Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah secara
abnormal rendah yaitu <50 mg/dl atau bahkan <40 mg/dl (Rahardjo, 2012 dan
Maryam, 2009).
Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa serum secara signifikan lebih
rendah daripada rentang pada bayi normal dengan usia postnatal yang sesuai.
Walaupun hipoglikemia dapat terjadi dengan gejala neurologis, seperti letargi,
koma, apnea, seizure atau simpatomimetik, seperti pucat, palpitasi, diaforesis,
yang merupakan manifestasi dari respon terhadap glukosa, banyak neonatus
dengan serum glukosa rendah menunjukkan tanda hipoglikemia nonspesifik
(Kliegman et al, 2011).
Hipoglikemia pada neonatus didefinisikan sebagai kondisi dimana glukosa
plasma di bawah 30 mg/dL (1.65 mmol/L) dalam 24 jam pertama kehidupan dan
kurang dari 45 mg/dL (2.5 mmol/L) setelahnya (Cranmer,2013). Menurut WHO
hipoglikemi adalah bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL.
Hipoglikemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab yang sangat luas,
sebagai akibat dari rendahnya kadar glukosa plasma yang akhirnya menyebabkan
neuroglikopenia (

B. ETIOLOGI HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia biasanya terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki
cadangan glukosa yang rendah yang disimpan dalam bentuk glikogen (Novyana,
2010). Hipoglikemia disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan makanan,
insulin, dan aktivitas (Wong, 2005).
Penyebab hipoglikemia pada neonatus berbeda sedikit dari pada bayi yang
lebih tua dan anak-anak. Menurut Judarwanto (2012), etiologi hipoglikemia pada
neonatus meliputi berikut :
1. Perubahan sekresi hormon.
2. Berkurangnya substrat cadangan dalam bentuk glikogen hati.
3. Berkurangnya cadangan otot sumber asam amino untuk glukoneogenesis.
4. Berkurangnya cadangan lipid untuk pelepasan asam lemak.

C. FAKTOR RISIKO HIPOGLIKEMIA


Umumnya hipoglikemia terjadi pada neonatus berumur 1-2 jam. Hal ini
disebabkan oleh karena bayi tidak lagi mendapatkan glukosa dari ibu, sedangkan
insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun (Iswanto,
2012).
Menurut Iswanto (2012), terdapat 4 kelompok besar bayi neonatal yang
secara patofisiologik mempunyai resiko tinggi mengalami hipoglikemia yaitu :
1. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita diabetes melitus atau menderita
diabetes selama kehamilan dan bayi yang menderita penyakit eritroblastosis
fetalis berat, bayi demikian cenderung menderita hiperinsulinisme.
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah yang mungkin mengalami malnutrisi
intrauterin, yang mengakibatkan cadangan glikogen hati dan lemak tubuh
total menurun. BBLR yang termasuk rawan adalah bayi kecil menurut usia
kehamilan, salah satu bayi kembar yang lebih kecil berat badan berbeda 25%
atau lebih, berat badan lahir kurang 2000 gr bayi yang menderita polisitemia,
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita toksemia dan bayi dengan
plasenta yang abnormal, terutama sangat peka dan mudah terkena gangguan
ini. Faktor-faktor lain yang juga berperan akan timbulnya hipoglikemia pada
kelompok ini mencakup respon insulin yang tidak normal, gangguan
glikoneogenesis, asam lemak bebas yang rendah, rasio berat otak atau hati
yang meningkat, kecepatan produksi kortisol yang rendah dan mungkin kadar
insulin yang meningkat serta respon keluaran epinefrin yang menurun.
3. Bayi yang sangat imatur (kecil) atau yang sedang sakit berat dapat menderita
hipoglikemia karena meningkatnya kebutuhan metabolisme yang melebihi
cadangan kalori, dan bayi dengan berat badan lahir rendah yang menderita
sindrom gawat nafas, asfiksia perinatal, polisitemia, hipotermia dan infeksi
sistemik dan bayi yang mengalami kelainan jantung bawaan sianotik yang
menderita gagal jantung.
4. Pada bayi yang menderita kelainan genetik atau gangguan metabolisme
primer (jarang terjadi) seperti galaktosemia, penyakit penyimpanan glikogen,
intoleransi fruktosa, propionat asidemia, metilmalonat asidemia, tirosinemia,
penyakit sirop mapel, sensitivitas leusin, insulinoma, nesidioblastosis sel beta,
hiperplasia fungsional sel beta fungsional, panhipopituitarisme dan sindrom
beckwit serta bayi raksasa.

D. TANDA DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA


Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu
gejala yang berasal dari sistem saraf autonomi dan gejala yang berhubungan
dengan kurangnya suplai glukosa pada otak. Pada neonatus gejala hipoglikemia
tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis, hipotonia,
iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan pucat
(Sihombing, 2013).

E. TIPE-TIPE HIPOGLIKEMIA
Menurut Vera (2013), tipe hipoglikemia digolongkan menjadi beberapa jenis
yakni :
1. Transisi dini neonatus (Early transitional neonatal )
Ukuran bayi yang besar ataupun normal yang mengalami kerusakan
sistem produksi pankreas sehingga terjadi hiperinsulin.
2. Hipoglikemia klasik sementara (Classic transient neonatal)
Terjadi jika bayi mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan
cadangan lemak dan glikogen.
3. Hipoglikemia sekunder (Secondary)
Sebagai suatu respon stress dari neonatus sehingga terjadi peningkatan
metabolisme yang memerlukan banyak cadangan glikogen.
4. Hipoglikemia berulang (Recurrent)
Disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis, atau metabolisme insulin
terganggu.

F. PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIA

G. PENATALAKSANAAN HIPOGLIKEMIA
Menurut Iswanto (2013), penatalaksanaan untuk hipoglikemia pada neonatus
adalah sebagai berikut :
1. Beri air gula kira-kira 30 cc satu kali pemberian dan observasi keadaannya.
2. Pertahankan suhu tubuh dengan cara membungkus bayi dengan kain hangat,
jauhkan dari hal-hal yang dapat menyerap panas bayi.
3. Segera beri ASI (Air Susu Ibu).
4. Observasi keadaan bayi, yaitu tanda-tanda vital, warna kulit, reflek dan
tangisan bayi.
5. Bila tidak ada perubahan selama ± 24 jam dalam gejala-gejala tersebut segera
rujuk ke rumah sakit.

Menurut Iswanto (2013) jika ditemukan masalah seperti berikut


penatalaksanaanya adalah :
1. Glukosa darah <25 mg/dl (1,1 mmol/l) atau terdapat tanda hipoglikemia,
maka
a. Pasang jalur IV, berikan glukosa 10% 2 ml/kg BB secara pelan dalam 5
menit.
b. Infus glukosa 20% sesuai kebutuhan rawatan.
c. Periksa kadar glukosa darah 1 jam setelah bolus glukosa dan kemudian 3
jam sekali
d. Jika kadar glukosa darah masih <25 mg/dl (1,1 mmol/l) ulangi pemberian
air gula dan lanjutkan pemberian infus.
e. Jika kadar glukosa darah 24-25 mg/dl (1,1-2,6 mmol/l) lanjutkan infus
dan ulangi pemeriksaan kadar glukosa setiap 3 jam sampai kadar glukosa
45 mg/dl (2,6 mmol/l) atau lebih.
f. Jika kadar gluosa darah 45 mg/dl (2,6 mmol/l) atau lebih dalam dua kali
pemberian berturut-turut lanjutkan infus glukosa.
g. Anjurkan ibu menyusui, bila bayi tidak menyusu berikan ASI peras
dengan menggunakan sendok.
h. Bila kemampuan minum bayi meningkat, turunkan pemberian cairan
infus setiap hari secara bertahap, jangan menghentikan infus glukosa
secara tiba-tiba.

2. Glukosa darah 25-45 mg/dl (1,1- 2,6 mmol/l) tanpa tanda hipoglikemia.
a. Anjurkan ibu menyusui, bila bayi tidak menyusu berikan ASI peras
dengan menggunakan sendok.
b. Pantau tanda hipoglikemia dan bila dijumpai tanda – tanda hipoglikemia
tangani dengan cara :
1) Pasang jalur IV, berikan glukosa 10% 2 ml/kg BB secara pelan
dalam 5 menit.
2) Infus glukosa 20% sesuai kebutuhan rawatan.
3) Periksa kadar glukosa darah dalam setiap 3 jam atau sebelum
pemberian minum berikutnya.
4) Jika kadar glukosa darah masih <25 mg/dl (1,1 mmol/l) atau terdapat
tanda hipoglikemi maka lanjutkan infus dan pemberian air gula .
5) Jika kadar glukosa darah masih antara 25-45 mg/dl (1,1- 2,6 mmol/l)
naikkan frekuensi pemberian ASI atau naikkan volume pemberian
minum dengan menggunakan sendok.
6) Jika kadar glukosa darah 45 mg/dl (2,6 mmol/l) atau lebih, turunkan
pemberian infus secara bertahap setiap hari dan anjurkan ibu untuk
menyusui bayinya secara on demand.

H. TATALAKSANA PEMBERIAN ASI PADA BAYI HIPOGLIKEMIA


Menurut Sihombing (2013), tata laksana pemberian ASI pada bayi baru lahir
dengan hipoglikemia antara lain :
1. Hipoglikemia asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)
a. Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar
glukosa darah. Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau
beri 3-10 ml ASI perah tiap kg berat badan bayi, atau berikan
suplementasi (ASI donor atau susu formula).
b. Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya
sampai kadarnya normal dan stabil.
c. Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya,
hindari pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa
intra vena. Pada beberapa bayi yang tidak normal, diperlukan
pemeriksaan yang seksama dan lakukan evaluasi untuk mendapatkan
terapi yang intensif.
d. Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah
terapi glukosa intra vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah.
e. ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan
konsentrasi glukosa intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah.
f. Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah,
konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi
(misalnya respon dari terapi yang diberikan).

2. Hipoglikemia simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa


plasma < 20-25 mg/dL atau < 1,1 – 1,4 mmol/L.
a. Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 ml tiap
kilogram berat badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian
glukosa 10% intra vena dengan kecepatan (glucose infusion rate atau
GIR) 6-8 mg tiap kilogram berat badan tiap menit.
b. Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, pertahankan kadar
glukosa bayi yang simtomatik pada >45 mg/dL atau >2.5 mmol/L.
c. Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa darah yang
didapat.
d. Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi
hipoglikemia menghilang.
e. Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat
penurunan pemberian glukosa intra vena secara bertahap (weaning)
sampai kadar glukosa darah stabil pada saat tidak mendapat cairan
glukosa intra vena. Kadang diperlukan waktu 24-48 jam untuk mencegah
hipoglikemia berulang.
f. Lakukan pencatatan manifasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining
glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi
klinik (misal respon dari terapi yang diberikan).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

Anda mungkin juga menyukai