Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Bali adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang menggerakkan roda
perekonomiannya tidak dengan kekuatan sumber daya alam saja melainkan diimbangi juga
dengan sumber daya budaya. Salah satu keunikan sumber daya budaya di Bali adalah eksistensi
dari desa pakraman. Lingkup desa pakraman tidak terbatas pada peran-peran sosial budaya dan
keagamaan, melainkan juga ekonomi dan pelayanan umum yang umumnya berasal dari
pemerintah. Akan halnya sumber daya alam, kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi juga
memerlukan pemeliharaan. Pemeliharaan kebudayaan Bali sebagai sumber daya ekonomi hingga
saat ini sepenuhnya menjadi tanggungan masyarakat desa pakraman. Biaya ini mencakup seluruh
biaya yang bersifst reguler maupun khusus atau tertentu, baik dar segi jenis, tempat, lingkup,
tingkatan, maupun waktu kegiatan. Kebudayaan Bali merupakan roh dan modal dasar
penyelenggaraan pariwisata Bali. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Bali, sebagaimana ditimba
dari sektor pariwisata, sepenuhnya dihasilkan dari hasil pemeliharaan kebudayaan itu yang terdiri
dari sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor pertanian, dan sektor jasa penunjang pariwisata.
Sekalipun memberikan manfaat sedemikian luas dan sedemikian besar, namun beban biaya
pemeliharaan kebudayaan itu tetap menjadi tanggungan penuh desa pakraman dengan seluruh
warganya, bukan pemerintah atau komunitas masyarakat pelaku bisnis pariwisata.
Kebijakan pembiayaan pemerintah hanya terbatas sampai desa saja, sedangkan desa
pakraman juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, desa pakraman dituntut
untuk memiliki tata kelola perekonomian yang mandiri. Maka, pada tahun 1984 pemerintah bali
mencetuskan pendirian lembaga Perkreditan desa diseluruh desa pakraman di Bali. Keberadaan
LPD di Bali sesungguhnya berawal dari sebuah kesadaran dan kemauan bersama dari masyarakat
adat Bali yang telah lama ada dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum
Republik Indonesia ini didirikan. Kesadaran dan kemauan bersama itu terwadahi melalui
organisasi komunitas berbasis wilayah yakni Desa Adat (kini Desa Pakraman) maupun Banjar
Adat (kini Banjar Pakraman).

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian LPD?
2. Apa saja fungsi LPD?
3. Apa tujuan LPD?
4. Apa saja kegiatan lapangan usaha LPD?
5. Apa saja modal LPD?
6. Bagaimana organisasi LPD?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian LPD.
2. Untuk mengetahui fungsi LPD.
3. Untuk mengetahui tujuan LPD.
4. Untuk kegiatan lapangan usaha LPD.
5. Untuk mengetahui modal LPD.
6. Untuk mengetahui organisasi LPD.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian LPD
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu unsur kelembagaan Desa
Pakraman yang menjalankan fungsi keuangan Desa Pakraman untuk mengelola potensi
keuangan Desa Pakraman. Lembaga ini sangat berpotensi dan telah terbukti dalam memajukan
kesejahteraan masyarakat desa dan memenuhi kepentingan desa itu sendiri. Lembaga Perkreditan
Desa telah berkembang dengan pesat dan telah memberi manfaat yang sangat luas bagi LPD dan
anggotanya. Seiring dengan timbulnya berbagai kebutuhan baru berkenaan dengan eksistensi
kelembagaan, unsur-unsur manajemen, kegiatan dan operasionalnya, sehingga diperlukan
pengaturan yang lebih akurat untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi
keberadaan dan kegiatan LPD dan keberadaan Krama Desa yang menjadi anggotanya. Kekurang
hati-hatian dalam mengelola LPD dapat berakibat buruk terhadap kepercayaan masyarakat
kepada LPD karena itu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebutuhan-kebutuhan
baru yang berkembang dari praktek kegiatan LPD (Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun
2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa, 11).
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Lembaga Perkreditan Desa sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hukum yang
berkembang atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini sehingga
perlu diadakan beberapa perubahan dengan membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa
(Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, 11-12).
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan suatu bentuk lembaga ekonomi milik desa
pakraman. Pasal 1 angka 10 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002
tentang lembaga Perkreditan Desa menyatakan bahwa (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 35) :
LPD adalah Lembaga Perkreditan Desa di Desa Pakraman dalam wilayah Provinsi Bali.
Desa Pakraman yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun temurundalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang

3
mempunyai wilayah tertentudan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya
sendiri (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 35).
Pasal 2 ayat 1 Perda tersebut menyatakan bahwa (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 35) :
LPD merupakan badan usaha keungan milik Desa yang melaksanakan kegiatan usaha di
lingkungan Desa dan untuk Krama Desa (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 35).
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan badan usaha milik desa yang melaksanakan
kegiatan usaha di lingkungan desa dan untuk krama desa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
LPD adalah menerima atau menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk tabungan dan
deposito, memberikan pinjaman hanya kepada krama desa, menerima pinjaman dari lembaga-
lembaga keuangan dan menyimpan kelebihan likuiditasnya pada Bank Pembangunan Daerah
Bali. LPD sebagai lembaga keuangan desa mempunyai karakteristik khusus yang berbeda
dengan lembaga keuangan lainnya, sehingga dalam operasionalnya perlu dilakukan pembinaan
dan pengawasan. Lembaga yang berfungsi untuk memberikan pembinaan teknis, pengembangan
serta pelatihan bagi LPD adalah Lembaga Perkreditan Desa Kabupaten/Kota (PLPDK).
Pembinaan dan pengawasan bagi LPD sangat penting untuk meningkatkan kinerjanya sehingga
kepercayaan masyarakat desa meningkat. Agar profesionalisme dalam melayani masyarakat
golongan ekonomi lemah melalui penyesuaian kriteria kinerja keuangan lebih efektif, diperlukan
adanya pedoman atau standar penilaian kinerja keuangan (Dewi, Made Rusmala, 2014).

2.2 Fungsi LPD


Fungsi utama LPD adalah kegiatan simpan pinjam. Dalam penyelenggaraan fungsinya,
LPD menggunakan sistem manajemen keuangan modern, mendekati manajemen perbankan.
LPD menggunakan standar simpan pinjam, sehingga sepintas tampak sebagai bank. Setiap pihak
yang tidak mendalami asal-usul, bentuk, posisi, dan fungsi LPD dapat dengan mudah memvonis
LPD sebagai bank, atau mendefinisikan LPD sebagai lembaga keuangan mikro. Kesalahan
pandangan demikian dialami tidak saja kaum awam, melainkan bahkan oleh pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan legislatif negara yang mendefinisikan LPD sebagai
Bank (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 37).
LPD sebagai salah satu wadah kekayaan Desa, menjalankan fungsinya dalam bentuk-
bentuk usaha-usaha ke arah peningkatan taraf hidup Krama Desa dan dalam kegiatannya banyak
menunjang pembangunan Desa (Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2007 tentang

4
Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan
Desa, 28).
2.3 Tujuan LPD
Dalam sejarah perkembangan Lembaga Perkreditan Desa ada beberapa Peraturan Daerah
yang menjadi dasar dalam tujuan Lembaga Perkreditan Desa yaitu (Nurjaya, I Nyoman, dkk,
2011 : 93-95) :
1. Menurut Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984, tujuan
didirikan LPD adalah (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 93-95) :
a) Memberantas ijon, gadai gelap dan lain-lain yang dapat disamakan dengan
itu.
b) Meningkatkan daya beli masyarakat desa
c) Melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa.
2. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1998 tentang
Lembaga Perkreditan Desa, tujuan LPD adalah sebagai berikut (Nurjaya, I Nyoman,
dkk, 2011 : 93-95) :
a) Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan
yang terarah serta penyaluran modal yang efektif.
b) Memberantas ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang dipersamakan dengan
itu.
c) Menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga desa
tenaga kerja di pedesaan.
d) Meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang di desa.
Salah satu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada di Bali adalah Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). LPD adalah merupakan jenis LKM milik desa adat atau pakraman di
Bali, yang keberadaannya pertama kali dilandasi oleh Perda Tingkat I Bali No 06 Tahun 1986.
LPD memiliki beberapa tujuan (Wiagustini, Putu, 2014) :
(1) Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah
serta penyaluran modal yang efektif.
(2) Memberantas sistem ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang bisa disamakan dengan itu
di daerah pedesaan.

5
(3) Menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan.
(4) Menciptakan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di
desa.
2.4 Kegiatan Lapangan Usaha LPD
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa, secara garis besar kegiatan lapangan usaha LPD meliputi (Nurjaya, I Nyoman,
Sukandia dan I Nyoman 2011 : 97-98) :
1. Menerima atau menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk tabungan dan
deposito.
2. Memberikan pinjaman hanya kepada krama desa.
3. Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum 100% dari jumlah
modal termasuk cadangan dan laba ditahan.
4. Menyimpan kelebihan lidkuiditasnya pada BPD dengan imbalan bunga bersaing dan
pelayanan yang memadai.
Kegiatan usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD) pada prinsip sifat usahanya dapat
digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu kegiatan menghimpun dana, kegiatan menggunakan dana dan
memberi jasa. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali bernaung di bawah desa adat setempat
sebagai pengawas dan dibantu oleh seorang ketua, sekretaris dan bendahara yang dapat
dilengkapi dengan sejumlah kepala seksi dan karyawan sesuai dengan kebutuhan Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) setempat (Hersana, Komang Dodi, 2014).
Dalam memberikan kredit Lembaga Perkreditan Desa (LPD) memiliki berbagai
pertimbangan, hal ini ditujukan agar menghindari adanya kredit macet, istilah kredit dalam
bahasa latin kredit disebut credere yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya
kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai
perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga
mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka
waktunya. Dalam Lembaga Perkreditan Desa (LPD) nasabah seringkali menjadi tolak ukur
keberhasilan yang dapat menunjang kelancaran dan kelangsungan hidup Lembaga Perkreditan
Desa (LPD). Pengertian nasabah adalah orang atau masyarakat yang berperan serta dalam
kegiatan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan sebagai faktor penunjang yang paling penting.
Keinginan akan rasa aman dan pelayanan dari pihak Lembaga Perkreditan Desa (LPD) akan

6
mempengaruhi niat nasabah, maka dari itu Lembaga Perkreditan Desa (LPD) harus memenuhi
apa yang menjadi keinginan dari nasabah. Hal ini secara langsung akan memberikan nilai positif
bagi perkembangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan juga berdampak pada pengelolaan
manajemen dan penataan organisasi yang baik di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) (Hersana,
Komang Dodi, 2014).
2.5 Modal LPD
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa Bab V Pasal 9 menyatakan bahwa modal LPD adalah sebagai berikut
(Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, 18) :
1. LPD dapat didirikan dengan modal awal sekurang-kurangnya Rp 10.000.000
2. Modal LPD terdiri dari :
a. Swadaya masyarakat dan atau urunan Krama Desa
b. Bantuan pemerintah atau sumber lain yang tidak mengikat
c. Laba yang ditahan
Dalam sejarah perkembangan Lembaga Perkreditan Desa, ada beberapa Peraturan Daerah
yang menjadi dasar dalam tujuan Lembaga Perkreditan Desa yaitu (Nurjaya, I Nyoman, dkk,
2011 : 94-98) :
1. Menurut Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984,
modal awal LPD adalah Rp 2.000.000,- bersumber dari APBD Provinsi (Nurjaya,
I Nyoman, dkk, 2011 : 94).
2. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1998 tentang
Lembaga Perkreditan Desa, modal LPD adalah dari swadaya masyarakat, urunan
krama desa, bantuan pemerintah, pemupukan modal, pemanfaatan tabungan
nasabah pinjaman (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 96).
3. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang
Lembaga Perkreditan Desa, secara garis besar LPD dapat didirikan dengan modal
awal Rp 10.000.000,- . Modal LPD terdiri dari swadaya masyarakat dan urunan
krama desa, bantuan pemerintah atau sumber lain yang tidak mengikat, laba yang
ditahan. (Nurjaya, I Nyoman, dkk, 2011 : 98).

7
Melihat pentingnya peranan LPD yang mampu menunjang perekonomian masyarakat
desa maka kinerja LPD pada saat ini harus lebih mendapat perhatian. Penilaian kinerja LPD
tidak lepas dari kemampuannya dalam menghasilkan laba, yang merupakan salah satu indikator
kinerja perusahaan. Kemampuan perusahaan menghasilkan laba dalam satu periode atau setiap
periode tertentu disebut dengan profitabilitas. Faktor lain yang sangat penting bagi LPD adalah
modal, karena digunakan modal untuk menutupi timbulnya kerugian akibat dana pihak ketiga.
Capital Adequency Ratio (CAR) mewakili tingkat kecukupan modal dalam penelitian ini.
Kewajiban penyediaan modal minimum bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No.2/12/DPNP/2000. Kewajiban penyediaan modal minimum yang harus dipertahankan oleh
lembaga perbankan yaitu sebesar 8% disebut dengan Capital Adequency Ratio (Kithinji dan
Angela, 2011). CAR merupakan rasio yang mengukur kecukupan suatu modal bank. Kinerja
bank semakin baik sehingga laba bank semakin meningkat ditunjukan oleh semakin tinggi CAR
yang dicapai oleh bank. Menipisnya tingkat kecukupan modal bank yang bisa dilihat dari
Capital Adequency Ratio (CAR) diakibatkan oleh banyaknya kredit yang mengalami masalah
atau kredit macet juga dapat menyebabkan turunnya profitabilitas suatu bank (Pudja, Ayu
Dwikayanthi, 2014).
2.6 Organisasi LPD
Beberapa pihak berpatisipasi dalam tata kelola organisasi LPD yaitu dari pengelola atau
pengurus dan BPI sampai auditor eksternal (Suartana, I Wayan, 2009 : 150).
a. Desa Pakraman
Desa pakraman memberikan pengelolaan LPD kepada pengurus LPD untuk mencapai
tujuan yang disepakati bersama dalam suatu kerangka perilaku organisasi yang dapat
diterima. Sehingga hal-hal pokok yang diatur dalam peraturan LPD desa pakraman
diantaranya adalah organisasi LPD, tugas, tanggung jawab, hak, pengangkatan,
pemberhentian, sanksi bagi pengurus dan BPI LPD, dan ketentuan kompensasi
(Suartana, I Wayan, 2009 : 151-152).
b. Badan Pengawas Internal (BPI) selaku auditor internal LPD
Fungsi BPI memainkan peran unik dalam proses tata kelola. Pengelola meminta BPI
untuk membantu memberikan mereka keyakinan bahwa (Suartana, I Wayan, 2009 :
151-152) :
a) Risiko telah secara efektif diidentifikasi dan dipantau.

8
b) Proses-proses organisasional secara efektif telah dikendalikan.
c) Proses-proses organisasi adalah efisien dan efektif.
BPI sebagai auditor internal adalah “mata dan telinga dari pengelola”. Namun
demikian, pengendalian internal mempunyai arti yang lebih luas yang mencangkup
juga peran yang harus dijalankan oleh pengelola puncak (Suartana, I Wayan, 2009 :
151-152).
c. Satuan Pengawasan Internal (SPI)
Satuan pengawasan internal dibentuk sebagai jembatan antara BPI dan pengurus.
Satuan ini dibentuk bila diperlukan, tetapi kalau BPI sudah cukup maka SPI tidak
perlu dibentuk. Ide adanya SPI, karena BPI bekerja paruh waktu. Kalau BPI
pengawasannya bersifat umum, maka SPI lebih banyak melakukan pekerjaan teknis
misalnya menyangkut kemungkinan salah hitung dalam laporan keuangan LPD
(Suartana, I Wayan, 2009 : 153).
Adapun peran penting SPI dalam tata kelola organisasi yaitu (Suartana, I Wayan,
2009 : 153) :
a) Memantau proses pelaporan keuangan dengan dual control kegiatan
pengecek kembali atas suatu pekerjaan yang telah dilakikan oleh petugas
sebelumnya.
b) Mengawasi sistem pengendalian intern dengan segala atributnya.
d. Pengurus
Pengurus LPD adalah pelaksana utama atau actor tata kelola LPD. Keseluruhan
model tata kelola organisasi mengakui peran sentral dari pengurus atau pengelola
sebagai salah satu pelaku tata kelola organisasi. Dengan menetapak tekanan pada
pengelola puncak dan menangani operasi sehari-hari atas entitas, pengaruh
pengelolaan atas kualitas tata kelola menjadi signifikan. Pengelola bertanggung jawab
memantau risiko organisasi dan melaksanakan pengendalian untuk mengurangi risiko
(Suartana, I Wayan, 2009 : 153-154)
e. Regulator
Dalam hal ini yang menjadi regulator LPD adalah pihak pemerintah daerah provinsi
maupun kabupaten/kota. Pihak pemerintah menciptakan suatu iklim yang kondusif
supaya LPD bisa berkembang, maju, kuat dan sehat (Suartana, I Wayan, 2009 : 154).

9
f. Akuntan publik independen
Akuntan publik independen berperan dalam menilai dan memberikan opini terhadap
laporan keuangan LPD sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum dan
standar akuntansi yang ada (Suartana, I Wayan, 2009 : 154).

10
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Efektivitas Fungsi Badan Pengawas sebagai Internal Auditor dalam Pengawasan terhadap
Pemberian Kredit pada LPD di Kecamatan Rendang, Selat, Sidemen, dan Manggis Kabupaten
Karangasem, Provinsi Bali
Salah satu lembaga keuangan mikro yang ada di provinsi Bali adalah Lembaga
Perkreditan Rakyat (LPD) yang ada di banyak desa. Sejak digagas pada bulan November 1984
oleh Gubernur Bali, yang waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm), LPD telah
mengemban fungsi untuk mendorong pembangunan ekonomi masyarakat melalui tabungan yang
terarah, serta penyaluran modal yang efektif. LPD juga diharapkan dapat memberantas sistem
ijon dan gadai gelap, yang saat itu kerap terjadi di masyarakat. Fungsi lain yang juga diemban
adalah menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan, baik yang bisa
bekerja secara langsung di LPD maupun yang bisa ditampung oleh usaha-usaha produktif
masyarakat yang dibiayai oleh LPD. Menciptakan daya beli, serta melancarkan lalu lintas
pembayaran dan pertukaran di desa, juga menjadi tugas pokok LPD (Wedayani, Ni Wayan,
2012).
LPD dengan izin khusus dari Bank Indonesia (melalui surat tertanggal 17 Februari 1999)
diperbolehkan menghimpun tabungan dari para anggota Desa Adat. LPD tidak hanya
diperbolehkan memberikan kredit kepada para anggota Desa Adat sendiri, namun boleh
menerima kredit dari lembaga keuangan manapun, maka salah satu jasa yang ditawarkan oleh
LPD adalah kredit. Kredit merupakan suatu kepercayaan antara pihak kreditur dan debitur yang
sudah tentu mengandung unsur ketidakpastian sehingga risiko kegagalan dan penyalahgunaan
kredit sangat mungkin terjadi. Semestinya prinsip kehati-hatian diterapkan dalam melakukan
ekspansi kredit serta mengatur pemencaran pemberian kredit sehingga dapat memberikan
keuntungan bagi LPD sesuai dengan yang diharapkan dan kolektibilitas LPD akan berjalan
dengan baik dan lancar, akan tetapi dalam perkembangannya tidak semua kredit yang diberikan
dapat berjalan lancar (Wedayani, Ni Wayan, 2012).

Di Kecamatan Rendang, Selat, Sidemen, dan Manggis Kabupaten Karangasem, Bali


memiliki 81 LPD dengan rincian di Kecamatan Rendang 20 LPD, Kecamatan Selat 24 LPD,

11
Kecamatan Sidemen 18 LPD, dan Kecamatan Manggis 19 LDP. Dari 81 LPD yang ada di 4
wilayah tersebut yang masih aktif ada sebanyak 51 LPD (Wedayani, Ni Wayan, 2012).
Dalam kegiatan pinjam-meminjam dana dikenal dengan istilah kredit macet, yang berarti
nasabah peminjam tidak membayar atau melunasi utang atau pinjamannya sesuai tenggang
waktu dan jumlah nominal yang telah disepakati bersama. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka dalam setiap pelaksanaan kegiatan kredit diperlukan pengawasan yang dilakukan oleh
badan pengawas sebagai internal auditor dalam pemberian kredit, untuk mencegah serta
mengurangi terjadinya kredit macet dan kelebihan batas kredit. Peran badan pengawas internal
secara aktif mengawasi kebijakan, operasional dan praktik akuntansi dan pelaporan keuangan
dan menjadi penghubung antara pengelola dengan auditor eksternal bila diperlukan. Peranan
badan pengawas internal sebagai pengawas internal sangat strategis, di samping sebagai auditor
internal juga sebagai partner yang bersinergi untuk memajukan LPD. Peran badan pengawas
intern dalam mengawasi operasional LPD bisa dilakukan oleh siapa saja di desa pakraman
bersangkutan tanpa mengenal jenjang dan jenis pendidikan. Semakin besar aset LPD maka ruang
lingkup pengawasan menjadi semakin luas dan kompleks, dengan sendirinya memerlukan
pengetahuan dan kompetensi yang semakin khusus. Mengingat pentingnya peranan badan
pengawas intern, maka ia harus memiiki kejelasan dalam struktur organisasi yang ada, keahlian
teknis, dan pola pikir yang membuat mampu menjalankan tata kelola, bimbingan, dan tanggung
jawab (Wedayani, Ni Wayan, 2012).
Sesuai dengan pasal 1 ayat (11) Perda No.3 tahun 2007, yang dimaksud dengan pengawas
internal adalah badan pengawas yang dibentuk oleh desa dan bertugas melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan LPD. Ketua badan pengawas yang dijabat oleh bendesa adat dimaksudkan
untuk menciptakan suatu lingkungan pengendalian yang kondusif dan efektif. Bendesa adat
diyakini mempunyai karisma dan pengaruh yang kuat di lingkungan desa pakraman sehingga
akan berpengaruh terhadap lingkungan pengendalian. Bendesa adat juga dituntut untuk
mengetahui secara utuh operasional LPD dan tingkat kemajuan yang dicapai, sebagai contoh
bendesa adat juga ikut dalam menandatangani surat perjanjian kredit (Wedayani, Ni Wayan,
2012).
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam menjalankan pengawasan diantaranya adalah
audit. Audit yang dilakukan oleh karyawan dalam perusahaan atau kesatuan ekonomi disebut
dengan audit intern. Tujuan dari audit intern adalah membantu semua tingkatan manajemen agar

12
tanggung jawab manajemen dapat dilaksanakan secara efektif. Untuk maksud tersebut setiap
LPD harus mempunyai pengendalian intern yang memadai dan mampu menjamin bahwa dalam
pelaksanaan operasional dapat dicegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh berbagai
pihak yang akan dapat merugikan perusahaan dan terjadinya praktek-praktek yang tidak sehat
(Wedayani, Ni Wayan, 2012).

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

13
4.1 KESIMPULAN
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan salah satu unsur kelembagaan Desa
Pakraman yang menjalankan fungsi keuangan Desa Pakraman untuk mengelola potensi
keuangan Desa Pakraman. Fungsi utama LPD adalah kegiatan simpan pinjam dimana
menjalankan fungsinya dalam bentuk-bentuk usaha-usaha ke arah peningkatan taraf hidup
Krama Desa dan dalam kegiatannya banyak menunjang pembangunan Desa. Tujuan dari
Lembaga Perkreditan Desa adalah meningkatkan daya beli masyarakat desa, memberantas ijon,
gadai gelap dan lain-lain yang dapat disamakan dengan itu, serta memperlancarkan lalu lintas
pembayaran dan transaksi keuangan di desa. Kegiatan usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
pada prinsip sifat usahanya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu kegiatan menghimpun dana,
kegiatan menggunakan dana dan memberi jasa. Faktor lain yang sangat penting bagi LPD adalah
modal, karena digunakan modal untuk menutupi timbulnya kerugian akibat dana pihak ketiga
atau masyarakat. Beberapa pihak berpatisipasi dalam tata kelola organisasi LPD yaitu dari
pengelola atau pengurus dan Badan Pengawas Internal (BPI) sampai auditor eksternal.
4.2 SARAN
1. Untuk para mahasiswa, diharapkan dapat lebih mengetahui memahami materi
tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
2. Untuk masyarakat, diharapkan dapat mengetahui informasi tentang LPD dan
memanfaatkan LPD sebagai lembaga untuk menghimpun dan menyalurkan dana
dari dan kepada masyarakat.
3. Untuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di masing-masing daerah, diharapkan
dapat menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat dengan
baik dan benar sesuai dengan peraturan mengenai LPD yang berlaku saat ini.
4. Untuk pemerintah, diharapkan dapat mengatur dan mengawasi kegiatan usaha
yang dilakukan oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sesuai dengan regulasi
mengenai Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

DAFTAR PUSTAKA

14
Dewi, Made Rusmala. 2014. Jurnal Manajemen Strategi Bisnis dan Kewirausahaan Vol. 8 No.1.
Analisis Kinerja Kesehatan LPD dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Aset LPD
Kabupaten Badung.
Hersana, Komang Dodi, dkk. 2014. Jurnal Akuntansi Vol. 2 No. 1. Pengaruh Jumlah Kredit,
Nasabah, dan Tenaga Kerja terhadap Pendapatan Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
Kecamatan Tejakula.
Nurjaya, I Nyoman, dkk. 2011. Landasan Teoretik Pengaturan LPD. Denpasar : Udayana
University Press.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa.
Pudja, Ayu Dwikayanthi. 2014. Jurnal Akuntansi Volume 8 No. 3. Pengaruh Perputaran Kredit,
Kecukupan Modal, dan Jumlah Nasabah pada Profitabilitas.
Suartana, I Wayan. 2009. Arsitektur Pengelolaan Risiko Pada Lembaga Perkreditan Desa
(LPD). Denpasar : Udayana University Press.
Wedayani, Ni Wayan. 2012. Jurnal Akuntansi. Efektivitas Fungsi Badan Pengawas sebagai
Internal Auditor dalam Pengawasan terhadap Pemberian Kredit pada LPD di Kecamatan
Rendang, Selat, Sidemen, dan Manggis Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Wiagustini, Putu. 2014. Jurnal Manajemen Strategi Bisnis dan Kewirausahaan Vol.8 No.1.
Model Pemberdayaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai Sumber Pendanaan Usaha
Mikro Kecil Menengah (Umkm) di Kabupaten Gianyar.

15

Anda mungkin juga menyukai