Anda di halaman 1dari 12

FIS 40 (2) (2013)

FORUM ILMU SOSIAL


http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL

FILM SEBAGAI PROPAGANDA DI INDONESIA

Eka Nada Shofa Alkhajar, Firdastin Ruthnia Yudiningrum, Agus Sofyan*


Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta 57126
Email: ekanadashofa@yahoo.com

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel
Diterima Mei 2013 Melalui studi dokumen sebagai pendekatan kualitatif, penelitian ini
Disetujui Juni 2013 bertujuan untuk mengetahui bagaimana film memerankan fungsi
Dipublikasikan Juni 2013 propaganda dari masa ke masa, khususnya dari zaman kolonial hingga Orde
Baru serta mengetahui maksud dari propaganda itu dibuat. Hasil penelitian
Keywords: ini menemukan bahwa film bukanlah media yang netral melainkan
film in which the context is bergantung kepada sang pembuat yang menggunakan sudut pandang
propaganda tertentu melakukan rekaman realitas melalui media film. Sudut pandang ini
dapat disuntikkan, ditempelkan, dan dikonstruksikan ke dalam film di mana
dalam konteks ini adalah propaganda. Temuan mendasar lain dari penelitian
ini antara lain: Pertama, adanya relasi yang erat di mana penguasa
(pemerintah) tanggap untuk menjadikan media film sebagai alat propaganda
dengan berbagai maksud dan tujuan yang diinginkan penguasa. Sehingga
dapat dikatakan bahwa propaganda merupakan usaha sadar, sistematis,
terencana dan bertujuan konkrit. Kedua, kecenderungan makna propaganda
yang muncul senantiasa berkaitan dengan maksud pembentukan “image”
penguasa yang baik dan hebat. Selain itu, propaganda yang dijalankan
berpamrih pula untuk menarik simpati dan dukungan rakyat, legitimasi,
status quo ataupun membentuk distorsi kesadaran sekaligus melakukan
pembentukan sejarah versi “penguasa”. Ketiga, melalui film sesungguhnya
kita dapat mengetahui mentalitas, relasi kuasa hingga identitas sebuah
bangsa serta fakta zaman yang terekam dan tersimpan dalam teks-teks film
karena tentunya film lahir dengan lingkupan sosio kultur atau konteks suatu
zaman tertentu.

Abstract

Through the study of the document as a qualitative approach, this study aims
to determine how the film plays the propaganda functions from time to time,
particularly from the colonial era to the New Order and know the purpose of
propaganda was made.The results of this study found that the film is not a
neutral medium but rather depends on the maker who uses a particular
viewpoint of recording reality through the medium of film. This perspective
can be injected, taped and constructed into a film in which the context is
propaganda. Another fundamental findings of this study are: First, the
existence of a close relationship in which the rulers (government) response
to be the medium of film as a tool of propaganda with the intent and purpose

Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013 189


of the authorities want. So it can be said that propaganda is a conscious,
systematic, planned and aimed at concrete. Second, the meaning of
propaganda emerging trend is always related to the purpose of the
establishment the good and great “image” of ruler. In addition, the
propaganda carried on anyway have the intention to attract the sympathy
and support of the people, legitimacy, status qou or any form of distortion
awareness and conduct establishment version of history “ruler”. Third,
through the film we actually can know the mentality, the power relation to the
identity of a nation, and the fact that the time recorded and stored in the texts
of the film because the film certainly born with the socio-cultural scope or
context of a particular age.

2013 Universitas Negeri Semarang


* Alamat korespondensi
ekanandashofa@yahoo.com

PENDAHULUAN percobaannya” kepada para pengunjung kafe


itu. Pertunjukkan yang diiklankan kembali
Sejak awal kemunculannya film sebagai “keajaiban gambar hidup” itu dalam
terbukti memiliki kemampuan membius kenyataannya membuat penonton takjub,
penontonnya secara hebat (Ismail, 1983). tertawa-tawa dan juga riuh karena terkaget-
Fiske pun menuturkan bahwa terbukti hingga kaget. Saat itu, untuk pertama kalinya film
kini film tetap dikenal seantero dunia dan dipertontonkan dengan membayar dan
tetap bertahan di tengah hiruk-pikuk media di konon, keuntungan yang ditangguk lewat
dunia (Fiske, 1990). Merujuk pada Alkhajar, tontonan itu mencapai tiga juta franc.
sudah semenjak tahun 1930an, Paul Rotha Peristiwa pada 28 Desember 1895 ini
menyatakan bahwa film merupakan menjadi titik awal film sebagai medium
penemuan teknologi terbesar sepanjang masa hiburan yang tak kunjung surut po-
dimana keberadaannya tidak bisa dilepaskan pularitasnya hingga kini (Irawanto, 1999: v)
dari dua arah yang melingkupinya secara Namun demikian ada satu hal yang
bersamaan: budaya dan komersial. Dalam pasti bahwa film bukanlah sebuah entitas
abad kedua puluh satu ini, film yang juga yang netral dan bebas nilai. Film tidak pula
merupakan salah satu bentuk budaya lahir dari ruang kosong. Lebih dari itu, film
kontemporer telah menjadi industri bernilai merupakan media yang efektif dalam
ribuan dollar Amerika (Alkhajar, 2010: 1). membawa pesan-pesan yang memang
Film mahir membuat kejutan dan dilekatkan dan ditanamkan padanya untuk
ketakjuban. Budi Irawanto mencatat bahwa kemudian disampaikan kepada segenap
hal demikian nampaknya dialami pula oleh penontonnya (Alkhajar, 2011: 61).
para pengunjung di ruang bawah tanah Grand Penelitian ini membidik konteks
Café di Boulevard de Capucines No. 14 berbeda dengan kebiasaan riset film kekinian
Perancis, ketika seabad silam Lumiere di mana fokusnya adalah berbagai pernak-
Bersaudara mempertontonkan “hasil pernik perfilman masa kini. Sementara itu,

190 Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013


banyak khasanah rona-rona perfilman di kejelekan dan kesengsaraan manakala
masa lampau yang belum tergali dengan baik melekat pada orang yang tidak baik.
bahkan terlupakan. Riset ini mengisi ruang Propaganda sendiri merupakan salah satu
kosong riset film yang belum banyak metode komunikasi. Dalam konteks ini sama
dijamah. Penelitian ini mencoba menguak halnya dengan komunikasi, propaganda
perihal film dalam konteks sebagai bertujuan mempengaruhi sikap dan perilaku
propaganda dari masa ke masa di Indonesia orang lain, di mana jika digunakan oleh orang
khususnya zaman kolonial (Belanda dan berbeda tentu akan berdampak berbeda pula
Jepang), Orde Lama dan Orde Baru. Di (Nurudin, 2001: 5-6).
samping itu, penelitian ini juga mencoba Jika metode komunikasi ini digunakan
menelaah dalam maksud untuk apa oleh orang yang mempunyai ambisi
propaganda itu dilakukan. Karena kekuasaan tentu hanya akan digunakan untuk
sesungguhnya melalui film kita dapat belajar target kekuasaan tersebut tanpa mengindah-
mengenai banyak hal dalam konteks kan apakah hal tersebut membahayakan
kehidupan bahkan mampu mencandra orang lain, memperkosa hak asasi orang lain
mentalitas suatu bangsa sebagaimana pernah atau tidak. Apakah berbohong atau tidak tak
dilontarkan Sigfried Kracauer (1974: 6). jadi soal. Yang paling utama adalah target
Dalam perkembangan teori film, politiknya tercapai. Dengan demikian,
setidaknya kini film tidak lagi dipandang propaganda adalah sebuah ilmu yang bisa
sebagai sebuah bentuk seni an sich (film as jadi akan menjadi baik, namun juga bisa akan
art) melainkan juga sebagai komunikasi menjadi buruk sangat bergantung dari siapa
massa (refleksi masyarakat) maupun praktik yang menggunakan serta target apa yang
sosial. Jowett dan Linton (1980) sedang diraih. Ini dimungkinkan mengingat
berpandangan bahwa film adalah refleksi propaganda hanya sekadar cara-cara
dari masyarakat dimana film selalu merekam berkomunikasi dan penyebaran pesan kepada
realitas yang tumbuh dan berkembang dalam orang lain. Sedangkan cara itu akan
masyarakat kemudian memproyeksikannya disesuaikan dengan kemampuan dan
ke layar. Hal ini ditentang oleh Turner (1993) kemauan individu atau suatu kelompok
dimana ia mengungkapkan film tidak masyarakat (Nurudin, 2001: 6).
sekadar “memindahkan” realitas ke layar Qualter (Nurudin, 2001: 9-10)
tanpa mengubah realitas itu melainkan film mengatakan bahwa propaganda adalah suatu
membentuk dan “menghadirkan kembali” usaha yang dilakukan secara sengaja oleh
kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi beberapa individu atau kelompok untuk
dari kebudayaannya (social practice) membentuk, mengawasi atau mengubah
(Alkhajar, 2011: 62). sikap dari kelompok-kelompok lain dengan
Kemudian, propaganda dapat menggunakan media komunikasi dengan
ibaratkan sebuah ilmu. Ilmu itu akan tujuan bahwa pada setiap situasi yang
membuahkan hasil positif jika melekat pada tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi
orang yang mempunyai kepribadian baik. akan seperti yang diinginkan oleh si
Namun, propaganda akan menghasilkan propagandis. Sementara itu, dalam konteks

Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013 191


politik internasional, Puji Rianto konteks mengenai fokus kajian penelitian.
menuturkan propaganda telah memainkan Metode kajian ini menuntut untuk
peranan yang menentukan dalam upayanya menginterpretasikan data dan melakukan
suatu negara meraih tujuan-tujuan politik pengecekan dengan sumber data lainnya
yang sudah ditetapkan (Rianto, 2008: 76; untuk memperoleh hasil yang baik (Keraf,
Holsti, 1983). 2004: 187-188).
Teknik analisis data yang digunakan
METODE PENELITIAN dalam penelitian ini adalah analisis interaktif
Miles dan Huberman. Pada analisis interaktif
Jenis penelitian ini merupakan Miles dan Huberman, proses analisis data
penelitian dasar (basic research). Penelitian kualitatif akan melibatkan tiga komponen
jenis ini disebut pula sebagai penelitian yakni data reduction (reduksi data), data
akademik atau penelitian murni yang hanya display (penyajian data) dan conclusions
bertujuan untuk pemahaman mengenai suatu drawing and verifying (penarikan
masalah yang mengarah pada manfaat kesimpulan dan verifikasi). Oleh karena itu,
teoretis dan berorientasi tidak pada manfaat dalam penelitian ini data dianalisis secara
praktis. Penelitian ini menggunakan induktif. Dengan demikian, pengumpulan
pendekatan kualitatif. Satuan analisisnya dan analisis data dilakukan secara
merupakan dokumen dan literatur yang bersamaan, bukan terpisah sebagaimana
berkaitan dan relevan dengan konteks dalam penelitian kuantitatif dimana data
penelitian. Peneliti mencari sekaligus dikumpulkan terlebih dahulu, baru kemudian
memilah data utama yang digunakan untuk dianalisis (Miles dan Huberman, 1992).
menjawab permasalahan penelitian. Untuk Kemudian, teknik pengecekan
itu digunakan cuplikan selektif sebagaimana keabsahan data dalam penelitian ini
disebut Goetz dan LeCompte sebagai digunakan trustworthiness, di mana data
criterion based selection (Sutopo, 2002). yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan
Pengumpulan data dilakukan melalui dicatat dalam kegiatan penelitian, harus
studi dokumen dan literatur. Studi dokumen diusahakan kemantapan dan kebenarannya.
(document study), dengan memanfaatkan Menurut Noeng Muhajir, dalam epistemologi
berbagai bahan dokumen baik dokumen naturalistik, keterandalan penelitian
tertulis, gambar, hasil karya, maupun bertumpu pada empat elemen: kredibilitas,
elektronik. Di mana dokumen yang telah transferabilitas, dependabilitas, dan
diperoleh kemudian dianalisis, dibanding- konfirmabilitas. Dengan menggunakan
kan, dan dipadukan membentuk suatu kajian keempat elemen itu kita bisa menguji
yang sistematis, padu dan utuh (Bungin, keabsahan penelitian terhadap kualitas
2008: 122: Bowen, 2009). Sementara studi instrumen termasuk data-data yang diperoleh
literatur, dengan menggunakan berbagai (Denzin dan Lincoln, 1994: 114; Muhajir,
sumber-sumber pustaka/bahan untuk 1992; Sutopo, 2002).
menelaah, melacak berbagai macam
jawaban dari persoalan serta mengetahui

192 Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013


HASIL DAN PEMBAHASAN A. Masa Kolonial Belanda
Berpijak dari uraian Krishna Sen, film
Film menjadi wahana efektif dalam propaganda pertama di Indonesia pertama
menanamkan suatu pesan kepada khalayak dibuat pada tahun 1936 oleh Algemeen
penontonnya. Merujuk pada Usmar Ismail, Nederlandsh-Indisch Film (ANIF) berjudul
hal ini dapat terjadi karena film sanggup Tanah Seberang. Hal ini sebagaimana
mendobrak pertahanan akal dan langsung diuraikan olehnya berikut ini: “Pada tahun
berbicara ke dalam hati sanubari penonton 1936, ANIF memproduksi film propaganda
secara meyakinkan (Ismail, 1983: 47-48). Indonesia pertama, Tanah Seberang.
Melihat berbagai kelebihan tersebut, rasanya Disutradarai oleh pembuat film dokumenter
tak heran apabila para penguasa pun Belanda, Mannus Franken, film ini memuji-
menggunakan media ini sebagai alat muji kebijakan transmigrasi pemerintah
propaganda mereka dengan pamrih Belanda yang memindahkan sebagai
kepentingan status qou, legitimasi, kultus populasi dari Jawa ke Sumatera. Film ini
individu, pengaburan ingatan hingga adalah pesanan Central Comitte for
manipulasi sejarah. Emigration and Colonisation for Natives,
Hal ini senada dengan apa yang serta memperoleh sponsor dan dukungan
dikatakan Marselli Sumarno bahwa potensi yang tidak sedikit dari berbagai departemen
film itu tergantung kepada siapa pembuat pemerintah termasuk kepolisian, jawatan
film tersebut. Sumarno menuturkan: kereta api dan Balai Pustaka (perusahaan
“Membicarakan potensi film masalahnya penerbit milik pemerintah). Gamelan yang
kembali kepada pembuat film yang dengan dipergunakan di film ini pun berasal dari
sudut pandangan tertentu merekam realitas. Sultan Yogyakarta dan Bupati Malang” (Sen,
… apalagi film juga berfungsi sebagai 2009: 27). Film Tanah Seberang bertutur
medium komunikasi” (Sumarno, 1994: 20). mengenai seorang petani asal Jawa dan
Budi Irawanto menambahkan bahwa keluarganya yang sukses hidup di tanah
film propaganda merupakan manifestasi dari seberang setelah mengikuti program
kekuasaan yang berjalan ketika itu di mana transmigrasi dari pemerintah kolonial
kekuasaan itu pun dapat dilihat melalui film. Belanda. Krishna Sen menceritakannya
“Keberadaan film propaganda tidak hanya sebagai berikut: “Tanah Seberang berkisah
karena kekuasaan di luar film yang hendak mengenai seorang petani Jawa bernama
memperalatnya tetapi karakter film itu Sukromo beserta keluarganya yang sukarela
sendiri merupakan medium propaganda yang ikut dalam program kolonisasi Lampung
sempurna. Dengan kata lain, film bisa demi mencari penghidupan yang lebih baik.
menjadi medium untuk membangun Sesampainya di Lampung, mereka
kekuasaan dan lewat film pula sesungguhnya mendapati komunitas pedesaan yang telah
kekuasaan terukir dengan jelas” (Irawanto, mapan di mana Sukromo dan keluarga
2004: 3). disambut hangat, dan segera ikut serta dalam
panen musiman. Setelah mampu memenuhi
kebutuhan primernya dengan memanen hasil

Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013 193


tani penduduk lainnya, Sukromo membuka Biran mencatat bahwa Jepang sangat
lahan baru di hutan, kemudian membangun menyadari amat pentingnya media film
rumah dan sawahnya sendiri. Di akhir film, sebagai alat propaganda. Biran kembali
Sukromo tak saja menjadi seorang petani mengurai bahwa enam sesudah Jepang
sukses, namun juga menjabat kepala desa” menduduki negeri ini, Gunseikanbu
(Sen, 2009: 27). (Pemerintahan Militer) mendidikan
Dalam perkembangan selanjutnya, dari Sendenbu (Badan Propaganda dan
uraian dan pelacakan yang ada didapat bahwa Penerangan). Kemudian pada April 1943,
ANIF, sebuah perusahaan film Belanda ini Sendenbu mendirikan Keimin Bunka
memiliki peranan signifikan bagi sejarah Shidosho (Pusat Pendidikan Populer dan
produksi film Indonesia karena tiga alasan. Pengembangan Kebudayaan) atau Pusat
Pertama, perusahaan ini memproduksi Kebudayaan, di mana badan ini berperan
sebuah film musikal romantik yang sangat untuk mengembangkan kebudayaan tradisi
laku. Film ini adalah film pertama yang Indonesia; memperkenalkan dan men-
seluruh karakternya dimainkan oleh orang sosialisasikan kebudayaan Jepang serta
pribumi serta didasarkan pada cerita dan sebagai wahana pendidikan dan pelatihan
scenario yang ditulis oleh orang Indonesia seniman-seniman Indonesia (Kurasawa,
asli. Kedua, ANIF memproduksi film 1997; Biran, 2009).
propaganda pemerintah (Belanda-pen.) yang SM Ardan pun menilai hal yang serupa
pertama. Ketiga, pada 1950, ANIF berubah bahwa kata kunci utama dalam film adalah
menjadi perusahaan Film Negara (PFN), untuk penerangan dan propaganda. Ia
sebuah unit produksi independen milik mengungkapkan bahwa “Jepang memang
pemerintah (Indonesia-pen.) (Sen, 2009: 26). kurang mementingkan segi komersil. Yang
penting tujuan tercapai: penerangan dan
B. Masa Kolonial Jepang propaganda. Lebih-lebih dalam film-film
Sementara film benar-benar digunakan non-cerita, di mana ditekankan, antara lain,
sebagai media propaganda adalah ketika bahwa militer Jepang bukanlah aggressor,
masa kolonial Jepang. Hal ini sebagaimana tapi adalah pembebas bangsa Asia dari
diungkapkan Budi Irawanto berikut ini: perbudakan bangsa-bangsa Barat” (Ardan,
“Pemanfaatan film sepenuhnya sebagai alat 1992: 34).
propaganda terjadi pada masa pendudukan Hal ini senada dengan apa yang
Jepang (1942-1945) melalui penutupan dituliskan Rita Sri Hastusi (1992: 34) di
perusahaan film swasta dan pemusatan mana film propaganda Jepang yang
produksi di tangan pemerintah pendudukan didatangkan langsung dari Jepang yang
Jepang” (Irawanto, 2004: 9). Ini senada penuh dengan gambaran tentang keunggulan
dengan apa yang dicatat oleh SM Ardan Jepang antara lain Nankai no Hanabata
bahwa, “Selama menduduki Indonesia (Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei
(1942-1945) Jepang lebih banyak membikin (Jenderal dan Prajurit), Singaporu Soko Geki
film penerangan dan propaganda” (Ardan, (Penyerangan Umum di atas Singapura) dan
1992: 30). Dalam uraiannya, Misbach Yusa Eikoku Koezoeroeroe No Hi (Saat Inggris

194 Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013


Runtuh). tidak lepas dari kesadaran bahwa film
Rita Sri Hastuti mengungkapkan merupakan wahana yang tepat dalam
bahwa film propaganda ingin mengukuhkan menanamkan pesan tertentu. Hal ini
betapa kuat dan tangguhnya bala tentara sebagaimana disampaikan Gotot Prakosa
Jepang dalam berbagai pertempuran. Hastuti bahwa melalui film kerap digunakan untuk
mencatat bahwa “Film-film propaganda suatu orientasi bagaimana memanfaatkan
yang dimaksud berupa slide tentang tentara politik dan kedudukan yang ada (Prakosa,
Nippon, diputar sebelum pemutaran film 2004: 49). Budi Irawanto mengurai bahwa
cerita. Tujuannya, membuat masyarakat sebagai bagian cara pengelabuan massa, film
mengetahui betapa besar dan kuatnya bala propaganda bekerja lewat representasi yang
tentara Jepang yang menghasilkan bersifat monolitik dan sepihak. Adapun film
kemenangan-kemenangan di dalam propaganda dalam masa ini adalah Images of
peperangan. Dengan begitu, secara Soekarno (1950-an dan 1960-an). Dalam
psikologis masyarakat Indonesia yang film tersebut digambarkan suatu representasi
melihat film dokumenter itu diharapkan “Bapak”. Hal ini sebagaimana diuraikan
terpengaruh. Jepang juga ingin mem- Budi Irawanto: “Soekarno dalam Images of
perlihatkan kepada masyarakat Indonesia Soekarno, umpamanya, secara eksplisit
bahwa Jepang bersungguh-sungguh dalam mengklaim dirinya sebagai “Bapak Rakyat.”
melaksanakan ide Lingkungan Kemakmuran Pada pidato pembebasan Irian Barat di
Bersama Asia Timur Raya dengan jalan Yogyakarta pada 19 Desember 1963, ia
apapun termasuk menyingkirkan penghalang dengan lantang mengatakan bahwa
yang dapat menggagalkan tujuannya” pembebasan Irian Barat dari kekuasaan
(Hastuti, 1992: 37-38). Belanda bukan karena kepentingan
Dalam film tersebut memperlihatkan pribadinya, melainkan kepentingan seluruh
adegan pertempuran yang seru, dan betapa rakyat Indonesia. Menurutnya, ia sekadar
hebatnya tentara Jepang dalam mengalahkan menyuarakan apa yang terjadi gejolak di hati
kekuatan tentara Barat yang selama ini rakyat: Irian musti dibebaskan dari kaum
diagung-agungkan. Film-film dokudrama imperialis dan kolonialis Belanda”
mengenai peperangan di Hongkong, Cina, (Irawanto, 2004: 9-10).
dan wilayah lain seperti Sina No Yoru, Tank D. Pemerintahan Orde Baru
Nisizuni, Sayap Meliputi Burma, Masih mengusung misi yang sama
Kemenangan Sayap, Harimau Melayu, Orde Baru pun mengusung berbagai
sangat membantu memperkuat kepercayaan propagandanya melalui media film. Ini
bangsa Indonesia bahwa Jepang memang senada dengan apa yang diutarakan Ariel
hebat. Terutama karena di depan mata bangsa Heryanto di mana sedari awal militer (Orde
Indonesia sendiri, Jepang bisa menyapu Baru) sadar akan kekuatan film sebagai alat
Belanda begitu cepat (Biran, 2009: 336-337). propaganda. Heryanto mengurai bahwa
“Sejak awal berkuasa, militer memahami
C. Pemerintah Orde Lama kekuatan film sebagai alat propaganda. Pada
Masa pemerintahan Orde Lama pun 15 April 1969, Panglima Komando Operasi

Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013 195


Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Tempo.co, 2012b; Tempo.co, 2012c).
(Kopkamtib) mengeluarkan keputusan Film ini menjadi film wajib tonton pada
tentang dibentuknya “Projek Film era pemerintahan Presiden Soeharto.
Koptamtib” untuk memproduksi film Sehingga tak heran apabila film Peng-
dokumenter sebagai “media psywar”. khianatan G30S/PKI adalah salah satu film
Menurut Laporan Komnas HAM 2012, yang berhasil menyedot penonton terbanyak.
Koptamtib merupakan lembaga yang paling Data Peredaran Film Nasional menyatakan
bertanggung jawab atas kejahatan berat karya berdana Rp 800 juta itu menjadi film
kemanusiaan dalam kurun 1965-1966” terlaris pertama di Jakarta pada 1984, dengan
(Heryanto, 2012). jumlah penonton 699.282 orang dan tak pelak
Merujuk pada Tempo edisi 1-7 Oktober pada 1985, di Festival Film Indonesia, film
2012, film seperti Pengkhianatan G-30- ini mendapat penghargaan Piala Antemas
S/PKI merupakan film propaganda Orde untuk kategori film unggulan terlaris 1984-
Baru. Hal ini senada dengan apa yang dicatat 1985 (Tempo.co, 2012b; Tempo.co, 2012c;
Nurudin bahwa film Pengkhianatan G-30- Tempo.co, 2012d; Tempo.co, 2012e; Ardan,
S/PKI merupakan produk propaganda. 1992: 119).
Nurudin mengungkapkan: “Di Indonesia Namun dalam perkembangannya film
propaganda lewat film nyata terlihat dalam berdurasi 4 jam yang wajib disiarkan setiap
pemutaran film Pengkhianatan G-30-S/PKI malam tanggal 30 September itu tak lagi
yang pada zaman pemerintahan Soeharto tayang di televisi mulai tahun 1998.
setiap setahun sekali (malam 30 September) Sebagaimana diwartakan Kompas, 24
diputar di stasiun TVRI. Sekitar tahun 80-an September 1998, Menteri Penerangan saat
atau awal kemunculan film ini siswa-siswa itu, Yunus Yosfiah mengatakan pemutaran
wajib menontonnya. Pesan yang dikandung film yang bernuansa pengkultusan tokoh,
dalam propaganda film tersebut adalah seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur
bahwa bangsa Indonesia harus waspada Kuning, Serangan Fajar tidak sesuai lagi
bahaya laten terhadap PKI. Soeharto dengan dinamika reformasi. “Karena itu,
digambarkan satu-satunya pahlawan dalam tanggal 30 September mendatang TVRI dan
menumpas pemberontakan itu” (Nurudin, TV swasta tidak akan menayangkan lagi film
2001: 37). Pengkhianatan G30S/PKI” (Tempo.co,
Selama masa kepresidenan Soeharto 2012f; Tempo.co, 2012g). Keterangan dari
atau pemerintahan Orde Baru, film berkisah Yunus Yosfiah ini sejalan dengan apa yang
penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal dipaparkan Nurudin bahwa “Hal demikian
revolusi itu selalu diputar pada 30 September juga ditunjukkan pada film-film yang
oleh Televisi Republik Indonesia atau TVRI. disponsori pemerintah seperti, Janur Kuning,
Bahkan tak hanya televisi yang wajib Enam Jam di Yogya, dan Serangan Fajar.
menayangkannya, seluruh sekolah pun Propaganda lewat film kadang membenarkan
mengharuskan murid-muridnya menonton (dengan tujuan memengaruhi persepsi
untuk kemudian membuat resensi film itu publik) tindakan yang salah, ini yang justru
sebagai tugas sekolah (Tempo.co, 2012a; menjadi persoalan. Dalam salah satu film

196 Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013


tersebut dikemukakan bahwa ide Serangan konstruksi citra yang mengambil basis
Oemoem (SO) 1 Maret berasal dari Soeharto. historis, melakukan marginalisasi peran
Saat sekarang pendapat itu ditentang bahwa sipil. Karena itu, konstruksi relasi sipil-
yang mempunyai ide SO adalah Sri Sultan militer di Indonesia tidaklah setara,
HB IX dan bukan Soeharto” (Nurudin, 2001: melainkan dominative. Dengan kata lain,
37). semua ini merupakan pembenaran historis
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan terhadap dominasi militer atas sipil.
Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam Sejumlah film yang menjadi objek kajian ini,
mengatakan film 'Pengkhianatan G30S' dengan gambling merepresentasikan
adalah satu dari sekian banyak propaganda keunggulan modus perjuangan bersenjata
rezim Orde Baru untuk mendiskreditkan yang dilakukan oleh militer, dibandingkan
Partai Komunis Indonesia. “Masih ada dengan modus perjuangan diplomasi yang
propaganda selain film”. Selain itu, ia juga dilakukan elit politik sipil. Bahkan dalam
mengungkapkan bahwa “Pemerintah Orde film-film ini pula, modus perjuangan
Baru ingin melegitimasi rezim yang diplomasi nyaris mengalami eliminasi”
didominasi militer”. Asvi pun menilai bahwa (Irawanto, 1999: 178).
Orde Baru berhasil menanamkan stigma Selain itu, dari kajian yang ia lakukan
negatif kepada PKI. Buktinya, selama terutama di dalam Janur Kuning dan
puluhan tahun masyarakat “ketakutan” Serangan Fajar, Soeharto benar-benar
ketika mendengar segala sesuatu yang menjadi tokoh sentral dan menjadi pusat
berkaitan dengan PKI. Ia menuturkan: “Mau narasi dari cerita yang disajikan dalam film
mantu saja bisa batal kalau calonnya ada 'bau' sementara tokoh lainnya yang notabenenya
PKI-nya” (Tempo.co, 2012h). diambil dari tokoh riil hanya sekadar menjadi
Kemudian sebagaimana diungkapkan peran pembantu semata (Irawanto, 1999:
pula bahwa bahwa banyak film propaganda 180). Hal ini jelas merupakan bentuk
lain dari Orde Baru. Diantaranya, Enam konstuksi untuk kultus dan legitimasi tokoh
Djam di Jogja, Janur Kuning dan Serangan tertentu yakni Soeharto maka tak salah
Fajar pun tak luput dari berbagai gugatan dan manakala Yunus Yosfiah, Menteri
pertanyaan dari berbagai pihak. Penelitian Penerangan pada 1998 melarang pemutaran
yang dilakukan Budi Irawanto (1999: 178) film-film tersebut karena tentunya dapat
melalui pendekatan analisis semiotik menimbulkan distorsi kesadaran dan
terhadap ketiga film tadi menemukan menjadi kultus individu.
kecenderungan bahwa film ternyata tidak
sebatas sebagai medium hiburan melainkan SIMPULAN
dapat berperan pula sebagai medium
hegemoni militer. Ia mencatat bahwa ada Dari penelitian yang telah dilakukan
suatu bentuk legitimasi historis berkaitan terlihat bahwa film sebagai sebuah media
dengan dominasi militer atas sipil di mana benar-benar tidaklah netral. Film mampu
keunggulan militer atas sipil sengaja memainkan peranan sedemikian rupa dengan
diproduksi. Ia menuturkan: “Militer melalui berbagai pesan yang disuntikkan,

Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013 197


ditempelkan serta dikonstruksikan di DAFTAR PUSTAKA
dalamnya di mana film bukan lagi sekadar
media hiburan. Untuk konteks penelitian ini, Alkhajar, Eka Nada Shofa. 2010. “Masa-
film ternyata mahir memainkan peranan masa Suram Dunia Perfilman
propaganda secara apik dari masa ke masa Indonesia”.
khususnya dalam konteks yang dikaji dalam Surakarta: Tesis Pascasarjana Ilmu
penelitian ini adalah sejak masa kolonial, Komunikasi UNS. Tidak Diterbitkan.
Orde Lama dan Orde Baru. Temuan
Alkhajar, Eka Nada Shofa. 2011. “Menguak
mendasar dari penelitian ini sesuai dengan
Relasi Patriotisme, Revolusi dan
semangat penelitian fundamental adalah: Negara dalam Film Indonesia,”
Pertama, adanya relasi yang erat di mana Humaniora, Vol. 16, No. 1, April.
penguasa (pemerintah) tanggap untuk
Ardan, SM. 1992. Dari Gambar Idoep ke
menjadi media film sebagai alat propaganda Sinepleks. Jakarta: GPBSI.
dengan berbagai maksud dan tujuan yang
Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film
diinginkan penguasa, sehingga dapat
1900-1950: Bikin Film di Jawa.
dikatakan bahwa propaganda merupakan
Jakarta: Komunitas Bambu.
usaha sadar, sistematis, terencana dan
bertujuan konkrit. Kedua, kecenderungan Bungin, Burhan Bungin. 2008. Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Kencana.
makna propaganda yang muncul senantiasa
berkaitan dengan maksud pembentukan Bowen, G.A. 2009. “Document Analysis as
“image” penguasa yang baik dan hebat. Qualitative Research Method”,
Qualitative Research Journal, Vol. 9.
Selain itu, propaganda yang dijalankan
No. 2.
berpamrih pula untuk menarik simpati dan
dukungan rakyat, legitimasi, status qou atau Denzin, Norman K. and Yvanna S. Lincoln
pun membentuk distorsi kesadaran sekaligus (Eds). 1994. Handbook of Qualitative
Research. London: Sage Publication.
melakukan pembentukan sejarah versi
“penguasa”. Ketiga, melalui film se- Fiske, John. 1990. Introduction to
sungguhnya kita dapat mengetahui Communication Studies. London:
Routledge.
mentalitas, relasi kuasa hingga identitas
sebuah bangsa serta fakta zaman yang Hastuti, Rita Sri. 1992. “Berjuang di Garis
terekam dan tersimpan dalam teks-teks film Belakang,” dalam Haris Jauhari (ed),
karena tentunya film lahir dengan lingkupan Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
sosio kultur atau konteks suatu zaman
Utama.
tertentu.
Heryanto, Ariel Heryanto. 2012. “Film, Teror
Negara dan Luka Negara”, Tempo, 1-7
Oktober.

198 Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013


Holsti, KJ. 1983. International Politics: A Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Seni
Frame Work for Analysis. Fourth Visual Indonesia.
Edition. New Jersey: Prentice-Hall,
Rianto, Puji. 2008. “Globalisasi Media dan
1983.
Transformasi Politik Internasional”,
Ismail, Usmar. 1983. Usmar Ismail Ilmu Komunikasi, Vol. 5, No. 1, Juni.
Mengupas Film. Jakarta: Sinar
Sen, Krishna. 2009. Kuasa Dalam Sinema:
Harapan.
Negara, Masyarakat dan Sinema Orde
Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Baru. Jakarta: Ombak.
Militer, Hegemoni Militer dalam
Sumarno, Marselli. 1994. Perfilman
Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media
Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi
Pressindo.
Film.
Irawanto, Budi. 2004. “Film Propaganda:
Sutopo, H.B. Sutopo. 2002. Metodologi
Ikonografi Kekuasaan”, Ilmu Sosial &
Penelitian Kualitatif. Surakarta:
Ilmu Politik, Vol. 8, No. 1 Juli.
Sebelas Maret University Press.
Jowett, Garth and J.M. Linton. 1980. Movies
Tempo.co (2012a, 29 September), “Cerita
as Mass Communication. London:
Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal
Sage Publication.
G30S PKI”. Diakses dari
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende: Nusa http://www.tempo.co/edsus/konten-
Indah. berita/politik/2012/09/29/432722/6/Ce
rita-Anak-Jenderal-DI-Panjaitan-Soal-
Kracauer, Sigfried. 1974. From Cagliari to
G30SPKI, 16 Oktober 2012.
Hitler: A Psychological History of the
German Film. New Jersey: Princeton Tempo.co (2012b, 29 September), “Film
University Press. Pengkhianatan G30S/PKI, Propaganda
Berhasilkah?”. Diakses dari
Kurasawa, Aiko. 1997. “Films as
http://www.tempo.co/
Propaganda Media on Java Under the
read/news/2012/09/29/078432667/Fil
Japanese, 1942-1945,” in Grant K.
m-Pengkhianatan-PKI-Propaganda-
Goodman (ed), Japanese Cultural
Berhasilkah, 16 Oktober 2012.
Policies in Southeast during World
War 2. New York: St. Martin's Press. Tempo.co (2012c, 29 September), “Film
Pengkhianatan G30S/PKI, Dicerca dan
Miles, Matthew B. and A. Michael
Dipuji”. Diakses dari http://www.
Huberman. 1992. Analisis Data
tempo.co/read/news/2012/09/29/0784
Kualitatif. Jakarta: UI Press.
32673/Film-Pengkhianatan-G-30-
Muhajir, Noeng. 1992. Metodologi SPKI-Dicerca-dan-Dipuji, 16 Oktober
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: 2012.
Rake Sarasin.
Tempo.co (2012d, 29 September, “Film
Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Pengkhianatan G30S/PKI di Mata Para
Bandung: Remaja Rosdakarya. Sineas. Diakses dari http://www.
Prakosa, Gotot Prakosa. 2004. “Film dan tempo.co/read/news/2012/09/29/0784
Penguasa” dalam Film dan 32677/Film-Pengkhianatan-G-30-
SPKI-di-Mata-Para-Sineas, 16
Oktober 2012.

Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013 199


Tempo.co (2012e, 29 September, “Kekuatan
Film Pengkhianatan G30S/PKI Luar
Biasa”. Diakses dari http://www.
tempo.co/read/news/2012/09/29/0784
32670/Kekuatan-Film-
Pengkhianatan-G-30-SPKI-Luar-
Biasa, 16 Oktober 2012.
Tempo.co (2012f, 29 September), “Cerita di
Balik Penghentian Pemutaran Film
G30S”. Diakses dari http://www.
tempo.co/read/news/2012/09/29/0784
32758/Cerita-di-Balik-Penghentian-
Pemutaran-Film-G30S, 16 Oktober
2012.
Tempo.co (2012g, 29 September), “Film
Pengkhianatan G30S/PKI di Mata
“Soeharto”. Diakses dari http://www.
tempo.co/read/news/2012/09/29/0784
32684/Film-Pengkhianatan-G-30-
SPKI-di-Mata-Soeharto, 16 Oktober
2012.
Tempo.co (2012h, 29 September), “Film
G30S, Satu dari Sekian Propaganda
Orde Baru”. Diakses dari http://www.
tempo.co/read/news/201/09/29/07843
2757/Film-G30S-Satu-dari-Sekian-
Propaganda-Orde-Baru, 16 Oktober
2012.
Turner, Graeme. 1993. Film as Social
Practice. London: Routledge.

200 Forum Ilmu Sosial, Vol. 40 No. 2 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai