Anda di halaman 1dari 11

ETIKA ISLAM DALAM PRODUKSI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu: M. Arif Hakim, M.Ag

Disusun oleh:

1. Dita Ramadhanti (1520310050)


2. Wahyu Nur Rohmat (1520310177)
3. Ella Khusnaya (1520310179)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk menghindari dari perbuatan zalim dan bathil dalam mencari


risky, kita dianjurkan untuk melakukan transaksi perniagaan yang halal dan
thoyib serta disertai adanya kerelaan antara pihak-pihak yang melakukan
transaksi itu.
Saat ini yang menjadi tujuan utama pedagang dalam menjalankan
usahanya adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknnya. Itu didasarkan
pada pemuasan nafsu duniawi yang sangat sulit dibendung, apalagi di era
konsumerisme seperti sekarang. Banyak konsumen dalam memenuhi
kepuasannya lebih mengutamakan keinginan daripada kebutuhan. Begitu pula
dengan produsen yang memproduksi factor keinginan ketimbang kebutuhan.
Mengapa demikian ? ini dikarenakan tijarah atau perniagaan tidak lagi
melihat nilai-nilai moral yang ada. Seakan-akan nilai moral itu dipisahkan
dengan apa yang kita kerjakan dalam mencari risky. Padahal Islam tidak
pernah memisahkan dua hal tersebut, bahkan Islam selalu menyandingkan
nilai-nilai moral dengan setiap aktivitas yang kita lakukan, baik dalam
beribadah maupun dalam bermuamalah.
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai etika islam
dalam berproduksi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan ruang lingkup produksi menurut Islam?
2. Apa nilai-nilai Islam dalam produksi?
3. Bagaimana etika dalam produksi barang dan jasa?
4. Apa saja prinsip etika bisnis islam dalam produksi?
5. Bagaimana etika Islam dalam berproduksi?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam


Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang jasa
yang kemudian dimanfaatakan oleh konsumen.1 Berproduksi (istishna’)
adalah apabila ada seseorang memproduksi bejana, mobil, atau apa saja yang
termasuk dalam katagori produksi. Berproduksi itu hukumnya mubah dan
jelas berdasarkan as-sunnah.Sebab Rasulullah SAW pernah membuat cincin.
Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan: “Nabi SAW telah membuat
sebuah cincin” (H.R. Imam Bukhori). Dari Ibnu Mas’ud: “bahwa Nabi SAW
telah membuat sebuah cincin tang terbuat dari emas” (H.R. Imam Bukhori).
Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah SAW
telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): ‘perintahkan anakmu si
tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku sehingga aku
bias duduk diatasnya’ (H.R. Imam Bukhori).2
Pada masa Rasulullah, orang-orang bisa memproduksi barang dan
beliaupun mendiamkan aktifitas mereka.Sehingga diamnya beliau
menunjukkan adanya pengakuan taqrir beliau terhadap aktifitas produksi
mereka.Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artiya
sama-sama merupakan dalil syara’.
Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan
produksi dan konsumsi sering kali dilakukan oleh seseorang
sendiri.Seseorang memproduksi sendiri barang dan jasa yang dikonsumsinya.
Seiring dengan semakin beragamnya kebutuhan konsumsi dan keterbatasan
sumber daya yang ada (termasuk kemampuannya), maka seseorang tidak
dapat lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, tetapi
memperoleh dari pihak lain yang mampu menghasilkannya.

1
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 230-231
2
Abdu Aziz, Etika Bisnis Perpestif Islam, Alfabet, Cirebon, 2013, hlm.142

2
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi
output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih
luas. Pendenfinisikan produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan
output serta karakter-karakter yang melekat padanya. Beberapa ahli ekonomi
Islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi,
meskipun substansinya sama. Berikut ini beberapa pengertian produksi,
meskipun para ekonom Muslim Kontemprer:
1. Kahf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perpesif Islam
sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik
materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana agama Islam, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Mannan (1992) menekannya pentingnya motif altruism (altruism) bagi
produsen yang Islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep
Pareto Optimality dan Given Demand Hypothcsis yang banyak dijadikan
sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.
3. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan
produksi (distribusi produksi secara merata)
4. Ul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi
kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardlu kifayah, yaitu,
kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
5. Saddiqi (1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan
barang dan jasa dengan memerhatikan nilai keadilan dan kebijkan atau
kemanfaatan (mashlahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya,
sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebijakan bagi
masyarakat maka ia telah bertindak Islami.3

B. Nilai-Nilai Islam Dalam Produksi


Para ahli ekonomi kapitalis menyatakan bahwa motifasi untuk
mendapatkan keuntungan merupakann tujuan yang terbaik, sebanding dengan
tujuan untuk memaksimumkan produksi.Upaya produsen untuk memperoleh

3
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam., Op.cit, hlm.252

3
mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen
mengaplikasikan nilai-nilai Islam.
Secara rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu berorienasi kepada tujuan akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3. Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan, dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi atau produktivitas;
6. Mendorng ukhuwah anatar sesame pelaku eknomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarat sah dan rukun akad atau transaksi;
9. Adil dalam berinteraksi;
10. Memiliki wawasan social;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.4

C. Etika Dalam Produksi Barang Dan Jasa


Kegiatan berproduksi berarti membuat nilai manfaat atas suatu barang
atau jasa, produksi dalam hal ini tidak diartikan dengan membentuk fisik saja
sehingga kegiatan produksi mempunyai fungsi menciptakan barang dan jasa
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada waktu, harga, dan jumlah
yang tepat. Oleh karena itu, dalam proses produksi biasanya perusahaan
meneksnksn agar produk yang dihasilkan mengeluarkan biaya yang murah,
melalui pendaygunaan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan, didukung
dengan inovasi yang kreatifitas untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut.
Misalnya berproduksi dengan cara konvensional atau tradisional, tetapi
sekarang dengan pemanfaatan teknologi yang tepat guna. Langkah-
langkahnya adalah berdasarkan pada kode etik yang mencakup tanggung
jawab dan akuntabilitas koorporasi yang diawasi ketat oleh asosiasi-asosiasi

4
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, PT Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta,
1995, hlm. 3

4
perusahaan dan masyarakat umum.Hokum harus dijadikan sarana pencegahan
bagi pelaku bisnis.Perilaku pelaku bisnis yang dapat membahayakan
masyarakat dalam memproduksi barang dan jasa harus dijerat dengan norma-
norma hokum yang berlaku sehingga masyarakat umum tidak dirugikan, dan
pemerintah juga ikut membna pelaku-pelaku bisnis di Indonesia agar
memiliki moral dan etika bisnis yang baik sehingga diharapkan dapat
bermanfaat.5

D. Prinsip-prinsip produksi
Prinsip-prinsp produksi secara singkat adalah pedoman yang harus
diperhatikan, ditaati, dan dilakukan ketika akan berproduksi. Prinsip-prinsip
produksi dalam Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Berproduksi dalam lingkaran halal
Prinsip produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, baik
individu maupun komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan
Allah dan tidak melewati batas. Pada dasarnya, produsen pada ekonomi
konvensional tidak mengenal istilah halal dan haram. Yang menjadi
prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan pribadi dengan
mengumpulkan laba, harta, dan uang. Ia tidak mementingkan apakah yang
diproduksinya itu bermanfaat atau berbahaya, baik atau buruk, etis atau
tidak etis. Adapun sikap seorang muslim sangat bertolak belakang. Ia tidak
boleh menanam apa-apa yang diharamkan. Seorang muslim tidak boleh
menanam segala jenis tumbuhan yang membahayakan manusia, seperti
tembakau yang menurut keterangan WHO, sains, dan hasil riset berbahaya
bagi manusia. Selain dilarang menanam tanaman-tanaman yang berbahaya
bagi manusia, sorang muslim juga dilarang memproduksi barang-barang
haram, baik haram dikenakan maupun haram dikoleksi. Misalnya
membuat patung atau cawan dari bahan emas dan perak, dan membuat
gelang emas untuk laki-laki. Syariat juga melarang memproduksi produk

5
Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012,
hlm. 52

5
yang merusak akidah, etika, dan moral manusia, seperti produk yang
berhubungan dengan pornografi dan sadisme, baik dalam opera, film, dan
musik.

2. Keadilan dalam berproduksi


Sistem ekonomi Islam telah memberikan keadilan dan persamaan
prinsip produksi sesuai kemampuan masing-masing tanpa menindas orang
lain atau menghancurkan masyarakat. Kitab suci Al-Quran
memperbolehkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan jujur,
sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak dan tidak
membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang, lebih-
lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan
yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum. Setiap orang
dinasihatkan berhubungan secara jujur dan teratur serta menahan diri dari
hubungan yang tidak jujur.

3. Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal
yang Islami.
Sejak dari kegiatan mengorganisisr faktor produksi, proses
produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya
harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992) mengatakan
”perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada
tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi
pasarnya”. Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan
menjauhkan manusia dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan.
Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (dharuriyah,
hajjiyah dan tahsiniyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta
melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata
rantai dalam produksinya.

6
4. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan
Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan
harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam
masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga
berhak menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Jadi
produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen (staock
holders) saja tapi juga masyarakat secara keseluruhan (stake holders).
Pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi keseluruhan
masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan
utama kegiatan ekonomi.

5. Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih


kompleks.
Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan
sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, tetapi
juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala
anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupunmanusia.
Sikap terserbut dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai kezaliman atau
pengingkaran terhadap nikmat Allah10. Hal ini akan membawa implikasi
bahwa prinsip produksi bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah
bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi
dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.

Kegiatan produksi dalam perspektif Islam bersifat alturistik


sehingga produsen tidak hanya mengejar keuntungan maksimum saja.
Produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan
ajaran Islam yaitu falah didunia dan akhirat. Kegiatan produksi juga
harus berpedoman kepada nilai- nilai keadilan dan kebajikan bagi
masyarakat. Prinsip pokok produsen yang Islami yaitu: 1. memiliki
komitmen yang penuh terhadap keadilan, 2. memiliki dorongan untuk
melayani masyarakat sehingga segala keputusan perusahaan harus

7
mempertimbangkan hal ini, 3. optimasi keuntungan diperkenankan
dengan batasan kedua prinsip di atas.6

E. Etika Islam Dalam Berproduksi


Prinsip-prinsip etika produksi yang implementatif terkandung dalam
prinsip tauhid, prinsip keadilan, prinsip kebijakan, prinsip kemanusiaan, serta
prinsip kebebasan dan tanggung jawab. Implementasi prinsip etika produksi
ini akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan
keadilan distributive, kelestarian lingkungan hidup, serta tanggung jawab
social produsen. Untuk mengupayakan prinsip etika yang implementatif
diperlukan pengujian epistemology dari aksioma-aksioma moral dalam al-
Qur’an.
Dalam kegiatan etika Islami, perlunya landasan moral dalam kegiatan
produksi tidak hanya bergerak pada ekonomi an sich tapi juga social. Selain
itu kegiatan produksi merupakan tanggung jawab social untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat serta manifestasi keterhubungan manusia dengan
Tuhan.Prinsip-prinsip etika produksi melainkan hanya injeksi aksioma-
aksioma moral dalam al-Qur’an sebagai landasan etis kegiatan produksi.
Ketika akan memulai berproduksi mengucap BISMILLAHIR
RAHMANIRRAHIM, bentuk ucapan itu merupakan bentuk syukur nikmat
atas upaya manusia dapat hidup mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan
dunia ini.7

6
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Jalasutra, Yogyakarta, 2003,
hlm.156
7
Abdu Aziz, Etika Bisnis Perpestif Islam, Alfabet, Cirebon, 2013, hlm.148-149

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang jasa
yang kemudian dimanfaatakan oleh konsumen. Berproduksi (istishna’) adalah
apabila ada seseorang memproduksi bejana, mobil, atau apa saja yang
termasuk dalam katagori produksi.

Secara rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:


1) Berwawasan jangka panjang, yaitu berorienasi kepada tujuan akhirat;
2) Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3) Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan, dan kebenaran;
4) Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5) Memuliakan prestasi atau produktivitas;
Perilaku pelaku bisnis yang dapat membahayakan masyarakat dalam
memproduksi barang dan jasa harus dijerat dengan norma-norma hokum yang
berlaku sehingga masyarakat umum tidak dirugikan, dan pemerintah juga ikut
membna pelaku-pelaku bisnis di Indonesia agar memiliki moral dan etika
bisnis yang baik sehingga diharapkan dapat bermanfaat.
Prinsip prinsip produksi antara lain berproduksi dalam lingkaran halal,
keadilan dalam berproduksi, seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran
nilai moral dan teknikal yang islami, kegiatan produksi harus memperhatikan
aspek sosial dan politik dan permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena
kelangkaan tetapi lebih kompleks.
Ketika akan memulai berproduksi mengucap BISMILLAHIR
RAHMANIRRAHIM, bentuk ucapan itu merupakan bentuk syukur nikmat
atas upaya manusia dapat hidup mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan
dunia ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdu Aziz, Etika Bisnis Perpestif Islam, Alfabet, Cirebon, 2013.


Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, PT Dana Bakti Wakaf,
Yogyakarta, 1995.
Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2012.
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

10

Anda mungkin juga menyukai