Mind Reader
Mind Reader
TANGAN manusia.
Atau apa yang tersisa dari tangan manusia.
Sambil memekik tertahan, Ellie melompat.
Itu bukan tangan, ia mencoba meyakinkan dirinya. Yang
ditemukannya tadi juga bukan tulang kaki. Ini salah satu visiku. Atau
pikiranku mengelabuiku karena keadaan sudah gelap dan kami berada
di dekat pemakaman.
Chaz mendengking. Tatapan Ellie beralih dari tulang itu ke
anjingnya. Dan kembali ke tulang itu lagi.
Ia tidak berkhayal.
Ellie menarik napas dalam-dalam. Ia berjongkok dan
mengamati lebih cermat tulang-tulang yang membentuk tangan itu.
Semuanya asli.
Itu artinya ia berdiri di atas kuburan seseorang. Ada orang yang
dikuburkan di hutan ini.
Ellie tersengal-sengal dan terantuk-antuk mundur. Dengan
jantung berdebar-debar kencang, ia berlari menembus pepohonan
pinus dan ek.
Ia harus keluar dari hutan ini.
Ia harus lari dari siapa pun—atau apa pun—yang dikubur di
sana tadi.
Ellie berlari, cabang-cabang pohon melecuti badannya. Ia
meloncat menyeberangi kali.
"Chaz! Ayo!" panggil Ellie. Labrador itu menerobos semak dan
berlari di sampingnya.
Jalan pintas ke jalan melalui Pemakaman Fear Street.
Jantungnya berdetak kencang. Pelipisnya berdenyut-denyut. Chaz
melompat dan menyalak riang di kakinya, ekornya bergoyang-goyang.
Anjing goblok, pikirnya. Kau tak sadar ya, baru saja menggali
tangan orang?
Ketika ia menginjakkan kaki di jalan, ada mobil melaju ke
arahnya. Ellie mengangkat pandangan dan mengenali mobil Geo biru
kecil Patty Jacquet. Frank Schuler duduk di sampingnya.
"Hei...!" teriak Ellie, melambai-lambai untuk menarik perhatian
mereka.
Geo itu menepi. Patty menurunkan kaca jendelanya. "Ellie?
Ada apa?"
Terdengar suara cekikikan dari kursi belakang. Joel dan Anna
berdesak-desakan di satu sisi.
"Kau bisa mengantarku ke kantor polisi?" tanya Ellie.
Frank mencondongkan badannya. "Polisi? Hah? Apa
masalahnya?"
"Kurasa aku menemukan mayat!" Ellie membuka pintu
belakang, lalu ia dan Chaz berjejalan masuk.
"Apa?" seru Frank, berbalik di kursi depan supaya bisa
melihatnya. Rambutnya pirang pendek dan matanya biru muda.
"Mayat di pemakaman?"
"Bukankah memang sudah semestinya di situ?" canda Anna. Ia
naik ke pangkuan Joel supaya ada tempat lowong.
"Aku... aku serius!" Ellie tergagap. "Aku melihat tulang
tangan!" serunya terengah-engah. "Terkubur di hutan di samping
pemakaman!"
Patty dan Anna memandangi Ellie, mengamatinya. Wajah Ellie
merah padam. Jantungnya masih berdegup kencang.
"Ih, jijik," kata Patty akhirnya, sambil menyibakkan rambut
pirangnya.
"Mungkin itu kuburan tua," kata Frank serius.
Ellie mencengkeram kalung Chaz. Ia mendengar keraguan
dalam suara Frank. Tadi mestinya ia memang tidak usah
menceritakannya pada mereka. Ia tidak begitu mengenal anak-anak
ini. Sekarang mereka pasti menganggapnya gila. Persis seperti anak-
anak di sekolahnya yang dulu.
"Apa pun itu, kurasa aku harus melaporkannya," kata Ellie.
"Kau bisa mengantarkan aku ke polisi?"
"Ya. Tentu," jawab Patty, mengemudikan mobil di sepanjang
Fear Street. "Tak jauh dari sini." Ia melirik Ellie dari kaca spion atas.
"Tapi kau yakin yang kaulihat tadi bukan cuma tulang binatang?"
"Ya," jawab Ellie, memejamkan mata. "Tidak, aku tak tahu...
Aku tak yakin mengenai apa pun.
**********************************
"Kau menemukan tangan?" ulang Sersan Frazier, alisnya yang
tebal terangkat.
"Ya. Ke... kelihatannya seperti tangan manusia," jawab Ellie
ragu. Ia memandang jari-jarinya sendiri yang mencengkeram kalung
Chaz.
Sebelum berbicara pada sersan penjaga itu, ia tadi sudah
menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia tidak mau
polisi juga mengiranya gila. "Dan mungkin tulang kaki," ia
menambahkan.
Sersan Frazier menatapnya. Ia mengusap rambut hitamnya yang
tebal. "Tulang-tulang ini melekat ke sesuatu?"
"Saya tak yakin," jawab Ellie. "Chaz yang menemukannya.
Anjing saya. Dia menggali-gali dan..." Suaranya menghilang.
Kenapa dia memandangiku seperti itu? Dia tak percaya padaku?
"Oke. Kami akan memeriksanya," kata petugas itu, menarik
selembar formulir dari laci mejanya. "Biar kucatat nama dan
alamatmu untuk laporan ini."
"Ellie Anderson, Raintree Lane Nomor 1201."
"Pekerjaan?"
"Saya murid Shadyside High."
Si sersan menudingkan penanya ke wajah Ellie. "Dan ini bukan
semacam permainan adu keberanian, kan? Semacam lelucon konyol?
Aku tahu kalian kadang-kadang bisa brengsek sekali."
Ellie menggeleng. "Bukan."
Polisi itu menghela napas. "Baiklah. Kau akan kuhadapkan
pada Letnan Wilkins. Tapi kalau ini bukan sungguhan, sebaiknya
kaukatakan padaku sekarang. Wilkins tak punya selera humor."
Ellie menelan ludah. "Ini bukan lelucon. Saya harap begitu."
Ketika memasuki ruang kerja kecil itu, Ellie segera mengenali
Letnan Wilkins. Ia ayah Sarah. Sesaat ia lupa orang itu perwira polisi.
Ia dan Sarah punya mata cokelat tajam dan kulit warna gelap yang
sama. Tapi rambut letnan itu hampir semuanya sudah beruban, dan
kerut-kerut dalam menghiasi wajahnya.
"Kau Ellie, kan? Teman Sarah," kata letnan itu.
Ellie mengangguk sambil duduk. Chaz duduk di atas kakinya,
meletakkan kepalanya di antara kedua kaki depannya, dan
memejamkan mata.
Wilkins memandang formulir yang diserahkan sersan tadi
padanya. "Tulang manusia?" tanyanya, mengalihkan pandangannya
pada Ellie.
"Saya rasa," jawab Ellie. "Mula-mula Chaz membawa pada
saya sepotong tulang yang panjang. Lalu dia lari masuk ke hutan. Dia
menggali gundukan tanah. Hampir seperti ku..."—suaranya bergetar—
"ku-buran."
Wilkins mengangguk serius.
Dia percaya padaku, pikir Ellie, merasa semua ototnya mulai
mengendur.
Letnan Wilkins bangun. Ia lebih tinggi daripada yang diingat
Ellie. "Ayo kita periksa. Aku akan membawa beberapa polisi
berseragam untuk pergi bersama kita. Sekarang sudah gelap.
Menurutmu kau bisa menemukannya lagi?"
"Saya rasa."
Ellie mengikuti pria itu keluar kantor. Apakah benda itu masih
ada di sana? ia bertanya-tanya sendiri. Apakah apa saja masih di sana?
Ketika mereka sampai di pemakaman, Ellie melepaskan tali
Chaz. Anjing itu berlari di samping pemakaman dan masuk ke hutan.
Ellie mengejarnya, Letnan Wilkins dan dua polisi mengikuti dari
belakang. Senter mereka menyoroti tanah yang tertutup dedaunan.
Bulan pucat tampak tinggi di atas pepohonan yang bergerak-
gerak. Angin sepoi-sepoi yang pelan dan mantap membawa wangi
pekat musim gugur.
Dengan mudah Ellie menemukan batunya tadi. ''Chaz mula-
mula membawa pada saya tulang yang panjang." Ia berputar dan
menyorotkan senter yang mereka berikan padanya, mencari-cari
tulang itu di tanah. "Itu."
Wilkins membungkuk untuk mengamatinya. "Itu bukan tulang
rusa," katanya muram. Ia menoleh memanggil polisi yang mengintip
dari belakangnya. "Simpan untuk bukti."
"Sekarang ke mana?" tanyanya pada Ellie, ia berdiri tegak lagi.
Ekspresinya suram.
"Mm..." Ellie memandang ke arah kali kecil. "Saya rasa saya
menyeberang di sana. Tapi saya tak yakin, karena tak ada jalan
setapaknya."
"Kita cari sampai ketemu." Letnan Wilkins tersenyum tipis
untuk membangkitkan semangatnya.
Ellie memimpin mereka ke pinggir kali dan menyeberanginya.
Cahaya terang senter menari-nari di pepohonan, membuat semuanya
tampak hidup.
Aku tersesat, pikir Ellie. Ia gemetar di udara malam yang sejuk.
"Kita sudah selesai di sini?" ia mendengar salah seorang polisi
bergumam setelah mereka berdiri di satu tempat selama beberapa
menit.
Letnan Wilkins mengangkat tangannya. "Belum."
"Coba kita. matikan senternya, usul Ellie. "Mungkin saya bisa
melihat lebih baik dengan cara begitu." Sementara matanya
menyesuaikan diri, ia berjongkok dan memandang ke semak-semak
yang berbayang-bayang. Ia bisa melihat ranting-ranting yang tadi
dipatahkannya.
"Di sana," bisik Ellie. Duri-duri menyangkut di pakaiannya
ketika ia melewati semak blackberry liar.
Kumpulan pinus tadi! Jantung Ellie mulai berdegup kencang.
Sambil bergerak pelan, ia mengamati tanah, mencari tempat
yang digali Chaz. Bukankah gundukannya di tengah-tengah kumpulan
pinus itu? Tanah yang tertutup jarum-jarum pinus itu tampaknya tidak
habis diinjak orang.
Tidak ada kuburan dangkal yang tertutup daun. Tidak ada
tulang.
Ellie merasa perutnya mulas karena cemas. Ternyata itu tadi
visi.
Bukan betulan. Cuma salah satu visinya.
Ellie terus memandangi tanah. Ia tidak mau melihat ayah Sarah
atau kedua polisi lainnya itu. Ia bisa merasakan tatapan ragu mereka di
punggungnya.
Apa yang bisa dikatakannya pada mereka? "Maaf. Saya cuma
bermimpi tentang tulang tangan itu." Bagaimana mengatakannya?
Salak tajam Chaz di sebelah kirinya membuat Ellie terlonjak
dan berpaling.
Lalu, diterangi cahaya keperakan bulan, ia melihatnya.
Tangan yang abu-abu, tinggal tulang, mencuat dari dalam tanah.
Jari-jarinya yang kurus menekuk seperti cakar.
Memanggil Ellie.
Chapter 3
TIDAK! Jangan!
Aku tak mau mati seperti ini.
Di air yang gelap.
Dengan menggunakan tenaga terakhirnya, Ellie menendang
kuat-kuat—dan merasa kakinya dilepaskan.
Ia mengangkat tangannya dan meluncur ke atas.
Yes. Yes!
Naik sekarang. Menembus air sedingin es. Ia membuka mata,
dan memandang ke dalam air.
Ketika muncul di permukaan, ia segera menghirup udara
banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang serasa terbakar. Ia
terbatuk-batuk hebat.
Di atasnya, Chaz menyalak-nyalak dari kano. Ellie
mengulurkan tangan dan mencengkeram pinggir kano dengan satu
tangan, sambil masih berusaha menenangkan napasnya.
Brian? Mana dia?
Air mengalir di wajahnya. Ia memicingkan mata memandang
kano.
Topi Cubs biru dan merah Brian tergeletak di lantai kano. Chaz
berdiri di dekatnya, menyalak-nyalak ribut.
Mana Brian?
Rasa panik menyesakkan dadanya. Ellie cepat-cepat mengusap
air dari matanya, menyibakkan rambutnya, matanya mencari-cari ke
danau.
Ia mendengar teriakan tidak jauh dari tempatnya. Ia menoleh ke
belakang, dilihatnya ada perahu berayun-ayun di air, meluncur cepat
ke arahnya.
Nelayan yang dilihatnya tadi. Ia mendayung kuat-kuat, datang
untuk menyelamatkannya.
Tapi mana Brian?
"Brian! Brian!" Ellie mulai berenang berputar, memanggil-
manggil nama Brian. Ia berenang beberapa meter dari kano, takut
pergi terlalu jauh.
Ia tersentak ketika melihat Brian. Cowok itu mengambang
tertelungkup di air. Kedua lengannya terkulai lemas di permukaan air.
Ellie cepat-cepat berenang mendekatinya, dan dengan
menggunakan pegangan untuk menyelamatkan orang tenggelam, ia
menarik Brian supaya tertelentang.
Apakah dia bernapas? Apakah dia masih hidup?
Ya!
Tapi matanya terpejam dan wajahnya pucat pasi.
Perahu nelayan itu mengitari kano dan bergerak mendekat.
"Sebelah sini!" teriak Ellie. "Cepat! Sebelah sini!"
"Aku melihatmu!" teriak nelayan itu, mendekati mereka. "Hari
yang cerah untuk berenang!"
******************************
Ellie berlutut di tanah dan membungkuk di atas Brian. "Kau
baik-baik saja? Kau kelihatan agak lebih baik. Mukamu sudah tak
pucat lagi."
Brian terbatuk. "Aku tak apa-apa. Masih pusing sedikit. Dan
kedinginan." Sekujur tubuhnya gemetaran di balik kain terpal yang
diselimutkan nelayan itu di tubuhnya.
"Aku juga kedinginan," kata Ellie, gemetar.
"Mana Raphe?" tanya Brian. Nelayan itu sudah
memperkenalkan diri sebagai Raphe.
"Pergi mengambil mobilnya. Dia akan mengantarkan kita
pulang."
"Kencan pertama yang hebat," gumam Brian.
"Lama juga kau pingsan," Ellie memberitahu. "Tapi Raphe
membuatmu siuman."
"Dia menyelamatkan nyawaku," kata Brian lirih, matanya
masih nanar.
"Sebetulnya, Chaz yang menyelamatkan nyawa kita berdua,"
kata Ellie. "Raphe mendengar Chaz ribut menggonggong-gonggong.
Itu sebabnya dia jadi tahu ada yang tak beres."
""A... apa yang terjadi?" tanya Brian lemah, badannya gemetar
hebat di balik terpal. "Maksudku, aku melihatmu jatuh dan..."
Suaranya menghilang.
"Aku tak tahu pasti," jawab Ellie dengan suara bergetar. "Aku
jago berenang. Tapi sesuatu..."
"Aku takut sekali," potong Brian. "Kau tenggelam, dan tak
muncul-muncul. Aku jadi panik. Aku terjun menyusulmu."
Ia terbatuk-batuk, memejamkan mata sampai batuknya berhenti.
Lalu ia melanjutkan, "Airnya dingin sekali. Dan begitu gelap. Aku tak
bisa melihatmu. Kurasa aku menyelam terlalu dalam atau bagaimana.
A... aku mencengkeram sesuatu. Aku bergerak menarik diriku ke
atas."
Kau mencengkeram pergelangan kakiku! pikir Ellie.
Brian, kau tak menyadarinya, tapi kau menarikku ke bawah.
"Tapi aku terlalu banyak menelan air," lanjut Brian dengan
parau. Ia mengulurkan tangannya dan memegang tangan Ellie dengan
lemah. Tangannya sedingin es seperti tangan Ellie juga. "Aku tak bisa
melihat. Aku naik ke permukaan. Kukira kau ada di sana bersamaku.
Aku mencoba menarikmu ke atas. Tapi... aku pingsan, kurasa. Lalu
kau menyelamatkan aku."
Ellie menatapnya, gemetaran.
Jari-jari Brian yang dingin memegangi Ellie lebih erat. Brian
bangun dan mencium pipi Ellie sekilas. Ellie memalingkan muka
untuk mencium Brian.
Bibir Brian terasa lembut. Lembut dan dingin.
Lalu cowok itu berbaring lagi di tanah. "Wah, aku capek
sekali," bisiknya, kelopak matanya setengah terpejam. "Terima kasih
karena kau sudah menyelamatkanku, Ellie," katanya serak. "Biarpun
mestinya aku yang menyelamatkanmu."
"Hah? Menyelamatkan aku?" Ellie menatapnya. "Apa
maksudmu, Brian?"
Cowok itu tidak menjawab.
"Apa maksudmu?" ulang Ellie melengking. "Apa maksudmu,
kau mestinya menyelamatkanku?"
Brian sudah tertidur. Ellie memandanginya, mengamati
wajahnya. Napasnya tenang dan teratur. Cowok itu tampak seperti
anak kecil, tidurnya begitu damai.
Kami baik-baik saja, pikir Ellie bersyukur. Kami berdua baik-
baik saja.
Dengan bahagia, diremasnya tangan Brian.
"Ummm." Brian menghela napas, tersenyum dalam tidurnya.
Ellie membungkuk dan mencium pipi Brian dengan lembut.
Bibir Brian bergerak. "Melinda," gumamnya lirih.
Chapter 15
ELLIE terkesiap.
"Kenapa, Ellie?" desak Brian sambil melompat bangun dari
kursi dan bergerak cepat mendekati Ellie.
Ellie berbalik dan melesat ke pintu depan.
Brian menubrukkan badannya ke badan Ellie. Ellie jatuh
berdebam menghantam pintu, membuat pintu itu tertutup.
Ellie mencoba menjerit. Tapi Brian membekap mulutnya rapat-
rapat.
Brian menekan Ellie ke pintu, napasnya terengah-engah,
wajahnya dekat sekali dengan wajah Ellie. "Kenapa, Ellie? Kenapa?"
Ellie bisa merasakan napas Brian yang panas di pipinya.
Ellie berhenti meronta-ronta. Brian terlalu kuat. Ellie tidak akan
bisa melepaskan diri.
"Kalau kulepaskan tanganku dari mulutmu, kau mau berjanji
takkan berteriak?" tanyanya dengan berbisik parau.
Ellie mengangguk.
Perlahan-lahan Brian mengangkat tangannya.
Ellie menarik napas dalam-dalam. "Aku tak tahu pisau apa yang
kaumaksud!" teriaknya terengah-engah, mengulur-ulur waktu. "Yang
kaubawa waktu piknik?"
Brian menggeleng, mulutnya berkerut marah. Matanya yang
kelam menatap Ellie tajam. "Pisau yang tersembunyi di bawah pohon
ek itu," katanya.
"Oh!" Ellie berseru kaget. Bagaimana Brian bisa tahu tentang
pisau yang terkubur itu?
Cuma ada satu jalan. Ia yang menguburnya.
Brian memeganginya dan mengunci pintu, memasang gerendel.
Aku terkurung, pikir Ellie, sekujur tubuhnya tegang karena
takut.
"Kau yang membunuhnya, kan?" teriaknya parau. "Dan
memendam pisau itu di bawah pohon ek." Kata-kata itu meluncur dari
mulutnya. Ia merasa begitu ketakutan sampai tidak sadar
mengucapkannya.
Wajah marah Brian menghilang. Matanya yang kelam tampak
kaget. "Kau tak betul-betul punya pikiran begitu, kan?" tanyanya.
Ellie balas menatap cowok itu dan tidak menjawab.
Aku sudah terlalu banyak bicara, ia memperingatkan dirinya.
Dia pembunuh. Dia membunuh Melinda. Dia bisa saja
membunuhku juga.
Cengkeraman Brian melonggar. "Ellie...," ia mulai bicara.
Ellie mengangkat kedua tangannya dan mendorong cowok itu
sekuat tenaga. Brian kaget, lalu terjengkang dan menghantam meja
kopi.
Ellie melesat melewatinya, menuju pintu belakang.
Tapi sebelum ia sampai ke ruang makan, Brian sudah
menyambar pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke sofa.
Ia jatuh di lengan sofa, mendarat keras pada bantalannya.
Sambil menggeram Brian mendudukinya, menekannya ke sofa.
"Belum, Ellie." Brian terengah-engah. "Kau harus mendengarkan aku
dulu. Baru nanti kau kulepaskan."
"Aku tak mau mendengarkanmu!" teriak Ellie marah. "Aku tak
mau mendengarkan semua kebohonganmu. Karena cuma itulah yang
kaukatakan padaku! Kau bukan Brian Tanner.Kau Brett Hawkins. Kau
pacar Melinda. Kau membunuhnya!"
Ellie melayangkan kepalan tangannya.
"Ellie, stop!" Brian melindungi mukanya dengan lengannya.
"Berhenti, nanti kuceritakan semuanya padamu. Paling tidak kau ingin
tahu, kan?"
Ellie berhenti meronta. "Oke."
Brian pelan-pelan bangun.
Ellie cepat-cepat duduk, merapikan rambutnya yang kusut. Ia
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan,
menunggu jantungnya berhenti berdebar-debar.
Brian bersandar dengan tegang di sofa dan memandangi
tangannya sendiri. Rambut merahnya tergerai di wajahnya, tapi ia
tidak berusaha menyibakkannya. "Kau benar," gumamnya. "Aku
memang berbohong. Aku Brett Hawkins. Dua tahun lalu Melinda dan
aku—well—sulit menjelaskannya. Kami saling jatuh cinta. Dia... akan
lari denganku. Meninggalkan Shadyside. Sayangnya..."
"Sayangnya dia berubah pikiran, dan kau membunuhnya!"
potong Ellie. "Berhentilah, Brian. Atau Brett. Atau siapa pun namamu.
Tolong. Jangan berbohong lagi."
"Ellie...," cowok itu memohon.
Ellie tidak bisa menahan diri. "Kau memanfaatkan aku untuk
mengetahui apa yang diketahui Wilkins," tuduhnya. "Kau tak sayang
padaku. Dan kau tak mau mengatakan yang sebenarnya padaku. Yang
ada dalam pikiranmu cuma bagaimana caranya supaya tak
tertangkap!"
Brian mulai memprotes. Tapi salakan ribut Chaz
menghentikannya. Brian melompat berdiri.
Ada orang yang menggedor-gedor pintu depan. "Polisi. Buka
pintu."
Ellie menjerit, "Aku di sini!"
"Diam! Itu Wilkins!" bentak Brian. Ia mengulurkan tangan
untuk membekap mulut Ellie. Tapi Ellie berjuang lari dari sofa,
mengelakkan cengkeraman Brian.
Ellie tersandung-sandung berlari ke dapur. Ia bisa mendengar
Chaz menyalak-nyalak ribut di pintu depan.
Brian mengejar Ellie. Menangkapnya.
"Tidak!" teriak Ellie. Ia menyodokkan sikunya kuat-kuat ke atas
dan mengenai tenggorokan Brian.
Cowok itu mengerang. Tangannya memegangi lehernya.
Ellie terhuyung-huyung ke pintu dapur. Jari-jarinya gemetaran
di tombol pintu, berusaha membukanya.
Di belakangnya, Brian membungkuk. Mengaduh-aduh dan
terbatuk-batuk.
Ellie membuka pintu. Tertatih-tatih berjalan ke tangga
belakang.
Ke dalam pelukan Letnan Wilkins. "Mana dia?" tanya polisi itu.
"Mana Hawkins?"
"Di dalam," sahut Ellie terbatuk-batuk, menunjuk ke dalam.
Ia berbalik dan melihat Brian di ambang pintu. "Ellie, jangan!"
teriak cowok itu, sambil masih memegangi tenggorokannya. Brian
tidak berusaha lari. Ia tidak bergerak.
Letnan Wilkins mencabut pistolnya. "Sudah lama aku
menunggu saat ini," katanya dengan suara bergetar. "Kau kutangkap,
Brett."
"Bagaimana... bagaimana Anda tahu dia di sini?" tanya Ellie
tergagap.
Letnan Wilkins menunjuk rumah sebelah. "Tetanggamu
mendengar teriakan. Seperti ada perkelahian. Dia menelepon kantor
polisi. Ketika kudengar kejadiannya di rumahmu, aku langsung tahu."
Dengan pistol masih terarah ke Brett, ia menoleh kepada Ellie.
"Kau banyak membantu. Aku sangat berterima kasih, Ellie. Kau baik-
baik saja, kan?"
Ellie mengangguk.
"Ayo, Brett," kata Letnan Wilkins pelan.
"Ku... kukira aku akan senang bisa menangkapmu. Tapi aku tak
senang. Aku cuma mual."
Ia memegang bahu Brett dengan tangannya yang satu lagi dan
mendorongnya ke halaman. Brett tidak melawan. Ketika Letnan
Wilkins mendorongnya ke mobilnya, Brett menoleh dan menatap Ellie
tajam, memandanginya sampai ia menghilang di pojok rumah.
Dengan kecapekan dan sekujur badan gemetaran, Ellie terduduk
di anak tangga paling atas dan membenamkan wajahnya ke tangannya.
"Semua sudah berlalu," gumamnya keras-keras. "Paling tidak semua
sudah berlalu."
******************************
Pukul sepuluh lebih sedikit malam itu, Ellie memutuskan untuk
mandi air panas lama-lama dan tidur lebih awal. Ketika berjalan ke
kamar mandi, ia mendengar telepon berdering di bawah. Ia mendengar
ayahnya bangun untuk mengangkatnya.
Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, mendengarkan dengan
cermat. Mungkin Sarah akhirnya balas meneleponku, pikirnya.
"Ellie?" ayahnya memanggil dari bawah. Ia berjalan ke puncak
tangga. "Itu tadi Letnan Wilkins," ayahnya memberitahu, wajahnya
tampak cemas. "Dia ingin aku mengantarkanmu ke kantor polisi. Ada
masalah."
"Hah?" Ellie terkesiap. "Masalah?"
Ayahnya mengangguk. "Ya. Wilkins bilang Brett melarikan
diri. Dia mungkin akan mendatangimu."
Chapter 18
mendekat perlahan
perlahan....