Anda di halaman 1dari 130

Chapter 1

"HAI, Sarah." Ellie Anderson menyapa sahabat karibnya dan


duduk di bangku di meja layan Alma's Coffee Shop. "Bagaimana
pekerjaanmu?"
"Hei, Ellie. Lumayan." Sarah Wilkins nyengir dan
melemparkan remah-remah pada Ellie sambil mengelap permukaan
meja dari bahan Formica pink itu. Rambut Sarah hitam pendek dan
tipis, matanya cokelat dramatis, kulitnya berwarna buah zaitun.
"Burger dan kentang goreng?"
Ellie mengusap rambut pirangnya yang panjang dan
mengerutkan hidung. "Tidak. Diet Coke saja." Ia melirik meja-meja di
belakangnya.
Sarah bersandar pada meja layan. "Aku tahu. Kau datang bukan
untuk ketemu aku. Kau datang untuk melihat-lihat cowok."
Ellie tertawa. "Ya, betul," jawabnya, sambil membelalak.
"Seperti yang tiap hari kulakukan."
"Teruslah bergaul denganku, kau takkan malu-malu lagi sama
cowok," kata Sarah. "Tapi, hari ini tak ada siapa-siapa di sini kecuali
si Yuppie Brothers." Sarah menggunakan julukannya untuk Joel
Harper dan Frank Schuyler, dua murid senior paling populer di
Shadyside High.
Ellie diam-diam menoleh untuk melihat keempat anak di meja
pojok. Mereka sedang makan sepiring besar kentang goreng yang
berlumuran saus. Joel dan Frank memakai jaket merah tua dan abu-
abu Shadyside. Tampak duduk merapat ke dinding adalah Anna Toro
dan Patty Jacquet, cewek-cewek mereka.
"Dan seperti biasa, Yuppie Brothers bersama cewek-cewek otak
udang mereka," kata Sarah menambahkan sambil mendengus
mengejek. "Cowok-cowok itu sedang menunjukkan pada mereka
bagaimana cara makan kentang goreng."
Ellie tertawa terbahak-bahak. Selera humor Sarah yang kasar
adalah salah satu alasan kenapa mereka berteman begitu akrab. Kedua
gadis itu juga punya banyak kesamaan, termasuk fakta bahwa mereka
tinggal cuma berdua dengan ayah mereka.
Ellie dan ayahnya baru saja kembali pindah ke Shadyside. Ellie
lahir di sana. Tapi ketika ia berusia dua tahun, ibunya meninggal. Ia
dan ayahnya lalu tinggal dengan kakek-nenek Ellie. Sekarang, empat
belas tahun kemudian, pekerjaan ayahnya sebagai sales membawa
mereka kembali ke Shadyside.
Ia senang bisa kembali kemari, tapi pindah sekolah sewaktu
sudah duduk di kelas dua tidaklah mudah. Sebagian besar anak-anak
di kelasnya sudah saling mengenal sejak taman kanak-kanak.
"Hei, kau menunggu aku mati kehausan dulu baru
mengambilkan Diet Coke?" tanya Ellie, menghadap ke temannya lagi.
"Ya. Ya." Sarah menyabetkan serbet ke arab Ellie. "Mungkin
kalau kau memberiku tip lebih banyak..."
Lonceng di atas pintu kedai kopi itu berkerincing. Ellie menoleh
sekilas. Seorang cowok cakep yang belum pernah dilihatnya
melangkah masuk. Matanya berwarna gelap dan rambutnya cokelat
kemerahan, panjang di atas dan pendek di samping.
Terlalu tua untuk jadi murid high school, pikir Ellie. Ia
memperhatikan pakaian cowok itu. Jaket sport yang tidak
dikancingkan di atas kemeja denim dan jins belel.
Jelas mahasiswa. Dan cowok itu bergerak dengan rasa percaya
diri yang segera membedakannya dari anak-anak lain.
"Wow!" seru Sarah ketika ia meletakkan gelas di depan Ellie.
"Siapa itu?"
Ketika duduk di meja di belakang Ellie, cowok itu melirik
kedua gadis itu. Matanya yang kelam bertemu dengan mata Ellie.
Bertemu dan menatapnya lama.
Dengan muka merah padam, Ellie berbalik lagi ke meja layan.
"Jangan memelototinya terus, Sarah. Nanti dikiranya kita naksir dia."
"Memang kok!" bisik Sarah keras-keras. Disambarnya menu
dari tempatnya. "Aku akan mencatat pesanannya." Ia berjalan
mengitari meja layan.
Ellie meneguk sodanya. Ia bisa mendengar Sarah berbicara
dengan cowok itu. Ketika menjawab, suara cowok itu terdengar
lembut dan hangat. Cowok yang asyik pikir Ellie.
Sudahlah, Ellie, katanya pada dirinya sendiri. Kau tahu betapa
pemalunya kau. Terutama pada mahasiswa. Namanya saja pun kau
takkan pernah tahu.
"Brian Tanner," kata Sarah terengah-engah sambil mengelap
meja layan.
Ellie tidak mempercayai kelakuan temannya. "Kautanyakan
namanya pada dia langsung?"
"Tentu. Aku bilang padanya untukmu."
"Apa?" Ellie merah padam, lalu sadar temannya cuma
menggodanya.
Sarah berbalik untuk mengisi gelas soda. "Aku takkan berbuat
begitu padamu—ya, kan?"
Ellie tahu temannya bisa saja berbuat begitu. Dengan perasaan
malu, Ellie duduk menunduk di meja layan, membiarkan rambut
panjangnya yang pirang seperti madu menutupi wajahnya. Biarpun
memunggungi cowok itu, Ellie bisa merasakan tatapan matanya yang
kelam serasa menembus punggungnya.
Kau mimpi, Ellie, pikirnya. Dia tak mengamatimu. Dia sedang
membaca menu.
Saat itu juga ia merasakan keinginan yang tidak terkendali
untuk keluar dari sana. Ia melompat turun dari bangku. Merogoh
kantong jinsnya dan mengeluarkan dua lembar uang yang sudah lusuh.
Sambil meneriakkan selamat tinggal pada Sarah, ia menyambar
ranselnya dan bergegas ke pintu, lonceng berkerincing di
belakangnya.
Begitu sampai di trotoar, Ellie segera berlari. Ia melewati
jendela tempat cowok itu duduk dan terus berlari sampai ia tidak bisa
lagi melihat kedai kopi itu.
Dengan napas megap-megap, ia memelankan larinya.
Apa-apaan kelakuanku tadi? pikir Ellie heran. Ia memang selalu
malu berhadapan dengan cowok. Tapi ia tidak pernah merasa sampai
ingin lari begini.
Ada yang jelas-jelas menyuruhnya pergi. Aneh, pikir Ellie.
Benar-benar aneh.
Ketika Ellie masuk ke rumah, anjing Labrador-nya yang hitam
besar, Chaz, menyambutnya sambil mendengking-dengking gembira.
Ekornya menampar-nampar kusen pintu, dan anjing itu bergoyang-
goyang kegirangan ketika mendorong Ellie kembali ke tangga depan.
"Baik, baik." Ellie tertawa. "Kurasa kau ingin keluar!"
Dilemparkannya ranselnya ke ruangan depan dan dilepaskannya tali
Chaz dari sangkutan. Lalu ia membanting pintu dan lari mengejar
anjing itu di sepanjang trotoar.
Hari sudah sore, musim gugur yang cerah dan sejuk. Daun-daun
mulai berganti warna. Ellie menoleh ke rumah barunya: Raintree Lane
Nomor 1201. Bukan tempat yang jelek, pikirnya.
Biarpun rumah-rumah mungil bertingkat dua di jalan itu mirip,
semuanya bersih dan rapi. Peningkatan jauh dari rumah kakek-
neneknya. Rumah pertanian tiga tingkat yang sudah bobrok dengan
cat terkelupas di sana-sini dan papan lantai yang berderak-derak.
Sambil berlari-lari pelan, Ellie berbelok ke Hawthorne Drive.
Chaz lari di depan, sibuk mengendus-endus batang-batang pohon
dengan gembira. Ellie bersiul memanggil anjing itu, lalu memotong
jalan lewat Park Drive menuju Fear Street.
Seekor bajing cokelat yang gendut lari melesat di bawah semak.
Sambil menyalak keras, Chaz mengejarnya, bulunya yang hitam
berkilauan diterangi cahaya matahari yang mulai terbenam.
"Hei, Chaz! Sini!" Tanpa sadar, Ellie mengikuti anjing itu ke
Fear Street. Karena asyik mengejar bajing, Chaz lari ke Fear Street
Woods.
"Chaz! Hei! Hei, berhenti!"
Ketika Ellie akhirnya bisa menangkapnya, anjing itu sudah lupa
pada bajing tadi dan asyik bermain air di kali kecil. Airnya jadi
kecokelatan karena diinjak-injaknya.
Ellie menemukan sebongkah batu besar.
Ia duduk dan bersandar pada permukaannya yang berlumut.
Mata kelam Brian Tanner terlintas di pikirannya. Ia ingin tahu apakah
akan bertemu dengan cowok itu lagi.
Bukannya ia ingin sekali punya pacar. Tidak setelah apa yang
terjadi tahun lalu.
Ellie menghela napas dan memejamkan mata. Ia takkan pernah
melupakan tahun awal sekolahnya di Fairfield High. Dan cinta
pertama dalam hidupnya, Tommy Wheaton.
Tommy cowok luar biasa. Tapi Ellie mengacaukan semuanya.
Ia mencoba tidak memikirkan mengapa mereka putus.
Aku tak bisa berbuat lain! ia ingin berteriak begitu. Semuanya
gara-gara visiku!
Dalam visi itu—yang tampak begitu jelas dalam pikirannya—
Ellie melihat Tommy mencium sahabat karibnya, Janine. Bayangan
itu begitu kuat, begitu tegas, sehingga Ellie mempercayainya.
Ia mengkonfrontasi Tommy dan Janine. Ia menuduh mereka
berhubungan di balik punggungnya.
Mereka membantahnya. Mereka pernah berciuman sekali, di
suatu pesta. Tapi itu sebelum Tommy dan Ellie mulai pacaran. Dan
tidak pernah terulang lagi. Tapi Ellie terus melihat visi itu. Ia tidak
bisa menghilangkan pikiran bahwa ada apa-apa di antara mereka. Ia
juga tidak bisa mempercayai mereka lagi.
Tommy putus dengannya. Janine bilang Ellie sudah gila dan
tidak pernah bicara dengan Ellie lagi.
Gila. Mungkin aku memang gila, pikir Ellie muram. Disebut
apa lagi orang yang punya visi? Visi yang hampir selalu benar?
Sejauh yang bisa diingatnya, Ellie bisa meramalkan kejadian-
kejadian yang akan datang. Mula-mula semua itu terasa
menyenangkan.
Ia sudah tahu apa yang akan dimasak neneknya untuk makan
malam bahkan sebelum sang nenek mulai memasak. Kadang-kadang
ia mengejutkan kakeknya dengan naik ke mobil lama sebelum sang
kakek mengajaknya jalan-jalan ke kota.
Tapi ketika ia punya visi anjing cocker spaniel-nya, Jake,
tertabrak mobil, visi-visi itu tidak lagi terasa menyenangkan. Waktu
itu Ellie berumur sembilan tahun. Ia memohon kakek-neneknya
supaya mengikat Jake sewaktu ia sekolah.
Aku tak bisa membiarkan visi ini jadi kenyataan, katanya dalam
hati.
Suatu siang Jake memutuskan talinya.
Ketika turun dari bus sekolah hari itu, Ellie menemukan
anjingnya tergeletak di pinggir jalan, mati. Ditabrak mobil.
"Aku benci visiku!" ratap Ellie, air mata mengalir di pipinya.
"Aku benci! Aku benci! Kenapa aku tak bisa seperti orang lain?"
Tapi Ellie memang tidak seperti orang lain. Setiap kali dekat
dengan seseorang, setiap kali mulai menyukai seseorang, ia akan
melihat visi tentang orang itu.
Setelah Tommy Wheaton putus dengannya, Ellie bertekad tidak
akan menyerah pada kekuatannya lagi. Dan tidak akan pernah
membiarkan dirinya dekat dengan seseorang lagi.
Guk!
Salakan yang tertahan menyentakkan Ellie dari pikirannya yang
kacau. Chaz berdiri di atasnya, sepotong tulang di mulutnya.
"Apa yang kaudapat?" tanya Ellie, sambil menghela dirinya
sendiri bangkit.
Chaz mendengking.
Ellie melompat berdiri dan membersihkan bagian belakang
jinsnya. "Baik. Aku Sudah lihat itu tulang yang sangat besar."
Ellie membungkuk untuk mengamatinya.
Tulang itu panjang dan kurus. Terlalu panjang untuk jadi tulang
kaki rusa.
Ketika menegakkan tubuh, ia baru sadar betapa gelapnya hutan
sekarang. "Ayo, Chaz," desaknya, tiba-tiba ia merinding. "Buang
tulang itu. Ayo kita pulang."
Ia berjalan ke arah Fear Street, menginjak dedaunan kering
yang bergemeresik. Sambil melirik ke belakang, ia melihat Chaz
meletakkan tulang itu, menyalak ribut, dan lari kembali menyeberangi
kali tadi.
"Jangan, bodoh! Ke sini!" teriaknya.
Sambil menyalak-nyalak keras, anjing itu menghilang ke dalam
hutan.
"Chaz! Cha-aaaaz!" seru Ellie tidak sabar. Lolongan aneh
anjing itu mengagetkan Ellie.
Ada yang tak beres.
"Chaz!" teriaknya ketika ia melompati kali dan masuk ke
tengah-tengah semak berduri. Anjing itu melolong lagi.
Tanaman-tanaman berduri menggores kulitnya. Ellie berjalan
melewati sekelompok pohon pinus. Ia menemukan Chaz duduk di atas
gundukan yang tertutup dedaunan. Di salah satu ujungnya tampak
seonggok tanah, tempat anjing itu menggali lubang. Dengan kepala
terangkat, Labrador hitam itu melolong lagi.
Lalu Chaz menurunkan kepalanya dan mulai menggali dengan
kalap, membuat tanah berhamburan di sekelilingnya.
"Kenapa kau?" tanya Ellie heran. Ia tidak pernah melihat
anjingnya bersikap seaneh itu. "Chaz! Stop! Stop!"
Ia membungkuk dan meraih kalung Chaz. Dengan susah payah
ditariknya anjing itu. Tapi anjing itu tidak memedulikannya, kedua
kaki depannya menghamburkan tanah basah.
"Chaz! Chaz! Ayolah...!"
Mendadak anjing itu berhenti dan duduk. Mendengking lagi.
Memandang Ellie dengan mata hitamnya.
Ellie memandang Chaz dan lubang dangkal yang baru saja
digali anjing itu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Jari-jarinya
terpaku di kalung anjing itu.
Sesuatu mencuat dari dalam tanah.
Ellie menelan ludah.
Ia berjongkok dan menyingkirkan tanah yang menutupinya.
Dan tersentak ketika melihat apa yang telah digali Chaz.
Chapter 2

TANGAN manusia.
Atau apa yang tersisa dari tangan manusia.
Sambil memekik tertahan, Ellie melompat.
Itu bukan tangan, ia mencoba meyakinkan dirinya. Yang
ditemukannya tadi juga bukan tulang kaki. Ini salah satu visiku. Atau
pikiranku mengelabuiku karena keadaan sudah gelap dan kami berada
di dekat pemakaman.
Chaz mendengking. Tatapan Ellie beralih dari tulang itu ke
anjingnya. Dan kembali ke tulang itu lagi.
Ia tidak berkhayal.
Ellie menarik napas dalam-dalam. Ia berjongkok dan
mengamati lebih cermat tulang-tulang yang membentuk tangan itu.
Semuanya asli.
Itu artinya ia berdiri di atas kuburan seseorang. Ada orang yang
dikuburkan di hutan ini.
Ellie tersengal-sengal dan terantuk-antuk mundur. Dengan
jantung berdebar-debar kencang, ia berlari menembus pepohonan
pinus dan ek.
Ia harus keluar dari hutan ini.
Ia harus lari dari siapa pun—atau apa pun—yang dikubur di
sana tadi.
Ellie berlari, cabang-cabang pohon melecuti badannya. Ia
meloncat menyeberangi kali.
"Chaz! Ayo!" panggil Ellie. Labrador itu menerobos semak dan
berlari di sampingnya.
Jalan pintas ke jalan melalui Pemakaman Fear Street.
Jantungnya berdetak kencang. Pelipisnya berdenyut-denyut. Chaz
melompat dan menyalak riang di kakinya, ekornya bergoyang-goyang.
Anjing goblok, pikirnya. Kau tak sadar ya, baru saja menggali
tangan orang?
Ketika ia menginjakkan kaki di jalan, ada mobil melaju ke
arahnya. Ellie mengangkat pandangan dan mengenali mobil Geo biru
kecil Patty Jacquet. Frank Schuler duduk di sampingnya.
"Hei...!" teriak Ellie, melambai-lambai untuk menarik perhatian
mereka.
Geo itu menepi. Patty menurunkan kaca jendelanya. "Ellie?
Ada apa?"
Terdengar suara cekikikan dari kursi belakang. Joel dan Anna
berdesak-desakan di satu sisi.
"Kau bisa mengantarku ke kantor polisi?" tanya Ellie.
Frank mencondongkan badannya. "Polisi? Hah? Apa
masalahnya?"
"Kurasa aku menemukan mayat!" Ellie membuka pintu
belakang, lalu ia dan Chaz berjejalan masuk.
"Apa?" seru Frank, berbalik di kursi depan supaya bisa
melihatnya. Rambutnya pirang pendek dan matanya biru muda.
"Mayat di pemakaman?"
"Bukankah memang sudah semestinya di situ?" canda Anna. Ia
naik ke pangkuan Joel supaya ada tempat lowong.
"Aku... aku serius!" Ellie tergagap. "Aku melihat tulang
tangan!" serunya terengah-engah. "Terkubur di hutan di samping
pemakaman!"
Patty dan Anna memandangi Ellie, mengamatinya. Wajah Ellie
merah padam. Jantungnya masih berdegup kencang.
"Ih, jijik," kata Patty akhirnya, sambil menyibakkan rambut
pirangnya.
"Mungkin itu kuburan tua," kata Frank serius.
Ellie mencengkeram kalung Chaz. Ia mendengar keraguan
dalam suara Frank. Tadi mestinya ia memang tidak usah
menceritakannya pada mereka. Ia tidak begitu mengenal anak-anak
ini. Sekarang mereka pasti menganggapnya gila. Persis seperti anak-
anak di sekolahnya yang dulu.
"Apa pun itu, kurasa aku harus melaporkannya," kata Ellie.
"Kau bisa mengantarkan aku ke polisi?"
"Ya. Tentu," jawab Patty, mengemudikan mobil di sepanjang
Fear Street. "Tak jauh dari sini." Ia melirik Ellie dari kaca spion atas.
"Tapi kau yakin yang kaulihat tadi bukan cuma tulang binatang?"
"Ya," jawab Ellie, memejamkan mata. "Tidak, aku tak tahu...
Aku tak yakin mengenai apa pun.
**********************************
"Kau menemukan tangan?" ulang Sersan Frazier, alisnya yang
tebal terangkat.
"Ya. Ke... kelihatannya seperti tangan manusia," jawab Ellie
ragu. Ia memandang jari-jarinya sendiri yang mencengkeram kalung
Chaz.
Sebelum berbicara pada sersan penjaga itu, ia tadi sudah
menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia tidak mau
polisi juga mengiranya gila. "Dan mungkin tulang kaki," ia
menambahkan.
Sersan Frazier menatapnya. Ia mengusap rambut hitamnya yang
tebal. "Tulang-tulang ini melekat ke sesuatu?"
"Saya tak yakin," jawab Ellie. "Chaz yang menemukannya.
Anjing saya. Dia menggali-gali dan..." Suaranya menghilang.
Kenapa dia memandangiku seperti itu? Dia tak percaya padaku?
"Oke. Kami akan memeriksanya," kata petugas itu, menarik
selembar formulir dari laci mejanya. "Biar kucatat nama dan
alamatmu untuk laporan ini."
"Ellie Anderson, Raintree Lane Nomor 1201."
"Pekerjaan?"
"Saya murid Shadyside High."
Si sersan menudingkan penanya ke wajah Ellie. "Dan ini bukan
semacam permainan adu keberanian, kan? Semacam lelucon konyol?
Aku tahu kalian kadang-kadang bisa brengsek sekali."
Ellie menggeleng. "Bukan."
Polisi itu menghela napas. "Baiklah. Kau akan kuhadapkan
pada Letnan Wilkins. Tapi kalau ini bukan sungguhan, sebaiknya
kaukatakan padaku sekarang. Wilkins tak punya selera humor."
Ellie menelan ludah. "Ini bukan lelucon. Saya harap begitu."
Ketika memasuki ruang kerja kecil itu, Ellie segera mengenali
Letnan Wilkins. Ia ayah Sarah. Sesaat ia lupa orang itu perwira polisi.
Ia dan Sarah punya mata cokelat tajam dan kulit warna gelap yang
sama. Tapi rambut letnan itu hampir semuanya sudah beruban, dan
kerut-kerut dalam menghiasi wajahnya.
"Kau Ellie, kan? Teman Sarah," kata letnan itu.
Ellie mengangguk sambil duduk. Chaz duduk di atas kakinya,
meletakkan kepalanya di antara kedua kaki depannya, dan
memejamkan mata.
Wilkins memandang formulir yang diserahkan sersan tadi
padanya. "Tulang manusia?" tanyanya, mengalihkan pandangannya
pada Ellie.
"Saya rasa," jawab Ellie. "Mula-mula Chaz membawa pada
saya sepotong tulang yang panjang. Lalu dia lari masuk ke hutan. Dia
menggali gundukan tanah. Hampir seperti ku..."—suaranya bergetar—
"ku-buran."
Wilkins mengangguk serius.
Dia percaya padaku, pikir Ellie, merasa semua ototnya mulai
mengendur.
Letnan Wilkins bangun. Ia lebih tinggi daripada yang diingat
Ellie. "Ayo kita periksa. Aku akan membawa beberapa polisi
berseragam untuk pergi bersama kita. Sekarang sudah gelap.
Menurutmu kau bisa menemukannya lagi?"
"Saya rasa."
Ellie mengikuti pria itu keluar kantor. Apakah benda itu masih
ada di sana? ia bertanya-tanya sendiri. Apakah apa saja masih di sana?
Ketika mereka sampai di pemakaman, Ellie melepaskan tali
Chaz. Anjing itu berlari di samping pemakaman dan masuk ke hutan.
Ellie mengejarnya, Letnan Wilkins dan dua polisi mengikuti dari
belakang. Senter mereka menyoroti tanah yang tertutup dedaunan.
Bulan pucat tampak tinggi di atas pepohonan yang bergerak-
gerak. Angin sepoi-sepoi yang pelan dan mantap membawa wangi
pekat musim gugur.
Dengan mudah Ellie menemukan batunya tadi. ''Chaz mula-
mula membawa pada saya tulang yang panjang." Ia berputar dan
menyorotkan senter yang mereka berikan padanya, mencari-cari
tulang itu di tanah. "Itu."
Wilkins membungkuk untuk mengamatinya. "Itu bukan tulang
rusa," katanya muram. Ia menoleh memanggil polisi yang mengintip
dari belakangnya. "Simpan untuk bukti."
"Sekarang ke mana?" tanyanya pada Ellie, ia berdiri tegak lagi.
Ekspresinya suram.
"Mm..." Ellie memandang ke arah kali kecil. "Saya rasa saya
menyeberang di sana. Tapi saya tak yakin, karena tak ada jalan
setapaknya."
"Kita cari sampai ketemu." Letnan Wilkins tersenyum tipis
untuk membangkitkan semangatnya.
Ellie memimpin mereka ke pinggir kali dan menyeberanginya.
Cahaya terang senter menari-nari di pepohonan, membuat semuanya
tampak hidup.
Aku tersesat, pikir Ellie. Ia gemetar di udara malam yang sejuk.
"Kita sudah selesai di sini?" ia mendengar salah seorang polisi
bergumam setelah mereka berdiri di satu tempat selama beberapa
menit.
Letnan Wilkins mengangkat tangannya. "Belum."
"Coba kita. matikan senternya, usul Ellie. "Mungkin saya bisa
melihat lebih baik dengan cara begitu." Sementara matanya
menyesuaikan diri, ia berjongkok dan memandang ke semak-semak
yang berbayang-bayang. Ia bisa melihat ranting-ranting yang tadi
dipatahkannya.
"Di sana," bisik Ellie. Duri-duri menyangkut di pakaiannya
ketika ia melewati semak blackberry liar.
Kumpulan pinus tadi! Jantung Ellie mulai berdegup kencang.
Sambil bergerak pelan, ia mengamati tanah, mencari tempat
yang digali Chaz. Bukankah gundukannya di tengah-tengah kumpulan
pinus itu? Tanah yang tertutup jarum-jarum pinus itu tampaknya tidak
habis diinjak orang.
Tidak ada kuburan dangkal yang tertutup daun. Tidak ada
tulang.
Ellie merasa perutnya mulas karena cemas. Ternyata itu tadi
visi.
Bukan betulan. Cuma salah satu visinya.
Ellie terus memandangi tanah. Ia tidak mau melihat ayah Sarah
atau kedua polisi lainnya itu. Ia bisa merasakan tatapan ragu mereka di
punggungnya.
Apa yang bisa dikatakannya pada mereka? "Maaf. Saya cuma
bermimpi tentang tulang tangan itu." Bagaimana mengatakannya?
Salak tajam Chaz di sebelah kirinya membuat Ellie terlonjak
dan berpaling.
Lalu, diterangi cahaya keperakan bulan, ia melihatnya.
Tangan yang abu-abu, tinggal tulang, mencuat dari dalam tanah.
Jari-jarinya yang kurus menekuk seperti cakar.
Memanggil Ellie.
Chapter 3

"Di sana!" teriak Ellie melengking, sambil sibuk menunjuk-


nunjuk. "Tangan itu."
Sambil mengerutkan kening, Letnan Wilkins memicingkan
mata ke arah yang ditunjuknya. "Ngomong apa dia?" Ellie mendengar
salah satu polisi itu berbisik.
Letnan Wilkins menggeleng. "Aku tak melihat apa-apa."
Ellie mengerjapkan mata. Tangan itu menghilang.
Tapi ia tadi melihatnya. Betul!
Sambil berteriak kesal, cepat-cepat ia berjalan ke antara
kumpulan pohon pinus itu. Mana dia? Mana dia? Mana?
Letnan Wilkins menyambar sikunya dan menariknya. "Ellie,
berhenti. Ada apa? Apa yang kaulihat?"
Ellie melepaskan diri dari si letnan. "Tangan itu...," gumamnya.
Mana?
Ia tadi melihat tangan itu. Memanggil dirinya.
Mana?
Ia tersandung batu besar. Jatuh berlutut.
Ketika bergerak bangun, ia melihat gundukan rendah itu. "Di
sana!" teriaknya, menunjuk. "Di sana itu!"
Ia memimpin Letnan Wilkins dan kedua polisi ke gundukan
rendah yang ditutupi dedaunan itu. Senter mereka membentuk sorotan
cahaya terang.
Mereka semua terdiam menatap tulang-tulang itu. Tulang-
tulang yang berkilauan diterangi cahaya terang benderang.
Letnan Wilkins berlutut untuk memeriksanya lebih teliti.
"Wah," kata salah seorang polisi pelan. "Itu benar-benar
tangan." Ia menoleh pada Ellie. "Bagaimana kau tiba-tiba tahu di
mana letaknya?"
Sebelum Ellie bisa menjawab, Letnan Wilkins cepat-cepat
berdiri. "Jackson, kembali ke mobil patroli dan siarkan berita ini.
Suruh mereka mengirim teknisi kejahatan kemari—sekarang juga."
"Ya, Pak." Sempat tersandung akar dahulu, lalu polisi itu pergi.
Ellie tidak bergerak. Ia cuma memandangi tangan itu.
"Barnett." Wilkins menunjuk polisi yang satu lagi. "Aku ingin
tempat ini diamankan."
"Akan segera saya laksanakan, Letnan."
"Ellie." Letnan Wilkins berjongkok supaya bisa menatap mata
Ellie. Tapi Ellie tidak bisa memfokuskan pandangannya pada Letnan
Wilkins. Yang bisa dilihatnya hanyalah tangan itu, yang mencuat,
muncul dari dalam tanah. Bergerak perlahan. Menunjuknya. Memberi
tanda padanya. Bergerak.
"Ellie!"
Kaget, Ellie mendongak cepat. "Hah?"
"Ayo kita pulang," kata Letnan Wilkins lembut. "Kami akan
mengurus masalah ini."
"Tidak!" Ia menggeleng tegas. "Saya harus melihat... melihat..."
Melihat apa? Ellie tidak tahu pasti.
"Kami akan menggali dan memeriksa daerah ini selama
beberapa jam," Letnan Wilkins memperingatkan. "Orangtuamu
bagaimana? Mereka takkan cemas?"
Ellie ragu-ragu. "Yang ada cuma Ayah dan saya. Dan malam ini
Ayah lembur."
Letnan Wilkins mengangkat bahu. "Kurasa kau boleh tetap di
sini kalau mau. Tapi kau harus menepi. Ini dianggap tempat terjadinya
kejahatan. Kelihatannya memang kuburan."
Ellie memandang tangan yang tinggal tulang itu sekali lagi
sebelum menepi. Tangan itu tergeletak begitu diam sekarang,
berlumuran tanah. Tapi tadi ia melihatnya bergerak.
Tangan itu tadi menunjuknya. Bergerak seolah-olah
memanggilnya, memanggilnya ke tempat yang gelap dan menakutkan
ini.
Ellie bergidik. Kenapa? pikirnya. Kenapa tangan itu bergerak
memanggilku?
*******************************
"Ellie!" suara Sarah membuyarkan lamunan Ellie.
Ellie mengangkat pandangannya. Temannya itu berjalan
menerobos semak. Mengenakan sweter di atas seragam pelayan-nya.
Di belakangnya berdiri segerombolan anak yang dikenali Ellie berasal
dari sekolahnya.
"Ada apa?" tanya Sarah, matanya penuh rasa ingin tahu.
Anak-anak lain berkerumun. Officer Barnett telah memasang
pita kuning melingkari gundukan itu. Letnan Wilkins, Officer
Jackson, dan dua teknisi kejahatan berdesak-desakan di dalam
lingkaran itu.
Dua belas orang yang berwajah muram lainnya mondar-mandir
di luarnya. Beberapa di antaranya membawa senter. Dua polisi
berpakaian sipil sibuk berbicara di radio mereka.
"Sarah, bagaimana kau bisa kemari?" seru Ellie. "Apa yang
kaulakukan di sini?"
"Joel dan Anna datang ke Alma dan memberitahu semua orang
kau menemukan mayat di Fear Street Woods," Sarah menjelaskan.
"Lalu kami mendengar sirene polisi. Sebelum pulang kerja, kutelepon
kantor polisi untuk bicara dengan ayahku. Sersan yang bertugas
memberitahuku dia di sini. Kupikir kau pasti juga di sini."
Ellie melirik ayah Sarah, yang sedang mengawasi dua petugas
dengan hati-hati menggali gundukan tanah rendah itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sarah.
Ellie mengangguk. "Cuma setengah mati kedinginan."
Mati. Ellie menutup mulutnya dengan tangan. "Oh, Sarah. Aku
menemukan tangan."
Sarah memeluknya. "Mereka tahu siapa dia?"
"Tidak. Ayahmu bilang untuk menggali mayatnya saja butuh
waktu semalaman. Karena itu tak ada yang tahu berapa lama lagi
waktu untuk mengidentifikasinya."
"Kau yakin itu bukan Bambi?" canda Sarah. Dalam keadaan
suram begini pun Sarah masih bisa bergurau. Tapi Ellie melihatnya
gemetaran.
Sarah tertawa tegang. "Kau mengira aku terbiasa dengan
kejadian seperti ini, sebagai anak polisi."
Kedua gadis itu menatap kuburan yang terang benderang.
Letnan Wilkins dan salah satu teknisi kejahatan masih berlutut di
atasnya. Gundukan tanah setinggi kira-kira tiga puluh senti
dionggokkan di satu sisi.
Ayah Sarah mengangkat kamera dan memotret kuburan itu
beberapa kali. Diterangi cahaya lampu kilat sekejap, Ellie melihat
seseorang berdiri terpisah dari kerumunan. Ia mengenakan topi bisbol
yang ditarik sampai kening. Dari bawah topi itu, matanya yang kelam
menatap tajam mata Ellie. Beberapa detik kemudian ia baru
mengenalinya. Brian Tanner. Cowok dari kedai kopi itu.
Brian segera mengalihkan pandangannya.
Ellie menyikut Sarah. "Sarah," bisiknya. "Itu Cowok dari
Alma's itu. Brian Tanner. Menurutmu apa yang dilakukannya di sini?"
Sarah mengangkat bahu. "Siapa yang tahu? Dia pergi begitu
kau pergi. Cokenya tak diminumnya." Ia mengerutkan kening dan
memicingkan mata memandang Ellie. "Entah kenapa aku merasa tak
asing dengan wajahnya."
"Mungkin kau pernah ketemu dia di pesta atau di mana," kata
Ellie. "Ngomong-ngomong soal pesta..." Ia memandang berkeliling.
Hutan penuh dengan orang yang berbisik-bisik dan menonton. Anna
dan Joel, Frank dan Patty, beberapa anak lain yang dikenali Ellie.
"Bisa-bisa kauanggap ini pesta, melihat sikap semua orang!"
"Hei... yang penting pesta!" Sarah bergurau.
"Betul." Ellie menurunkan tangannya untuk mengusap Chaz. Ia
memandang ke luar lingkaran pita lagi. Brian Tanner sudah tidak ada.
Aneh.
Gumaman ramai orang-orang menarik perhatian Ellie ke tengah
daerah yang dilingkari. Officer Jackson dan seorang teknisi kejahatan
berdiri di dalam lubang besar yang mereka gali. Mereka berdua
memakai sarung tangan karet.
"Saya menemukan sesuatu, Letnan," seru Jackson pada Letnan
Wilkins.
Ellie menahan napas. Sarah mencondongkan tubuh ke depan
supaya bisa melihat lebih jelas. Kerumunan di sekeliling lingkaran
jadi sepi.
Teknisi kejahatan itu mengacungkan kantong plastik. Dengan
menggunakan penjepit logam, Jackson mengambil sesuatu dari dalam
lubang.
Sebelum ia memasukkan bukti itu ke kantong plastik, Ellie
sempat melihatnya sekilas. Benda itu potongan kain merah.
Sarah terkesiap. Jari-jarinya tiba-tiba mencengkeram tangan
Ellie.
Letnan Wilkins memandang anaknya. Ellie melihat mata Sarah
penuh rasa sakit. "Sarah? Ada apa?" tanya Ellie.
Sarah tidak menjawab. Dengan terbelalak, ia membalas tatapan
ayahnya.
Lalu cengkeraman Sarah pada tangan Ellie mengendur. Dan
sambil memekik lemah, ia roboh ke tanah.
Chapter 4

" SARAH!" jerit Ellie. Ia menjatuhkan diri di samping Sarah.


Bola mata Sarah sudah terbalik ke atas.
"Sarah! Sarah!" teriak Ellie panik.
Tidak ada tanggapan.
"Biar kuperiksa!" Ellie mendengar suara tegang Letnan Wilkins
di atasnya. Lalu letnan itu berjongkok di samping putrinya.
"Dia langsung... pingsan," Ellie tergagap.
Sambil melambai-lambai, Letnan Wilkins berteriak, "Sebelah
sini!"
Beberapa detik kemudian Officer Jackson berlutut di samping
Sarah. "Permisi," katanya, memberi tanda pada Ellie supaya
menyingkir.
Ellie berdiri. Chaz mendengking dan menyundul-nyundul
tangan Ellie.
Ellie menatap tubuh Sarah yang tidak bergerak. Ada apa?
Kenapa Sarah pingsan seperti itu?
"Dia baik-baik saja," kata Officer Jackson menenangkan Letnan
Wilkins. "Denyut jantungnya normal. Kelihatannya dia cuma
pingsan."
Letnan Wilkins mengangguk.
Sarah mengerang dan mengerjapkan mata. Ia menatap Ellie,
bingung.
"Kau akan baik-baik saja," kata ayahnya pelan.
Beberapa detik kemudian letnan itu mendekati Ellie, matanya
tampak lelah. "Pulanglah, Ellie," katanya tegas, sambil memegang
tangan gadis itu. "Sarah tidak apa-apa. Ada yang akan mengurusnya."
"Tidak. Saya harus tetap di sini," kata Ellie berkeras.
"Jangan. Pulang," kata Letnan Wilkins lembut. Ia memegang
bahu Ellie dan membalikkan badannya. "Sudah malam. Ayahmu akan
cemas. Barnett!" serunya sambil menoleh. "Perintahkan petugas-
petugas yang lain untuk menyuruh semua orang meninggalkan tempat
ini. Lalu antar Miss Anderson pulang."
."Tunggu!" Ellie mencengkeram lengan si lethan. "Sarah
kenapa? Ada apa?"
Wilkins menghela napas. "Dia akan segera membaik. Dia cuma
pingsan...."
Ya, tapi kenapa? Ellie ingin tahu, tapi kelihatannya Letnan
Wilkins tidak mau memberitahunya.
"Ayo, Ellie," desak polisi wanita itu. "Sudah malam. Kau tak
ingin orangtuamu cemas, kan?"
"Tidak," jawab Ellie sambil berjalan mendului di tepi sungai
yang terjal itu. Di belakangnya, kerumunan orang dibubarkan. "Di
rumah cuma ada ayah saya dan saya. Dia mungkin bahkan belum
pulang."
Sesampainya di atas tepi sungai, Ellie berbalik untuk melihat
sekilas terakhir kalinya. Di antara pepohonan ia bisa melihat Sarah
berdiri. Dua petugas masih berdiri di dekatnya. Letnan Wilkins
mungkin sudah kembali ke daerah yang ditandai itu, memeriksa kain
merah tadi.
Kain merah.
Ellie ingat, itulah yang membuat Sarah menjerit.
Kenapa?
Kenapa sepotong kain bisa membuat Sarah pingsan?
Ia berbalik untuk mengikuti Officer Barnett ke jalan.
********************************
"Ellie! Hei, Ellie!"
Ellie mengangkat pandangannya dari locker-nya yang terbuka.
Frank Schuler berlari di sepanjang lorong mendekatinya, mendorong
anak-anak yang bergerombol seolah-olah mereka barisan pertahanan
dalam permainan football.
Karena kaget, Ellie menjatuhkan ranselnya ke lantai. Frank
jarang berbicara dengannya. Kenapa sekarang cowo itu memanggil-
manggilnya?
"Kejadian yang aneh sekali kemarin malam itu," kata Frank.
Matanya yang biru pucat bersinar-sinar ketika ia tersenyum pada Ellie.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh dan jins longgar yang
warnanya sudah pudar dan robek di bagian lutut. "Kurasa kau jadi
semacam pahlawan."
Ellie menggeleng. "Pahlawan? Kurasa tidak begitu." Ditatapnya
cowok itu tajam. "Kau malahan tak mempercayaiku—ya, kan?"
tuduhnya. "Waktu aku lari mendatangi mobilmu, kaupikir aku sinting,
kan?"
Pipi Frank memerah. "Hei, sama sekali tidak." Ia bersandar ke
locker sementara Ellie membanting pintu locker-nya sampai tertutup
dan memutar kuncinya. "Polisi bilang siapa yang dikubur di sana itu?"
tanya Frank.
Ellie menggeleng.
"Frank!" terdengar teriakan dari gerombolan anak. Patty
bergegas mendatangi mereka dan menggandeng tangan Frank. Ia
mengenakan kaus warna biru air pucat dan rompi biru, serta celana
ketat hitam.
"Kau sudah tanya dia?" desak Patty pada Frank seolah-olah
Ellie tidak ada di situ.
"Ya. Dia juga tak tahu apa-apa."
Mata biru Patty bersinar. Ia menyentakkan kepalanya ke
belakang untuk menyibakkan rambutnya. "Well, aku tahu! Anna
memberitahuku gosip yang hebat. Kau tahu Sarah Wilkins tak masuk
sekolah hari ini?"
Frank mengangguk. "Ya. Dia biasanya duduk di depanku di
kelas sejarah."
"Wellll...," Patty mengucapkan kata itu panjang sekali.
Dirapikannya rompinya. Lalu ia mencondongkan tubuhnya mendekat
dan berbisik, "Kau ingat Melinda, kakak Sarah?"
"Hah?" seru Ellie. "Sarah punya kakak?"
"Pernah punya kakak," sahut Patty, dipelankannya suaranya.
"Sarah pernah punya kakak?" ulang Ellie, tidak bisa menutupi
rasa terkejutnya.
"Melinda menghilang," kata Patty dengan suara berbisik
tertahan. "Dan ada yang memberitahuku dia memakai kaus lengan
panjang merah pada malam dia menghilang."
"Ohhhh," Ellie mengerang pelan.
Kain merah itu. Jadi itu sebabnya Sarah pingsan. Dan mata
ayahnya penuh rasa sakit seperti itu.
Tapi kenapa Sarah tak pernah menyebut-nyebut soal kakaknya?
Frank dan Patty memandanginya dengan ekspresi kaget. "Kau
baik-baik saja?" tanya Patty.
Ellie membungkuk dan mengambil ranselnya. "Aku tak apa-
apa," ia berbohong. "Tapi aku harus segera pergi, kalau tidak aku
terlambat masuk kelas."
Ia melambai dan berlari di koridor menuju telepon umum di
samping kantor penerimaan tamu. Ia harus menelepon Sarah!
Dipegangnya gagang telepon dengan tangan gemetaran dan
ditekannya nomor telepon Sarah. Tidak ada yang mengangkat.
Dengan frustrasi, Ellie membanting telepon itu. Ia memandang
dinding bilik telepon, memutar otak. Paling tidak sekarang aku tahu
kenapa visi-visi itu kembali, pikirnya. Dan kenapa tangan itu
memanggilku ke kuburan dangkal itu.
Karena kubiarkan diriku dekat dengan Sarah.
Tubuh di dalam kuburan itu pasti tubuh Melinda.
Melinda, kakak Sarah, pasti menggunakanku untuk
menghubungi Sarah.
***********************************
Pulang sekolah Ellie bergegas ke tempat kerjanya. Memasukkan
buku-buku ke rak di Perpustakaan Umum Shadyside tidak
menghasilkan banyak uang, tapi Ellie senang sekali berada di sana. Ia
sangat menyukai bau apek buku-buku tua perpustakaan. Dan ia sangat
menyukai suasana sunyinya.
Ellie mengambil sebuah buku dan berjinjit untuk
meletakkannya di rak yang tinggi. Udara sejuk terasa di kulitnya yang
terbuka karena sweternya tertarik.
"Permisi," kata suara laki-laki di belakangnya. "Kau bisa
menolongku mencari buku tentang senjata primitif?"
"Sebentar." Ellie mengerang ketika mendorong buku itu ke rak
yang penuh sesak.
Bahkan sebelum berbalik pun, Ellie sudah tahu cowok itu
mengamatinya, tatapannya menelusuri sekujur tubuhnya. Dengan
perasaan malu, ia menarik sweternya dan berbalik.
Brian Tanner menatapnya sambil tersenyum-senyum. Ia
memakai kemeja denim dan celana jins berpipa lurus.
"Senjata primitif? Maksudmu pedang, tombak, dan yang
semacamnya?" tanya Ellie dengan parau. Ia berdeham dan menunjuk
ke ujung gang. "Letaknya di bagian enam ratus."
"Aku sudah cari di sana."
"Itu mestinya bagiannya. Kau sudah memeriksa daftar
komputer?"
Cowok itu nyengir malu. Kerut-kerut kecil bermunculan di
sekitar matanya. Matanya berwarna gelap, tapi waktu berdiri di
dekatnya, Ellie melihat di matanya itu ada bintik-bintik keemasan.
"Kupikir lebih baik tanya kau saja," sahut Brian Tanner.
Ellie merasa wajahnya jadi panas. Ia tidak bisa menahan diri
untuk tidak nyengir juga. Senyum Brian Tanner susah untuk
diabaikan.
"Well, kuusahakan menemukannya. Bukannya aku ahli. Aku
cuma bekerja di sini sepulang sekolah. High school," tambahnya, tidak
mau cowok itu salah kira tentang dirinya.
"O ya? Aku kuliah di Waynesbridge." Brian Tanner mengikuti
Ellie berjalan di gang. "Kau tahu, kan? College lokal itu."
"Oh. Aku bahkan tak tahu Waynesbridge punya college," jawab
Ellie. "Aku dan ayahku baru pindah ke Shadyside."
"Aku tahu."
Senyum Ellie menghilang.
"Di sini mestinya buku itu," kata cowok itu. Ia mengulurkan
tangan dan menunjuk salah satu rak buku.
"Dari mana kau tahu?"
"Karena semuanya punya nomor sama," jawabnya.
"Bukan," kata Ellie. "Maksudku, dari mana kau tahu aku masih
baru di Shadyside?"
"Mm..." Tampak keraguan di mata Brian. "Karena baru sekali
ini aku melihatmu di perpustakaan ini," jawabnya. "Padahal kau
kelihatan seperti cewek yang sering berada di perpustakaan."
Alis Ellie terangkat. "Hah? Itu pujian atau bukan? Cewek
macam apa yang sering berada di perpustakaan?" desaknya.
"Well..." Brian ragu-ragu lagi. "Cewek yang suka baca?"
Ellie terpaksa tertawa melihat ekspresi wajah Brian yang malu-
malu. Mungkin Brian Tanner tidak sehebat yang disangkanya. Pikiran
itu membuat Ellie senang.
Karena cowok itu benar-benar imut. Dan sudah lama Ellie tidak
tertarik pada cowok.
Ellie berbalik dari cowok itu dan mengamati rak-rak. Lupakan
Brian Tanner, katanya memarahi dirinya sendiri. Dia sudah
mahasiswa. Dia cuma perlu buku. Setelah itu dia akan pergi.
"Ini ada satu. Judulnya Senjata-senjata Primitlf." Ellie
mengulurkan tangan. Jari-jarinya memegang punggung buku itu dan
menariknya dari rak.
Napasnya sesak, tenggorokannya seperti tercekik.
Sebilah pisau bergagang perak tergeletak di ruang kosong
tempat buku yang diambilnya barusan.
Darah merah segar menetes dari mata pisaunya yang berkilat-
kilat. Darah yang berwarna lebih gelap tergenang di rak. Darah itu
menetes dari rak ke lantai di dekat kaki Ellie.
Pisau itu meluncur maju, mata pisaunya yang berlumuran darah
mengarah lurus ke jantung Ellie.
Chapter 5

ELLIE menjerit dan terjengkang, bahunya menghantam rak di


belakangnya, Buku itu jatuh ke lantai.
"Hei! Ada apa?" Brian menangkap sikunya.
Dada Ellie naik-turun. Dengan ngeri dipandangnya rak itu.
Kosong.
Tak ada darah. Tak ada belati yang berkilat-kilat.
Di sana tak ada pisau!
Visi lagi.
"Maaf!" seru Ellie, wajahnya terasa merah padam. Brian
memegangi lengannya. Pelan-pelan ia menarik lengannya.
Tarik napas dalam-dalam. Tenangkan diri, katanya dalam hati.
Ellie memejamkan mata. Cuma visi.
Kau bisa mengatasinya, katanya pada diri sendiri.
Ia membuka mata dan tersenyum menenangkan pada Brian.
"Tak ada apa-apa, betul. Ada yang bergerak waktu aku mengambil
buku itu. Tikus, kurasa."
Mata cowok itu terus mengamatinya. "Lumayan juga jeritanmu
kalau cuma gara-gara tikus," katanya.
"Thanks. Aku memang paling jago menjerit," jawab Ellie,
berusaha bercanda. Ia membungkuk, memungut buku tadi, dan
menyorongkannya ke tangan Brian. "Bye," katanya, menghindari
tatapan cowok itu. Ia cepat-cepat berjalan di gang.
Dia pasti mengiraku supergoblok, pikirnya.
Tapi kenapa aku selalu mengalami perasaan menakutkan ini
setiap kali aku melihatnya? Kenapa aku punya perasaan begitu kuat
bahwa aku harus menjauh darinya?
"Ellie, tunggu!" ia mendengar Brian berteriak.
Ia tidak berbalik. Ia berjalan cepat melewati penjaga
perpustakaan yang duduk di meja layan utama dan bergegas
memasuki kantor di belakang meja peminjaman buku, menutup
pintunya begitu masuk.
Sekarang ia aman.
Ia bersandar ke pintu dan memikirkan pisau tadi. Rasa takut
melandanya. Kejadian itu berulang lagi, pikirnya. Visi-visi itu.
Kekuatanku menyerbu hidupku. Tapi kenapa?
Karena Brian?
Karena ia merasa tertarik pada cowok itu? Tertarik dan takut
pada saat yang bersamaan?
Tidak, tak mungkin, pikirnya. Pasti gara-gara buku itu—
Senjata-senjata Primitif.
Tentu saja! Itu sebabnya ia melihat pisau itu. Judul buku itu
membangkitkan visinya.
Ellie merasa tubuhnya jadi rileks. Semuanya akan beres,
katanya dalam hati. Brian Tanner dan bukunya akan pergi, dan visi-
visi itu akan pergi juga.
"Hei... wah!" gumam Ellie keras. "Ada apa ini?"
Ketika memanggilku tadi, Brian menyebut namaku.
Padahal aku belum pernah memberitahukan namaku padanya!
*******************************
Pukul enam Ellie melangkah keluar dari perpustakaan dan
memandang langit yang hitam pekat. Angin yang bertiup kencang
membawa udara dingin. Pepohonan yang berbaris di jalan yang
panjang itu bergoyang, daun-daun berguguran ke tanah.
Sehelai koran terbang melewati kaki Ellie seperti hantu kelabu
tanpa suara.
Ellie menyandang ranselnya di bahu dan mengancingkan
mantelnya. Lumayan jauh juga jalan ke rumah Sarah, katanya dalam
hati, mengamati daun-daun cokelat mati berputar-putar diembus
angin. Tapi aku ingin menengoknya sebelum pulang.
Dengan tubuh condong melawan angin, ia berjalan ke trotoar
dan menyusuri Park Drive menuju Fear Street. Ellie mengamati
nomor-nomor rumah yang dilewatinya. Dua puluh menit kemudian ia
mengenali alamat Sarah.
Ellie berhenti di pinggir jalan dan memandangi rumah yang
gelap itu. Tidak ada lampu yang menyala. Lampu terasnya pun tidak.
Ke mana Sarah dan ayahnya? Sedang pergi?
Ellie memindahkan ranselnya ke bahunya yang lain dan mulai
berjalan di halaman depan yang melandai menuju rumah papan abu-
abu itu. Ellie bertanya-tanya mengapa Sarah tidak pernah
mengajaknya mampir ke rumahnya. Sarah selalu lebih suka pergi ke
rumah Ellie atau bermain-main di mal.
"Aneh," gumam Ellie. Kadang-kadang ia merasa sangat dekat
dengan Sarah. Tapi banyak hal yang dirahasiakan Sarah.
Misalnya kakaknya. Kenapa Sarah tak pernah menyebut-nyebut
soal Melinda? Ellie bertanya-tanya lagi. Apakah hilangnya Melinda
terlalu menyakitkan baginya?
Ketika semakin mendekati rumah itu, Ellie bisa melihat betapa
bobroknya keadaannya. Tangga depannya patah-patah. Cat di dinding
depannya terkelupas di sana-sini.
Ia menekan bel. Menunggu. Tidak ada yang datang. Tidak
terdengar suara dari dalam.
Mungkin Sarah sedang tidur, pikir Ellie.
Ia turun ke jalan masuk, berbalik, dan melihat ke lantai dua.
Gorden pink membingkai jendela di depan. Itu pasti kamar Sarah.
Jendela itu terbuka sedikit.
"Sarah!" teriak Ellie, ia menangkupkan tangannya di dekat
mulutnya. Kau di atas sana?"
Ia menunggu, memandangi jendela yang gelap itu. "Sarah? Kau
di sana? Ini aku."
Tak ada siapa-siapa di sana.
Ketika ia berbalik pergi, ada yang menarik perhatian matanya.
Sesosok bayangan melintasi jendela di atas itu. Gordennya
bergerak.
Di baliknya tampak seraut wajah. Wajah yang sangat pucat.
"Sarah?" panggil Ellie.
Bukan. Ketika gorden itu menyibak ke samping, Ellie melihat
kening yang abu-abu dan tidak berdaging, rongga mata yang hitam
kosong, seringai tanpa gigi yang mengerikan. Dan menyadari ia
sedang menatap tengkorak yang sedang menyeringai.
Chapter 6

"OHHH." Ellie mengerang takut dan pelan, sambil


memejamkan matanya.
Ketika ia membuka mata lagi, tengkorak itu sudah menghilang.
Ia mengerjapkan mata beberapa kali, memandangi gorden yang
bergerak-gerak di jendela gelap itu.
Visi lagi?
Pasti, katanya dalam hati.
Tapi kenapa? Apa artinya? Dan apakah Sarah ada di atas sana?
Dengan jantung berdegup kencang, Ellie cepat-cepat menaiki
tangga dan memukul-mukul pintu dengan kedua kepalan tangannya.
"Sarah? Sarah?" Ditekannya bel, dibiarkannya jarinya menempel di
bel, mendengarkan deringannya di dalam rumah.
"Sarah? Kau bisa mendengarku?"
Sunyi.
Ellie berbalik. "Dia tak di rumah."
Tengkorak menyeringai itu—visi lagi, pikir Ellie. Visi
kematian.
Kematian siapa?
Ellie tiba-tiba teringat Alma's Coffee Shop. Pekerjaan Sarah
sepulang sekolah. Ellie baru sadar Sarah mungkin di sana sekarang.
Tentu saja. Dia pasti di situ. Dia mungkin bolos sekolah, tapi bolos
pekerjaan tak pernah. Sarah begitu membutuhkan uang hingga tak
mungkin bolos.
Sambil menyusupkan tangannya ke dalam saku mantel, Ellie
berjalan menentang angin dan mulai berlari di sepanjang jalan. Aku
akan pergi ke Alma's, ia memutuskan. Lagi pula Dad tidak makan
malam di rumah. Aku akan mampir di coffee shop itu. Memastikan
Sarah baik-baik saja.
Ia sudah berjalan tiga atau empat blok, ketika sebuah Jeep hitam
melaju di sampingnya. Ellie berjalan lebih cepat. Ia tidak punya
kenalan yang mengendarai Jeep hitam.
Tapi Jeep itu terus mengikutinya. Jendela di sisi penumpangnya
diturunkan. Tampak seraut wajah. "Hei... Ellie! Ini aku! Dari
perpustakaan!"
Ellie menoleh dan melihat Brian, sedang mencondongkan tubuh
ke kursi di sampingnya, memandang ke luar jendela yang terbuka.
"Aku tak menakutkanmu, kan?" tanyanya, nyengir.
"Sama sekali tidak," Ellie berbohong.
"Masuklah," kata Brian. "Mau ke mana kau?"
"Alma's," jawab Ellie. "Tapi aku tak mau numpang mobil orang
yang tak kukenal," ia bercanda.
"Well, aku bisa mengantarmu ke Alma's dan memperkenalkan
diri di perjalanan," usul Brian, matanya yang gelap memantulkan
cahaya lampu jalanan. "Dengan begitu kita bukan lagi orang-orang
yang tak saling kenal."
"Tapi kau sudah tahu namaku." Ellie menjauh dari tepi jalan.
"Padahal aku belum pernah memperkenalkan diri."
"Oh." Brian mengusap dagunya. "Well, aku bisa
menjelaskannya. Aku mendengar petugas perpustakaan
memanggilmu."
Mata Ellie membelalak. "Tidak, tidak benar. Dia memanggilku
Miss Anderson. Bukan Ellie."
"Oke. Oke. Aku bohong. Temanmu di coffee shop yang
memberitahuku."
"Jadi kenapa kau bohong?" desak Ellie, tidak mau membiarkan
cowok itu lolos.
Brian tertawa. Wajahnya bahkan memerah sedikit. Oh, betapa
cakepnya!
"Ayolah, masuk saja," desak Brian.
Tapi ada yang menahan Ellie.
Ia menunjuk coffee shop di depan. "Kurasa aku jalan saja. Tapi
terima kasih, ya." Sebelum cowok itu bisa menjawab, ia sudah pergi,
berlari ke restoran itu.
Jeep itu berdecit ketika melaju pergi. Brian membunyikan
klakson—tiga kali pendek-pendek—dan menghilang di belokan.
Ellie mendorong pintu restoran. Kerincing lonceng dan
kehangatan suasana di dalam menenangkannya. Ia berhenti berjalan
untuk mengambil napas.
Kenapa aku begitu? tanyanya dalam hati.
Sekali lagi aku lari dari Brian Tanner seolah-olah cowok itu
monster. Apakah karena dia berbohong tentang caranya mengetahui
namaku? Atau apakah karena aku takut akan mendapat lebih banyak
visi lagi?
Ellie menggeleng, tidak tahu pasti jawabannya.
Setelah menjatuhkan ranselnya ke lantai, ia duduk di bangku di
ujung meja layan. Alma's nyaris kosong. Sepasang orang berambut
putih sedang minum kopi di meja. Seorang pria bertubuh besar yang
mengenakan celana terusan kotor duduk di ujung lain meja layan,
sedang makan sepiring sosis dan kacang.
Tapi mana Sarah?
Ellie memutar leher, berusaha melihat dari jendela pesanan ke
dalam dapur. Bunyi burger mendesis-desis di panggangan
menunjukkan ada orang di belakang sana.
Pintu ayun itu terbuka, dan Ernie Marks, pemilik merangkap
koki, lewat. Ernie berusia sekitar empat puluh, hampir botak, dan
berkacamata yang tebalnya nyaris seinci. "Burger setengah matang,"
katanya sambil meletakkan piring di depan pria yang memakai celana
terusan itu. "Bagaimana rasa sosis dan kacangnya?"
"Payah seperti biasanya," sahut orang itu bercanda. "Itu
sebabnya aku terus kemari."
Ernie mengobrol dengan orang itu sebentar. Lalu ia pergi ke
tempat Ellie duduk. "Jadi? Mana temanmu?" tanyanya.
Ellie melipat-lipat serbet kertasnya. "Itu yang ingin saya
tanyakan."
"Aku belum melihatnya," jawab Ernie, sambil mengelapkan
tangannya ke celemeknya yang kotor. "Dia juga tak menelepon."
"Sarah tak biasanya begitu."
Ernie menghela napas. "Aku tak usah kauberitahu. Dia belum
pernah bolos sekali pun."
Ellie menunduk dan menyadari ia telah merobek-robek serbet
kertas yang dipegangnya. Diletakkannya potongan-potongannya di
meja layan. "Anda dengar soal kemarin malam? Mayat di hutan itu?"
"Ya." Ernie mengusap-usap kepalanya yang botak.
"Saya dengar itu kemungkinan mayat kakak Sarah," kata Ellie,
suaranya berubah jadi berbisik. "Anda sudah dua tahun tinggal di sini,
kan? Anda ingat pernah dengar tentang kakak Sarah? Kenapa dia
menghilang?"
Ernie menggeleng. "Cuma yang ada di koran-koran."
"Ernie! Tambah lagi lumpur yang kausebut kopi itu!" Pria
bercelana terusan itu mengacungkan cangkirnya.
"Ya. Ya." Ernie meraih teko kopi.
Ellie duduk menelungkup di meja layan. "Maaf, ada yang
duduk di kursi ini?" tanya sebuah suara.
Dengan terlonjak Ellie berputar ke kanan. Brian Tanner berdiri
di dekat kursi yang ada di sebelah Ellie.
"Mm, ya. Sudah dipesan untuk Ratu Inggris!" sahutnya
bercanda.
Brian tertawa. Ia menduduki kursi itu dengan gaya santai. Ellie
melihat cowok itu tampak sangat atletis. "Aku akan berdiri kalau
ratunya datang," Brian berjanji. "Jadi makanan apa yang
kausarankan?"
"Apa yang kaulakukan di sini? Makan malam?" tanya Ellie,
menyibakkan rambut-nya ke belakang.
"Kau?" balas Brian.
Ellie menggeleng. "Tidak. Aku harus pulang. Chaz sudah
menunggu."
"Anjingmu."
"Dari mana kau tahu?" tanya Ellie. Brian mengangkat tangan
seolah melindungi diri. "Hei. Aku cuma menebak, oke? Maksudku,
kemarin malam kau bawa anjing."
Ellie kembali tenang. "Ya. Memang." Ia melirik cowok itu.
"Jadi apa yang kaukerjakan di hutan kemarin malam?"
"Sama seperti orang lain. Ingin melihat keramaian. Berusaha
mengetahui apa yang terjadi." Ia menopang dagunya dengan telapak
tangan kanannya. "Kudengar kau yang menemukan mayat itu."
Ellie mendadak bergidik. "Ya. Tapi aku tak ingin
membicarakannya. Aku masih merasa seram mengingatnya. Jadi
kalau kau reporter Waynesbridge Community College atau yang
semacam itu, berarti kau cuma buang-buang waktu," tambahnya
ringan.
Brian menggeleng. "Bukan. Aku bukan reporter.
Ellie berputar menghadap pada cowok itu. "Kalau begitu
kenapa kau keluyuran di Shadyside? Kau tinggal di sini?"
Brian menggeleng. "Tidak. Aku tinggal dengan kakek-nenekku
di Waynesbridge. Jadi, mana Alma?"
"Kurasa tak ada orang yang bernama Alma," kata Ellie
memberitahunya. "Kurasa itu nama kucing Ernie."
Brian tertawa. "Dan bagaimana rasa hamburger Alma's? Ada
daging kucingnya?"
"Mungkin," jawab Ellie, nyengir. Perutnya berbunyi. Dengan
malu, ia menutupi perutnya dengan tangannya.
Brian cengar-cengir. "Kalau begitu kita pesan dua.
Setengah jam kemudian Ellie melihat jam tangannya. Ia dan
Brian begitu asyik mengobrol sampai ia lupa waktu.
"Oh, tidak, sekarang sudah jam tujuh Ayahku bisa ngamuk."
"Telepon saja dia," Brian mengusulkan. "Bilang padanya aku
akan mengantarkanmu lima belas menit lagi."
"Mm..." Ia ragu-ragu. Bunyi lonceng berkerincing di atas pintu
membuyarkan pikirannya. Letnan Wilkins berjalan memasuki
restoran.
"Letnan Wilkins!" seru Ellie, sambil turun dari kursinya. "Saya
dari tadi mencari-cari Sarah. Dia baik-baik saja?"
Perwira polisi itu menatap Ellie dengan pandangan kosong
seakan-akan sesaat tidak mengenalinya. Lalu ia mengangguk. "Dia
baik-baik saja. Dia tinggal dengan bibinya selama beberapa hari. Aku
datang untuk memberitahu Ernie."
"Oh, bagus. Saya sempat cemas." Ellie menggigit bibirnya. Ia
ingin sekali bertanya pada Letnan Wilkins mengenai mayat itu, tapi
letnan itu sudah berjalan menjauh. Ia mengamati Letnan Wilkins
bersandar ke meja layan untuk berbicara dengan Ernie.
Ellie memasukkan tangannya ke saku belakang jinsnya dan
berputar lagi ke meja layan. Ia terkejut, tempat duduk Brian ternyata
sudah kosong.
Mulut Ellie ternganga. Ke mana Brian? Ke kamar mandi?
Letnan Wilkins mengangguk pada Ellie ketika pergi.
"Tolong bilang pada Sarah supaya menelepon saya," kata Ellie.
Ia meneguk habis sodanya, matanya memandang ke kamar mandi
pria.
"Hei, kau ingin hidangan pencuci rnulut?" tanya Ernie, sambil
mengangkati piring-piring kotor. "Aku punya pai krim pisang yang
belum terlalu basi."
"Tidak." Ellie menggeleng. "Brian akan mengantarkan saya
pulang sekarang."
"Brian?" Ernie berhenti mengangkati piring-piring. "Cowok
yang bersamamu tadi?"
Ellie mengangguk.
Ernie memiringkan kepalanya ke arah pintu. "Dia sudah pergi."
Ellie menahan napas. "Pergi?"
"Ya. Waktu kau sedang bicara dengan Letnan Wilkins. Dia
meninggalkan uang dan melesat pergi."
********************************
Ellie berjalan kaki pulang. Ia menemukan ayahnya di ruang
tamu, sedang membaca koran di sofanya yang sudah tua. Ia mencium
bagian atas kepala ayahnya. "Hai, Dad. Maaf aku terlambat. Daddy
sudah makan?"
Ayahnya menggumam- menjawab, asyik dengan artikel koran
yang sedang dibacanya.
Ellie ikut membaca dari balik bahunya.
Ia menelan ludah ketika membaca judul berita itu: MAYAT
TIDAK DIKENAL DITEMUKAN DI FEAR STREET WOODS.
Kemarin malam ia sudah tidur waktu ayahnya pulang. Ia tidak
punya kesempatan untuk menceritakan kejadian di hutan itu pada
ayahnya.
Lagi pula, ia menghindari topik itu. Ayahnya tidak suka kalau ia
menyebutnyebut kemampuannya. Ayahnya selalu menuduh Ellie
cuma berkhayal.
Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus bercerita mengenai
mayat itu. "Aku yang menemukan kuburan itu," kata Ellie takut-takut.
Ayahnya menurunkan koran itu. "Kau? Apa yang kaulakukan di
hutan?"
"Mengajak Chaz jalan-jalan. Sebetulnya dia yang menemukan."
Ayahnya menatap Ellie, wajahnya tampak terkejut. Lingkaran
hitam di bawah matanya. Ayahnya mendadak kelihatan lelah dan tua.
"Kau tahu bagaimana perasaanku tentang hutan itu di malam hari,
Ellie. Aku sudah bilang..."
"Berkali-kali," potong Ellie. Ia menghampiri sofa panjang dan
duduk. "Tapi kemarin belum malam waktu aku dan Chaz mulai jalan-
jalan. Waktu aku menunjukkan kuburan itu pada polisi, hari sudah
gelap."
Mata ayahnya berkilat marah. "Kau harus menjauhi polisi, nona
muda. Kau tak boleh terlibat dalam penyelidikan mereka."
"Dad!" Ellie heran melihat betapa marahnya ayahnya. "Daddy
tak dengar apa yang barusan kukatakan? Aku yang menemukan mayat
itu. Bagaimana Daddy bisa mengharapkan aku tak terlibat dalam
penyelidikan mereka?
"Karena aku ayahmu dan aku bilang begitu!"
"Bilang begitu'" ulang Ellie. "Itu bukan alasan. Daddy selalu
melarangku melakukan berbagai hal, tapi tak pernah memberitahukan
alasannya."
"Aku tak perlu memberitahumu alasannya!" sembur ayahnya.
"Ya, harus!" balasnya. "Aku hampir tujuh belas. Aku bukan
anak-anak lagi!" Ellie memandang ayahnya dengan tatapan dingin.
"Lagi pula, kali ini peraturan Daddy tak masuk akal."
Ayahnya balas menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa
dibaca. Lalu bahunya terkulai. Ia melemparkan koran ke lantai dan
menghela napas. "Aku tahu itu," katanya. "Tapi tolong menjauhlah
dari polisi. Aku tak mau kau jadi seperti ibumu!"
"Ibuku? Apa hubungan Mom dengan masalah ini?" teriak Ellie.
Ayahnya ragu-ragu. Lalu berdeham. Akhirnya, dengan terpatah-
patah ia mengatakan, "Ibumu tidak meninggal di rumah sakit seperti
yang kukatakan padamu selama ini, Ellie. Dia dibunuh."
"Dibunuh?" Ellie terkesiap, memegang kedua pipinya. "Apa
yang Daddy bicarakan? Mom meninggal karena usus buntu."
"Oh, Ellie." Ayahnya berdiri, berjalan melintasi ruangan, dan
duduk di sampingnya di sofa panjang. "Kau baru berumur dua tahun
waktu peristiwa itu terjadi. Aku tak mau berbohong—begitu juga
kakek dan nenekmu—tapi bagaimana kami mesti menjelaskannya
padamu?"
Ayahnya menggeleng. "Lalu belakangan, waktu kau sudah
cukup umur untuk bisa memahaminya, aku tak bisa menemukan cara
untuk memberitahumu. Selain itu, aku tak ingin membicarakannya—
sekali pun." Suaranya serak. "Rasanya terlalu menyakitkan."
Air mata menggenangi mata Ellie. Ia tidak bisa mempercayai
ini. Selama bertahun-tahun ia mengira sudah mengetahui yang
sebenarnya tentang ibunya. "Bagaimana kejadiannya, Dad? Siapa
yang tega membunuh Mom?" tanyanya lirih.
Ayahnya tidak mau menatap matanya. "Ada seorang gadis kecil
yang menghilang. Belakangan diketahui dia dibunuh. Seseorang yang
tak waras—seseorang yang mestinya tak pernah boleh dibebaskan dari
penjara—membunuhnya. Lalu orang itu membunuh ibumu."
"Tapi kenapa?" Ellie mendesak ayahnya. Ia harus mengetahui
yang sebenarnya, biarpun ia bisa melihat bahwa membicarakan
kejadian itu merupakan siksaan buat ayahnya.
"Aku tak tahu kenapa! Kaukira aku tak mengajukan pertanyaan
itu pada diriku sendiri berjuta-juta kali?" Ayah Ellie tersedu-sedu
sekarang.
Ellie merasa ada aliran dingin berkali-kali di punggungnya. Ia
merasa lumpuh. Lumpuh sama sekali.
Ibuku dibunuh?
Perutnya terasa mulas. Ia berdiri di atas kaki yang terasa seperti
karet, lemas.
Entah bagaimana ia berhasil naik ke kamar mandi di atas
sebelum akhirnya muntah-muntah.
Beberapa menit kemudian ia mendengar ayahnya mengetuk
pintu kamar mandi. "Ellie, kau baik-baik saja?"
"Ya," sahutnya parau. "Tidak, maksudku..." Ia menangis
tersedu-sedu.
"Maafkan aku," seru ayahnya dari balik pintu. "Mestinya aku
tak memberitahumu seperti itu."
"Aku yang ingin tahu, Dad," jawabnya. "Dan aku baik-baik
saja. Betul. Aku ingin mandi."
"Kau yakin?"
"Ya."
Ia mendengar ayahnya pelan-pelan menuruni tangga.
Pikiran-pikiran gelap, pikiran-pikiran menakutkan, bertalu-talu
menghantam bagian belakang otak Ellie. Dengan perut masih terasa
mual, ia memaksa dirinya melupakan semua itu. Dibukanya
pakaiannya. Lalu dinyalakannya pancuran air dan ditunggunya sampai
airnya beruap.
Ia melangkah ke bawah curahan air.
Ellie memejamkan mata, berusaha mengumpulkan sedikit
kenangan yang diingatnya tentang ibunya. Ia tidak bisa mengingat
banyak. Ia ingat rambut pirang ibunya yang panjang, matanya yang
hijau, dan suaranya yang lembut, yang berdenting seperti lonceng
kalau tertawa.
Ellie dan ayahnya cukup dekat. Tapi sepanjang hidupnya Ellie
merasa seperti ada lubang, seolah-olah ada yang hilang. Kenapa ada
yang membunuh ibunya? Kenapa?
Ellie memejamkan mata dan mengangkat wajahnya,
membiarkan air panas yang beruap itu membasahi tubuhnya.
Perlahan-lahan Ellie merasa tubuhnya mulai santai.
Sesaat kemudian ia membuka mata.
Membuka mata dan terkesiap.
Di atas kepala pancuran, sebilah pisau berkilat-kilat tergantung
pada keramik putih.
Sambil berteriak, Ellie mundur dan tersandung.
Gagang perak pisau itu berkilauan. Darah menetes dari mata
pisau itu, membasahi kakinya.
Ia memandang ke bawah. Bak mandi penuh darah. Darah
menggenang sampai mata kakinya. Begitu panas. Begitu kental!
Ketika pisau itu menghunjam ke arahnya, Ellie mengangkat
lengannya. Dan menjerit, "Tidaaaaaaaak!"
Ketika merunduk menghindari pisau itu, ia terpeleset.
Jatuh. Ke dalam darah yang panas. "Aduuuh!" Kepalanya
menghantam bak mandi yang keras. Darah memercik ke dinding
keramik.
Air panas membasahi tubuhnya.
Sambil sibuk mengusap mata, megap-megap kehabisan napas,
ia bangun dengan susah payah.
Lalu ia mendengar jeritan itu.
Jeritan minta tolong yang kalut, bergema dari dinding kamar
mandi yang berlumuran darah.
Ellie terpaku. Dan mendengarkan baik-baik.
Mendengarkan jeritan-jeritan yang menyeramkan itu.
Dan mengenali suara ibunya!
Chapter 7

"MOM!" teriak Ellie. "Mom... aku bisa mendengarmu!"


Ia berusaha keras mendengar di antara deru air pancuran yang
terus-menerus mengalir.
Tapi teriakan-teriakan itu sudah hilang. "Mom... jangan! Jangan
pergi! Jangan tinggalkan aku! Mom!" erang Ellie.
"Ellie! Ellie!"
Suara lain. Suara ayahnya. Memanggil-manggil dari luar. "Ellie,
kau baik-baik saja?"
Dengan napas megap-megap, sekujur tubuh gemetaran, Ellie
tidak bisa menjawab. Matanya bergerak ke kepala pancuran.
Pisau berlumuran darah itu sudah lenyap.
Darah sudah hilang dari dinding, dari bak mandi.
Visi yang sangat menakutkan.
Ia berdiri gemetaran, memutar tombol pancuran, mematikan air.
Mom? Kau masih di sana? pikir Ellie putus asa. Aku tadi
mendengarmu, Mom. Aku mendengar teriakan-teriakanmu. Tolong
jangan tinggalkan aku!
"Ellie... jawablah! Kau baik-baik saja?" seruan gelisah ayahnya
membuyarkan konsentrasinya.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku tak apa-apa!" ia berhasil
berteriak parau. "Aku tak bisa mendengar Daddy. Pancurannya..."
"Ada yang meneleponmu!" teriak ayahnya dari balik pintu.
"Brian anu."
"Bilang aku sudah tidur."
"Kau yakin?"
"Ya," jawabnya tegas.
Ellie keluar dari bawah pancuran dengan limbung dan
mengeringkan badan. Dikenakannya mantel dari bahan handuk, dan
dipandangnya bayangannya pada cermin yang beruap. Wajahnya
tampak pucat, matanya kosong dan hampa.
Kenapa baru sekali ini ia mendengar suara ibunya setelah empat
belas tahun berlalu? pikir Ellie, memandangi cermin seolah-olah
mencari jawabannya di sana.
Dan mengapa ia terus-menerus melihat pisau bergagang perak?
Pisau yang berlumuran darah?
Apakah ada hubungannya dengan Brian Tanner?
Dengan tubuh di hutan itu? Dengan ibunya?
Ia harus menyelidikinya.
Sambil mengencangkan tali mantelnya, Ellie turun ke bawah.
Dilihatnya ayahnya duduk di meja dapur, tangannya memegang gelas
kopi. Ellie langsung bisa melihat matanya merah.
Ia ragu-ragu di pintu. "Dad?"
Ayahnya membuang muka, malu ketahuan habis menangis.
"Dad, bagaimana Mom meninggal?" tanya Ellie lembut. Ia
duduk di kursi di seberang ayahnya.
Ayahnya menggeleng. "Hari ini aku tak bisa bicara lagi tentang
masalah itu, Ellie. Sudah empat belas tahun berlalu, tapi rasanya
seperti baru kemarin aku kehilangan dia. Maafkan aku."
Ellie meremas tangan ayahnya. Air mata membasahi matanya
juga. Apakah sebaiknya diceritakannya apa yang baru saja terjadi di
kamar mandi tadi? Menceritakan bahwa ia melihat pisau itu? Bahwa
ia mendengar suara ibunya?
Tidak. Ayahnya tidak suka pada visi-visinya. Ayahnya tidak
mau mempercayainya. Pokoknya tidak mau.
"Tidak apa-apa," jawab Ellie pelan.
Biar kuselidiki sendiri yang sebenarnya, katanya memutuskan.
**********************************
Sarah tidak masuk sekolah lagi keesokan harinya. Ellie tidak
terkejut, tapi berharap Sarah mau meneleponnya. Ia benar-benar
berharap mereka bisa bicara.
Ellie mengikuti enam pelajaran hari itu dengan pikiran kacau. Ia
tidak bisa berhenti memikirkan ibunya. Ketika bel pelajaran terakhir
berbunyi, ia langsung lari sampai di perpustakaan.
"Selamat siang, Miss Anderson," sapa kepala penjaga
perpustakaan. "Kami punya banyak pekerjaan untukmu hari ini."
"Bagus." Ellie cuma mengangguk. "Tapi mula-mula saya harus
melakukan penelitian untuk tugas sekolah. Cuma butuh waktu
beberapa menit."
Tanpa menunggu reaksi petugas perpustakaan itu, Ellie melesat
ke ruang referensi dan satu-satunya mesin mikrofilm. Selama sedetik
ia menatap tanggal-tanggal di laci tempat penyimpanan film.
Mrs. Anderson meninggal waktu Ellie berusia dua tahun. Itu
berarti empat belas tahun lalu.
Tapi bulan apa?
Ellie memejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang
diceritakan ayahnya padanya.
Tiba-tiba kesejukan udara yang cerah dan bau tanah yang basah
setelah hujan memenuhi hidung Ellie. Ia memejamkan mata,
membiarkan lengannya terkulai lemas, berusaha membiarkan visi itu
masuk.
Pepohonan yang penuh dengan dedaunan berwarna merah,
jingga, dan kuning tampak di pikirannya. Ibunya dibunuh pada musim
gugur. Lalu lentera labu kuning yang menyeringai membuat matanya
langsung terbuka.
Oktober.
Ellie menarik laci berlabel "September-Desember" dan
mengambil beberapa gulungan film. Ia memasukkan gulungan
pertama ke mesin, menghidupkannya, dan menyesuaikan gambarnya.
Halaman pertama The Shadyside Beacon, 1 Oktober, Selasa,
muncul di layar.
Pembunuhan pasti dimuat di halaman pertama, pikir Ellie. Ia
terus memutar gulungan film itu.
Itu dia! Delapan belas Oktober.
WANITA SHADYSIDE DISERANG, DITI-KAM SAMPAI
MATI.
Ditikam!
Ditikam belati perak?
Tenggorokan Ellie tercekat. Mulutnya terasa kering. Pelipisnya
berdenyut-denyut ketika ia memicingkan mata membaca artikel itu.
Kemarin pagi penyerangan dengan pisau yang keji di Fear
Street telah menyebabkan Mrs. Louise Anderson yang beralamat di
Canyon Road Nomor 128 terluka parah.
Polisi kota, yang dihubungi pengendara motor yang lewat,
dalam beberapa menit tiba di lokasi kejadian. Tapi wanita itu sudah
meninggal.
Putri Mrs. Anderson yang berusia dua tahun ditemukan di
dekatnya, menangis tapi tidak terluka sedikit pun, masih duduk di
keretanya. Tidak ada saksi lain.

Dengan perasaan ngeri, Ellie mengalihkan pandangannya dari


layar dan terduduk lemas di kursinya. Ia tidak bisa membaca
lanjutannya. Air mata membasahi matanya dan mengalir di pipinya.
Itu aku!
Aku ada di sana!
Apakah aku melihat ibuku dibunuh?
Dengan air mata yang terasa panas membakar pipinya, Ellie
menatap layar dengan pandangan kosong. Kata-kata itu tampak kabur.
Dan kata-kata itu digantikan oleh bayangan berkabut.
Seorang wanita di trotoar. Hari yang cerah di musim gugur.
Wanita itu—ibu Ellie.
Mrs. Anderson menjerit. Mengangkat kedua lengannya untuk
melindungi wajahnya.
Ellie menutup mulut dengan tangannya. Menahan jeritan yang
keluar dari bibirnya. "Mom! Mom! Tidaaaaaaak!"
Sesaat, mata ibunya yang ketakutan menatap Ellie. "Aku sayang
padamu!" kata ibunya tanpa suara. Lalu Ellie melihat ibunya perlahan-
lahan terkulai di trotoar.
Chapter 8

TUBUH Ellie gemetar hebat, ia tersedu-sedu. Pantas saja


ayahnya tidak bisa membicarakan pembunuhan itu. Ellie tahu ekspresi
wajah ibunya yang ketakutan itu akan menghantuinya seumur
hidupnya.
Sebaris artikel itu terus berputar-putar dalam benaknya: Tidak
ada saksi lain.
Kecuali putrinya yang berumur dua tahun, pikir Ellie.
Kecuali aku.
Dengan tangan gemetar, Ellie meraih tombol di mesin
mikrofilm itu. Ia beralih ke koran edisi hari berikutnya.
TERSANGKA PEMBUNUH DITANGKAP merupakan judul berita
utamanya.
Ia membaca artikel itu dengan mata kabur akibat air mata.
Orang itu adalah penduduk Shadyside. Pakaian berlumuran darah
ditemukan di rumahnya. Pisaunya ditemukan di tempat sampah.
Banyak bukti. Tapi polisi tidak bisa mengetahui motifnya.
"Miss Anderson!" Petugas perpustakaan menjulurkan kepalanya
dari pintu. Keningnya berkerut memandang Ellie. "Kita punya buku-
buku yang harus diletakkan di rak."
"Benar!" Ellie mengusap pipinya yang basah, lalu
mengeluarkan film dan mematikan mesin.
Ketika mengembalikan gulungan-gulungan film ke dalam laci,
ia tahu ia sekarang punya jawaban untuk paling tidak satu pertanyaan
yang terus mengganggu pikirannya. Mengapa ia terus-menerus
melihat pisau itu. Pindah kembali ke Shadyside—dan menemukan
kuburan misterius itu—pasti telah membangkitkan kenangan lama.
Kenangan mengerikan yang sudah empat belas tahun
dikuburkannya.
*********************************
Ellie menekan bel pintu rumah keluarga Wilkins dan terus
menekannya.
Ayo, ayo, katanya dalam hati. Aku tahu kau ada di dalam sana,
Sarah.
Ia tadi menelepon dari perpustakaan. Ada yang mengangkat
telepon. Mengangkatnya. Mendengarkan. Lalu meletakkannya lagi.
Letnan Wilkins memberitahu Ellie bahwa Sarah tinggal di
rumah bibinya. Tapi entah kenapa, Ellie tidak bisa menghilangkan
perasaan bahwa Sarah berada di Shadyside.
Dengan frustrasi, digedornya pintu itu. "Sarah? Ini aku, Ellie."
Diputar-putarnya tombol pintu. Ia terkejut, tombol itu ternyata
berputar.
Ellie menahan napas ketika mendorong pintu sampai terbuka. Ia
memicingkan mata ke koridor yang gelap itu.
"Sarah?" panggil Ellie pelan.
Lorong itu berbau apek. Udara pengap terasa dingin.
Ellie melangkah masuk. Suasana sumpek menyelimutinya.
"Sarah?" panggilnya lagi ketika matanya sudah menyesuaikan
diri dengan kegelapan.
Ellie berusaha mendengarkan. Rumah ini senyap.
"Sarah? Kau di rumah?" Ellie bergerak menaiki tangga. Anak
tangganya berderak karena diinjaknya.
Ketika ia naik, butir-butir debu beterbangan di udara. Ellie
berhenti di puncak tangga.
Baru sekali ini ia berada di dalam rumah ini. Yang mana kamar
Sarah?
"Sarah?" Ellie berhati-hati melangkah ke arah kamar di depan.
Pintunya setengah tertutup. Ellie berhenti di depan pintu. "Sarah? Kau
di dalam?"
Sepi.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Ellie mendorong pintu itu
sampai terbuka lebar. Dengan mencondongkan tubuh, ia memicingkan
mata memandang ke seberang ruangan.
"Sarah? Oh, tidak!" Ellie menjerit ngeri ketika melihat sesosok
tubuh yang tidak bergerak tergeletak di tempat tidur.
Chapter 9

ELLIE mencengkeram kusen pintu, berpegangan kuat-kuat,


susah payah menahan lututnya supaya tidak terkulai. Diterangi cahaya
remang-remang ia bisa melihat rambut hitam lurus Sarah.
Sarah terbaring menelungkup, lengannya terbentang tak
bergerak di sampingnya.
"Sarah? Sarah? Sarah?" Ellie memanggil nama temannya
berulang-ulang.
Perlahan-lahan sosok itu bergerak. Sarah mengangkat
kepalanya, mengusap rambut hitamnya yang berantakan, menatap
Ellie. "Kau?" gumamnya dengan suara serak.
Ellie langsung mendekat ke tepi tempat tidur. "Syukurlah!"
serunya. "Ku... kukira..."
"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Sarah, bangun ke posisi
duduk.
"Sarah... ada apa?" seru Ellie, mengabaikan pertanyaan
temannya tadi. "Ada masalah apa?"
"Banyak," jawab temannya, mengerang.
Sarah menyambar boneka beruang dan memeluknya erat-erat.
Ellie melihat Sarah masih mengenakan seragam pelayan dan sweter
yang dipakainya pada malam polisi membongkar kuburan itu.
Seprai dan selimut tergeletak begitu saja di lantai. Ellie
mendongak, dan melihat tidak ada foto atau poster di dinding, tidak
ada dekorasi apa pun.
"Sarah, a... aku cemas sekali," kata Ellie. "Ayahmu bilang kau
di rumah bibimu, tapi..."
Sarah mendengus. "Rumah bibiku? Aku tak punya bibi," kata
Sarah ketus. Lengannya semakin erat memeluk beruang ketika ia
kembali menghadap ke dinding.
Dengan ragu-ragu Ellie duduk di tepi tempat tidur di samping
temannya. "Kalau begitu ada apa? Tolong ceritakan padaku supaya
aku bisa membantu."
"Kau tak bisa membantu. Tapi aku akan memberitahumu.
'Benda' di kuburan itu kakakku." Tangis Sarah meledak. Ellie
memegang bahu temannya yang bergetar untuk menghiburnya.
Jadi berita itu benar.
"Sejak mengetahuinya, ayahku marah besar. Aku belum bicara
dengannya sejak malam mereka menemukannya. Dia pulang, makan,
lalu pergi lagi. Dia tak mau mengatakan apa-apa padaku. Sama sekali!
Biarpun itu kakakku!"
Bahu Sarah yang kurus bergetar hebat. Ia membenamkan
wajahnya ke boneka beruang sewaktu menangis.
"Oh, Sarah," bisik Ellie sambil membelai rambut temannya.
Waktu berlalu. Bahu Sarah tidak lagi bergetar. Kedua gadis itu
tidak ada yang bicara.
Kesunyian terasa berat, dingin, tak tertahankan.
Beberapa saat kemudian tubuh Sarah mulai santai dan
lengannya tidak lagi memeluk beruangnya erat-erat.
Dia tertidur, pikir Sarah. Diambilnya selimut dari lantai.
Diselimutinya Sarah, lalu ia berjingkat-jingkat keluar kamar.
Sarah yang malang! pikir Ellie. Ini mengerikan sekali! Apa
yang bisa kulakukan?
Aku tentunya tak bisa meninggalkannya sendirian di sini. Tapi
bagaimana kalau ayahnya pulang dan melihatku di sini? Aku tak mau
membuatnya lebih marah lagi!
Mungkin nanti saja aku menelepon dan mengajak Sarah tinggal
di rumahku.
Ellie perlahan-lahan berjalan kembali ke koridor. Ia melihat ada
pintu terbuka di seberang kamar Sarah. Ellie langsung tahu itu pasti
kamar Melinda. Rasa ingin tahu menarik kakinya ke sana.
Ellie mendorong pintu itu supaya terbuka lebih lebar. Pada
setiap dinding tergantung foto-foto. Tempat tidurnya diatur rapi
dengan seprai berbunga-bunga, bantal berenda, dan lipit-lipit yang
menutupi kolong ranjang. Sikat, sisir, botol-botol parfum, dan
peralatan makeup teratur rapi di meja rias dengan permukaan kaca.
Tidak ada setitik debu pun di kamar itu.
Seolah-olah Melinda masih hidup.
Sebuah foto berbingkai di atas meja rias menarik perhatian
Ellie. Diangkatnya. Foto sekolah.
Wajah yang tersenyum itu mirip Sarah, tapi matanya biru.
Rambut Melinda yang hitam panjang tergerai melewati bahunya.
Bagaimana dia meninggal? tanya Ellie dalam hati.
Siapa yang menguburkannya di kuburan gelap dan sepi di hutan
itu?
Mengapa Melinda menghubungi Ellie? Mengapa, setelah begitu
lama waktu berlalu, ia ingin ditemukan?
Ellie mengamati foto itu, mencari-cari petunjuk. Gadis cantik di
foto itu kelihatannya bisa menjadi gadis paling populer di sekolahnya.
Pasti akan terpilih.
Tidak diduga akan meninggal.
Lalu, di depan mata Ellie, foto itu mulai berubah. Senyum
Melinda memudar. Bibirnya yang berwarna gelap bergerak.
Ellie mengerjapkan mata.
Apa yang terjadi? Apa yang kulihat? Bibir Melinda terbuka.
Matanya yang berkilauan perlahan-lahan membelalak ngeri. Melinda
memandang Ellie dan menjerit. Dan menjerit.
Jerit ketakutan yang tidak bersuara.
Foto itu terjatuh dari tangan Ellie. Kacanya berhamburan di
lantai.
Ellie berbalik dan lari.
Secepat kilat ia menuruni tangga, melompati dua anak tangga
terakhir. Ia tersandung dan jatuh menabrak pintu depan.
Sambil berteriak tertahan, ia menyambar tombol pintu dan
menyentakkan pintu sampai terbuka. Udara sejuk menyapu pipinya. Ia
lari terbirit-birit, lengannya berayun-ayun di sampingnya, lari secepat-
cepatnya. Di sepanjang blok.
Mula-mula ia tidak mendengar bunyi kaki berdebam-debam di
trotoar di belakangnya. Bunyi langkahnya sendiri menenggelamkan
semua bunyi lain.
Ketika ia menyadari bahwa ia diikuti, semua sudah terlambat.
Ia berpaling untuk melihat siapa yang ada di belakangnya,
akibatnya ia terantuk dahan pohon tumbang, dan jatuh terjerembap.
Tubuh yang berat jatuh menimpanya, membuat napasnya nyaris
putus.
Dengan megap-megap, ia bersusah payah membalikkan
badannya. Memandang wajah orang itu dengan tatapan nanar.
"Kau!" seru Ellie tertahan.
Chapter 10

"KAUKIRA siapa?" tanya Brian Tanner. Ia beranjak bangun


dan berdiri. Disingkirkannya tanah dan daun-daun mati dari jins
hitamnya.
"A... aku minta maaf," kata Ellie terbata-bata. Siapa tadi
dikiranya? "Aku cuma panik kok," ia mengakui. "Aku tak biasa
dikejar di jalanan gelap."
Dengan hati-hati Brian menyentuh luka di bibirnya. "Kau tak
dengar aku memanggilmu?" tanyanya.
"Kenapa kau mengikutiku?" bentak Ellie, ia bangun ke posisi
duduk. Tulang iganya terasa sakit. Lutut kanannya berdenyut-denyut.
"Memangnya kau pengawalku?"
Sambil mengusap lukanya, Brian menghela napas. "Maunya
begitu. Tapi setelah kejadian kemarin malam, aku tak bisa
menyalahkanmu kalau kau lari dariku..." Suaranya menghilang.
"Karena kau meninggalkan aku di Alma's?" Ellie berusaha
terdengar tak acuh. "Memangnya ada apa?"
Brian mengangkat bahu. "Aku teringat sesuatu. Sori." Ia
mengeluarkan bandana merah dari saku belakangnya dan mengusap
bibirnya. "Jadi kenapa kau tadi lari?" tanyanya.
"Mm..." Ellie tidak tahu harus bilang apa. Apa pun yang
dikatakannya, pasti terdengar tolol.
Ia membungkuk dan memeluk lututnya. Ia merasa sangat marah
dan tersinggung waktu Brian meninggalkannya di coffee shop itu.
Tapi biarpun kejadiannya baru kemarin, rasanya seperti sudah lama
sekali.
Ditatapnya cowok itu. "Kalau kuberitahu, kau pasti
menganggapku gila."
"Jadi coba saja dulu." Brian duduk di sampingnya di atas
rumput. Ia mengambil sehelai daun kering dari rambut Ellie dan
membuangnya. "Ayo. Ceritakan."
Ellie menarik napas dalam-dalam. "Aku lari dari rumah
Wilkins. Aku pergi ke sana untuk bicara dengan Sarah."
Brian mengangguk. "Tadi aku menelepon rumahmu. Karena tak
ada yang mengangkat, kupikir kau pasti pergi mengunjungi temanmu.
Itu sebabnya aku melihatmu dan mengikutimu."
Ia mencondongkan tubuh mendekat, matanya menatap mata
Ellie. "Jadi apa yang terjadi di rumah Sarah? Ada peristiwa buruk?"
"Sarah berbaring dalam kegelapan. Dia kelihatan kacau-balau.
Di... dia memberitahuku itu kakaknya. Yang terkubur di hutan. Sarah
betul-betul sedih."
Sambil bicara, tanpa sadar Ellie mencabuti segenggam rumput.
"Aku tak tahu harus bilang apa," katanya pada Brian. "Boleh dibilang
aku cuma duduk di sana. Dia kecapekan. Benar-benar ambruk. Dia
jatuh tertidur, dan aku sendirian di rumah itu dan..." Ia bergidik.
"Kurasa khayalanku jadi ke mana-mana."
Brian membalas tatapan Ellie dengan serius. Matanya tidak bisa
dibaca.
"Nah, sekarang giliranku bertanya," kata Ellie. "Kenapa kau
mencariku?"
Brian menyentuh bibirnya. Lukanya sudah tidak berdarah.
"Untuk minta maaf. Itu lho. Soal kemarin malam."
"Kudengarkan."
Brian memandang ke bawah, mengutik-utik kuku ibu jarinya
dengan dua jari.
"Sori aku terpaksa kabur seperti itu. Masalahnya... well... waktu
melihat polisi itu masuk ke Alma's, aku ingat aku memarkir Jeep-ku di
tempat dilarang parkir. Kupikir kalau dia melihat mobilku di sana, dia
akan memberiku karcis tilang. Aku tak punya uang untuk membayar
tilang lagi. Jadi aku lari untuk memindahkannya. Aku cepat-cepat
kembali, tapi kau sudah pergi."
"Tilang lagi?" desak Ellie.
Brian cengar-cengir malu-malu. "Aku sudah beberapa kali kena
tilang di kampus."
"Hmmm." Ellie tidak begitu mempercayai cerita Brian. Tapi
cowok itu memang cakep. Tiba-tiba Ellie ingin maju mendekat dan
mencium cowok itu.
"Aku menelepon untuk menjelaskan, tapi kau tak mau bicara
denganku. Kau marah, ya?" tanya Brian pelan.
"Kurasa aku bisa melupakannya," jawab Ellie, bercanda.
"Bagus." Brian mengulurkan tangan untuk membantu Ellie
bangun. Ellie menyambutnya. Lalu Ellie membersihkan bagian
belakang jinsnya.
"Jadi sekarang bagaimana?" tanya Ellie, menatap ke ujung
jalan.
"Sekarang aku mengajakmu jalan-jalan," jawab Brian malu-
malu. "Nonton film atau yang semacamnya."
Ellie tersenyum. Dia mengajakku kencan, pikirnya. Ia tahu
mestinya ia senang. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Suatu
perasaan. Perasaan tidak enak. Sesuatu yang tidak bisa dijabarkannya
pada dirinya sendiri sekalipun.
"Aku tak tahu apakah aku bisa, Brian," didengarnya dirinya
berkata begitu.
"Hah? Kenapa?" Brian bersidekap. "Beri aku satu alasan yang
bagus."
"A... aku tak punya alasan yang bagus. Aku bahkan tak punya
alasan yang jelek. Masalahnya cuma, well, beberapa hari terakhir ini
terasa begitu aneh." Ellie menggigit bibir bawahnya.
"Maksudmu menemukan mayat di hutan itu? Atau karena apa
yang terjadi sebelumnya? Dengan pacar lamamu?"
Ellie tersentak. Ia ternganga kaget memandang Brian. "Apa
maksudmu?" teriaknya.
Dia tak mungkin tahu tentang Tommy Wheaton, kata Ellie
dalam hati. Kenapa Brian bicara begitu?
Brian mengangkat bahu. "Tak ada apa-apa," gumamnya. "Aku
tak punya maksud apa-apa. Betul kok."
"Tidak. Katakan padaku," Ellie ngotot. "Kenapa kau bicara
begitu tentang pacar lamaku?" Ia menatap cowok itu tanpa berkedip,
memaksanya menjawab.
Pipi Brian merona. "Aku... well... kupikir kalau kau segugup ini
di dekat cowok, pasti karena ada yang pernah menyakiti hatimu. Itu
saja."
Seandainya saja sesederhana itu, pikir Ellie sendu.
Brian meletakkan tangannya di bahu Ellie dan membimbingnya
kembali ke trotoar. "Jangan bilang tidak," katanya mendesak. "Besok
Sabtu, kan? Cuaca diramalkan sangat hangat, seperti musim semi.
Mungkin hari hangat terakhir musim gugur ini. Kita akan piknik. Di
Fear Lake. Cuma kau dan aku."
Ellie sudah membuka mulut untuk bilang tidak. Tapi lalu
mengatupkannya.
Piknik kedengarannya memang asyik. Dan ia butuh sesuatu
yang asyik. Mungkin piknik bisa membuatnya melupakan peristiwa
mengerikan yang diketahuinya menimpa ibunya. Dan membantunya
berhenti memikirkan Sarah yang malang dan kakaknya yang sudah
meninggal, Melinda.
"Kau suka naik kano?" tanya Brian.
Ellie mengangguk, masih berpikir keras.
"Kurasa tempat persewaan kano masih buka di akhir tahun
seperti ini. Kita bisa menyewa satu. Kau pernah mendayung ke Fear
Island?"
Fear Island adalah pulau kecil di tengah danau yang terdapat di
Fear Street Woods. Di musim panas pulau itu jadi tempat piknik
favorit penduduk Shadyside. Tapi di siang hari akhir musim gugur,
tempat itu mungkin sepi.
"Chaz boleh ikut sebagai pengawal pribadi," Brian
mengusulkan, sambil nyengir.
Ellie tersenyum juga. Ia tidak bisa menahannya. Kencan dengan
cowok cakep dan melakukan kegiatan yang asyik. Dengan anjingnya
untuk melindunginya.
Peristiwa jelek apa yang bisa terjadi? tanyanya pada diri sendiri.
Peristiwa jelek apa yang bisa terjadi?
Chapter 11

SABTU pagi Ellie makan sereal sambil menonton siaran berita


pagi di TV kecil di atas meja. Chaz berbaring di kakinya, mengunyah-
ngunyah tulang mentah. Sinar matahari pagi masuk ke dapur kecil itu.
Ruangan itulah yang paling terang dan cerah di rumah ini.
Penyiar ramalan cuaca meramalkan hari di musim gugur yang
hangat dan cerah. Lalu penyiar berita muncul lagi di layar. Jantung
Ellie serasa melompat ke tenggorokannya ketika si penyiar berkata,
"Kami kembali lagi ke berita utama—penemuan mayat wanita muda
di kota Shadyside."
Ellie melompat dari kursinya dan membesarkan volume.
Gambar di layar berganti. Ia mengenali bagian luar kantor polisi
Shadyside. Seorang wanita mungil berdiri di tangga. Ia memegang
mikrofon dan menunjuk ke arah pintu depan di belakangnya.
"Dua tahun lalu, kehidupan salah seorang detektif Shadyside
yang paling terkenal hancur berantakan," kata reporter itu. "Putri
Letnan Jack Wilkins yang masih remaja menghilang, tidak
meninggalkan jejak sedikit pun. Sekarang polisi telah
mengidentifikasi mayat yang ditemukan dua malam yang lalu di
sebuah kuburan dangkal sebagai Melinda Wilkins."
Foto sekolah Melinda tampak di layar.
Pemandangan berganti ke pemakaman Shadyside, lalu bergerak
ke hutan tempat Ellie menemukan kuburan itu.
Ellie duduk dan mengangkat sendoknya. Tapi ia terlalu
memusatkan perhatian ke TV sehingga tidak bisa makan. Kamera
kembali menyorot reporter tadi. Di belakangnya, Letnan Wilkins dan
seorang pria yang mengenakan setelan warna gelap berjalan keluar
dari pintu depan kantor polisi.
Reporter itu berlari ke tangga untuk menjumpai mereka.
"Letnan Wilkins!" panggilnya. "Dua tahun lalu, waktu putri Anda
menghilang, dia dimasukkan ke daftar anak yang lari dari rumah."
Letnan Wilkins mengangguk singkat dan terus menuruni
tangga. Reporter itu terpaksa berlari-lari kecil supaya bisa
menyusulnya. "Tapi Anda mengatakan curiga ada yang tak beres.
Kenapa tak ada yang menyelidiki kecurigaan Anda itu?"
Letnan Wilkins berhenti dan mengusap rambutnya. Suaranya
terdengar lelah dan tegang. "Kami tak bisa menemukan bukti adanya
ketidakberesan. Lagi pula, teman-teman putri saya memberitahu para
petugas penyelidik bahwa Melinda memang punya rencana melarikan
diri dengan pacarnya. Itu sebabnya dia dimasukkan ke daftar orang
yang melarikan diri."
"Apakah pacarnya itu sudah ditemukan dan ditanyai?"
"Tidak, dia menghilang pada hari yang sama. Semua usaha
untuk mencarinya gagal. Menurut saya, dia bisa saja dibunuh pada
saat yang bersamaan." Mata Letnan Wilkins menyipit. "Nah, saya
permisi dulu."
Letnan Wilkins berbalik dan berjalan di trotoar. Reporter itu
berlari-lari di belakangnya, memanggil-manggil. "Letnan, bagaimana
putri Anda dibunuh?"
Letnan Wilkins merunduk masuk ke mobil hitam dan
membanting pintunya. Reporter itu mengalihkan perhatiannya pada
kamera lagi. "Itu tadi wawancara eksklusif dengan Letnan Jack
Wilkins, ayah Melinda Wilkins. Polisi Shadyside sekarang
mempertimbangkan kasus ini sebagai kasus pembunuhan. Mereka
meningkatkan pencarian atas pacar Melinda Wilkins. Namanya Brett
Hawkins. Sumber saya mengatakan mereka menggunakan teknologi
komputer baru untuk melacaknya. Siapa saja yang punya informasi
tentang Brett Hawkins, diharap menghubungi polisi."
Mereka mencari pacarnya.
Brett Hawkins.
Wajah lelah Letnan Wilkins menunjukkan bahwa ia bekerja
lembur untuk menemukan pembunuh Melinda. Tapi Ellie berharap ia
juga memperhatikan Sarah. Sarah jelas tidak berada dalam kondisi
yang bisa ditinggalkan sendirian.
Ellie meraih telepon dan menekan nomor telepon Sarah.
Dibiarkannya telepon berdering sepuluh kali. Tidak ada yang
mengangkat.
Ellie menghela napas frustrasi.
Kemarin malam ia juga sudah berusaha menelepon rumah
Sarah. Dan ia sudah mencoba menghubungi Letnan Wilkins di kantor.
Mengapa Sarah tidak mau mengangkat telepon? Dan mengapa detektif
itu tidak mau menjawab teleponnya? Apakah ia ingin Ellie tetap
beranggapan Sarah ada di rumah bibinya?
Ellie memandang jam di atas oven. Pukul sembilan lewat.
Terlambat. Brian akan menjemputnya pukul sepuluh. Ia takkan sempat
berlari ke rumah keluarga Wilkins untuk mencoba menjumpai Sarah.
Ellie bergidik. Foto Melinda melintas dalam ingatannya.
Melinda menggunakan kekuatanku untuk membimbingku ke
kuburannya, pikir Ellie suram. Tapi kenapa foto di bufet itu juga
memanggilku? Apakah ada lagi yang ingin dikatakan Melinda
padaku?
Lalu pikiran mengerikan itu terlintas di kepalanya:
Tangan hanya tinggal tulang yang memanggilnya itu. Pisau
yang berlurnuran darah.
Apakah itu semua peringatan juga? Apakah visi-visi Ellie
kembali karena ia berada dalam bahaya?
Ellie menyingkirkan pikiran menakutkan itu dari benaknya.
"Hari ini hari untuk bersenang-senang," katanya pada Chaz. Anjing itu
menggoyang-goyangkan ekornya seolah-olah memahami kata-
katanya.
***************************************
"Gelisah?" tanya Brian, melirik Ellie. Ia mematikan mesin dan
mencabut kuncinya.
"Uh, tidak. Kenapa kau mengira begitu?" jawab Ellie cepat.
Brian mengangguk ke arah jari-jari Ellie yang mengetuk-ngetuk
pahanya sendiri. "Bisa bolong jinsmu nanti."
"Oh." Ellie menurunkan tangannya. "Sori."
Ellie membuka pintu Jeep. Chaz keluar dari bangku belakang,
nyaris membuatnya terjungkal.
Hutan Fear Street penuh warna. Daun-daun kuning dan merah
berkilat-kilat di bawah langit biru yang cerah. Burung-burung
berkicau seperti ketika musim semi.
Ellie menarik napas dalam-dalam. Udara terasa segar dan
berbau pinus. "Hari yang cerah indah sekali!" serunya ketika mereka
berjalan memasuki hutan.
Di antara pepohonan ia bisa melihat danau itu, berkilauan
seperti kristal. Pondok persewaan perahu berdiri di pinggir, kano-kano
ditumpuk tinggi di sampingnya.
"Kuambil dulu kano untuk kita," kata Brian, sambil meletakkan
keranjang piknik.
"Ya." Ellie mengamati Brian lari ke kano-kano itu.
Brian benar. Ellie memang gelisah. Ia ingin bersenang-senang.
Tapi sesuatu menghalanginya untuk merasa santai dan menikmati hari
ini.
Ellie memikirkan betapa cakepnya Brian dengan celana dari
bahan chino-nya, kemeja flanel biru yang tidak dikancingkan, kaus
putih, topi Cubs biru dan merah yang menutupi rambut merahnya.
Dan Brian membawa banyak makanan. Ellie bisa mencium bau
ayam goreng di dalam keranjang.
Kalau saja Ellie bisa menghilangkan perasaan takut ketika
bersama cowok itu. Kalau saja ia tidak merasa ia harus menjauh dari
Brian.
"Dapat!" teriak Brian dari pondok persewaan. Ia datang berlari-
lari, membawa dua dayung dan dua pelampung.
"Tak ada pelampung untuk Chaz?" tanya Ellie.
Brian langsung berhenti. "Dia tak bisa berenang?"
Ellie tertawa terpingkal-pingkal. "Aku bercanda."
"Hei. Tawamu asyik lho," Brian nyengir padanya. "Aku belum
pernah mendengarnya.
"Thanks," jawab Ellie kaku.
"Dan aku suka rambutmu diekor kuda," kata Brian lagi. "Kau
jadi kelihatan seperti..." Ia ragu-ragu.
"Kuda?" sambung Ellie sambil mengangkat keranjang piknik.
Brian tertawa. "Bukan itu yang ingin kukatakan tadi.
Sebetulnya aku malah tak tahu mau bilang apa." Dipandangnya Ellie
dengan serius. "Kau berbeda dari cewek-cewek lain yang pernah
kencan denganku."
"Oh?" Jantung Ellie berdetak makin cepat. Ia tidak mau
mendengar tentang cewek-cewek lain yang pernah jadi pacar Brian.
Chaz lari lebih dulu, mengendus-endus batang pohon dan daun-daun
yang berguguran.
Ekspresi wajah Brian berubah serius. "Ya. Kau jauh lebih
pendiam. Cewek-cewek biasanya menganggap mereka harus
ngomong terus. Dan kau lebih tinggi."
"Thanks," jawab Ellie, membelalakkan mata. Rayuan gombal.
Mereka berjalan di jalan setapak yang menembus hutan menuju
dermaga kecil di danau.
Ellie melindungi matanya dengan satu tangan dan memandang
ke sepanjang pantai. Tidak ada orang. Jauh dari pantai, seorang
nelayan menarik ikan yang berkilat-kilat dari dalam air.
Ellie berbalik dan melihat Brian berdiri di dekatnya,
menatapnya tajam. Brian menjatuhkan dayung dan pelampung serta
menunduk. Ia mencium bibir Ellie dengan lembut. Bibir mereka
bersentuhan ringan.
Ellie memejamkan mata. Brian begitu lembut.
Chaz menyalak dan Ellie membuka matanya.
Brian tersenyum. "Siap nonton aku bikin malu diri sendiri
dengan mencoba mendayung kano?"
************************************
Mereka bergantian mendayung. Kano itu meluncur mulus di
atas air danau yang tenang.
Fear Island tampak di depan mereka. Ellie mengarahkan kano
ke teluk yang terlindung dengan pantai pasirnya yang kecil. Ia bisa
melihat kayu-kayu gosong berserakan di pasir. Banyak yang piknik di
sana selama bulan-bulan yang bercuaca hangat.
Ellie mendayung kuat-kuat sampai kano mengenai daratan. Lalu
ia melompat turun ke pasir yang basah. Chaz terjun ke air. Sambil
terayun-ayun ke sana kemari ketika berjalan dari buritan ke haluan,
Brian menyerahkan keranjang piknik pada Ellie.
Matahari terasa panas, panas seperti musim panas. Ayamnya
enak dan berlemak, seperti yang disukai Ellie.
Setelah mereka selesai makan, Ellie berbaring di atas selimut.
Di belakang Ellie, Chaz sibuk mengendus semak. Brian berbaring di
atas selimut di sebelahnya, tangannya terlipat di belakang kepala, topi
Cubs-nya menutupi wajahnya.
Mereka mengobrol dan tertawa-tawa selama sejam. Ellie tidak
percaya ia tadi bisa merasa gelisah. Ia teringat pada ciuman Brian.
Apakah cowok itu akan menciumnya lagi?
Ia ingin Brian menciumnya.
Brian bangun dan bertumpu pada satu sikunya. Dirogohnya
keranjang. "Mau apel?"
"Tentu." Ellie duduk. "Kau menyiapkan segalanya."
Brian nyengir dan mengeluarkan apel. "Seperti Adam dan
Hawa," katanya pelan.
Ellie tertawa kaku. Komentar aneh, pikirnya.
Brian menggosokkan apel itu ke kausnya. "Mau kupotongkan?"
"Tentu."
Brian merogoh keranjang lagi dan mengeluarkan pisau.
Ellie terkesiap.
Dipaksanya dirinya supaya tidak menjerit. Dipaksanya matanya
supaya tidak memandang pisau itu. Dipaksanya matanya supaya tetap
menatap wajah Brian.
Wajah Brian tetap tenang ketika ia asyik memotong-motong
apel.
Pisau bergagang perak itu memotong kulit buah yang semerah
darah itu.
Pisau yang dilihat Ellie dalam visi-visi-nya.
Chapter 12

SAMBIL bergidik, Ellie melompat bangun.


Brian kaget, dan mendongak. Pisau itu melayang-layang di
udara. Sari apel menetes dari mata pisau itu.
"Ada apa?" tanya Brian.
"Mm..." Ellie melirik ke hutan dengan panik.
Sambil menenangkan diri, ia memarahi dirinya sendiri. Jangan
sampai dia melihat betapa takutnya kau. Bisa-bisa dikiranya kau gila.
"Pisau itu...," katanya.
"Kelihatan sangat mematikan, ya?" kata Brian dengan ringan,
sambil melambai-lambaikan pisau itu di udara. "Ini pisau kakekku.
Dia memberikannya padaku waktu aku di high school. Dari dulu aku
selalu menyukai pisau ini."
Ellie tidak bisa menghentikan getaran rasa ngeri yang menjalari
punggungnya.
Aku harus menjauh, katanya dalam hati. Menjauh dari pisau
itu—sampai aku merasa normal lagi.
"Aku tak melihat Chaz," katanya. "Aku tak ingin dia tersesat.
Sebaiknya kususul dia."
Brian tertawa, lalu mengupas apel. "Oke. Kalau dua puluh
menit lagi kau tak kembali, aku akan mengirimkan regu pencari."
"A... aku akan segera kembali," Ellie tergagap. Ia berbalik dan
lari ke dalam hutan. Chaz muncul berlari-lari dari balik pohon. Ketika
Ellie berhenti untuk menarik napas, Labrador itu lari mendekatinya.
Ellie berlutut dan mencengkeram kulit kendur di sekitar leher anjing
itu dan membenamkan wajahnya ke bulunya yang hangat.
Hentikanlah rasa panikmu, Ellie. Berpikirlah.
Pisau itu memang kelihatan seperti pisau dalam visimu.
Memangnya kenapa? Banyak pisau punya gagang perak seperti itu.
Ellie merasa lebih tenang. Chaz duduk dan mendengking,
berusaha menjilati muka Ellie.
Bahkan anjingku sendiri pun menganggap kelakuanku payah,
pikirnya.
Aku tak bisa terus-terusan mengulangi kesalahan konyol yang
sama.
Aku bertemu cowok. Memutuskan aku menyukainya. Mulai
melihat visi-visi, dan jadi sinting dengan kecurigaan.
Itu gila. Pokoknya gila.
Ellie menoleh ke pantai. Mungkin sebaiknya kuceritakan saja
soal visiku pada Brian, pikirnya. Entah kenapa, aku merasa dia akan
mengerti.
Lagi pula, dia kan bilang suka padaku karena aku berbeda. Dia
cuma tak tahu bagaimana berbedanya.
Ellie membungkuk, memasukkan kemejanya, dan merapikan
rambut ekor kudanya yang berantakan.
Aku akan bercerita padanya tentang kemampuanku, katanya
memutuskan. Aku tak mau kehilangan dia seperti waktu aku
kehilangan Tommy Wheaton.
Brian akan mempercayaiku. Dia akan mengerti. Aku tahu itu.
Ia duduk memeluk Chaz selama beberapa saat, menunggu detak
jantungnya normal lagi. Lalu, sambil menarik napas dalam-dalam, ia
berdiri dan berjalan kembali ke pantai untuk berbicara dengan Brian.
"Brian?" panggilnya, sambil keluar dari antara pepohonan.
"Brian?"
Ia berhenti dan ternganga memandang pantai yang sepi.
Brian sudah pergi.
Chapter 13

ELLIE mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha


memperjelas pandangannya.
Pasir yang kuning berkilat-kilat diterangi cahaya terang
matahari. Keranjang piknik itu sudah tidak ada. Begitu juga selimut,
mantelnya. Kano itu.
Rasa panik melanda Ellie. Chaz berlari-lari di pantai,
menggonggongi sekawanan burung jalak.
Apakah Brian pergi begitu saja seperti yang dilakukannya di
kedai kopi malam itu? Apakah ia meninggalkan Ellie di sini, di pulau
kecil yang tidak berpenghuni ini?
"Ellie! Hei... Ellie!"
Suara Brian. Ia berputar ke kiri. Dari mana dia memanggil?
Dari hutan?
Ellie berjalan ke arah suara itu—lalu berhenti.
Tidak. Aku tak mau masuk ke hutan lagi. Aku akan menunggu
di pantai. Kalau aku masuk ke hutan—kalau...
Kalau apa?
Lima menit lalu ia sudah memutuskan untuk menceritakan
rahasianya yang paling dalam pada Brian. Sekarang ia tidak cukup
mempercayai cowok itu untuk mau mencarinya ke dalam hutan.
Tetapkan pendirianmu, Ellie, katanya pada dirinya sendiri. Kau
tak bisa ketakutan terus seumur hidup.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Ellie berputar kembali ke
hutan. Ketika berputar itu, ia melihat ujung kano. Kano itu tampak di
antara barisan pohon dan bergerak ke tengah danau.
"Ellie?" teriak Brian dari buritan. Cowok itu membuka topinya
dan melambai-lambaikannya untuk menarik perhatian Ellie. "Sebelah
sini!"
Ellie menghela napas lega. "Hei... sedang apa kau?" serunya,
sambil berlari ke pantai.
"Mencarimu. Aku sudah membereskan semuanya, dan waktu
kau tak muncul-muncul juga, aku jadi cemas. Lalu kudengar Chaz
menggonggong di hutan, jadi aku mendayung kano ke kali kecil ini
untuk mencarimu."
"Oh." Sekarang Ellie merasa goblok dua kali lipat. Ia masuk ke
air dan menyambar ujung perahu, lalu memanggil Chaz. Labrador itu
melompat ke dalam kano, kaki-kakinya yang berpasir terpeleset di
dasar kano yang terbuat dari logam.
"Duduk," kata Ellie tegas. Ia mengambil pelampung dari tempat
duduknya dan mulai memakainya. Tapi talinya kusut.
Dilemparkannya pelampung itu ke lantai kano. Ia masuk dan duduk di
kursinya yang keras.
Ketika mereka mendayung mundur ke pantai, Ellie menoleh
pada Brian. Cowok itu sedang memandangi danau, lengannya naik-
turun sewaktu mendayung di air.
Dia merasa ada yang tak beres, pikir Ellie. Dia tak buta. Dia
melihat aku tadi lari ke hutan seperti kijang yang ketakutan.
Ellie memegang dayungnya erat-erat dan mulai mengayuh
sekuat tenaga.
Kano itu meluncur mulus menembus air jernih yang berkilauan.
Bunyi dayung yang lembut membantunya jadi santai. Matahari terasa
hangat dan menyenangkan di wajahnya.
"Ellie." Di belakangnya, Brian membisikkan namanya. Ia sadar,
Brian berhenti mendayung. Kano itu berputar-putar pelan.
Bulu di lengan Ellie merinding semua. Tiba-tiba ia merasa
takut.
"Ellie." Suara Brian lebih keras sekarang, lebih mendesak.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Tidak, katanya dalam hati.
Aku tak mau mendengar apa yang akan kaukatakan. Kau akan
mengatakan tak ingin bertemu denganku lagi. Kau akan mengatakan
aku terlalu berbeda.
Terlalu aneh.
Tapi ia merasakan panasnya tatapan Brian di punggungnya.
Kekuatan tatapannya ketika memerintahkan Ellie berputar.
"Hei, Ellie."
Ellie berputar cepat dan setengah berdiri.
Karena kaget, Chaz melompat bangun. Sambil mendengking
terkejut, anjing itu melompat ke arahnya.
"Hei!" teriak Ellie ketika keseimbangannya buyar.
Anjing itu maju bergoyang-goyang. Kano miring ke satu sisi—
dan Ellie jatuh ke air.
Dengan lengan menggapai-gapai, ia terjun ke air yang dingin.
Ia tersedak. Menelan air.
Dingin. Sedingin es.
Begitu dingin, sampai otot-ototnya membeku.
Tidak! ĒΒυΚυLάWάS.Β£OGŞρOT.ČøM
Aku harus berenang. Harus naik!
Ia berusaha sekuat tenaga bergerak. Berjuang mengatasi rasa
dingin membeku air yang berwarna gelap itu.
Dengan panik diangkatnya kedua tangannya. Kakinya
menendang-nendang.
Rasa sakit menjalar di satu tangannya ketika buku-buku jarinya
menghantam sesuatu yang keras.
Kano itu!
Sambil masih megap-megap, Ellie mengulurkan tangan, telapak
tangannya mengenai sisi kano yang licin.
"Tidaaak!" Ia melolong parau ketika jari-jari yang lengket
mencengkeram pergelangan kakinya seperti catuk.
Dan menyeretnya ke bawah.
Ia mengangkat kedua tangannya dan mencoba menyambar
kano. Ia mencengkeram bagian sampingnya, berusaha menemukan
sesuatu untuk dijadikan pegangan.
Tapi tangan yang kuat di pergelangan kakinya itu terus
menariknya ke bawah, makin ke bawah.
Tendangan yang kuat tidak bisa membebaskannya.
Ke bawah, ke bawah. Paru-parunya seperti mau pecah.
Aku akan tenggelam adalah satu-satunya yang ada dalam
pikirannya.
Chapter 14

TIDAK! Jangan!
Aku tak mau mati seperti ini.
Di air yang gelap.
Dengan menggunakan tenaga terakhirnya, Ellie menendang
kuat-kuat—dan merasa kakinya dilepaskan.
Ia mengangkat tangannya dan meluncur ke atas.
Yes. Yes!
Naik sekarang. Menembus air sedingin es. Ia membuka mata,
dan memandang ke dalam air.
Ketika muncul di permukaan, ia segera menghirup udara
banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang serasa terbakar. Ia
terbatuk-batuk hebat.
Di atasnya, Chaz menyalak-nyalak dari kano. Ellie
mengulurkan tangan dan mencengkeram pinggir kano dengan satu
tangan, sambil masih berusaha menenangkan napasnya.
Brian? Mana dia?
Air mengalir di wajahnya. Ia memicingkan mata memandang
kano.
Topi Cubs biru dan merah Brian tergeletak di lantai kano. Chaz
berdiri di dekatnya, menyalak-nyalak ribut.
Mana Brian?
Rasa panik menyesakkan dadanya. Ellie cepat-cepat mengusap
air dari matanya, menyibakkan rambutnya, matanya mencari-cari ke
danau.
Ia mendengar teriakan tidak jauh dari tempatnya. Ia menoleh ke
belakang, dilihatnya ada perahu berayun-ayun di air, meluncur cepat
ke arahnya.
Nelayan yang dilihatnya tadi. Ia mendayung kuat-kuat, datang
untuk menyelamatkannya.
Tapi mana Brian?
"Brian! Brian!" Ellie mulai berenang berputar, memanggil-
manggil nama Brian. Ia berenang beberapa meter dari kano, takut
pergi terlalu jauh.
Ia tersentak ketika melihat Brian. Cowok itu mengambang
tertelungkup di air. Kedua lengannya terkulai lemas di permukaan air.
Ellie cepat-cepat berenang mendekatinya, dan dengan
menggunakan pegangan untuk menyelamatkan orang tenggelam, ia
menarik Brian supaya tertelentang.
Apakah dia bernapas? Apakah dia masih hidup?
Ya!
Tapi matanya terpejam dan wajahnya pucat pasi.
Perahu nelayan itu mengitari kano dan bergerak mendekat.
"Sebelah sini!" teriak Ellie. "Cepat! Sebelah sini!"
"Aku melihatmu!" teriak nelayan itu, mendekati mereka. "Hari
yang cerah untuk berenang!"
******************************
Ellie berlutut di tanah dan membungkuk di atas Brian. "Kau
baik-baik saja? Kau kelihatan agak lebih baik. Mukamu sudah tak
pucat lagi."
Brian terbatuk. "Aku tak apa-apa. Masih pusing sedikit. Dan
kedinginan." Sekujur tubuhnya gemetaran di balik kain terpal yang
diselimutkan nelayan itu di tubuhnya.
"Aku juga kedinginan," kata Ellie, gemetar.
"Mana Raphe?" tanya Brian. Nelayan itu sudah
memperkenalkan diri sebagai Raphe.
"Pergi mengambil mobilnya. Dia akan mengantarkan kita
pulang."
"Kencan pertama yang hebat," gumam Brian.
"Lama juga kau pingsan," Ellie memberitahu. "Tapi Raphe
membuatmu siuman."
"Dia menyelamatkan nyawaku," kata Brian lirih, matanya
masih nanar.
"Sebetulnya, Chaz yang menyelamatkan nyawa kita berdua,"
kata Ellie. "Raphe mendengar Chaz ribut menggonggong-gonggong.
Itu sebabnya dia jadi tahu ada yang tak beres."
""A... apa yang terjadi?" tanya Brian lemah, badannya gemetar
hebat di balik terpal. "Maksudku, aku melihatmu jatuh dan..."
Suaranya menghilang.
"Aku tak tahu pasti," jawab Ellie dengan suara bergetar. "Aku
jago berenang. Tapi sesuatu..."
"Aku takut sekali," potong Brian. "Kau tenggelam, dan tak
muncul-muncul. Aku jadi panik. Aku terjun menyusulmu."
Ia terbatuk-batuk, memejamkan mata sampai batuknya berhenti.
Lalu ia melanjutkan, "Airnya dingin sekali. Dan begitu gelap. Aku tak
bisa melihatmu. Kurasa aku menyelam terlalu dalam atau bagaimana.
A... aku mencengkeram sesuatu. Aku bergerak menarik diriku ke
atas."
Kau mencengkeram pergelangan kakiku! pikir Ellie.
Brian, kau tak menyadarinya, tapi kau menarikku ke bawah.
"Tapi aku terlalu banyak menelan air," lanjut Brian dengan
parau. Ia mengulurkan tangannya dan memegang tangan Ellie dengan
lemah. Tangannya sedingin es seperti tangan Ellie juga. "Aku tak bisa
melihat. Aku naik ke permukaan. Kukira kau ada di sana bersamaku.
Aku mencoba menarikmu ke atas. Tapi... aku pingsan, kurasa. Lalu
kau menyelamatkan aku."
Ellie menatapnya, gemetaran.
Jari-jari Brian yang dingin memegangi Ellie lebih erat. Brian
bangun dan mencium pipi Ellie sekilas. Ellie memalingkan muka
untuk mencium Brian.
Bibir Brian terasa lembut. Lembut dan dingin.
Lalu cowok itu berbaring lagi di tanah. "Wah, aku capek
sekali," bisiknya, kelopak matanya setengah terpejam. "Terima kasih
karena kau sudah menyelamatkanku, Ellie," katanya serak. "Biarpun
mestinya aku yang menyelamatkanmu."
"Hah? Menyelamatkan aku?" Ellie menatapnya. "Apa
maksudmu, Brian?"
Cowok itu tidak menjawab.
"Apa maksudmu?" ulang Ellie melengking. "Apa maksudmu,
kau mestinya menyelamatkanku?"
Brian sudah tertidur. Ellie memandanginya, mengamati
wajahnya. Napasnya tenang dan teratur. Cowok itu tampak seperti
anak kecil, tidurnya begitu damai.
Kami baik-baik saja, pikir Ellie bersyukur. Kami berdua baik-
baik saja.
Dengan bahagia, diremasnya tangan Brian.
"Ummm." Brian menghela napas, tersenyum dalam tidurnya.
Ellie membungkuk dan mencium pipi Brian dengan lembut.
Bibir Brian bergerak. "Melinda," gumamnya lirih.
Chapter 15

JANTUNG Ellie berhenti berdetak.


Melinda. Dia tadi bilang Melinda?
Ya. Dia membisikkan nama itu dengan penuh kelembutan.
Tapi kenapa?
Apakah dia kenal Melinda Wilkins? Melinda bukan nama yang
terlalu umum, pikir Ellie.
Kenapa dia membisikkan nama Melinda? Ia melepaskan
tangannya dari pegangan Brian. Tangannya terkulai di tanah.
Ia memeluk dirinya sendiri erat-erat, berusaha menghangatkan
tubuhnya. Matahari menghilang di balik awan yang besar dan
kelihatan empuk. Langit semakin gelap, dan pikiran Ellie jadi gelap
juga.
Ia menatap Brian dengan perasaan tidak enak. Apakah dia kenal
Melinda Wilkins? Kenapa dia sekarang menggumamkan namanya?
Kenapa dia teringat pada Melinda?
Ellie ingat waktu Brian menyelinap keluar dari Alma's ketika
Letnan Wilkins datang.
Apakah Brian benar-benar takut kena tilang? Atau ia takut
Letnan Wilkins akan mengenalinya?
Kejadian di danau tadi berputar lagi di dalam otak Ellie.
Apakah Brian tahu ia menarik Ellie ke dalam air? Dengan polos Brian
mengatakan tadi memegangi sesuatu di air yang gelap. Tapi apakah ia
tahu itu pergelangan kaki Ellie?
Apakah ia cuma pura-pura pingsan di air? Kalau nelayan itu
tidak datang, apakah Brian akan menariknya ke bawah?
Pikiran sinting, pikir Ellie.
Pikiran sinting yang menakutkan.
Aku sudah gila. Mestinya aku dimasukkan rumah sakit jiwa
saja. Brian terjun ke danau untuk menyelamatkanku. Dia
mempertaruhkan nyawanya untukku. Dan inilah aku, malah punya
pikiran sinting tentang dia.
Dia cowok hebat. Cowok luar biasa. Dan dia kelihatannya
betul-betul sayang padaku.
Jadi kenapa aku takut padanya? Kenapa aku melihat visi yang
begitu mengerikan jika berada di dekatnya?
********************************
Apa yang kulakukan di sini? tanya Ellie dalam hati.
Ia membungkuk di bangku dan menatap lorong berlantai
keramik yang panjang itu. Dari ruang sebelah ia bisa mendengar bunyi
keyboard komputer dan suara-suara pelan polisi.
Perutnya keroncongan. Ia tadi belum makan malam. Tidak
punya nafsu makan.
Setelah Raphe mengantarkannya pulang, ia mandi air panas,
berganti pakaian dengan piama yang hangat, masuk ke bawah selimut,
dan lama tertidur pulas. Ia bangun sekitar jam makan malam, lalu
berusaha menghubungi Sarah lewat telepon. Tetap tidak berhasil.
Ia cepat-cepat berganti pakaian, mengenakan jins dan kaus
lengan panjang abu-abu. Lalu, dengan masih merasa lelah dan pusing
karena pengalaman mengerikan di danau tadi, ia naik bus ke kantor
polisi Shadyside.
Ia duduk di bangku kayu keras di ruang tunggu yang terang
benderang, bergerak-gerak gelisah, bertanya-tanya apa yang akan
dikatakannya pada ayah Sarah.
Akhirnya sersan penerima tamu mengantarkannya ke ruang
kerja Letnan Wilkins. Ketika ia masuk, Letnan Wilkins pelan-pelan
mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas di mejanya.
Ellie tidak bisa menyembunyikan perasaan kaget yang tampak
di wajahnya. Detektif itu tampak lebih tua sepuluh tahun dalam waktu
semalam saja! Di sekeliling matanya ada lingkaran merah dan
matanya sendiri tampak merah juga. Dasinya kotor dan tergantung
longgar di kemejanya yang kusut.
"Aku tahu, Ellie," kata Letnan Wilkins sebelum Ellie sempat
bicara. "Kau cemas memikirkan Sarah. Kau ingin dia tinggal di
rumahmu akhir pekan ini. Aku sudah bilang padamu, dia di rumah
bibinya, karena kurasa dia butuh beristirahat. Hal terakhir yang
dibutuhkannya..." Suaranya menghilang.
"Kenapa Sarah tak mau mengangkat telepon?" desak Ellie.
"Saya berkali-kali meneleponnya."
"Dia sangat kacau," jawab Letnan Wilkins sedih. Ia
memejamkan mata dan dengan lelah menggosok hidungnya dengan
ibu jari dan telunjuknya. "Semuanya terasa sangat sulit—bagi kami
berdua."
Ellie ragu-ragu. Lalu tanpa pikir panjang ia mengatakan hal lain
yang ada dalam pikirannya, "Saya ingin tahu tentang pacar Melinda."
Wilkins membuka matanya dan menatap Ellie tajam. "Brett
Hawkins?"
"Ya. Saya tak ingat namanya," jawab Ellie.
Sesaat Wilkins tidak bergerak. Ia terus menatap Ellie,
keningnya berkerut. Lalu ia menunjuk kursi kayu di depan mejanya.
"Duduklah dan ceritakanlah padaku apa yang terjadi. Kenapa kau
ingin tahu tentang Brett?"
Ellie ragu-ragu duduk di kursi itu dan mencengkeram lengan
kursi. Ia berdeham. Ia tidak tahu harus bilang apa.
Apakah ia harus mengatakan pada Letnan Wilkins bahwa Brian
membisikkan nama Melinda?
Bahwa Brian punya pisau bergagang perak seperti yang
dilihatnya dalam visinya?
Bahwa putri letnan itu yang sudah meninggal telah
memanggilnya melalui foto?
Oh, tidak, pikir Ellie. Kalau aku mengatakan semua itu, dia
akan menganggapku gila.
Apa yang telah kulakukan? tanyanya dalam hati. Kenapa aku
datang kemari?
"Ellie? Kau baik-baik saja?" tanya Letnan Wilkins, suaranya
lembut. "Kau ingin Coke atau yang lainnya?"
Ellie menggeleng, dan menunduk memandangi kakinya.
"Brett Hawkins," ulang Letnan Wilkins pelan. "Dia mungkin
sudah meninggal juga. Kami tak bisa menemukannya. Sudah dua
tahun kami mencarinya." Ia menghela napas, menggeleng-geleng.
"Tubuhnya mungkin akan ditemukan di hutan Fear Street. Seperti
Melinda." Suaranya parau.
Ellie menatapnya tanpa berkata apa-apa, setengah mati berusaha
memikirkan apa yang harus dikatakannya.
"Brett orang terakhir yang melihat Melinda—dalam keadaan
hidup," Letnan Wilkins memberitahu. "Siapa pun yang membunuh
Melinda mungkin membunuhnya juga."
Perut Ellie seperti diaduk. Ia tiba-tiba merasa mual. "Melinda
kenal anak laki-laki bernama Brian Tanner?" tanyanya pelan. Begitu
pelan sehingga Letnan Wilkins menyuruhnya mengulangi
pertanyaannya.
Lalu letnan itu mengusap-usap dagunya dengan serius.
"Tanner? Dia tinggal di Shadyside?"
Ellie menggeleng.
"Tidak," jawab Letnan Wilkins akhirnya. "Aku tak ingat nama
itu."
Ellie menghela napas pelan karena lega. Kalau Brian kenal
Melinda Wilkins, polisi pasti sudah menanyainya ketika Melinda
menghilang. Tapi Letnan Wilkins tidak pernah mendengar tentang dia.
Itu berarti Brian pasti menggumamkan nama Melinda yang lain.
Itu berarti perasaan takut Ellie terhadap Brian betul-betul
konyol.
"Saya rasa saya tak punya sesuatu untuk disampaikan," 'kata
Ellie, sambil berdiri. "Maaf saya menghabiskan waktu Anda. Saya
cuma..."
"Ini. Ini foto Brett Hawkins," kata Letnan Wilkins. Ia
mengambil selembar foto kecil dari map di depannya. "Fotonya tak
terlalu jelas. Waktu Melinda baru menghilang, aku menemukannya di
antara barang-barang Melinda. Kami menyebarkan fotokopi foto itu
ke mana-mana, tanpa hasil."
Letnan Hawkins mencondongkan tubuh dan menyerahkan foto
itu pada Ellie.
Dengan jari-jari gemetaran, Ellie mengambil foto itu.
Dipandangnya dari dekat dan dilihatnya sepasang remaja berdiri di
depan sepeda motor. Lengan cowok itu merangkul santai bahu
ceweknya. Kepala si cewek bersandar di dadanya.
Ellie mengenali Melinda. Lalu didekatkannya lagi foto itu untuk
mengamati cowok itu.
Rambutnya yang hitam pekat diikat jadi buntut kuda. Ia
mengenakan jins ketat, jaket kulit hitam, dan sepatu bot koboi.
Senyumnya menarik.
Dan matanya...
Jantung Ellie terasa dingin.
Mulutnya jadi kering.
Ia pasti mengenali mata itu di mana pun.
Itu mata Brian.
Brian Tanner adalah Brett Hawkins.
Chapter 16

ELLIE terkesiap ketika memandangi foto itu. Brian Tanner,


tangannya merangkul Melinda, tersenyum padanya dari foto itu.
Lalu wajahnya tampak kabur. Seluruh foto itu jadi kabur. Ellie
mengangkat pandangannya. Dinding kantor tampak memudar dan
kabut putih tebal melayang masuk.
Di depannya, Ellie bisa mendengar Letnan Wilkins bicara. Tapi
ia tampak begitu jauh, di balik kabut, dan ia tidak bisa menangkap
kata-katanya.
Ellie duduk tegak di kursi. Foto itu terjatuh ke lantai. Karpet di
bawahnya menghilang. Daun-daun mati berwarna cokelat berserakan
di kakinya.
Apa yang terjadi?
Pohon yang gelap menjulang di depan Ellie. Ia mencium bau
daun-daun membusuk dan tanah lembap. Visinya terpusat ke bawah
akar pohon itu, ke lubang gelap yang dalam.
Turun, turun.
Benda apa itu? Terkubur di dasar lubang. Penuh jamur dan
karat.
Semakin dekat, Ellie jatuh berlutut. Turun. Turun ke tanah yang
gembur.
Sampai akhirnya benda itu terlihat jelas. Sebilah pisau
bergagang perak.
Ellie mengulurkan tangan untuk meraihnya. Pisau itu
menghilang dalam kegelapan. Jemarinya cuma mencengkeram udara.
Suara Letnan Wilkins mengalir turun ke dalam lubang.
"Melinda ditikam," katanya, suaranya masih terdengar jauh.
Ellie melayang naik. Kembali ke kabut putih.
"Siapa yang tega membunuh gadis kecilku?" Suara sedih polisi
itu membuyarkan kabut.
Ellie mengerjapkan mata. Ia mendapati dirinya kembali di
ruang kerja yang kecil itu. Ia membungkuk dan memungut foto dari
lantai. "Saya rasa saya bisa membantu," bisiknya.
Wilkins melompat berdiri, matanya yang tampak merah
menatapnya. "Apa? Apa yang kauketahui?" desaknya. Ia melangkah
memutari meja. "Katakanlah!" katanya memohon.
Ellie mendongak menatapnya, masih setengah berada dalam
visinya, masih melayang-layang di kabut yang makin tebal.
Letnan Wilkins mengguncang-guncang bahu Ellie. "Apa? Ellie,
kau harus mengatakannya padaku. Aku harus menangkap monster
yang membunuh anakku."
"Saya rasa saya tahu di mana senjata pembunuh itu."
Letnan Wilkins tersentak. "Bagaimana caranya?"
"Sama seperti cara saya menemukan anak Anda." Perlahan-
lahan Ellie menaikkan pandangannya untuk menatap mata Letnan
Wilkins. Ia harus menceritakan visi itu pada si letnan.
"Saya melihat visi," katanya dengan suara tertahan.
"Visi? Maksudmu mimpi?"
"Semacam itu. Hanya saja saya dalam keadaan bangun. Tapi
seperti mimpi, saya tak bisa mengendalikannya. Dan seperti mimpi,
semuanya ada dalam pikiran saya. Semuanya gambar yang begitu
jelas saya lihat. Semuanya seperti pesan dari..."
Ia berhenti. Sulit sekali menjelaskannya. Letnan Wilkins
menatapnya, tidak berkedip, tidak bergerak. "Pesan dari orang lain?"
tanyanya, suaranya pelan. "Dari alam lain? Seperti dari putriku?"
Ellie mengangguk pelan. "Saya tak tahu bagaimana caranya,
tapi Melinda menggunakan kemampuan saya untuk membawa saya ke
kuburannya," ia menjelaskan. "Dia ingin ditemukan."
Wajah Wilkins mengerut kesakitan. Sesaat ia seakan lupa ada
Ellie di ruangan itu. Lalu ia kembali menatap Ellie.
"Kau bilang kau tahu di mana senjata pembunuh itu. Kau
melihatnya dalam visi juga?"
Ellie mengangguk. "Ya. Barusan. Setelah saya melihat foto..."
Ia tergagap. Belum. Ia takkan memberitahu Letnan Wilkins tentang
Brian Tanner dulu. "Brett Hawkins. Saya melihat sebilah pisau di
dasar lubang."
Letnan Wilkins cepat-cepat memegang lengan Ellie. "Pisau?
Pisau macam apa? Kau bisa membawaku ke pisau itu?"
Ellie menarik lengannya. Jari-jari letnan itu terasa menyakitkan
pergelangan tangannya. "Saya rasa saya bisa menemukannya,"
sahutnya. "Kalau kita kembali ke tempat kita menemukan Melinda."
Letnan Wilkins melangkah panjang-panjang dan cepat-cepat.
Diambilnya jaketnya dari sandaran kursinya dan dibukanya pintu. Ia
mendorong Ellie keluar dari ruang kerjanya dan mengangguk pada
sersan penerima tamu. "Dua puluh menit lagi aku kembali. Kami pergi
ke lokasi kuburan. Kau bisa menghubungiku lewat radio mobil."
Ketika mereka sampai di pemakaman, matahari hampir
terbenam. Semburan-semburan warna merah jambu menghiasi langit
ungu. Angin terasa hangat, nyaris pengap.
Ketika Ellie turun dari mobil polisi, kakinya terasa seperti karet.
Hari yang panjang sekali, pikirnya. Apa benar baru tadi pagi Brian
dan aku pergi ke danau?
Ia berjalan mendului di jalan setapak yang penuh bekas tapak
kaki. Semak-semak dan rumputnya habis diinjak-injak polisi dan
orang-orang yang ingin menonton. Ketika mereka sampai di kuburan
Melinda, yang tertinggal hanyalah tumpukan tanah dan lubang yang
menganga.
Ellie melirik lubang itu. Perutnya mual.
"Berpikirlah, Ellie," desak Letnan Wilkins. "Atau santailah,
atau lakukan apa saja yang harus kaulakukan untuk menemukan
senjata pembunuh itu. Itu mungkin satu-satunya kesempatan yang kita
punyai untuk menangkap pembunuh Melinda."
"Oke." Ellie menarik napas dalam-dalam.
Ia mengelilingi lubang itu, membiarkan pikirannya jadi kosong
waktu ia bergerak. Langit semakin gelap dan semburan warna merah
jambu tadi memudar menjadi ungu. Embusan angin semakin dingin.
Ellie mencoba mengingat apa yang dilihatnya dalam visinya.
Pohon yang besar. Berbonggol-bonggol, dengan akar bertonjolan.
Ia mengangkat pandangannya. Di pinggir kumpulan pohon
pinus berdiri sebatang pohon ek. Pohon itu menjulang di atas
kepalanya, dahan-dahannya menjulur ke langit. Ellie mengamati
bagian bawah batangnya. Akarnya sama persis dengan akar pohon
dalam visinya.
"Ini pohonnya," bisik Ellie. Letnan Wilkins berjalan tepat di
belakangnya. Ellie berlutut di tanah. Jari-jarinya menyingkirkan daun-
daun dan tanah sampai ditemukannya lubang sebesar lingkaran
lengannya.
Ia memandang Letnan Wilkins. Polisi itu jongkok di
sampingnya, menatap lubang itu. "Saya rasa ada di dalam sana," kata
Ellie.
"Bagus." Mulut si letnan terkatup rapat. "Tanganku terlalu besar
untuk bisa masuk ke sana. Kau bisa melakukannya, Ellie?"
Ellie mengangguk.
"Itu barang bukti penting, jadi kau harus memakai sarung
tangan karet," perintah Letnan Wilkins. Ia mengeluarkan sarung
tangan dari kantong jaketnya. "Kalau kau menemukan sesuatu, kita
akan langsung memasukkannya ke kantong barang bukti. Aku tak
ingin ada sidik jari yang terhapus."
Ellie memakai sarung tangan karet itu. Di sampingnya, letnan
itu mengamati semua gerakannya.
Ellie memasukkan lengan kanannya ke lubang. Ia memutar
pergelangan tangannya, berusaha menggerakkan tangannya
menembus dedaunan dan tanah yang menghalanginya.
Ia meraih... meraih...
Dan jemarinya menyentuh sesuatu yang panjang dan licin.
Ia menahan napas.
Dicengkeramnya benda itu. Perlahan-lahan, dengan hati-hati,
ditariknya keluar.
Sebilah pisau.
Penuh karat dan tanah yang melekat.
Ellie memeganginya dengan ibu jari dan telunjuknya serta
mengacungkannya pada Letnan Wilkins.
Mata polisi itu terbelalak. Lama dipandanginya pisau itu tanpa
berkata apa-apa.
Akhirnya ia menghela napas pedih. "Aku mengenalinya,"
gumamnya dengan suara bergetar. "Aku mengenalinya. Brett Hawkins
sering memamerkan pisau itu."
"Tidak," bisik Ellie. Pisau itu hampir terlepas dari tangannya.
Letnan Wilkins akhirnya mengalihkan pandangannya dari pisau
itu. "Kurasa aku ingin percaya Brett sudah mati," katanya penuh
emosi. "Aku tak mau percaya dia yang membunuh Melinda. Tapi ini
senjatanya. Pisau Brett."
Ia terdiam beberapa saat. Lalu dikeluarkannya kantong plastik
barang bukti.
"Aku tak tahu kenapa dia membunuh Melinda," gumam Letnan
Wilkins, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Ellie. "Aku selalu
menganggapnya agak sok jago. Tapi bukan anak jahat. Selama dua
tahun ini, aku mengira dia dibunuh juga. Tapi kurasa aku salah."
Ellie bersandar ke batang pohon. "Aku tahu di mana dia,"
katanya tidak sadar. Wilkins memicingkan mata menatapnya tajam.
"Hah? Kau bilang apa? Bagaimana kau tahu di mana dia berada? Visi
lagi?"
"Bukan." Ellie menggeleng. Karena sekarang ia sudah tahu
yang sebenarnya, ia ingin semua ini selesai. "Saya bertemu dia di
perpustakaan. Dia bilang pada saya namanya Brian Tanner. Dia ramah
sekali. Dia kelihatan seperti cowok baik. Tapi saya rasa dia berteman
dengan saya cuma untuk mengorek informasi tentang Melinda. Dia
pasti sudah tahu saya berteman dengan Sarah."
Brian tak pernah menyukaiku, pikir Ellie pahit. Semua yang
dikatakan atau dilakukannya, bahkan ciumannya yang lembut, cuma
pura-pura.
Letnan Wilkins menarik napas dalam-dalam. Biarpun keadaan
remang-remang, Ellie bisa melihat mukanya jadi pucat sekali. "Brian
Tanner, hah? Kau bisa mengantarkan aku ke rumahnya?"
"Saya tak tahu pasti di mana dia tinggal," jawab Ellie. "Dia
memberitahu saya dia tinggal dengan kakek-neneknya di
Waynesbridge. Tapi itu bisa saja bohong juga."
Wilkins mengangguk. "Itu informasi yang lebih banyak
daripada yang kami peroleh selama dua tahun. Terima kasih, Ellie." Ia
meremas tangan Ellie dengan penuh rasa terima kasih. Ia menyambar
kantong barang bukti dan berjalan keluar hutan. Ellie berjalan pelan di
belakangnya.
Ketika mereka sampai di mobil polisi, Letnan Wilkins
menyampaikan informasi tadi lewat radio ke kantornya. Ellie tidak
mendengarkan. Ia ingin pulang dan memutar musik keras-keras,
begitu keras sampai bisa menenggelamkan pikiran-pikirannya yang
kacau dan pahit.
Letnan Wilkins memberi tanda supaya Ellie masuk ke mobil.
Ellie menggeleng. "Saya ingin pulang jalan kaki saja," katanya.
"Saya perlu jalan-jalan sedikit."
"Brian bisa saja berbahaya," Letnan Wilkins memperingatkan.
"Dia tak menduga saya tahu sesuatu," jawab Ellie.
"Kalau dia meneleponmu, coba tanya alamatnya," perintah
Letnan Wilkins. "Kalau kau bertemu dia lagi, segera hubungi aku.
Kau mengerti?"
Ellie mengangguk. Ia mengucapkan selamat malam dan mulai
berjalan menyusuri Fear Street.
Bunyi gemeresik di semak membuatnya berhenti. "Hah? Siapa
itu? Ada orang disana?" serunya. Bulu-bulu di lengannya berdiri
semua.
"Ellie!" panggil sebuah suara dari balik pohon.
Ellie menjerit kaget.
Sarah Wilkins maju mendekatinya. Rambut hitam Sarah penuh
tanah dan kusut masai. Ia mengenakan mantel mandi yang sudah
robek-robek. Ellie memicingkan mata dan melihat Sarah bertelanjang
kaki.
"Sarah? Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Ellie.
Sarah mencengkeram tangan Ellie. "Mencari ayahku. Di mana
dia?"
"Kenapa? Ada apa? Kau tak pakai baju. Kau mestinya tak boleh
di sini..."
"Aku menelepon kantor polisi," potong Sarah. "Sersan
penerima tamu bilang, ayahku menemukan pemecahan dalam kasus
itu." Sarah memandang Ellie dengan mata bergerak-gerak tidak
keruan. Pipinya memerah. "Kau ada hubungannya dengan pemecahan
itu?" desaknya. "Kau mengetahui sesuatu lagi tentang kematian
kakakku?"
Ellie meraih bahu Sarah, berusaha menenangkannya. "Ya. Dan
semuanya akan beres."
"Apa maksudmu?" Sarah mencengkeram lengan Ellie.
Ellie ragu-ragu, tidak tahu pasti seberapa jauh yang bisa
dikatakannya pada temannya. "Well, kau ingat Brian Tanner? Cowok
di Alma's dulu itu? Dia sebetulnya Brett Hawkins, pacar Melinda.
Ayahmu menganggap dia yang membunuh kakakmu."
"Apa?" Sarah terhuyung-huyung, lengannya terbentang untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya.
Ellie memegangi temannya, khawatir Sarah pingsan. "Sarah,
kau tak lihat? Ini berita bagus. Sekarang polisi bisa menangkap
pembunuh kakakmu!"
"Tidak. Tidak," erang Sarah, menggeleng-geleng.
Ellie mengira perasaan panik membuat otot-otot Sarah tegang.
Ada apa?
"Sarah." Ellie memegangi Sarah dengan kedua tangannya. "Kau
baik-baik saja?"
"Tidak!" jerit Sarah. Ia menyentakkan tangannya supaya
terlepas dari pegangan Ellie. "Pergi dariku," geramnya. "Pergi. Kau
tak mengerti. Kau takkan bisa mengerti! Tak seorang pun bisa!"
Ia berputar dan berlari pergi.
"Sarah!" panggil Ellie. Sarah berlari ke tengah jalan, kakinya
yang telanjang memukul-mukul trotoar, mantelnya melambai-lambai
di belakangnya.
Maafkan aku. Aku tak bisa mengejarmu, Sarah, pikir Ellie,
sambil terengah-engah. Aku terlalu capek.
Sarah yang malang.
Dia tak kuat menghadapi semua ini.
Ellie tetap berada di pinggir jalan dan melangkah enggan
menuju rumahnya. Ia baru saja membelok ke Park Drive, ketika mobil
Letnan Wilkins lewat tanpa mengurangi kecepatan. Tampaknya polisi
itu tidak melihatnya.
Ketika mobil itu lewat, ia melihat profil Letnan Wilkins sekilas.
Polisi itu menatap lurus ke depan, badannya condong ke depan dengan
kaku, kedua tangannya di atas setir mobil.
Perjalanannya serasa tidak ada habisnya. Akhirnya sampai juga
Ellie di rumah. Ia memutar-mutar kunci. Didorongnya pintu depan
sampai terbuka. Chaz segera menyerbu menyambutnya,
mendengking-dengking keras dan tajam, ekornya sibuk bergoyang-
goyang.
"Halo? Dad? Sudah pulang?" seru Ellie. Dad mungkin tertidur
di kursinya, pikirnya.
Didorongnya pintu depan supaya menutup, lalu ia melangkah
ke ruang tamu yang gelap.
Ada orang yang sedang duduk di kursi santai.
"Hei, Dad... kenapa tak menyalakan lampu?" seru Ellie.
Orang itu bergerak cepat, bangun dari kursi dengan gerakan
sigap.
Dan Ellie baru menyadari yang dilihatnya itu bukan ayahnya.
"Brian!" teriaknya. "Kau bikin takut saja. Bagaimana caramu
masuk?"
Brian tidak memedulikan pertanyaannya dan mendekatinya,
matanya yang kelam menyipit menakutkan. "Ellie," katanya dingin.
"Kenapa kautunjukkan pisau itu padanya?"
Chapter 17

ELLIE terkesiap.
"Kenapa, Ellie?" desak Brian sambil melompat bangun dari
kursi dan bergerak cepat mendekati Ellie.
Ellie berbalik dan melesat ke pintu depan.
Brian menubrukkan badannya ke badan Ellie. Ellie jatuh
berdebam menghantam pintu, membuat pintu itu tertutup.
Ellie mencoba menjerit. Tapi Brian membekap mulutnya rapat-
rapat.
Brian menekan Ellie ke pintu, napasnya terengah-engah,
wajahnya dekat sekali dengan wajah Ellie. "Kenapa, Ellie? Kenapa?"
Ellie bisa merasakan napas Brian yang panas di pipinya.
Ellie berhenti meronta-ronta. Brian terlalu kuat. Ellie tidak akan
bisa melepaskan diri.
"Kalau kulepaskan tanganku dari mulutmu, kau mau berjanji
takkan berteriak?" tanyanya dengan berbisik parau.
Ellie mengangguk.
Perlahan-lahan Brian mengangkat tangannya.
Ellie menarik napas dalam-dalam. "Aku tak tahu pisau apa yang
kaumaksud!" teriaknya terengah-engah, mengulur-ulur waktu. "Yang
kaubawa waktu piknik?"
Brian menggeleng, mulutnya berkerut marah. Matanya yang
kelam menatap Ellie tajam. "Pisau yang tersembunyi di bawah pohon
ek itu," katanya.
"Oh!" Ellie berseru kaget. Bagaimana Brian bisa tahu tentang
pisau yang terkubur itu?
Cuma ada satu jalan. Ia yang menguburnya.
Brian memeganginya dan mengunci pintu, memasang gerendel.
Aku terkurung, pikir Ellie, sekujur tubuhnya tegang karena
takut.
"Kau yang membunuhnya, kan?" teriaknya parau. "Dan
memendam pisau itu di bawah pohon ek." Kata-kata itu meluncur dari
mulutnya. Ia merasa begitu ketakutan sampai tidak sadar
mengucapkannya.
Wajah marah Brian menghilang. Matanya yang kelam tampak
kaget. "Kau tak betul-betul punya pikiran begitu, kan?" tanyanya.
Ellie balas menatap cowok itu dan tidak menjawab.
Aku sudah terlalu banyak bicara, ia memperingatkan dirinya.
Dia pembunuh. Dia membunuh Melinda. Dia bisa saja
membunuhku juga.
Cengkeraman Brian melonggar. "Ellie...," ia mulai bicara.
Ellie mengangkat kedua tangannya dan mendorong cowok itu
sekuat tenaga. Brian kaget, lalu terjengkang dan menghantam meja
kopi.
Ellie melesat melewatinya, menuju pintu belakang.
Tapi sebelum ia sampai ke ruang makan, Brian sudah
menyambar pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke sofa.
Ia jatuh di lengan sofa, mendarat keras pada bantalannya.
Sambil menggeram Brian mendudukinya, menekannya ke sofa.
"Belum, Ellie." Brian terengah-engah. "Kau harus mendengarkan aku
dulu. Baru nanti kau kulepaskan."
"Aku tak mau mendengarkanmu!" teriak Ellie marah. "Aku tak
mau mendengarkan semua kebohonganmu. Karena cuma itulah yang
kaukatakan padaku! Kau bukan Brian Tanner.Kau Brett Hawkins. Kau
pacar Melinda. Kau membunuhnya!"
Ellie melayangkan kepalan tangannya.
"Ellie, stop!" Brian melindungi mukanya dengan lengannya.
"Berhenti, nanti kuceritakan semuanya padamu. Paling tidak kau ingin
tahu, kan?"
Ellie berhenti meronta. "Oke."
Brian pelan-pelan bangun.
Ellie cepat-cepat duduk, merapikan rambutnya yang kusut. Ia
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan,
menunggu jantungnya berhenti berdebar-debar.
Brian bersandar dengan tegang di sofa dan memandangi
tangannya sendiri. Rambut merahnya tergerai di wajahnya, tapi ia
tidak berusaha menyibakkannya. "Kau benar," gumamnya. "Aku
memang berbohong. Aku Brett Hawkins. Dua tahun lalu Melinda dan
aku—well—sulit menjelaskannya. Kami saling jatuh cinta. Dia... akan
lari denganku. Meninggalkan Shadyside. Sayangnya..."
"Sayangnya dia berubah pikiran, dan kau membunuhnya!"
potong Ellie. "Berhentilah, Brian. Atau Brett. Atau siapa pun namamu.
Tolong. Jangan berbohong lagi."
"Ellie...," cowok itu memohon.
Ellie tidak bisa menahan diri. "Kau memanfaatkan aku untuk
mengetahui apa yang diketahui Wilkins," tuduhnya. "Kau tak sayang
padaku. Dan kau tak mau mengatakan yang sebenarnya padaku. Yang
ada dalam pikiranmu cuma bagaimana caranya supaya tak
tertangkap!"
Brian mulai memprotes. Tapi salakan ribut Chaz
menghentikannya. Brian melompat berdiri.
Ada orang yang menggedor-gedor pintu depan. "Polisi. Buka
pintu."
Ellie menjerit, "Aku di sini!"
"Diam! Itu Wilkins!" bentak Brian. Ia mengulurkan tangan
untuk membekap mulut Ellie. Tapi Ellie berjuang lari dari sofa,
mengelakkan cengkeraman Brian.
Ellie tersandung-sandung berlari ke dapur. Ia bisa mendengar
Chaz menyalak-nyalak ribut di pintu depan.
Brian mengejar Ellie. Menangkapnya.
"Tidak!" teriak Ellie. Ia menyodokkan sikunya kuat-kuat ke atas
dan mengenai tenggorokan Brian.
Cowok itu mengerang. Tangannya memegangi lehernya.
Ellie terhuyung-huyung ke pintu dapur. Jari-jarinya gemetaran
di tombol pintu, berusaha membukanya.
Di belakangnya, Brian membungkuk. Mengaduh-aduh dan
terbatuk-batuk.
Ellie membuka pintu. Tertatih-tatih berjalan ke tangga
belakang.
Ke dalam pelukan Letnan Wilkins. "Mana dia?" tanya polisi itu.
"Mana Hawkins?"
"Di dalam," sahut Ellie terbatuk-batuk, menunjuk ke dalam.
Ia berbalik dan melihat Brian di ambang pintu. "Ellie, jangan!"
teriak cowok itu, sambil masih memegangi tenggorokannya. Brian
tidak berusaha lari. Ia tidak bergerak.
Letnan Wilkins mencabut pistolnya. "Sudah lama aku
menunggu saat ini," katanya dengan suara bergetar. "Kau kutangkap,
Brett."
"Bagaimana... bagaimana Anda tahu dia di sini?" tanya Ellie
tergagap.
Letnan Wilkins menunjuk rumah sebelah. "Tetanggamu
mendengar teriakan. Seperti ada perkelahian. Dia menelepon kantor
polisi. Ketika kudengar kejadiannya di rumahmu, aku langsung tahu."
Dengan pistol masih terarah ke Brett, ia menoleh kepada Ellie.
"Kau banyak membantu. Aku sangat berterima kasih, Ellie. Kau baik-
baik saja, kan?"
Ellie mengangguk.
"Ayo, Brett," kata Letnan Wilkins pelan.
"Ku... kukira aku akan senang bisa menangkapmu. Tapi aku tak
senang. Aku cuma mual."
Ia memegang bahu Brett dengan tangannya yang satu lagi dan
mendorongnya ke halaman. Brett tidak melawan. Ketika Letnan
Wilkins mendorongnya ke mobilnya, Brett menoleh dan menatap Ellie
tajam, memandanginya sampai ia menghilang di pojok rumah.
Dengan kecapekan dan sekujur badan gemetaran, Ellie terduduk
di anak tangga paling atas dan membenamkan wajahnya ke tangannya.
"Semua sudah berlalu," gumamnya keras-keras. "Paling tidak semua
sudah berlalu."
******************************
Pukul sepuluh lebih sedikit malam itu, Ellie memutuskan untuk
mandi air panas lama-lama dan tidur lebih awal. Ketika berjalan ke
kamar mandi, ia mendengar telepon berdering di bawah. Ia mendengar
ayahnya bangun untuk mengangkatnya.
Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, mendengarkan dengan
cermat. Mungkin Sarah akhirnya balas meneleponku, pikirnya.
"Ellie?" ayahnya memanggil dari bawah. Ia berjalan ke puncak
tangga. "Itu tadi Letnan Wilkins," ayahnya memberitahu, wajahnya
tampak cemas. "Dia ingin aku mengantarkanmu ke kantor polisi. Ada
masalah."
"Hah?" Ellie terkesiap. "Masalah?"
Ayahnya mengangguk. "Ya. Wilkins bilang Brett melarikan
diri. Dia mungkin akan mendatangimu."
Chapter 18

"TIDAK!" jerit Ellie. "Bagaimana? Maksudku... Letnan Wilkins


memberitahu Daddy?" Ia menuruni tangga.
"Wilkins membawanya ke pengadilan untuk mendaftarkannya,"
kata Mr. Anderson.
"Lalu, setelah itu, membawanya ke penjara. Entah bagaimana,
Brett bisa membuka borgolnya. Ketika Wilkins membuka pintu
mobilnya, Brett meninju Wilkins dan lari. Wilkins melepaskan
beberapa tembakan ke arahnya. Tapi Brett berhasil kabur."
"Wah!" Ellie duduk di sofa, menggeleng-geleng tidak percaya.
Ayahnya ikut duduk di sampingnya. "Kubilang pada mereka
aku tak mau kau pergi ke kantor polisi. Wilkins menceritakan padaku
apa yang kaulakukan. Kau sudah melaksanakan bagianmu."
"Tapi aku harus pergi, Dad," Ellie memprotes. "Aku harus
membantu mereka menemukannya. Sebelum dia... sebelum dia
kembali ke sini!"
"Ellie!" kata ayahnya tajam. "Kau tidak akan pergi ke sana. Kau
tidak akan membantu polisi. Kau tidak akan membahayakan nyawamu
lebih dari yang sudah kaulakukan."
"Aku akan berada di kantor polisi. Aku akan aman," jawab
Ellie.
Mr. Anderson langsung berdiri. Dikepalkannya tangan kuat-
kuat. "Kau tak mengerti juga?" teriaknya dengan emosi yang tidak
biasa. "Aku tak mau kau mengulangi apa yang terjadi pada ibumu!"
Ellie menatap ayahnya. "Mom? Mom kenapa?"
"Aku tahu aku belum menceritakan padamu cerita selengkapnya
tentang kematian ibumu," sahut ayahnya dengan wajah memerah. Ia
mulai mondar-mandir di depan Ellie. "Dia dibunuh karena membantu
polisi dalam kasus pembunuhan."
"Kasus pembunuhan?" ulang Ellie.
Ayahnya mengangguk. "Gadis kecil yang terbunuh itu—dia
tetangga kita. Ibumu sering bermimpi tentang kematian anak itu.
Dalam mimpinya dia melihat pria yang memakai kemeja flanel merah.
Lalu suatu malam dia melihat wajah pria itu dalam salah satu
mimpinya."
Mom bisa melihat visi juga! pikir Ellie.
Ayahnya meneruskan mondar-mandir, menghindari tatapan
Ellie. "Dia memutuskan harus memberitahu polisi. Dengan enggan
aku menyetujuinya." Ia menelan ludah. "Keesokan harinya mereka
menangkap paman gadis kecil itu. Wajahnyalah yang tampak dalam
mimpi ibumu. Tapi polisi tak punya cukup bukti untuk menahannya.
Mereka terpaksa membebaskannya."
Mr. Anderson berpaling menghadap anaknya, matanya tampak
pedih. "Keesokan harinya si paman itu menyerang ibumu waktu dia
sedang jalan-jalan denganmu. Orang itu menikamnya... berkali-kali...
berkali-kali..."
Ellie melompat bangun, mendekati ayahnya, merangkul
bahunya yang berguncang, dan memeluknya.
"Kalau saja aku melarangnya pergi ke polisi," bisik ayahnya.
"Kenapa kubiarkan dia pergi?"
"Tapi dia harus pergi," kata Ellie pelan. "Daddy tak bisa
menghentikannya."
Mr. Anderson menghela napas.
"Dan aku harus pergi juga," kata Ellie lembut.
Mr. Anderson mundur, menggeleng-geleng. "Tapi bagaimana
kau bisa membantu, Sayang? Kau sudah melakukan semua yang bisa
kaulakukan."
"Daddy tahu bagaimana," jawab Ellie. "Mom punya mimpi-
mimpi. Aku punya mimpi-mimpi juga. Dan visi-visi. Dari dulu Daddy
sudah tahu. Daddy cuma tak mau percaya saja."
"Aku tak tahu apa yang harus kupercayai," ucap Mr. Anderson
sedih. Ia merogoh kantong celana panjangnya dan mengeluarkan
kunci mobil. "Ini. Panaskan dulu mesin mobilnya. Sebentar lagi aku
siap."
"Oke," kata Ellie. Ia mencium kening ayahnya dan bergegas
pergi mengambil jaket.
Beberapa detik kemudian ia keluar ke udara malam yang sejuk.
Corolla berpintu dua milik ayahnya diparkir di jalan masuk. Ellie
ragu-ragu di tangga depan.
Apakah Brett ada di luar sana? Bersembunyi dalam kegelapan?
Menunggu Ellie? Menunggu untuk membalas dendam pada Ellie
karena membuatnya tertangkap?
Pagar tanaman pendek di sepanjang jalan depan bergoyang.
Apakah ia bersembunyi di baliknya? Menunggu untuk
menyergap dan menangkap Ellie?
Sambil bergidik Ellie merapatkan jaketnya, dan melangkah ke
halaman.
Ia beberapa meter dari mobil, ketika sosok gelap itu menyerbu
dari balik tanaman dan menerkamnya sambil menggeram marah.
Chapter 19

"CHAZ!" jerit Ellie. "Turun! Turun!"


Kaki-kaki besar anjing itu membuat bagian depan jaketnya
berlumuran lumpur. Chaz berdiri di atas keempat kakinya, ekornya
sibuk bergoyang-goyang.
"Dad yang mengeluarkanmu dan lupa memasukkanmu lagi?"
tanya Ellie, sambil membersihkan lumpur dengan kedua tangannya.
Ia membuka pintu depan dan membiarkan Chaz lari ke dalam.
Lalu ia berbalik dan berjalan ke mobil.
************************************
Di kantor polisi Shadyside, Letnan Wilkins menyambutnya
sambil minta maaf. "Maafkan aku karena memintamu datang
sekarang,Ellie, " katanya, sambil mengajaknya masuk ke ruang
kerjanya yang kecil dan berantakan. Wajahnya tampak sedih, matanya
merah dan berair. "Aku tak percaya ini bisa terjadi. Aku betul-betul
malu."
Ellie tidak tahu harus menjawab apa. Dia betul-betul harus
tidur, pikirnya, sambil duduk di kursi di depan meja polisi itu.
"Brett benar-benar mengagetkanku," kata Letnan Wilkins,
mengerang ketika duduk di kursinya. "Kurasa bisa menangkapnya
sangat berarti bagiku. Aku jadi ceroboh."
"Bagaimana saya bisa membantu?" tanya Ellie, bergerak-gerak
gelisah di kursinya.
Letnan Wilkins membungkuk di atas meja ke arahnya. "Kurasa
kau mungkin ingat sesuatu tentang dia. Sesuatu yang mungkin bisa
memberiku petunjuk tentang ke mana dia pergi."
"Sa... saya tak tahu," sahut Ellie tergagap.
Sambil menatap tajam Ellie dengan matanya yang lelah, letnan
itu mulai mengajukan bermacam-macam pertanyaan. "Kau pernah
bertemu temannya? Dia pernah menceritakan rumah kakek-neneknya?
Mobil seperti apa yang dikendarainya? Kau ingat pelat nomornya?"
Ellie berusaha sebisanya menjawab. Tapi ia sadar, boleh
dibilang ia tidak tahu apa-apa tentang Brett Hawkins.
Akhirnya Letnan Wilkins bersandar di kursinya, menghela
napas frustrasi. "Kalau begitu bagaimana dengan visi, atau apa pun
yang kaulakukan itu?" tanyanya.
Ellie menelan ludah. "Saya tak bisa begitu saja melihat visi
setiap kali saya menginginkannya!" serunya. "Saya pikir tidak..."
"Ini," potong Letnan Wilkins, ia tergesa-gesa mencari-cari di
antara tumpukan kertas di mejanya. Ia menyerahkan selembar foto
pada Ellie. "Ini dulu bisa membantumu. Coba lagi, oke? Aku betul-
betul putus asa, Ellie. Aku harus menangkap anak itu lagi. Aku tak
bisa membiarkan pembunuh anakku lepas lagi."
Ellie mengambil foto itu dan mendekatkannya ke wajahnya. Itu
foto Melinda dan Brett yang dulu ditunjukkannya padanya. Brett
tersenyum padanya dari foto itu. Ia tampak begitu bahagia. Mereka
berdua tampak begitu bahagia.
Ellie terisak. "Sa... saya tak bisa!" katanya.
"Cobalah. Tolong," Letnan Wilkins memohon. "Semua bisa
membantu. Apa saja."
Dengan patuh Ellie memandangi foto itu. Memandangi wajah-
wajah yang tersenyum itu. Memandanginya sampai wajah-wajah itu
memudar.
Sampai seluruh foto itu memudar.
Warna-warnanya menghilang, menghilang ke dalam cahaya
kuning berkilauan yang kabur. Seperti sinar matahari yang terang.
Ellie memandangi cahaya keemasan terang itu sampai matanya
sakit. Akhirnya ia mengalihkan pandangan dan meletakkan foto itu di
pangkuannya.
"Well?" tanya Letnan Wilkins bersemangat. "Ada yang
kaulihat?"
"Cuma sebuah warna," kata Ellie gemetaran. "Cuma kuning.
Atau emas. Ya. Warna itu berkilau seperti emas. Cuma itu. Maafkan
saya. Maafkan saya."
Letnan Wilkins menyipitkan mata menatapnya. "Emas? Cuma
itu? Cuma emas? Apa artinya?"
"Saya tak tahu. Maafkan saya," ulang Ellie. "Saya betul-betul
minta maaf."
***********************************
Jalanan sudah sepi waktu Ellie dan ayahnya pulang. Kota
Shadyside memang cepat sepi. Rumah-rumah dan halaman-halaman
gelap berlalu cepat.
Ketika mereka sampai di rumah, Ellie langsung naik ke tempat
tidur. Ia masuk ke bawah selimut dan memejamkan mata. Ia sudah
hampir tertidur, waktu wajah Sarah melayang masuk ke pikirannya.
Sarah.
Sarah yang malang dan ketakutan. Sarah tahu sesuatu, pikirnya.
Kelakuan Sarah begitu aneh.
Seperti orang gila.
Dia belum juga keluar rumah. Dia belum balas meneleponku.
Itu karena dia tahu sesuatu.
Aku harus bicara dengannya, pikir Ellie memutuskan. Ia
melompat turun dari tempat tidur dan cepat-cepat berganti pakaian,
lalu berjingkat-jingkat menuruni tangga. Ayahnya sudah tidur. Bagus.
Ellie menyambar kunci mobil dari meja dan menyelinap keluar rumah.
Aku harus menanyakan apa yang diketahui Sarah. Tentang
Melinda. Tentang Brett.
Beberapa menit kemudian ia berhenti di halaman rumah
keluarga Wilkins. Dimatikannya mesin dan lampu mobil serta
dipandanginya rumah yang gelap itu.
Apa yang kauketahui, Sarah? pikir Ellie. Malam ini aku akan
mengetahuinya.
Ia bergidik ketika berjalan ke pintu depan. Apakah Brett
menunggu di samping rumah, menunggu menerjangnya?
Apakah seumur hidup aku akan ketakutan pergi ke mana pun?
pikir Ellie sedih. Ditekannya bel. Diketuknya pintu keras-keras. Ia
berteriak ke jendela Sarah di atas.
Tidak ada jawaban.
Sekali lagi dicobanya pintu depan. Ternyata terbuka. Ia
menyelinap masuk.
Ke ruang depan yang gelap. "Sarah? Kau di atas? Kau tidak
tidur?"
Sepi.
Ellie bersandar pada pegangan kayu tangga dan naik ke atas.
Satu-satunya penerangan di lantai itu berasal dari lampu remang-
remang.
Ia berjalan pelan ke kamar Sarah dan berhenti di depan pintunya
yang setengah tertutup. "Sarah? Hei... Sarah? Ini aku! Bangun!"
Tidak ada jawaban.
Lalu Ellie mendengar erangan dari kamar di seberang koridor.
Kamar Melinda.
"Sarah!" Ellie memutar tombol pintu. Pintu, itu terkunci.
Digedor-gedornya. "Ini aku, Ellie."
Sepi.
Ellie menempelkan kupingnya ke pintu. Ia bisa mendengar
suara napas Sarah yang tersengal-sengal.
"Sarah. Biarkan aku masuk. Aku bisa membantumu. Aku bisa
mengerti."
"Tidak, kau tak bisa. Kaulah yang menemukan dia. Kaulah
yang menghancurkan segalanya!"
Ellie menjauhkan telinganya dari pintu. "Apa maksudmu?"
Sesuatu yang keras menghantam pintu, lalu Ellie mendengar
bunyi kaca pecah. "Pergi, Ellie."
Ellie mundur. Sarah benar-benar terdengar kacau. Ellie harus
masuk ke kamar itu untuk bicara dengannya. Sebelum Sarah betul-
betul menyakiti dirinya sendiri.
Ellie memundurkan kaki kanannya, lalu menendang pintu
sekuat tenaga. Pintu itu langsung terbuka. Buku, foto, dan pakaian
bertebaran di lantai. Sarah berlutut di tempat tidur, tangan kirinya
memegang bantal.
Ellie membungkuk di atas temannya. "Kita harus bicara.
Tentang Brett Hawkins. Tentang Melinda."
"Tidak!" teriak Sarah keras. Setelah itu ia menguap lebar.
"Tidak. Aku tak mau membicarakannya, Ellie."
"Tapi aku bisa membantumu," kata Ellie. "Kalau saja kau mau
menceritakan padaku apa yang kauketahui, aku..."
"Tidak!" kata Sarah sengit. "Tidak-tidak-tidak!"
"Tapi, Sarah...," Ellie memohon.
"Kau tak mengerti juga?" teriak Sarah, ia berusaha keras
bersandar ke kepala tempat tidur. "Kau menghancurkan semuanya!"
"Hah?" Ellie terkejut memandangi temannya. "Apa katamu
tadi?"
"Tak ada yang minta kau menemukan mayatnya. Tak ada yang
minta kau mengacaukan keadaan!" teriak Sarah. "Tak ada yang minta
kau melakukannya."
"Tapi, Sarah," Ellie berkeras, kepalanya serasa berputar.
"Melinda kan kakakmu. Kau tak ingin tahu apa yang terjadi? Kau tak
ingin pembunuh Melinda ditangkap?"
"Tidak," jawab Sarah, matanya menatap tajam mata Ellie.
"Tidak! Tidak! Tidak!"
"A... aku tak mengerti," kata Sarah bingung.
"Aku tahu kau tak mengerti," jawab Sarah pahit. "Kau tak
mengerti apa-apa. Kau bahkan tak tahu aku benci Melinda. Aku benci
dia! Benci dia!"
"Hah?" Ellie tersentak kaget.
"Aku benci sekali padanya, sehingga kubunuh dia!" jerit Ellie.
"Pembunuhnya aku, Ellie! Aku membunuh Melinda!"
Chapter 20

SARAH menatap tajam Ellie, seakan-akan menunggu reaksi


Ellie.
Tapi Ellie terlalu terkejut, terlalu ngeri untuk bisa bicara.
Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Di luar
jendela, seekor kucing mengeong panjang. Suaranya begitu mirip
suara manusia, Ellie sampai menyangkanya suara bayi menangis.
Kucing itu mengeong panjang lagi.
Kedua gadis itu diam. Seolah-olah Sarah sudah bicara terlalu
banyak. Seolah-olah mereka berdua tidak bisa bicara lagi.
Akhirnya Sarah memecah kesunyian. "Benar yang kukatakan
tadi. Tentang membenci Melinda."
"Tapi kau menyayanginya juga, kan," kata Ellie pelan.
"Kurasa. Sulit menyayanginya. Melinda punya segalanya. Dia
cantik, pintar, punya banyak teman, dan"—suaranya bergetar—
"ayahku menyayanginya lebih dari menyayangi apa pun. Khususnya
lebih dari aku."
Ellie menunduk. "Ayahmu tak menyayangimu?"
Sarah menggeleng. "Tidak seperti dia menyayangi Melinda.
Dunia seolah-olah berputar di sekelilingnya. Aku mencoba semuanya.
Setelah ibuku meninggal, aku memasak, membersihkan rumah,
berbelanja. Aku baru empat belas tahun, tapi sudah berusaha
mengurus rumah."
"Pasti sulit sekali," kata Ellie pelan.
Sarah menggeleng sementara air mata membasahi matanya.
"Ayahku tak memperhatikannya. Dia pulang dari kantor, melewatiku
begitu saja, menyapaku pun tidak, langsung pergi menemui Melinda.
Keadaan makin parah waktu Melinda bertemu Brett Hawkins."
"Ayahmu tak suka Brett?"
Sarah mengangguk muram, air mata mengalir perlahan di
pipinya. "Dad dan Melinda bertengkar hebat. Dia melarang Melinda
bertemu Brett lagi. Well, itu dia. Melinda memutuskan akan lari
dengan Brett."
Sarah menyandarkan kepalanya ke kepala tempat tidur dan
menghela napas.
"Memang keterlaluan mengakuinya, tapi aku senang sekali.
Aku sangat gembira. Kalau Melinda pergi, kupikir Dad akhirnya akan
memperhatikan aku. Jadi, tentu saja, kukatakan pada Melinda aku
akan membantunya sekuat tenaga."
"Aneh, kau tak mengenali Brian, maksudku Brett, di Alma's
Coffee Shop hari itu," potong Ellie.
Mata Sarah membelalak. "Oh, dia kelihatan lain sekali. Brett
yang kukenal punya rambut hitam panjang dan memakai jaket kulit
berpaku-paku. Lagi pula, Dad benci Brett. Jadi Brett jarang datang ke
rumah. Aku cuma beberapa kali melihatnya."
"Jadi kau membantu Melinda bersiap-siap melarikan diri?"
tanya Ellie.
"Ya. Aku berbohong pada Dad, aku bahkan memberi Melinda
uang dari tabunganku. Pada malam dia merencanakan melarikan diri,
Dad harus bekerja lembur. Waktu itu dia sersan kepala—bukan
detektif. Melinda merencanakan bertemu Brett di Division Street Mall
jam delapan."
"Apa yang terjadi, Sarah?" tanya Ellie. "Melinda menemuinya?"
Sarah menggeleng. "Dad menelepon dari mobil patrolinya
untuk mengatakan dia pulang cepat. Dia ingin mengajak kami makan
piza. Dad akan mengacaukan segalanya. Melinda berusaha menelepon
Brett, tapi tak ada yang mengangkat telepon di rumahnya. Dia jadi
panik dan mulai memasukkan segala macam ke kopernya."
Air mata menggenangi mata Sarah. Ellie tersenyum padanya,
mendorongnya supaya meneruskan ceritanya. Ia ingin sekali
mendengar kelanjutan ceritanya.
"Aku menawarkan diri untuk menemui Brett dan
memberitahunya bahwa Melinda tak bisa menemuinya di mal. Brett
harus menjemputnya di belokan. Dengan begitu Melinda bisa
berkemas-kemas, lalu menyelinap keluar rumah.
"Aku cepat-cepat ke mal," Sarah melanjutkan, dipejamkannya
matanya. "Brett sudah menunggu. Kuberitahu dia tentang ayahku yang
pulang cepat. Kuberitahu dia di mana dia harus menemui Melinda.
Dia mengucapkan terima kasih padaku dan bergegas pergi ke
mobilnya. Ketika aku sampai di rumah, Melinda dan barang-
barangnya sudah tak ada."
Suara Sarah bergetar. Diusapnya hidungnya dengan tisu, lalu
dipandangnya Ellie. "Itulah terakhir kalinya aku melihat kakakku."
Ellie menggigit bibirnya. "Sarah. Aku tak mengerti. Kenapa tadi
kau bilang kau membunuhnya?"
"Kau tak mengerti juga?" teriak Sarah sambil terisak. "Dad
benar. Brett lebih parah daripada anak nakal. Dia pembunuh. Dan aku
membantunya. Aku begitu ingin menyingkirkan Melinda dari rumah,
sampai kubuat dia mati. Kalau malam itu aku tak membantu Melinda,
dia pasti tetap di rumah. Dia pasti masih hidup!"
Ellie langsung merasa lega. "Oh, Sarah," erangnya. "Kau tak
membunuhnya. Kau tak boleh menyalahkan dirimu."
Mata Ellie sendiri pun basah. Pasti mengerikan sekali bagi
Sarah. Selama dua tahun. Bertanya-tanya di mana Melinda. Berharap
ia masih hidup. Dan menyalahkan dirinya atas semua yang telah
terjadi.
Tapi ada satu hal yang membuat Ellie bingung.
Mengapa Brett membunuh Melinda?
Apakah Melinda berubah pikiran pada saat terakhir? Apakah itu
membuat Brett marah besar? Apakah mereka bertengkar? Apakah
Brett sudah merencanakan untuk membunuhnya?
Ellie bergidik. Ia bersidekap. Sarah menarik selimut yang sudah
kusut dari samping tempat tidur dan menyelimutkannya ke bahunya.
Cahaya semakin redup. Bayang-bayang memanjang di kamar.
Tercium bau tanah dari lantai.
Ellie mengerjapkan mata.
Apa yang terjadi?
Sarah perlahan-lahan menghilang ke balik awan kelabu.
Ellie merasa dirinya ditarik ke dalam kasur. Tanah cokelat
berhamburan di atasnya. Begitu lembap, begitu berat. Tanah itu
menutupinya, menekannya.
Ia membuka mulutnya untuk menjerit.
Tanah cokelat basah itu menyumbat mulutnya, membuatnya
seperti tercekik, menutup mulutnya.
Ellie mengangkat kedua tangannya dan setengah mati berusaha
merangkak keluar dari dalam tanah yang gelap dan berat itu. Jari-
jarinya mencengkeram sepotong logam yang keras dan bundar. Tanah
menyumbat hidung dan matanya.
Menutupinya. Menekannya.
Aku tak bisa bernapas! pikirnya.
Aku dikubur hidup-hidup!
Chapter 21

ELLIE menjerit tertahan.


Ia merasa bahunya diguncang-guncang. "Ellie! Ellie!" suara
Sarah, sangat jauh. Dengan susah payah, mengulurkan kedua
tangannya, mencakar-cakar tanah yang berat, Ellie menarik dirinya
keluar.
Ketika matanya terbuka, ia ternyata tergeletak di karpet,
telentang. Sarah membungkuk di tepi tempat tidur, memandanginya,
wajahnya berkerut bingung. "Ellie... ada apa?"
Ellie berdiri goyah. "Aku merasa seperti dikubur hidup-hidup—
dalam kuburan."
"Apa?" Sarah mengayunkan kakinya melewati pinggir ranjang.
Ellie berdiri diam, menguatkan kakinya. Ia tadi menyembunyikan
sesuatu di tangan kanannya. Ia masih bisa merasakan benda keras
yang halus itu di telapak tangannya.
Perlahan-lahan, dibukanya genggamannya. Tangannya kosong.
Tapi tadi ia menggenggam sesuatu. Sesuatu yang penting.
"Dikubur dalam kuburan," ulang Sarah. "Maksudmu, seperti
kuburan Melinda?"
Ellie terus menatap telapak tangannya dan mengangguk. "Ya.
Ada sesuatu di dalam kuburan itu. Sesuatu yang diinginkan kakakmu
supaya kita temukan."
"Apa maksudmu?" desak Sarah. "Kau kedengarannya seperti
bicara dengan Melinda."
"Memang betul. Boleh dibilang begitu." Ellie memandang
temannya. "Oh, Sarah, aku tahu ini kedengarannya gila, tapi kakakmu
berkomunikasi denganku. Melalui visi. Itulah sebabnya aku bisa
menemukan kuburannya."
Sarah ternganga. "Kenapa tidak dari dulu kauberitahukan
padaku?"
"Karena aku tahu kau takkan mempercayaiku," jawab Ellie.
"Dan karena aku tak mau ada yang tahu. Sebelum aku pindah ke
Shadyside, visiku membuatku terlibat dalam kesulitan. Aku tak mau
kejadian itu terulang lagi."
"Wow," gumam Sarah. "Sekarang semuanya masuk akal.
Waktu ayahku bilang kau membantu penyelidikan, aku bertanya-tanya
bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu."
"Aku tahu ini kedengarannya gila," Ellie mengakui. "Tapi aku
melihat visi kalau aku benar-benar menyukai seseorang, kalau aku
dekat dengan seseorang. Misalnya kau. Mula-mula tidak terjadi apa-
apa waktu kita berteman, dan kukira kekuatanku sudah hilang. Lalu
aku menemukan kuburan kakakmu."
"Brett bagaimana?" tanya Sarah. "Apa yang terjadi waktu kau
bertemu dia?"
Ellie menghela napas. "Aku mulai melihat visi-visi mengerikan
tentang pisau. Pisau berlumuran darah. Kukira visi itu ada
hubungannya dengan ibuku. Ibuku ditikam sampai mati."
"Aku turut prihatin," kata Sarah lirih, ia memandang ke bawah.
"Tapi visi pisau itu merupakan peringatan. Peringatan untuk
menjauh dari Brett. Aku cuma tak mengerti. Dan barusan aku
merasakan sesuatu. Sesuatu yang dikubur di dalam kuburan."
"Sesuatu di dalam kuburan kakakku?" tanya Sarah. "Sesuatu
yang mungkin bisa membantu kita menangkap Brett?"
Ellie mengangguk.
Sarah berdiri. "Kalau begitu ayo kita cari."
"Kau yakin?" tanya Ellie.
"Aku harus melakukannya demi Melinda," jawab Sarah serius.
Ia cepat-cepat berganti pakaian, mengenakan kaus berlengan
panjang abu-abu dan Doc Martens biru. Lalu ia menyisir rambutnya
yang hitam pendek.
Ellie mengikutinya ke bawah. Sarah mengambil mantel biru
dari lemari depan. Lalu ia menyalakan lampu dan melangkah ke ruang
tamu.
Ellie mengamati dari ambang pintu ketika Sarah menarik laci
meja pendek.
Ia terkesiap ketika melihat benda keperakan di tangan Sarah.
Revolver kecil.
Sarah mengangkat revolver itu pelan-pelan, menarik pelatuknya
dengan ibu jarinya.
"Sarah!" teriak Ellie cemas.
Chapter 22

"INI senjata cadangan ayahku," kata Sarah. "Kalau-kalau Brett


datang."
Dilepaskannya pelatuk itu, lalu dimasukkannya senjata itu ke
saku mantelnya. "Kita akan siap menyambutnya."
Ellie merinding melihat senjata itu.
Tapi kalau Brett datang, aku pasti akan senang kami punya
senjata itu, pikirnya.
Mereka keluar lewat pintu depan. Lalu Ellie mengikuti Sarah
menuju garasi di belakang untuk mengambil sekop dan senter.
Sarah menyorotkan senter ke hutan yang sunyi dan sepi. Lalu
diarahkannya cahayanya ke tanah. Tampak gundukan tanah menjulang
diterangi cahaya itu.
"Apa yang kita cari?" tanya Sarah berbisik.
"Aku tak tahu," jawab Ellie, sambil mengelilingi kuburan itu.
"Aku tak bisa melihatnya. Aku cuma bisa merasakannya di tanganku."
Perasaan tercekik karena dikubur hidup-hidup tiba-tiba kembali
melandanya.
Bagaimana kalau visi itu merupakan peringatan? pikirnya.
Peringatan untuk menjauhi tempat ini.
Bulu-bulu lengannya meremang. Dihilangkannya pikiran itu.
Tidak, ia memutuskan. Visi itu pasti pesan dari Melinda,
menyuruhku mencari benda itu di dalam kuburan.
"Bendanya sangat kecil. Dan bulat," kata Ellie. Ditekannya
kepala sekop ke tanah yang lembek, dan ia mulai menggali.
Ketika ia melemparkan bongkahan tanah hasil galian
pertamanya, Sarah mengerang pelan. Ellie memandang temannya.
"Kau baik-baik saja?"
Sarah menggeleng. "Tidak." Ditutupinya wajahnya dengan
tangannya. "Aku tak tahu apakah aku sanggup melakukan ini.
Maksudku, di situlah Brett menguburkan kakakku. Rasanya begitu—
mengerikan." "Kita akan bekerja cepat-cepat," Ellie menghibur Sarah.
"Dalam beberapa menit kita sudah pergi dari sini. Pegang saja senter
itu kuat-kuat, oke?"
Sarah mengangguk dan memegang senter dengan kedua
tangannya.
Ellie menekan sekop, menggali tanah yang lembek.
Angin membuat pohon-pohon seakan berbisik. Daun-daun
kering berwarna cokelat melayang tanpa suara ke tanah.
Ellie berjongkok dan mulai menggaruk tanah dengan jemarinya.
Sarah ikut berjongkok di sampingnya, memegangi senter di atas
tangan Ellie sementara ia bekerja.
"Oh." Ellie mengerang ketika jarinya menyentuh sesuatu yang
lembap dan lembut.
Cuma cacing, pikirnya.
Sarah terkesiap. "Oh, Ellie!" Cahaya senter bergerak-gerak
tidak keruan.
"Apa? Ada apa?" tanya Ellie.
Sarah menunjuk, matanya terbelalak ngeri. "Tulang! Tulang
manusia!"
Mata Ellie menatap benda abu-abu kecil itu. Dengan hati-hati,
ia mengulurkan tangan dan menyentuh ujungnya dengan satu jari.
Benda itu dingin dan keras. Batu.
Ia mengembuskan napas lega. "Cuma batu, Sarah."
Diserahkannya sekop pada temannya. "Bagaimana kalau kau menggali
sebentar?"
Sarah mengambil sekop itu dan mulai menggali. Ellie
memegangi senter dengan satu tangan, tangannya yang satu lagi
menyisihkan tanah. Ketika Sarah membuang tanah hasil galiannya,
Ellie membungkuk di atas tanah, memeriksanya dengan tangannya.
Cahaya senter meredup. "Kurasa baterainya mulai habis," kata
Ellie.
Sarah mengangguk. "Kita harus buru-buru."
Ellie menyisiri tanah, memeriksanya dengan cermat. Ia berhenti
ketika jarinya menyentuh sesuatu yang kecil dan licin.
"Apa yang kautemukan?" teriak Sarah, menjatuhkan sekop dan
menjatuhkan diri berlutut di samping Ellie.
Ellie menggosokkan benda itu ke bagian depan jaketnya.
Tangan Sarah gemetar ketika ia menyorotkan senter ke benda itu.
Sebutir kancing.
Kancing emas.
"Hah?" teriak Sarah, ia tidak bisa menutupi rasa kecewanya.
"Bagaimana kancing itu bisa membantu kita?"
"Well, aku tak tahu pasti," jawab Ellie serius, dipandanginya
kancing bulat yang berkilauan terkena cahaya. "Mungkin orang yang
membunuh Melinda menjatuhkannya."
"Mungkin," jawab Sarah pelan, sambil memandang kancing itu.
"Tapi kejadiannya dua tahun lalu. Bagaimana kita bisa membuktikan
Brett mengenakan pakaian berkancing emas dua tahun lalu?"
"Well," Ellie mulai menjelaskan, "kalau polisi memeriksa
lemari pakaiannya dan menemukan..."
Ia berhenti ketika mendengar ada bunyi. Bunyi ranting patah.
Tidak jauh.
"Siapa itu?" teriak Ellie, ia bergidik ketakutan.
Orang itu melangkah cepat dari balik pepohonan.
"Brett!" jerit kedua gadis itu serentak.
Brett mendekati mereka dengan cepat, matanya menatap Ellie.
"Apa itu?" tanyanya dingin. "Kau menemukan kancingnya?"
Chapter 23

Dia tahu tentang kancing ini, pikir Ellie, perasaan takut


mencekamnya ketika Brett melangkah maju.
Dia ingat dulu menjatuhkan kancing ini pada malam dia
membunuh Melinda.
Rambut merah Brett jatuh di keningnya, lengket dan kusut.
Jaket denimnya kotor dan lusuh. Di bagian lutut celananya ada noda.
Dia bersembunyi di hutan, pikir Ellie. Dipandangnya mata Brett
dan dilihatnya ada rasa takut di situ.
Ellie sadar, Brett lelah dan ketakutan. Brett bersembunyi selama
dua tahun. Bersembunyi dan lari.
Dan sekarang dia nekat.
Dia akan melakukan apa saja. Kata-kata mengerikan itu muncul
dalam pikirannya dan tidak mau hilang.
Brett mengulurkan satu tangannya. "Biar kulihat, Ellie."
Ellie mundur selangkah, menabrak Sarah. Sarah berteriak
ketakutan. "Pergi, Brett," kata Sarah dengan suara bergetar, setengah
bersembunyi di belakang Ellie. "Ayahku akan datang kemari sebentar
lagi. Lebih baik kau lari."
Brett tidak menghiraukannya. Diulurkannya tangannya ke
bawah dagu Ellie. "Kancing itu. Aku ingin lihat."
"Kancing apa?" tanya Ellie pura-pura tidak mengerti. Ia
menyembunyikannya di dalam kepalan tangan kanannya.
"Ayahku datang," Sarah berbohong. "Lebih baik kau lari, Brett.
Cepat!"
"Aku ingin melihat kancing itu," Brett ngotot dengan suara
yang keras dan tanpa emosi. Matanya menyipit menatap Ellie.
Dia tahu aku menyembunyikan kancing itu, kata Ellie dalam
hati. Mungkin lebih baik kutunjukkan saja padanya.
Diangkatnya kepalan tangan kanannya, dibukanya. Tampak
kancing emas itu di telapak tangannya. Ketika ia menatapnya, kancing
itu mulai bersinar.
Telapak tangannya bersinar keemasan, seperti matahari kecil.
Semakin terang, semakin terang. Sampai pepohonan yang
gelap, langit malam yang ungu, tanah yang tertutup dedaunan,
bermandikan cahaya keemasan yang berkilauan, memudar di
baliknya, menghilang.
Seberkas cahaya merah melesat menembus cahaya kuning
berkilauan itu. Cahaya merah itu naik, melebar, menjadi bagian depan
kaus berlengan panjang merah.
Kaus merah Melinda.
Ellie melihat bibir Melinda bergerak, menjerit tanpa suara.
Melihatnya bergulat dengan seseorang. Tangan-tangan mencengkeram
bahunya.
Siapa itu? Apakah dia bergulat dengan Brett? pikir Ellie
bertanya-tanya, memicingkan mata menatap cahaya keemasan yang
terang benderang itu, berusaha keras melihat.
Ia cuma bisa melihat tangan-tangan yang kuat itu menarik
Melinda. Cuma bisa melihat punggung si penyerang itu. Cuma bisa
melihat wajah Melinda, berkerut ketakutan dan ngeri.
Lalu Melinda juga memudar, sambil menjerit tanpa suara untuk
terakhir kalinya. Ellie menatap lingkaran keemasan yang semakin
mengecil itu. Melihatnya memudar, memudar, memudar kembali ke
kegelapan telapak tangannya.
Kancing logam bulat.
Dipandangnya Brett lagi. "Kancingnya, Ellie," desak Brett
pelan, nyaris lemah. "Biar kulihat kancing itu." Ia bergerak cepat
menyambarnya, tangannya menyapu tangan Ellie.
Kancing emas itu jatuh dari tangan Ellie. Jatuh ke tanah.
Sarah membungkuk dan memungutnya. Sambil berdiri, ia
mengamatinya. Ellie mendengar Sarah berteriak pelan, "Kancing
ini..." Sarah terkesiap.
"Aku harus melihatnya," Brett berkeras, mengulurkan
tangannya.
"Kau tahu ya kau menjatuhkannya di sini? Malam itu?" desak
Ellie.
Mata Brett berkilat marah. Ia membuka mulut untuk menjawab.
Tapi terdengar suara lain, memotongnya. "Jangan bergerak!
Semua diam di tempat!" Brett menurunkan tangannya dan berbalik.
Ellie mengembuskan napas lega ketika Letnan Wilkins keluar
dari balik pepohonan.
Sarah mencengkeram lengan Ellie. "Dad!" teriaknya, tidak bisa
menutupi perasaan terkejutnya. "Bagaimana Daddy tahu...?"
"Salah seorang bawahanku lewat sini. Dia melihat kalian berdua
masuk ke hutan. Dia memberitahuku lewat radio." Letnan Wilkins
terus mengawasi Brett ketika bicara dengan Sarah. Ia membuka
kancing sarung senjatanya dan mencabut revolvernya.
"Woo!" teriak Brett, mengangkat kedua tangannya, menyerah.
"Kau pernah melarikan diri sekali," kata Letnan Wilkins tenang,
sama sekali tanpa emosi. "Sekali ini kau takkan bisa pergi ke mana
pun."
"Letnan Wilkins!" teriak Ellie, ia maju melewati temannya.
"Kami menemukan kancing. Di dalam kuburan Melinda."
"Mundur!" seru Letnan Wilkins, suaranya terdengar marah. Ia
memberi tanda pada Ellie dan Sarah dengan senjatanya. "Kalian
berdua. Mundur. Dia berbahaya."
"Tapi, Dad...," Sarah memohon.
"Masuk ke mobil!" teriak Letnan Wilkins tidak sabar.
"Sekarang! Pergi dari sini! Masuk ke mobil!"
Ellie dan Sarah ragu-ragu. Ellie melihat mata Brett terbelalak
ketakutan.
Brett, dengan tangannya masih terangkat, mundur selangkah.
"Masuk ke mobil! Sekarang!" teriak Letnan Wilkins pada gadis-
gadis itu.
Brett mundur selangkah lagi.
Letnan Wilkins mengacungkan revolvernya ke arah Brett.
"Sekali ini kau takkan bisa lolos!" teriaknya. "Lari, Nak. Pergi! Pergi
dari sini!"
"Tidak! Dad!" jerit Sarah.
Ellie terpaku menatap mata Brett. "Jangan tembak saya!" seru
Brett, ia semakin mundur.
"Tak ada lagi kabur-kabur sekarang!" seru Letnan Wilkins,
sambil membidik.
"Jangan, saya mohon!" Brett memohon.
"Kau membunuh anakku! Kaukira aku akan membiarkanmu
lolos begitu saja?" Letnan Wilkins memantapkan bidikannya.
"Tunggu...!" pekik Brett.
Tapi senjata itu meletus, ledakan keras yang bergema di antara
pepohonan.
Chapter 24

ELLIE menjerit ngeri. Ia menunggu Brett jatuh ke tanah.


Wajah Brett membeku dengan ekspresi kaget. Lengannya
terkulai ke samping. Lututnya menekuk.
Tapi ia tidak jatuh.
Lalu, yang membuat Ellie terkejut, Letnan Wilkins menggeram.
Ellie berpaling dan melihat polisi itu memegangi bahunya.
Darah berwarna gelap mengalir dari bahu jaketnya. Mulutnya
ternganga dan ia bergumam kaget.
Ellie mengangkat pandangannya dan melihat Sarah berdiri di
belakangnya, memegang erat-erat revolvernya, masih
mengarahkannya ke punggung ayahnya.
Letnan Wilkins menggeram kesakitan lagi dan pelan-pelan
berpaling pada anaknya. "Sarah... kenapa?" erangnya.
Sarah tetap mengacungkan senjatanya.
"Aku sudah memikirkannya, Dad," jawabnya dengan suara
datar. Matanya tampak menuduh, tapi bagian wajahnya yang lain
tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Sarah... kau menembakku!" seru Letnan Wilkins, sambil
mencengkeram bahunya yang terluka. Darah mengalir di tangannya,
membasahi bahu jaketnya.
"Aku sudah memikirkannya, Dad," ulang Sarah dingin. "Waktu
kulihat kancing itu, aku ingat. Aku mengenalinya, Dad. Kancing emas
seragam Daddy. Daddy bingung sekali mencarinya malam itu. Malam
ketika Melinda menghilang."
"Tapi, Sarah...," Letnan Wilkins memprotes lemah.
"Melinda pergi," Sarah melanjutkan, tidak memedulikan protes
ayahnya. "Melinda pergi, tapi Daddy malah bingung memikirkan
kancing seragam yang hilang. Kurasa aku waktu itu terlalu kacau
sehingga tak memikirkan hal itu. Tapi malam ini aku mengetahuinya.
Aku mengetahui semuanya. Daddy membunuh Melinda."
"Itu kecelakaan!" seru Letnan Wilkins parau. Ia berteriak
kesakitan. Sambil mencengkeram bahunya yang berdarah, ia jatuh
berlutut di tanah di samping gundukan.
"Daddy membunuh anak sendiri," gumam Sarah, tetap
mengacungkan senjatanya.
Ellie memekik kaget. Ia melihat Brett melangkah ke
sampingnya, matanya menatap Letnan Wilkins.
"Itu kecelakaan," Letnan Wilkins berkeras. "Aku tak mau
Melinda pergi, pergi dengan dia."
Ia melotot pada Brett, wajahnya tampak jijik. "Kami berkelahi.
Aku tak bermaksud mendorongnya. Dia jatuh dan kepalanya terantuk.
Kecelakaan. Kau harus mempercayaiku, Sarah. Aku sangat
menyayanginya. Aku menyayanginya lebih dari menyayangi apa
pun!"
"Aku tahu," jawab Sarah pahit. "Lalu Daddy menimbulkan
kesan seakan-akan dia ditikam. Dan Daddy menguburkannya di hutan.
Menguburkan pisau Brett juga. Jadi kelihatannya dia yang
melakukannya. Lalu Daddy mengejar Brett."
"Dia menghancurkan keluarga kita!" teriak Letnan Wilkins.
"Kenapa aku tak boleh memberinya ganjaran? Ini kesalahannya—
bukan kesalahanku! Dia menghancurkan keluarga kita!"
"Anda tadi akan menembak saya!" tuduh Brett, dipeluknya
pinggang Ellie, supaya tidak jatuh. "Itu sebabnya Anda membiarkan
saya kabur tadi siang! Anda tak mau saya dipenjara. Anda ingin
membunuh saya!"
Letnan Wilkins menatap Brett, matanya tampak dingin dan
benci. "Kau membunuh keluarga kami! Kau pantas mati."
Ellie terkesiap ketika melihat Letnan Wilkins mengacungkan
revolvernya. Polisi itu memegangnya dengan dua tangan dan
membidikkannya ke jantung Brett. Lalu menarik pelatuknya.
Chapter 25

SEKALI lagi terdengar gema letusan senjata di antara


pepohonan.
Ellie mencengkeram Brett. "Kau...," katanya tersendat.
Tapi ia melihat tembakan itu salah arah.
Brett maju dan menendang pistol itu dari tangan Letnan
Wilkins. "Dua tahun Anda membuat saya terus berlari!" teriaknya
marah. "Dua tahun berlari dan bersembunyi! Dan saya tak bersalah.
Bagaimana dengan keluarga saya, Letnan Wilkins? Bagaimana
dengan keluarga saya?"
Letnan Wilkins menggeram kesakitan. Ia mencengkeram
bahunya dan jatuh terduduk di tanah. "Sarah... cari bantuan,"
gurilamnya.
Sarah ragu-ragu."Lalu melemparkan senjatanya ke tanah dan
lari ke jalan. "Aku tahu cara menggunakan radio polisi!" serunya.
"Aku akan menghubungi ambulans!"
Ellie mengawasi Sarah menghilang di balik pepohonan. Ia
menyadari tangan Brett masih melingkari pinggangnya. Sambil
menghela napas lega, ia bersandar ke tubuh Brett dan memejamkan
mata.
**************************************
"Aku mesti memanggilmu apa—Brian atau Brett?" tanya Ellie.
"Panggil aku Brett," jawab cowok itu serius. "Aku tak perlu jadi
Brian lagi. Brian tidak nyata. Dan aku nyata."
Ellie dan Brett duduk berdua di sofa ruang tamu Ellie. Brett
menggenggam tangan cewek itu. Sementara mereka mengobrol, Chaz
berbaring di karpet di depan mereka, mendengkur di kaki Ellie.
"Begitu banyak yang tak kumengerti," kata Ellie. "Bagaimana
kau bisa tahu harus melarikan diri? Bagaimana kau bisa tahu Wilkins
akan berusaha menyalahkanmu atas kematian Melinda?"
Brett memejamkan mata, mengingat-ingat. Diremasnya tangan
Ellie lebih kuat. "Malam itu—malam Melinda meninggal—aku cepat-
cepat ke rumahnya untuk mengajaknya pergi. Tapi rumahnya gelap.
Tak ada orang di sana. Kurasa Melinda berubah pikiran tentang
rencananya lari denganku."
"Pasti pada waktu itulah Wilkins menguburkannya di hutan,"
kata Ellie sedih.
Brett terdiam sesaat. Lalu melanjutkan, "Pikiranku kacau. Aku
berputar-putar selama berjam-jam. Waktu aku pulang, ibuku
menungguku. Dia sangat cemas, sangat ketakutan. Dia bilang Wilkins
sebelumnya datang untuk menangkapku. Menangkapku karena
membunuh anaknya."
"Oh, Tuhan!" seru Ellie. "Apa yang kaulakukan?"
"Aku bersumpah pada ibuku aku tak melakukannya. Lalu aku
pergi. Aku sangat terkejut, sangat takut. Kau tahu, aku pernah terlibat
masalah sebelumnya. Aku tahu takkan ada yang mempercayaiku. Jadi
aku pergi. Aku terus melaju dengan mobilku. Aku tak bisa percaya
Melinda sudah meninggal. Aku betul-betul bingung."
"Dan selama dua tahun terakhir?" tanya Ellie.
"Aku tinggal dengan sanak saudaraku. Aku bersembunyi. Aku
terus berpindah-pindah. Aku mengubah penampilanku. Aku
mengganti namaku. Aku hanya tahu kalau aku pulang, Wilkins akan
menangkapku." Ia menghela napas. "Mengerikan sekali, Ellie. Mimpi
buruk yang mengerikan."
Ellie melepaskan tangannya dari genggaman Brett. Mereka
bersandar di sofa. Chaz menguap keras-keras.
"Jadi kenapa kau kembali ke Shadyside?" tanya Ellie pelan.
"Kau tahu itu akan menimbulkan masalah bagimu. Kenapa kau
kembali ke sini, Brett?"
Mata Brett yang kelam menatap mata Ellie tajam. "Karena
kau," jawabnya.
Ellie terkejut. "Hah? Aku? Kau kan tak kenal aku!"
"Aku melihatmu dalam visi," kata Brett.
Chapter 26

"AKU semacam paranormal," kata Brett menjelaskan, melihat


Ellie kaget. "Aku melihat visi. Mimpi—hanya saja aku tak tidur."
"Kau juga?" seru Ellie. "A... aku tak percaya ini!"
"Benar," sahut Brett. "Aku melihat visi tentang Melinda. Dia
berada di hutan, mengenakan kaus lengan panjang merahnya, tertutup
dedaunan. Dia memintaku datang membantunya. Memohon padaku.
Dia tampak begitu sedih. Lalu aku melihatmu dalam visi itu, Ellie.
Aku tak tahu siapa kau. Tapi kau cantik sekali. Kau berdiri di samping
Melinda. Dan kau tampak sangat pemberani."
Ellie menatap Brett, menggeleng-geleng.
Dia bisa melihat visi juga, pikirnya takjub. Kenapa tak kukira
dari dulu? Kenapa aku tak menyadarinya?
"Setelah visi itu," Brett melanjutkan, "aku tahu aku harus
kembali ke Shadyside. Aku harus mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi pada Melinda. Dan aku harus melindungimu."
"Jadi kau kembali kemari...," kata Ellie, sambil menggenggam
tangan Brett lagi.
"Dan aku menemukanmu," kata Brett. "Dan kau menemukan
kuburan Melinda di hutan. Persis seperti visiku. Dan kau ingin dengar
sesuatu yang lebih gila lagi?"
"Apa?" tanya Ellie.
"Waktu ketemu kau, aku tahu kau punya kekuatan juga. Dan
aku tahu kau dan aku bisa memecahkan misteri ini."
Ellie menghela napas dan menggeleng. "Aku heran dulu bisa
begitu takut padamu," ia mengakui. "Aku melihat visi-visi
menakutkan tentang pisau bergagang perak. Dan siang itu di Fear
Island, waktu kau mengeluarkan pisau untuk memotong apel..."
"Sudah kubilang itu pisau kakekku," Brett memberitahu.
"Kakekku polisi. Itu pisau polisi."
"Itu sebabnya pisau itu sama dengan pisau yang dikuburkan
Letnan Wilkins di samping Melinda," kata Ellie menyadari. "Wilkins
pasti punya pisau seperti itu."
Chaz berguling telentang. Ellie membungkuk dan menggaruk
perutnya. Anjing itu menyeringai dalam tidurnya.
"Dan kancing emas itu?" tanya Ellie, ia bersandar lagi di
samping Brett. "Bagaimana kau tahu Sarah dan aku menemukannya?
Visi lagi?"
Brett mengangguk. "Ya. Aku melihat visi lagi tentang Melinda.
Dia memegang kancing emas itu. Dia menunjukkannya padaku. Aku
tak tahu kenapa. Aku cuma tahu kancing itu sangat penting. Aku tahu
kancing emas itu menyimpan jawaban untuk semua misteri ini. Itu
sebabnya malam itu di hutan aku ingin sekali melihatnya.Kurasa aku
bisa membongkar semuanya dengan kancing itu."
"Untungnya, Sarah memecahkan misteri itu—tepat pada
waktunya," gumam Ellie sambil bergidik.
Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Brett. Sesaat mereka
duduk tanpa berkata-kata. Yang terdengar hanyalah dengkuran lembut
Chaz.
"Ibuku bisa melihat visi. Kurasa dia mewariskan
kemampuannya itu padaku," kata Ellie lirih.
"Aku sudah punya kemampuan itu sejak kecil," Brett bercerita.
Ia duduk tegak dan tersenyum pada Ellie. "Aku malah sedang melihat
visi sekarang."
Ellie menatap cowok itu dengan terkejut. "Hah?"
Brett mengangguk, nyengir. Ya. Aku yakin bisa membaca
pikiranmu. Aku yakin aku tahu pasti apa yang sedang kaupikirkan."
"Apa yang sedang kupikirkan?" tantang Ellie.
Brett membungkuk dan menciumnya, ciuman yang lama dan
lembut.
"Kau benar," kata Ellie.
END
Anak Gadis Di Tengah Hutan

anak gadis di tengah hutan


hilang arah sesatlah sudah

anak gadis di tengah hutan


gelap menjelang dan ia sendiri
dingin ketakutan
berjalan tak tentu arah
dalam cahaya lemah bulan dan bintang,
tersaruk-saruk

datang satu makhluk


menyatu dalam bayangan hutan
matanya menyala redup
benaknya lapar,
pun perutnya

mendekat perlahan
perlahan....

dan anak gadis habislah sudah!

Anda mungkin juga menyukai