Anda di halaman 1dari 5

Pendidikan karakter akhir-akhir ini menjadi topik yang banyak diperbincangkan di dalam

dunia pendidikan. Di Indonesia sendiri, para tokoh bangsa diantaranya Bung Hatta, Ki Hadjar
Dewantara, dan Santoso sejak dulu telah mengetahui pentingnya pembentukan karakter demi
kemajuan dan pembangunan bangsa. Banyak orang menyamakan antara kepribadian dan karakter.
Tapi, apakah sama kepribadian dan karakter? Menurut Allport (1937) karakter bukan merupakan
suatu kepribadian meskipun keduanya sangat berkaitan erat. Kepribadian merupakan sesuatu yang
dinamis. Maksudnya, kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau
terhenti pada suatu titik. Kepribadian manusia tampak dalam perilaku yang melibatkan aspek
psikis dan motoric, seperti berpikir, merasakan sesuatu, berjalan, dan berbicara. Sedangkan
karakter merupakan kepribadian yang dievaluasi. Maksudnya, karakter adalah segi kepribadian
yang keluar dari, dan disesuaikan dengan norma yang berlaku. Untuk membentuk karakter yang
kuat, orang perlu menjalani serangkaian proses pembelajaran, pelatihan, dan peneladanan.

Menurut Peterson dan Seligman (2004), karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan
keutamaan keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Mereka juga mengemukakan tiga
level konseptual karakter, yaitu keutamaan, kekuatan dan tema situasional. Hubungan antara
ketiga kosep tersebut bersifat hierakis, dimana keutamaan berada di level atas, kekuatan di level
tengah, dan tema situasional di level bawah. Adapun ciri dari karakter yang kuat diantara adalah
memberikan sumbangan terhadap pembentukan kehidupan yang baik, bernilai sebagai sesuatu
yang baik bagi diri sendiri dan orang lain, tidak mengganggu atau menghambat orang lain, tampil
dalam rentang tingkah laku individu, dapat dibedakan dari ciri yang berlawanan dengannya,
diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal, dan memiliki akar psiko-sosial.

Dalam membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai kategori keutamaan dan


kekuatan karakter yang sudah dikembangkan manusia. Kategori tersebut mencakup:
kebijaksanaan dan pengetahuan yang merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi
kognitif, kemanusiaan dan cinta yang merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan
interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain, kesatria yang merupakan
kekuatan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun
mendapat halangan dari eksternal maupun internal, keadilan yang mendasari kehidupan yang sehat
dalam suatu masyarakat, pengelolaan diri yang merupakan keutamaan untuk melindungi diri dari
segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri, dan
transendensi yang merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan
seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan.

Kekuatan dan keutamaan karakter juga sering dikaitkan dengan spiritualitas karena
spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan karakter manusia. Istilah
spiritulitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda.
Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun definisi dari
spiritualitas yang otoritatif. Burnard (dalam McSherry, 1998) melihat spiritualitas dapat merujuk
pada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda. Daya spiritualitas menjadi kekuatan kita
untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Dengan daya spiritualitas, manusia dapat melampaui
dirinya, berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang
melampaui dirinya). Ketika kita membicarakan karakter maka kita juga berbicara tenntang
spiritualitas, tentang daya yang menguatkan dan mengembangkan manusia untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik.

Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada


akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri, dan
memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas
untuk mempersingkat pencapaian kebahagiaan. Jadi, jika kita ingin bahagia, maka kita harus mulai
dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal yang baik, serta
memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita.

Selain itu, karakter juga berhubungan erat dengan filsafat. Berfilsafat berarti juga
melibatkan keseluruhan diri untuk terlibat dalam pencarian kebenaran. Dari sini dapat kita pahami
bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan karakter karena berfilsafat juga
merupakan sebuah cara untuk membangun karakkter. Mengapa kita sebagai pelajar dan juga para
ilmuwan masih perlu filsafat? Penjelasan tentang hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
dapat kita temui dalam literature filsafat ilmu. Filsafat ilmu mempertimbangkan masalah yang
berlaku untuk ilmu tertentu dan berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan. Setidaknya, ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu
pengetahuan untuk menjadi dasar bagi aktivitas mencari pengetahuan. Pertama, etika, dimana para
ilmuwan dutuntun bertindak secara etis, baik dalam aktivitas mencari pengetahuan maupundalam
penerapan pengetahuan. Kedua, epistemology, dimana bidang ini dibutuhkan untuk memberi dasar
bagi perolehan pengetahuan. Ketiga, logika, dimana kita tidak mungkin menjawab semua
pertanyaan yang ada dan memastikan langkah-langkah perolehan pengetauan yang benar tanpa
menggunakan logika.

Kata filsafat pertama kali ditemukan dalam tulisan sejarawan Yunani Kuno, Herodotus
(484-424 SM). Ia menggunakan kata kerja ‘berfilsafat’ dalam percakapannya dengan Croesus
yang kemudian menyampaikan kepada Solon bahwa ia telah melakukan perjalanan. Kata tersebut
mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk pengetahuan semata. Kata filosof atau
filsuf berasal dari kata philosophos yang berarti pecinta kebijaksanaan. Adapun tokoh-tokoh yang
juga berpengaruh terhadap perkembangan filsafat antara lain, Pythagoras (sekitar 582-500 SM),
Cicero (106-43 SM), Xenophon (430-354 SM), Plato (427-347 SM).

Menurut Gazalba (1979) ada berbagai cara untuk membangi filsafat menjadi cabang-
cabang yang memiliki obyek kaian khusus berdasarkan sistematika permasalahan atau area kajian
filsafat yang secara garis besar terdiri dari tiga area kajian. Pertama, ontologi yang berasal dari
bahasa Latin, yaitu onta yang berarti ‘ada’ dan logia yang berarti ‘ilmu’. Ontologi secara umum
didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat ada (being), eksistensi atau realitas, serta
kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka. Kedua, epistemologi yang merupakan cabang
filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumber-sumber, hakikat, dan batas-batas pengetahuan.
Dalam epistemologi terdapat empat cabang yang lebih kecil lagi, yaitu epistemilogi dalam arti
sempit, filsafat ilmu, metodologi, dan logika. Ketiga, axiologi yang merupakan bidang filsafat
yang mencoba menjawab pertanyaan yang sering muncul dan juga biasanya sering diartikan
sebagai nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan manusia. Cabang filsafat
yang termasuk dalam axiology adalah etika yang mengkaji nilai yang berkaitan dengan pendidikan
serta perilaku , dan estetika yang membahas soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.

Pemahaman tentang filsafat dapat juga dilakukan melalui pemahaman terhadap tokoh-
tokoh dan aliran-alirannya. Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran, berbagai –isme
bermuncula, diantaranya: rasionalisme yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber
dari akal (rasio), empirisme yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan,
kritisisme yang dasarnya adalah kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yag dianggap terlalu
ekstrem dalam mengkaji pengetahuan manusia, idealisme yang berpendirian bahwa pengetahuan
adalah proses-proses mental atapun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif, vitalisme
yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara mekanis karena pada hakikatnya
manusia berbeda dengan benda mati, dan fenomenologi yang mengkaji penampakan(gejala-gejala)
dan memandang gejala dan kesadaran selalu saling terkait.

Ada banyak cara untuk belajar filsafat sesuai dengan pesatnya perkembangan filsafat
sehingga sekarang kini. Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan
cara melakukan analisis terhadap istilah-istilah itu berdasarkan pengenalan obyeknya dalam
kenyataan. Analisis terhadap istilah merupakan langkah penting yang harus dilakukan untuk
mendapatkan makna yang tepat dan memadai. Setelah analisis istilah, filsuf berusaha untuk
memadukan hasil-hasil penyelidikannya melalui aktivitas sintesis dengan membanding-
bandingkan bagian-bagian dari makna istilah yang dihasillkan dari aktivitas analisis. Penggunaan
analisis dan sintesis dalam filsafat disebut metode analisis-sintesis dan merupakan metode yang
paling banyak digunakan oleh filsuf. Secara ringkas, Kattsoff (2004:34-38) mengemukakan
langkah-langkah umum yang disarankan dalam menganalisis dan sintesis. Pertama, memastikan
adanya masalah yang diragukan kesempurnaan atau kelengkapannya. Kedua, masalah umumnya
terpecahkan dengan mengikuti dua langkah, yakni menguji prinsip-prinsip kesahihannya dan
menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenarannya (untuk menyimpulkan kebenaran
yang lain). Ketiga, meragukan dan menguji secara rasional segala hal yang ada sangkut pautnya
dengan kebenaran. Keempat, mengenali apa yang dikatakan orang lain mengenai masalah yang
bersangkutan dan menguji penyelesaian-penyelesaian mereka. Kelima, menyarankan suatu
hipotesis yang kiranya memberikan jawaban atas masalah yang diajukan. Keenam, menguji
konsekuensi-konsekuensi dengan melakukan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaranyang telah
dilakukan. Ketujuh, menarik simpulan mengenai masalah yang mengawali penyelidikan.

Metode belajar filsafat sebenarnya bukan hanya dapat digunakan untuk belajar filsafat,
melainkan juga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain. Secara
umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Jika orang menyadari, maka lebih banyak lagi manfaat berpikir filosofis yang dapat
diperoleh. Banyak manfaat yang dapat dirasakan jika kita berpikir filosofis, diantaranya kita dapat
berpikir mendalam dan mendasar, membuat orang dapat berpikir sistematis dalam mengumpulkan
pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata, membantu orang untuk menjajaki kemungkinan
baru sehingga dapat memperoleh pengetahuan baru, dan juga memberikan kesadaran kepada orang
mengenai keterbatasan pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang belum
diketahui membuat orang menjadi rendah hati, terbukadan siap untuk memperbaiki
pengetahuannya. Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun
keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.

Anda mungkin juga menyukai