat sesuai dengan syarat kelayakan jalan tambang yang telah ditetapkan.
Dilihat dari defenisi, jalan angkut tambang adalah jalan yang disediakan untuk
keperluan pengakutan orang, peralatan dan material jadi dari front galian atau
timbunan. (Ir. Partanto Prodjosumarto;1993). Fungsi utama jalan angkut secara
umum adalah untuk menunjang kelancaran operasi penambangan terutama
dalam kegiatan pengangkutan.
Jalan di lokasi tambang merupakan jalan khusus yang dipergunakan bagi mereka
yang bekerja di lokasi pertambangan atau mereka yang mendapat izin memasuki
wilayah kegiatan usaha pertambangan (Pasal 3 Kepmentamben
No.555K/26/M.PE/1995). Jalan angkut tambang tersebut ada yang bersifat
permanen dan sementara, oleh karena itu terdapat perbedaan konstruksi dan
rancangan (design) antara jalan yang bersifat permanen dan sementara.
Secara garis besar jalan angkut tambang mempunyai persyaratan hampir sama
dengan jalan angkut di kota dan desa. Satu-satunya perbedaan utama adalah
pada bagian permukaan jalan (road surface). Untuk jalan angkut tambang
permukaan jalannya jarang sekali ditutupi dengan aspal atau beton, karena jalan
tersebut sering dilalui peralatan mekanis yang memakai crawler truck.
d. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan mencakup keadaan geografik dan cuaca. Diyakini bahwa
cuaca yang buruk, berkabut, dan hujan yangmenyebabkan jalan licin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan

Antisipasi Perilaku Makan Anak Sekolah


Dr Widodo Judarwanto SpA, Rumah Sakit Bunda Jakarta
Kamis, 02 Feb 2006 13:53:34

Pdpersi, - "Orang tua si Udin mengeluh, anaknya akhir-akhir ini tidak


mau makan di rumah dan sering terganggu pencernaannya. Selidik
punya selidik ternyata belakangan ini uang jajan dan kebiasaan jajan di
sekolah semakin bertambah".

Kegiatan di sekolah menyita waktu terbesar dari aktifitas keseluruhan


anak sehari hari, termasuk aktifitas makan. Makanan jajanan di sekolah
ternyata sangat beresiko terjadi cemaran biologis atau kimiawi yang
banyak mengganggu kesehatan baik jangka pendek atau jangka
panjang.

Apalagi dalam waktu terakhir ini Badan POM telah mengungkapkan temuannya tentang berbagai
bahan kimia berbahaya seperti formalin dan bahan pewarna tekstil pada bahan makanan yang
ada di pasaran. Sehingga perilaku makan pada anak usia di sekolah harus dihatikan secara cermat
dan serius.

Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa.
Kualitas bangsa di masa depan ditentukan kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh
berkembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan
kuantiítas yang baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau
asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang.
Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ organ dan sistem tubuh anak.
Foodborne diseases atau penyakit bawaan makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang utama di banyak negara. Penyakit ini dianggap bukan termasuk penyakit yang serius untuk
jangka pendek, sehingga seringkali kurang diperhatikan baik oleh orang tua, masyarakat atau
instansi yang terkait dengan masalah ini.

Bahaya cemaran mikrobiologis dan kimiawi


Pada umumnya perilaku makan yang sering menjadi masalah adalah kebiasaan makan di kantin
atau warung di sekitar sekolah dan kebiasaan makan fast food. Makanan jajanan yang dijual oleh
pedagang kaki lima atau street food menurut FAO didefisinikan sebagai makanan dan minuman
yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian
umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut.
Jajanan kaki lima dapat mejawab tantangan masyarakat terhadap makanan yang murah, mudah,
menarik dan bervariasi.

Sebuah penelitian di Jakarta mengungkapkan bahwa uang jajan anak sekolah rata-rata sekarang
berkisar antara Rp 2000 – Rp 4000 per hari, bahkan ada yang mencapai Rp 7000. Hanya sekitar
5% anak membawa bekal dari rumah. Sebagian besar dari mereka lebih terpapar pada makanan
jajanan kaki lima dan mempunyai kemampuan untuk membeli makanan tersebut.

Dari segi gizi sebenarnya makanan tersebut belum tentu jelek. Ternyata makanan jajanan kaki
lima menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29% dan zat besi
52%. Tetapi keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih
dipertanyakan.

Pada penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella Paratyphi A di 25% - 50%
sampel minuman yang dijual di kaki lima. Bakteri tersebut adalah penyebab penyakit tifus pada
anak. Penelitian lain yang dilakukan suatu lembaga studi di daerah Jakarta Timur mengungkapkan
bahwa jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah adalah lontong, otak-otak,
tahu goreng, mie bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok.

Berdasarkan uji laboratorium, pada otak-otak dan bakso ditemukan borax, tahu goreng dan mie
kuning basah ditemukan formalin, dan es sirop merah positif mengandung rhodamin B. Selain
cemaran mikrobiologis, cemaran kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima
adalah penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ilegal seperti borax (pengempal yang
mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet yang digunakan untuk mayat), rhodamin B
( pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning pada tekstil).

Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam
jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ
tubuh manusia.

Belakangan juga terungkap bahwa reaksi simpang makanan tertentu ternyata dapat
mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perilaku
tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan bicara,
hiperaktif hingga memperberat gejala pada penderita autism.

Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum
seperti pusing, mual, muntah, diare atau kesulitan buang air besar. Joint Expert Committee on
Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang
penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan
Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes no. 722/Menkes/Per/IX/1998.

Wawancara dengan Pedagang kaki Lima (PKL) terungkap bahwa mereka tidak tahu adanya BTP
ilegal pada bahan baku jajanan yang mereka jual. BTP ilegal menjadi primadona bahan tambahan
di jajanan kaki lima karena harganya murah, dapat memberikan penampilan makanan yang
menarik (misalnya warnanya sangat cerah sehingga menarik perhatian anak-anak) dan mudah
didapat. Makanan yang dijajakan oleh PKL umumnya tidak dipersiapkan dengan secara baik dan
bersih. Kebanyakan PKL mempunyai pengetahuan yang rendah tentang penanganan pangan yang
aman, mereka juga kurang mempunyai akses terhadap air bersih serta fasilitas cuci dan buang
sampah.

Terjadinya penyakit bawaan makanan pada jajanan kaki lima dapat berupa kontaminasi baik dari
bahan baku, penjamah makanan yang tidak sehat, atau peralatan yang kurang bersih, juga waktu
dan temperatur penyimpanan yang tidak tepat.

Upaya mengatasi masalah


Untuk mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang tidak sehat dan tidak
aman, perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orang
tua, murid, serta pedagang.

Sekolah dan pemerintah perlu menggiatkan kembali UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Materi
komunikasi tentang keamanan pangan yang sudah pernah dilakukan oleh Badan POM dan
Departemen Kesehatan dapat ditingkatkan pelaksanaannya. Materi tersebut digunakan sebagai
alat bantu penyuluhan keamanan pangan di sekolah-sekolah, khususnya terhadap murid dan
pedagang makanan.

Perlu diupayakan pemberian makanan ringan atau makan siang yang dilakukan di lingkungan
sekolah. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar anak tidak sembarang jajan. Koordinasi oleh
pihak sekolah, persatuan orang tua murid dibawah konsultasi dokter sekolah atau Pusat
Kesehatan Masyarakat setempat. Sehingga dapat menyajikan makanan ringan pada waktu
istirahat sekolah. yang bisa diatur porsi dan nilai gizinya.

Upaya ini tentunya akan lebih murah dibanding anak jajan diluar disekolah yang tidak ada
jaminan gizi dan kebersihannya. Dengan menyelenggarakan kegiatan makanan tambahan
tersebut, diharapkan mendapat keuntungan, misalnya : anak sudah ada jaminan makanan
disekolah, sehingga orang tua tidak khawatir dengan makanan yang dimakan anaknya disekolah.
Ibu yang selalu khawatir biasa memberi bekal makanan pada anaknya. Kalau makanan yang baik
dan bergizi tersedia disekolah, akan meringankan tugas ibu.

Dalam kegiatan ini bisa pula dikenalkan berbagai jenis bahan makanan yang mungkin tidak
disukai anak ketika disajikan dirumah, tetapi akan menerima ketika disajikan disekolah. Dengan
demikan anak dapat mengenal aneka bahan pangan. Bila upaya tersebut belum dapat terealisasi,
hendaknya orang tua secara aktif dapat menyiapkan bekal makanan bagi anak.

Penanganan lintas sektoral


Banyak studi yang menunjukkan persentase anak sekolah Amerika yang kelebihan berat badan
bertambah hampir tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Kecenderungan tersebut diduga akibat
makanan atau minutan tertentu dan kurang olahraga. Pengalaman yang bisa diambil jadi contoh
kita, yaitu statu kebijakan baru di Los Angeles.

Dalam beberapa tahun ke depan akan menghilangkan tahap demi tahap minuman ringan di
mesin-mesin penjaja dan kafetaria. Minuman yang dianggap tak bermanfaat itu akan diganti
dengan air putih, susu dan buah-buahan dan minuman olahraga.

Hal ini menunjukkan suatu kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesehatan anak usia sekolah
oleh salah satu instansi pemerintahan. Kepedulian ini hendaknya dijadikan contoh bagi berbagai
pihak dalam mengantisipasi bahaya makanan jajajanan yang mengancam di lingkungan sekolah.

Orang tua, guru, persatuan orang tua murid dan guru, instansi pemerintah khususnya
departemen pendidikan atau departemen kesehatan dan jajaran dibawahnya serta pihak legislatif
harus mulai mengambil langkah cepat berkoordinasi untuk melakukan upaya mengatasi
permaslahan ini. Perlu dipikirkan pembuatan peraturan, program kegiatan penyuluhan atau
pengawasan rutin baik oleh pihak sekolah atau instansi terkait sehingga dapat mengatasi masalah
ini.

Peningkatan perhatian kesehatan anak usia sekolah ini diharapkan dapat menciptakan peserta
didik yang sehat, cerdas dan berprestasi.
Jumlah Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) Yang Ada,
Diperiksa Dan Memenuhi Syarat Menurut Propinsi
Tahun 1996

Yang Diperik Memenuhi


No Propinsi ada sa Syarat
1 DI ACEH 6,136 4,610 2,959
2 SUMATERA UTARA 13,050 10,063 7,486
3 SUMATERA BARAT 17,844 12,126 6,899
4 R IAU 6,169 4,520 2,662
5 JAMBI 5,176 3,547 2,135
6 SUMATERA SELATAN 7,260 4,627 2,078
7 BENGKULU 2,263 1,475 937
8 LAMPUNG 8,390 3,887 2,631
9 DKI JAKARTA 7,070 2,871 1,918
10 JAWA BARAT 57,070 36,560 20,798
11 JAWA TENGAH 14,308 9,429 7,305
12 DI YOGYAKARTA 5,465 4,020 2,995
13 JAWA TIMUR 31,937 28,215 19,086
14 B A L I 28,197 19,790 15,112
15 N T B 5,586 4,511 2,548
16 N T T 1,813 1,177 614
17 TIMOR TIMUR 733 645 522
18 KALIMANTAN BARAT 6,342 5,140 4,423
19 KALIMANTAN TENGAH 3,098 2,288 1,370
KALIMANTAN
20 SELATAN 26,929 23,196 13,836
21 KALIMANTAN TIMUR 7,500 6,058 4,216
22 SULAWESI UTARA 7,909 6,030 4,603
23 SULAWESI TENGAH 2,488 2,124 1,326
24 SULAWESI SELATAN 9,411 7,354 4,568
25 SULAWESI TENGGARA 1,646 1,373 853
26 MALUKU 1,678 1,261 932
27 IRIAN JAYA 2,582 2,102 1,114
JUMLAH NASIONAL 288,050 208,999 135,926
Sumber : Hasil Pemutakhiran Data Tingkat Pusat tahun 1997

Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Diare


Di 19 Propinsi Di Indonesia Tahun 1996

JUMLA JUMLA CF
H H JUMLAH JUMLAH R
PENDERIT KEMATIA
KAB/KOD KLB A N (%)
NO PROPINSI DIARE DIARE
1 DI. ACEH 7 3 1827 10 0.5
2 SUMATERA UTARA 2 6 67 1 1.5
3 RIAU 3 3 184 17 9.2
10.
4 JAMBI 1 1 167 17 2
SUMATERA
5 SELATAN 1 1 28 1 3.6
6 SUMATERA BARAT 7 20 1675 35 2.1
7 LAMPUNG 2 2 318 5 1.6
8 JAWA BARAT 5 9 573 24 4.2
9 JAWA TENGAH 9 10 139 5 3.6
10 JAWA TIMUR 20 28 1027 14 1.4
11 DI. YOGYAKARTA 1 1 14 0 0
12 SULAWESI UTARA 6 7 467 17 3.6
13 SULAWESI TENGAH 2 3 134 5 3.7
14 SULAWESI UTARA 1 2 248 6 2.4
NUSA TENGGARA
15 BARAT 1 4 428 5 1.2
NUSA TENGGARA
16 TIMUR 5 12 910 26 2.9
KALIMANTAN
17 SELATAN 1 1 151 0 0
18 MALUKU 2 2 69 9 13
19 IRIAN JAYA 2 3 158 11 7
INDONESIA 78 118 8584 208 2.4
Sumber : Pusdakes, Laporan Ekutif (Januari s/d Desember 1996)

Jumlah Penderita Penyakit Karena Makanan


Dan Keracunan Makanan Tahun 1989-1996

TAH
NO. UN JUMLAH JUMLAH JUMLAH PENDERITA
PENDERI MENINGG TRIWUL TRIWUL TRIWULA TRIWULA
TA AL AN I AN II N III N IV
1 1989 1,131 20 365 69 296 401
2 1990 2,506 11 130 160 674 1,194
3 1991 2,404 2 434 124 309 782
4 1992 3,911 4 942 399 1,050 1,177
5 1993 424 15 29 175 0 220
6 1994 1,715 15 54 1,007 344 310
1995
7 *) 1,795 37 227 675 588 305
8 1996 2,308 31 230 1,103 417 558

Sumber :
Ditjen P2M & PLP, Depkes R.I
*) Pusdakes, Laporan Eksekutif (Januari s/d Desember 1995)
Keterangan :
1. Tahun 1990, 348 orang tidak diketahui bulan kejadiannya
2. tahun 1991, 755 orang tidak diketahui bulan kejadiannya
3. Tahun 1992, 343 orang tidak diketahui bulan kejadiannya

Kejadian Keracunan Makanan tahun 1996 menurut Bulan,


Jumlah Penderita, Makanan Dan Minuman Penyebab Keracunan
Makanan

MAKANAN &
CF MINUMAN YANG
NO BULAN JUMLAH JUMLAH R DIDUGA LOKASI
PENDERIT MENINGG SBG. PENYEBAB
KEJADIAN A AL (%) TERJADINYA KEADAAN
KERACUNAN (KAB)
MAKANAN
Ikan pindangan
1 Januari 13 0 0 dan ikan asin Subang
2 Pebruari 35 10 29 Pemalang
Bandang
3 Maret 182 6 3.3 Kecap, Nasi Aceh, Aceh
Besar, Pidie,
Aceh
Utara, Aceh
Timur,
Sukabumi
Kue tart, Mie,
4 April 72 0 0 Daging, jamur Jakarta Timur,
Subang
Purwakarta
Ikan , daging, Lampung
5 Mei 325 0 0 telur, ampas tengah,
kelapa Sukabumi
Purwakarta
Daging, Nasi, Telur Solok,
6 Juni 706 0 0 dadar, Lampung
Oseng-oseng, Tengah,
Tempe, Gresik
kacang panjang,
air putih
7 Juli 67 0 0 Purbalingga
8 Agustus 350 15 4.3 Pandeglang
Septemb
9 er - - - -
Lombik
10 Oktober 472 0 0 Makanan Jajanan tengah,
Tangerang,
Minahasa
Nopembe
11 r 86 0 0 Medan
Desembe
12 r - - - -
36.
JUMLAH 2308 31 6

Sumber : Pusdakes, laporan Eksekutif Januari s/d Desember 1996

Judul: STUDI EVALUASI KONDISI SANITASI PENGELOLAAN MAKANAN DI


INSTALASI GIZI DAN DAPUR SAJI KELAS III RSUP DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
Penulis: Setiati *), Lili Mulyatna *), Darma Haryeni **)
Bahasa: Indonesia
Jumlah Halaman: 12
Format file: pdf
Publisher:
Tahun terbit:
Download Artikel lengkap: Jurnal VI 3-3

Abstrak : Pasien di rumah sakit membutuhkan pelayanan yang sebaik-


baiknya, salah satunya yaitu pelayanan makanan yang sehat. Makanan yang
sehat, aman dan bebas dari pencemaran bakteri patogen dan kontaminan
lainnya sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup pasien. Kualitas makanan
baik secara bakteriologis, kimiawi maupun fisik harus selalu dipertahankan,
agar pasien dapat terhindar dari bahaya keracunan makanan ataupun
terjangkitnya penyakit yang perantaranya antara lain: makanan, air, tenaga
pengolah, dan tenaga penyaji makanan. Kondisi sanitasi makanan, air bersih,
tenaga pengolah dan tenaga penyaji makanan ditentukan dengan
menggunakan parameter bakteri E. coli karena bakteri ini merupakan
indikator adanya pencemaran fecal dan bakteri patogen. Hasil penelitian
secara bakteriologis menunjukkan bahwa sample makanan jadi di instalasi
gizi ditemukan mengandung total Coliform (0,4 bakteri/ gram makanan) dan
di dapur saji ada 7 sampel makanan jadi mengandung total Coliform (0,1-2,3
bakteri/makanan). Untuk air bersih tidak ditemukan adanya total Coliform,
sedangkan usap tangan tenaga pengolah dan tenaga penyaji makanan yang
diperiksa di instalasi gizi dan dapur saji kelas III, semua sampel ditemukan
mengandung bakteri total Coliform (0,01-0,18 bakteri/cm2 luas kedua
permukaan telapak tangan). Bakteri ini kemungkinan berasal dari udara,
tanah, air atau manusia. Bakteri E. Coli tidak ditemukan pada makanan jadi
baik di instalasi gizi maupun dapur saji, tetapi hanya ditemukan pada 2
sampel tenaga penyaji maknan di dapur saji R. 10 (0,02 bakteri/cm2 luas
kedua permukaan telapak tangan) dan di dapur A. 1 (0,008 bakteri/ cm2 luas
kedua permukaan telapak tangan).

Kata kunci : bakteri patogen, keracunan makanan, makanan jadi, sanitasi

Anda mungkin juga menyukai