Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dibagi


menjadi mikosis superfisial, intermediet, dan profunda. Mikosis superfisial dibagi
menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi
jamur dermatofita (spesies Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton)
yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut.
Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae, tinea cruris, tinea pedis et
manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan nondermatofitosis terdiri dari
pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris, otomikosis dan
kerato mikosis (Budimulja, 2015).
Dermatofitosis dan nondermatofitosis dapat dipengaruhi oleh beberapa
kondisi, seperti AIDS, kemoterapi kanker, neoplasma, obat-obatan imunosupresif,
penggunaan steroid berkepanjangan, DM, obesitas, kehamilan, pengaruh
kebersihan perorangan, adanya trauma kulit dan peningkatan kelembaban kulit
(Manjula & Parameswari, 2016). Menurut World Health Organization (WHO),
prevalensi mikosis superfisial di dunia mencapai 20-25% (Lakshmanan et al.,
2015). Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis.
Tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Berdasarkan
urutan kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea
kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya
(Yossela, 2015).
Tinea corporis adalah infeksi jamur pada kulit halus (glabrous skin) di daerah
wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea. Penyebab tersering penyakit ini
adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea corporis
(Lesher, 2012).

1
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Suku Bangsa : Minang
Agama : Islam
Alamat : Karang Lewas, Purwokerto.
Tanggal Pemeriksaan : 5 Oktober 2017

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan gatal pada punggung, pinggang, bokong, lutut sebelah
kiri, tungkai kaki kiri dan punggung kaki kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan gatal
bersifat hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu pada punggung, pinggang,
bokong, lutut sebelah kiri, tungkai kaki kiri dan punggung kaki kiri. Keluhan
gatal semakin bertambah ketika pasien berkeringat. Pasien belum pernah
berobat ke dokter kulit sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya (-), konsumsi obat-obatan dalam jangka
waktu lama (-), alergi makanan (-), asma (-), rhinitis alergi (-), hipertensi (-),
DM (-), obesitas (+), low back pain (LBP) (+).
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa (-), konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama
(-), alergi makanan (-), asma (-), rhinitis alergi (-), hipertensi (-), DM (-).

2
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang yang sehari-harinya bekerja sebagai wiraswasta.
Pasien biasanya mandi rutin 2x sehari. Pasien berganti pakaian 1x sehari.
Pasien memiliki handuk sendiri dan sering mencuci handuk 2 minggu sekali.
Pasien tinggal di perumahan kawasan padat penduduk. Cahaya matahari
dapat langsung masuk ke dalam rumah pasien. Rumah pasien memiliki
ventilasi yang cukup. Sumber air untuk memasak dan mencuci berasal dari
sumur. Pasien mengaku sering mengalami stress dan banyak pikiran. Pasien
makan 3x sehari berupa nasi, sayur, dan lauk pauk. Pasien mengaku jarang
berolahraga.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 69 kg
TB : 160 cm
IMT : 26,95 (obesitas I)
Vital Sig
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 100x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36⁰C
Status Generalis
Kepala : Mesochepal, rambut beruban terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-) deformitas (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-) sekret (-/-)
Mulut : Pucat (-/-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)

3
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :Akral hangat, edema , sianosis


Status Lokalis (Dermatologis)
1. Lokasi : Regio thoracalis posterior, lumbal, genu sinistra, cruris sinistra,
dorsum pedis sinistra.
2. Efloresensi : makula eritematosa berbatas tegas, tepi aktif, disertai dengan
skuama.

Gambar 1.1 Efloresensi pada regio thoracalis posterior

Gambar 1.2 Efloresensi pada regio lumbal sinistra

4
Gambar 1.3 Efloresensi pada regio gluteus sinistra

Gambar 1.4 Efloresensi pada regio genu sinistra

5
Gambar 1.5 Efloresensi pada regio cruris sinistra

Gambar 1.6 Efloresensi pada regio dorsum pedis sinistra

D. Pemeriksaan Penunjang
Kerokan kulit dengan KOH 10% ditemukan hifa panjang bersepta,
bercabang dan spora.

6
Gambar 1.7 Pemeriksaan KOH didapatkan hifa panjang bersepta
disertai dengan spora

E. Resume
Pasien laki-laki 62 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS
dengan dengan keluhan gatal bersifat hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu
pada punggung, pinggang, bokong, lutut sebelah kiri, tungkai kaki kiri dan
punggung kaki kiri. Keluhan gatal semakin bertambah ketika pasien berkeringat.
Pasien belum pernah berobat ke dokter kulit sebelumnya. Awalnya pasien
mengeluhkan gatal pada punggung, lalu muncul bercak berwarna kemerahan,
bercak dirasakan semakin meluas dan bersisik.
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Pasien memiliki riwayat
penyakit low back pain (LBP). Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan
serupa. Pasien merupakan seorang yang sehari-harinya bekerja sebagai
wiraswasta. Pasien biasanya mandi rutin 2x sehari. Pasien berganti pakaian 1x
sehari. Pasien memiliki handuk sendiri dan sering mencuci handuk 2 minggu
sekali. Pasien tinggal di perumahan kawasan padat penduduk. Cahaya matahari
dapat langsung masuk ke dalam rumah pasien. Rumah pasien memiliki ventilasi
yang cukup. Sumber air untuk memasak dan mencuci berasal dari sumur. Pasien
mengaku sering mengalami stress dan banyak pikiran. Pasien makan 3x sehari
berupa nasi, sayur, dan lauk pauk. Pasien mengaku jarang berolahraga.

7
Dari hasil perhitungan IMT, pasien dikategorikan sebagai obesitas I. Lesi
kulit berupa makula eritematosa berbatas tegas, tepi aktif, disertai dengan
skuama pada regio thoracalis posterior, lumbal sinistra, gluteus sinistra, genu
sinistra, cruris sinistra, dan dorsum pedis sinistra.

F. Diagnosis Banding
1. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal dan
berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat tanda
khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign. Predileksi
pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosacral.
2. Pitiriasis versikolor
Makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi atau eritem dengan skuama halus
diatasnya. Predileksi dapat terjadi dimana saja, bias pada lipat paha, ketiak,
leher, punggung, dada, lengan wajah. Pada pemeriksaan KOH didapatkan
hifa pendek dikelilingi oleh spora berkelompok membentuk gambaran
sphagetti and mealball appearance. Pada pemeriksaan lampu wood
didapatkan warna kuning keemasan.

G. Diagnosis Kerja
Tinea Corporis

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Pemeriksaan lampu Wood didapatkan lesi berpendar kuning kehijauan.
2. Pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan hifa panjang bersepta disertai dengan
spora.
3. Kultur media Saboround Dextrose Agar (SDA) didapatkan koloni jamur.

I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Sistemik
Antimikotik sitemik : Itrakonazol 1x100 mg /hari selama 2-4 minggu

8
Antihistamin : Cetirizine 1x10 mg
b. Antimikotik topikal : Mikonazole krim 2% dioles 2x sehari (pagi dan
malam) selama 1 bulan
2. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan.
b. Tidak memakai pakaian ketat dan duduk terlalu lama.
c. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat.
d. Tidak bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
e. Edukasi pasien agar tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
f. Menurunkan berat badan dengan mengubah pola hidup.
g. Mengurangi makanan berminyak dan berlemak.
h. Memperbanyak makan sayur dan buah.
i. Mandi 2x sehari.
j. Ganti baju 2x sehari.
k. Sering mencuci handuk, sprei, dan pakaian.
l. Olahraga secara teratur.
m. Kurangi stress psikis dan istirahat yang cukup.
n. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter.

J. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad functionam : ad bonam
4. Quo ad cosmeticam : ad bonam

9
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung
keratin atau zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta
kuku, yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton dan diantaranya adalah tinea corporis dan tinea
cruris (James, 2011). Tinea corporis adalah infeksi jamur golongan dermatofita
pada kulit halus tidak berambut (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan,
lengan, tungkai, dan glutea (Budimulja, 2015).

B. Etiologi
Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang
merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans. Penyebab
tersering penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi
47% dari semua kasus tinea corporis. (Lesher, 2012).

C. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi mikosis
superfisial di dunia mencapai 20-25% (Lakshmanan et al., 2015). Di Indonesia,
dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea kruris dan
tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Berdasarkan urutan kejadian
dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%),
tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya (Yossela, 2015).
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
di mana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan,
lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran
infeksinya. Perpindahan manusia dapat dengan cepat memengaruhi penyebaran
endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif,
adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan kelembaban

10
kulit meningkatkan kejadian infeksi tinea. Orang dewasa lebih sering menderita
infeksi dermatofita bila dibandingkan dengan anak-anak (Yossela, 2015).

D. Patogenesis
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu (Kurniati
& Rosita, 2008) :
1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).
2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang. Untuk dapat menimbulkan suatu
penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa
pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu
bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan
keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan
reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan
pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
pejamu.
1. Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah
6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi
keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan
aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase

11
(urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan
katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini
dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum
antara artrospora dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
atau adanya lesi pada kulit (Kurniati & Rosita, 2008).
2. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan
sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi
jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum
korneum setelah spora melekat pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen
menggunakan beberapa cara (Kurniati & Rosita, 2008) :
a. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat
pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.
b. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
c. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga
memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore
(suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.

12
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi
dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan
dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum (Kurniati &
Rosita, 2008). .
3. Respons imun pejamu
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan
respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik
(Kurniati & Rosita, 2008).
a. Mekanisme pertahanan non spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami
terdiri dari (Kurniati & Rosita, 2008) :
1) Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai
barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara
kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat
menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi epidermis
menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
peradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang
dimediasi sel T.
2) Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa
pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri
dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3) Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-
makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
b. Mekanisme pertahanan spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan
baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan
CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya

13
berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum
pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon
efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang.
Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI (Kurniati
& Rosita, 2008).

E. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit dermatofitosis, dapat
dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal (Behzadi,
2014):
1. Faktor risiko Internal
Faktor risiko internal lebih banyak pada usia remaja dan dewasa, jenis
kelamin laki-laki tapi tidak menutup kemungkinan pada wanita, memiliki
pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang, mengalami keringat yang
berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), memiliki penyakit metabolik seperti
diabetes melitus, mengalami defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-
obatan seperti antibiotik, kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya.
2. Faktor risiko eksternal
Faktor risiko eksternal yang dapat menyebabkan infeksi diantaranya,
iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, pemakaian bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat, lingkungan sosial budaya dan
ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana dalam dengan teman atau
anggota keluarga yang menderita tinea.

F. Manifestasi Klinis
Secara klinis tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel
eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi. Terdapat
central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi, dengan tepi
yang meninggi dan memerah sering ditemukan. Pruritus sering ditemukan,
seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi sekunder.
Lokalisasi lesi tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan bawah,
dada, punggung. Gejala subjektif yaitu keluhan gatal, terutama jika berkeringat.

14
Karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama pada daerah kulit
yang lembap. Efloresensi/sifat-sifatnya lesi adalah berbentuk makula / plak yang
merah / hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral. Pada tepi
lesi dijumpai papula-papula eritematosa atau vesikel. Pada perjalanan
penyakit yang kronik dapat dijumpai likenifikasi. Gambaran lesi dapat polisiklis,
anular atau geografis (Siregar, 2005).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil
dan dikumpulkan kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH lalu diperiksa
langsung dengan mikroskop. Pemeriksaan kerokan kulit dengan ditambahkan
KOH akan dijumpai adanya hifa panjang bersepta disertai dengan spora (Weller
et al., 2008).
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah,
harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat
dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk
menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada
sediaan langsung. Pembiakan dilakukan pada medium agar Sabouraud karena dianggap
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan jamur. Media kultur
diinkubasi pada suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan
dibuang bila tidak ada pertumbuhan (Yossela, 2015).
Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
namun sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pada pengecatan dengan
Peridoc Acid– Schiff, jamur akan tampak merah muda atau dengan
menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau
hitam. Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau
sinar “hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit
dan rambut. Pemeriksaan lampu Wood didapatkan lesi berpendaar kuning
kehijauan (Yossela, 2015).

15
H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dengam
melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi dan pemeriksaan penunjang.
Gejala klinisnya berupa rasa gatal yang meningkat pada saat berkeringat.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi eritematosa dan atau papulovesikel
yang multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi, berbentuk polisiklik
atau bulat berbatas tegas, polimorfik dan tepi lebih aktif. Pada pemeriksaan
penunjang yaitu dilakukan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan kerokan
dan tetes KOH serta kultur (Yossela, 2015).

I. Diagnosis Banding
1. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal
dan berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat
tanda khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign.
Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosacral.
2. Pitiriasis versikolor
Makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi atau eritem dengan skuama
halus diatasnya. Predileksi dapat terjadi dimana saja, bias pada lipat paha,
ketiak, leher, punggung, dada, lengan wajah. Pada pemeriksaan KOH
didapatkan hifa pendek dikelilingi oleh spora berkelompok membentuk
gambaran sphagetti and mealball appearance. Pada pemeriksaan lampu
wood didapatkan warna kuning keemasan.

J. Terapi
Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi,
tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat
atau di mana infeksi kronis atau berulang. Infeksi dermatofita dengan krim
topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4
minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan krim
terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih. Terapi

16
topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine,
ekonazol, miconazole, ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox (Yossela, 2015).
Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik. Beberapa
indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain (Yossela, 2015) :
a. Infeksi kulit yang luas.
b. Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
c. Infeksi kulit kepala.
d. Granuloma majocchi.
e. Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Medikamentosa pada dermatofitosis, termasuk (Yossela, 2015).


a. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara
umum griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis
0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10
– 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh
klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
b. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam
pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka
kesembuhan sekitar 70%.
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif
dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien
mendapatkan kesembuhan.
d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai dua
dosis harian 200 mg untuk satu minggu.
e. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-4 minggu.
f. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.
g. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2

17
minggu pada pagi hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran klinis
memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan
ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali.
Penatalaksanaan dermatofitosis tidak hanya diselesaikan secara
medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan
pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti
mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian yang menyerap
keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan
membersihkan pakaian yang terkontaminasi (Yossela, 2015).

K. Prognosis
Terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.
Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran
lebih lanjut (El-Gohary, 2014).

L. Komplikasi
Penderita tinea kruris dan tinea corporis dapat terjadi komplikasi infeksi
sekunder oleh mikroorganisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid
topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan penyakit
menyebar dan bertambah parah (Budimulja, 2015).

18
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakan Diagnosis
Kelainan kulit yang terjadi pada kasus adalah tinea corporis. Tinea
corporis adalah infeksi jamur golongan dermatofita pada kulit halus tidak
berambut (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan
glutea (Budimulja, 2015). Alasan penegakan diagnosis yaitu:
1. Anamnesis
a. Keluhan gatal bersifat hilang timbul sejak 1 minggu yang lalu pada
punggung, pinggang, bokong, lutut sebelah kiri, tungkai kaki kiri dan
punggung kaki kiri
b. Gatal semakin bertambah ketika pasien berkeringat.
c. Awalnya pasien mengeluhkan gatal pada punggung, lalu muncul bercak
berwarna kemerahan, bercak dirasakan semakin meluas dan bersisik.
d. Pasien memiliki riwayat obesitas, dan LBP.
e. Pasien berganti pakaian 1x sehari.
f. Pasien mengaku sering mengalami stress dan banyak pikiran. Pasien
makan 3x sehari berupa nasi, sayur, dan lauk pauk.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Dari hasil perhitungan IMT, pasien dikategorikan sebagai obesitas I.
b. Lesi kulit berupa makula eritema berbatas tegas, tepi aktif, disertai dengan
skuama pada regio thoracalis posterior, lumbal sinistra, gluteus sinistra,
genu sinistra, cruris sinistra, dan dorsum pedis sinistra
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% didapatkan hifa panjang
bersepta dengan spora.

B. Diagnosis Banding
1. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal
dan berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat

19
tanda khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign.
Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosacral.
2. Pitiriasis versikolor
Makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi atau eritem dengan skuama
halus diatasnya. Predileksi dapat terjadi dimana saja, bias pada lipat paha,
ketiak, leher, punggung, dada, lengan wajah. Pada pemeriksaan KOH
didapatkan hifa pendek dikelilingi oleh spora berkelompok membentuk
gambaran sphagetti and mealball appearance. Pada pemeriksaan lampu
wood didapatkan warna kuning keemasan.

C. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan.
b. Tidak memakai pakaian ketat dan duduk terlalu lama.
c. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat.
d. Tidak bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
e. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
f. Menurunkan berat badan dengan mengubah pola hidup.
g. Mengurangi makanan berminyak dan berlemak.
h. Memperbanyak makan sayur dan buah.
i. Mandi 2x sehari.
j. Ganti baju 2x sehari.
k. Sering mencuci handuk, sprei, dan pakaian.
l. Olahraga secara teratur.
m. Kurangi stress psikis dan istirahat yang cukup.
n. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter.
2. Farmakologis
a. Cetirizine tablet; 1 x 10 mg/ hari
Cetirizine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas yang

20
rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga tidak
menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar pada mata.
Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti urtikaria kronik
dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini digunakan untuk
mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien (Katzung, 2004).
b. Ketokonazol tablet; 2 x 200 mg/ hari.
Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary, 2014).
c. Krim Mikonazol 2%
Obat topikal dala sediaan krim diberikan pada pasien untuk
dioleskan tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja secara fungistatik dengan
mengubah permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem barier
selektif yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel
(Budimulja, 2015).

21
V. KESIMPULAN

1. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung keratin


atau zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku, yang
disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum
dan Trycophyton dan diantaranya adalah tinea corporis dan tinea cruris.
2. Keluhan gatal bersifat kronik pada punggung, pinggang, bokong, lutut sebelah
kiri, tungkai kaki kiri dan punggung kaki kiri serta semakin bertambah ketika
berkeringat.
3. Predisposisi berupa obesitas, stress, berganti pakaian 1x sehari.
4. Lesi kulit berupa makula eritematosa berbatas tegas, tepi aktif, disertai dengan
skuama pada regio thoracalis posterior, lumbal, genu sinistra, cruris sinistra, dan
dorsum pedis sinistra.
5. Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% didapatkan hifa panjang bersepta
dengan spora.
6. Pengobatannya dapat secara sistemik dan topikal dilakukan sesuai dengan luas
lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 4 minggu tanpa putus obat, serta selalu
menjaga kebersihan badan dan lingkungan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Behzadi, P. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Sikkim Manipal University Medical Journal; 1(2): 53-54

Budimulja U. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan Aisah,


Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.

El-Gohary, M., J. Zuuren, Z. Fedorowics, H. Burgess, dan L. Doney. 2014. Topical


Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis. Cochrane Databse
System Review.

James, W., Berger, dan D. Elston. 2011. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Lakshmanan A, Ganeshkumar P, Mohan S R, Hemamalini M, Madhavan R.


Epidemiological and clinical pattern of dermatomycoses in rural India. Indian
J Med Microbiol 2015;33, Suppl S1:134-6

Lesher, J. L. 2012. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.

Manjula, P., Parameswari, K. 2016. A Study of Nondermatophytic


Dermatomycosis in Patients Attending a Tertiary Care Hospital in
Vijayawada, Andhra Pradesh, India. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci (2016)
5(4): 452-458

Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.

Weller R, Hunter JA, Savin JA, Dahl MV. Clinical Dermatology. Edisi ke-
4.Massachusetts: Blackwell Publishing; 2008.h.251.

Yossela, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. J MAJORITY Volume


4 Nomor 2

23

Anda mungkin juga menyukai