Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN JOURNAL READING

“Secondary Syphilis in Patients Treated at the City Institute for Skin


and Venereal Diseases in Belgrade from 2010 to 2014”

Pembimbing:

dr. Dewi Lestary, Sp.DV

Disusun Oleh:

Indah Nur Mariani 29.20 1205 2013

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK STASE KULIT DAN KELAMIN

RS ISLAM JAKARTA SUKAPURA

2017
Judul : Sifilis Sekunder pada Pasien yang diobati pada Institusi
Kota untuk Kulit dan Kelamin di Kota Belgrade dari tahun
2010-2014.
Penulis : Milan Bjekic

Penerbit : Serbian Journal of Dermatology and Venerology 2015; 7 (2):


53-60.

ABSTRAK

Objektif : Untuk menganalisa karakteristik dan gejala klinis dari sifilis


sekunder diantara pasien yang terdaftar pada Institusi Kota
untuk Kulit dan Kelamin di Kota Belgrade, selama periode
2010-2014.

Rancangan penelitian : Jenis penelitian ini adalah ulasan catatan kasus (case-note
review).

Hasil : Dalam periode 5 tahun, terdapat total 62 pasien dengan sifilis


sekunder telah terdata. Rata-rata usia pasien 32 tahun. Terdapat
45 (72,6%) HIV-negatif, dan 17 (27,4%) HIV-positif. Insiden
pasien HIV positif memiliki perbedaan yang signifikan dengan
distribusi acak (p=0,016). Semua pasien HIV-positif adalah
laki-laki yang tidak menikah. Presentase yang signifikan dari
pasien HIV-positif yang tidak bekerja (p<0,001), infeksi
dengan sumber yang tidak diketahui (p=0,002), dan
homoseksual (p=0,026). Lebih dari 25% pasien dengan sifilis
memiliki riwayat chancre, saat ini pasien yang masih terdapat
chancre sebesar 11,3% dari total pasien. Kasus mayor (87,1%)
memiliki ruam dan limfadenopati ditemukan pada 20% pasien.
Sementara alopesia-sifilis ditemukan hanya pada kasus HIV
positif (p=0,004). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara pasien HIV positif dan HIV negatif jika dibandingkan
dengan gejala klinis seperti lendir mukosa dan kondiloma lata.
Great Imitator merupakan julukan dari sifilis sekunder,
sehingga menimbulkan gejala klinis berupa beragam wujud
morfologi dan manisfestasi klinis.

Kesimpulan : Seorang dokter harus waspada dan mempertimbangkan sifilis


sebagai diagnosa pembanding dan mempertahan kecurigaan
terutama ketika menilai populasi yang rentan seperti laki-laki
yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki dan juga pada
individu yang terinfeksi HIV.
I. LATAR BELAKANG

Sifilis merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh Treponema palidum. Jika
tidak terobati, penyakit ini akan melewati 4 stadium: primer, sekunder, laten, dan
tersier. Penularan sifilis terbesar yaitu melalui kontak seksual (termasuk juga kontak
oro-genital), melalui darah dan produk darah, atau secara vertikal dari ibu yang
terinfeksi selama kehamilan, kelahiran, atau saat menyusui. Masa inkubasi sifilis post
seksual yaitu selama 10-90 hari, dimulai dengan munculnya chancre (ulkus durum)
pada lokasi inokulasi yang berhubungan dengan adenopati regional. Lesi primer
tersebut dapat tidak disadari oleh pasien karena akan hilang selama 2-6 minggu tanpa
pengobatan. Pada individu yang tidak terobati, treponema akan berproliferasi pada
chancre dan dibawa melalui limfatik dan hematogen sehingga akan menyebar ke
seluruh tubuh.

Pada sifilis sekunder menampilkan adanya manifestasi pada kulit dan membran
mukosa. Secara umum timbul 4-10 minggu setelah lesi primer muncul. Stadium
sekunder merupakan stadium sangat menular, dengan didahului adanya gejala seperti
malaise, demam ringan, sakit tenggorokan, sakit kepala, pembesaran nodus limfe,
atralgia. Disebut “the great imitator” oleh karena kelainan kulit dapat menyerupai
banyak morfologi penyakit kulit lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
mengenai karakteristik klinis dari sifilis sekunder pada pasien yang berobat pada
Institusi Kota untuk Penyakit Kulit dan Kelamin di Kota Belgrade dari 2010-2014.
Serta membandingkan kasus sifilis dengan HIV positif dan negatif, untuk mengetahui
perbedaannya sehingga sebagai tenaga kesehatan dapat melakukan penanganan dan
pencegahan serta sebagai penilaian awal dari 2 kelompok tersebut.

II. BAHAN DAN METODE

Ulasan retrospektif pasien sifilis sekunder dilakukan di Institusi Kota untuk Penyakit
Kulit dan Kelamin. Data yang dianalisis adalah data demografis, kemungkinan
sumber infeksi, orientasi seksual, dan telah diberikan pula formulir resmi untuk
pemberitahuan mengenai sifilis. Diagnosis sifilis berdasarkan gejala klinis dan tes
serologi positif (Venereal Disease Research Laboratory – VDRL dan Treponema
Pallidum Haemagglutination Assay – TPHA). Data dianalisis dengan tes Fisher, two
tail, dengan hasil P value ≤ 0,05 dianggap signifikan.

III. HASIL

Terdapat 178 pasien telah terdiagnosis dengan sifilis dini (stadium primer, sekunder,
laten dini). Pada penelitian ini 62 pasien terdiagnosa sifilis sekunder dengan usia rata-
rata 32 tahun.
Tabel 1, menampilkan karakteristik sosio-demografi HIV positif dan negatif, yaitu
dengan hasil sebagai berikut.

 Terdapat 45 (72,6%) pasien HIV negatif dan 17 (27,4%) pasien HIV positif
dengan sifilis sekunder. Insiden pasien HIV positif memiliki perbedaan yang
signifikan dari distribusi random (p = 0,016).
 Jenis kelamin, usia, status kehamilan dan edukasi diantara pasien HIV positif
dan negatif tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
 Kasus HIV positif seluruhnya adalah laki-laki, sedikit lebih tua, dan tidak
menikah.
 Terdapat presentase tinggi yang dinilai signifikan pada HIV-positif dengan
status pengangguran (p < 0,001), sumber infeksi yang tidak diketahui (p =
0,002), dan semua pasien homoseksual (p = 0,026).
Tabel 2, menjelaskan manifestasi klinis sifilis sekunder pada pasien yang terdata.

IV. DISKUSI

Selama 10 tahun terakhir (2005-2014), insiden sifilis di Belgrade meningkat 383,2%,


dari 1,07 per 100.000 penduduk pada 2005 dan menjadi 4,1 per 100.000 pada 2014.
Didominasi oleh laki-laki, terutama pada LSL Laki-laki yang melakukan Seks dengan
Laki-laki dan individu yang terinfeksi HIV. Infeksi HIV sangat kuat berhubungan
dengan sifilis terutama LSL. Meningkatnya perilaku seksual yang tidak aman pada
LSL merupakan pemicunya.

Beberapa penelitian melaporkan tingkat HIV dan diikuti dengan infeksi sifilis sangat
tinggi sebesar 50%. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada periode 2010-2014, lebih
dari 25% pasien sifilis terinfeksi HIV. Pada penelitian ini, jika dibandingkan dengan
pasien HIV negatif, pasien dengan HIV positif lebih signifikan dengan adanya sifilis
sekunder dengan homoseksual, pengangguran, dan berhubungan seksual dengan
orang yang tidak diketahui. Hasil ini sesuai dengan penelitian lainnya, dimana
mayoritas pasien sifilis dengan HIV positif adalah homoseksual dan terdiagnosa
berada di stadium sekunder.

Dalam membandingkan HIV positif dan negatif pada penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui adanya perbedaan diantara keduanya sehingga dibutuhkan dalam hal
pencegahan, skrining ataupun pengukuran kesehatan masyarakat pada kedua jenis
kelompok ini.

86,8% HIV positif dan 18,7% HIV negatif merupakan pengangguran. Terdapat
anggapan bahwa orang yang berusaha mencari finansial akan sering mengalami
banyak kesempatan pengalaman hidup, dianggap bahwa dapat meningkatkan risiko
infeksi menular seksual.
Selama stadium I infeksi sifilis, manifestasi klinis dari infeksi tersebut menghasilkan
inokulasi dan sekitar 25% pasien dengan indeksi yang tidak terobati akan
berkembang menjadi sifilis sekunder pada minggu ke 4-10 setelah lesi primer. Pada
penelitian ini, 27,4% kasus memiliki riwayat lesi primer, tetapi mereka
menyangkalnya atau terjadi kesalahan tatalaksana dari dokter yang mengobatinya.
Tetapi tidak semua pasien memiliki gejala diawali dengan chancre, selama hal ini
tidak diketahui (lesi oral, rectal atau vagina). Chancre akan sembuh dalam 2-6 minggu
dan limfadenopati biasanya berlanjut.

Dikatakan bahwa tanda dan gejala sifilis sekunder sering berkembang ketika masih
terdapat chancre, terutama pada pasien dengan HIV positif. Pada penelitian ini pada 7
(11,3%) pasien dengan sifilis sekunder chancre masih tampak dan mayoritas (57,1%)
dengan HIV positif. Lesi pada sifilis sekunder merupakan hasil dari penyebaran
treponema melalui chancre.

Gejalanya umumnya tidak berat berupa fatigue, weakness, sakit kepala, myalgia,
arthralgia, limfadenopati keseluruhan sehingga dapat mengancam organ lainnya.
Hepatitis, meningitis, iridosiklitis, uveitis anterior, artritis, dan glomerulonefritis dapat
terjadi pada stadiun kedua. Sifilis sekunder biasanya akan sembuh spontan setelah 3-
12 minggu, walaupun 25% individu yang tidak diobati akan relaps pada tahun
pertama.

Lesi awalnya berwarna pink pucat, makula eritema berdiameter 4-8 mm pada badan
dan ekstrimitas pasien, yang disebut roseola sifilitika. Hal ini sama seperti yang
ditemukan pada pasien dalam penelitian ini. Ruam ini dapat bertahan beberapa hari
ataupun akan berubah atau diikuti dengan timbulnya papul eksantema simetris
nonpruritik yang timbul lebih dari 87% pada pasien dalam penelitian ini,
predileksinya di badan ataupun di telapak tangan atau kaki.

Lesi papular dapat muncul dalam berbagai bentuk. Kecil atau besar, folikular,
papuloskuamosa (psoriasifom, atau lichenoid appearance), korimbiform, anular,
pustular, rupial, dan papul frambesiform.
Lesi papular yang lembab, kondiloma lata timbul pada 2 dari pasien dalam penelitian
ini. Terdapat 2 bentuk kondiloma lata, lesi papular lembab yang datar dan peninggian
verukosa atau disebut dengan cauliflower-like papules. Lesi ini sering terletak pada
regio anogenital, namun dapat pula terjadi di area triginosa (diantara kaki, jari dan
ketiak).

Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi dapat terjadi pada sifilis


sekunder, seperti tambalan kecil oada keher pasien, disebut juga necklace of venus.
Keterlibatan kulit kepala pada sifilis sekunder akan mengakibatkan alopesia. Pada
penelitian ini secara signifikan terjadi pada pasien dengan HIV positif. Kehilangan
rambut pada sifilis disebut alopesia areolaris, bercak “moth-eaten” terjadi pada area
ireguler. Kerusakan dapat juga terjadi pada alis mata bagian lateral.

Terdapat lesi lendir mukosa di mulut dengan karakteristik lesi makula eritematosa
yang rata pada palatum durum ataupun berbentuk oval atau serpiginosa bahkan sering
erosif atau ulseratif pada membran mukosanya.
Diagnosa banding:

 Berdasarkan gejala sifilis sekunder adalah pitiriasis rosea, psoriasis, drug-


induced eruptions, sarcoidosis, eksantema virus, pitiriasis lichenoida
kronis dan erupsi lichenoid.
 Kondiloma lata dapat membingungkan dengan adanya kutil anogenital
(anogenital warts), Bowen’s Disease, Bowenoid Papulosis.
 “Moth-eaten” alopesia sifilitik dapat didiagnosa banding dengan alopesia
areata, alopesia neoplastika, tinea kapitis, dan trikotrilomania.

Diagnosis:

 Berdasarkan riwayat medis, gejala klinis yang timbul, dan dikonfirmasi


dengan tes serologik (treponemal-TPHA dan nontreponemal-VDRL)
 Pada penelitian ini, sifilis sekunder didapatkan hasil TPHA positif, dan VDRL
dengan hasil false positif oleh karena adanya prozone phenomenon, jika serum
yang digunakan tidak diencerkan.
 Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap untuk mencari Treponema palidum,
namun tidak dianjurkan pada sampel yang non-erosif atau non-ulseratif, yang
berlokasi di kavum oral.

Pasien pada penelitian ini keseluruhan sukses terobati dengan injeksi IM dari penisilin
benzathine, atau dengan regimen 2 minggu doksisiklin. Tes titer antibodi non
treponemal berhubungan dengan aktivitas dari penyakit dan biasanya akan negatif
saat pengobatan telah sukses. Tes treponemal akan tetap positif. Pasien dalam
penelitian ini pengobatannya akan sukses dengan konfirmasi berkurangnya titer 4 kali
lipat VDRL pre-pengobatan, dengan waktu follow-up 6-12 bulan.

V. KESIMPULAN

Dokter harus meningkatkan kecurigaan saat menilai populasi yang rentan, seperti
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki dan individu yang terinfeksi HIV.
Konseling mengenai Penyakit Menular Seksual harus ditawarkan kepada semua
pasien yang datang ke dermatologist dan harus diberitahukan risiko kebiasaan yang
dapat menjadi transmisi dari HIV.

Anda mungkin juga menyukai