Anda di halaman 1dari 84

MAKALAH

SISTEM PROTEKSI PASIF KEBAKARAN

KELAS C1 SEMESTER 3

OLEH :

DINAWATI NPM 157051807


YEANE GISANTISARI NPM 157051649
ROCHMAD YULIANTO NPM 157051866
M. RASYID REDHA NPM 157051688
DONI SETIYAWAN NPM 157051694
ADE IMAWAN C NPM 257051718

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV


KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
BALIKPAPAN
2016
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah

ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih

atas bantuan dan dukungan semua teman - teman dan tim yang telah berkontribusi dengan

memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Terima kasih juga untuk rekan

rekan Baker Hughes Indonesia, balikpapan, yang sudah memberikan kesempatan kepada

kami untuk melakukan studi lapangan dan memberikan fasilitas ruang sebagai tempat

penelitian kami.

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada dosen-dosen pembimbing kami yang telah

memberikan bantuan besar berupa ilmu pengetahuan dan materi materi menyangkut tugas

kami, sehingga tugas ini dapat kami susun dan kami selesaikan.

Makalah dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Proteksi Kebakara 2 untuk semester

III. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi

para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi

makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak

kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik

yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Balikpapan, Oktober 2016

Penulis
JUDUL ............................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 4

1.2 Manfaat Penulisan ...................................................................................................... 6

1.3 Tujuan Teoritis ............................................................................................................ 7

1.3.1 Definisi Api ............................................................................................................. 8

1.3.2 Segitiga Api ............................................................................................................ 9

1.3.3 Tetrahedron Fire ...................................................................................................... 9

1.3.4 Definisi Kebakaran ................................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 10

2.1 Pengertian umum ......................................................................................................... 10

2.1.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja .......................................................................... 10

2.1.2 Prinsip Dasar Pencegahan Kebakaran (Fire Protection) ......................................... 13

2.1.3 Pengertian tujuan sistem proteksi pasif ................................................................... 16

2.2 Proteksi Pasif Sebagai Unsur Pokok Dalam Sistem Proteksi Total ........................ 17

2.2.1 Sarana penyelamatan jiwa ....................................................................................... 18

2.2.2 Persyaratan Penggunaan Bahan Bangunan ............................................................. 19

2.2.3 Konstruksi Pelindung Untuk Jalan Keluar (Exit way) ............................................ 20

2.3 Klasifikasi Bangunan .................................................................................................. 26

2.3.1 Perlindungan terhaddap kebakaran ....................................................................... 29

2.3.2 Sarana evakuasi .................................................................................................... 30


2.4 Tipe konstruksi tahan api ........................................................................................... 36

2.4.1 Kompatemen dan spesifikasi konstruksi tahan api ................................................ . 38

2.4.2 Ketahanan Api Bangunan untuk Bangunan – Tipe B ............................................ 46

2.4.3 Ketahanan Api Bangunan untuk Bangunan – Tipe C ............................................ 53

2.5 Kinerja dinding penyekat sementara terhadap api ................................................ 56

2.6 Sarana proteksi pada bukaan .................................................................................. . 58

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 63

3.1 Teknik Pengambilan Data .......................................................................................... 64

3.2 Sumber Data ................................................................................................................ 65

3.3 Analisa Data ................................................................................................................. 66

3.4 Kerangka konsep penelitian........................................................................................ 67

3.5 Kerangka Pemikiran ................................................................................................... 68

3.6 Skala pengumpulan data ......................................................................................... 68

3.7 Metode Analisa ................................................................................................ ............ 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ................................................ 70

4.1 Hasil Penelitian................................................................................................. .......... 70

4.2 Pembahasan .............................................................................................................. 72

4.2.1 Sistem proteksi pasif gedung Beker Hughes ........................................................ 72

BAB V PENUTUP ......................................................................................................... 76

5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 76

5.2 Saran .......................................................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perkembangan zaman yang semakin maju terjadi di berbagai sektor, seperti industri,

kegiatan usaha formal, kegiatan sosial budaya dan lainnya. Dalam pelaksanaan aktivitas

usaha tersebut, manusia membutuhkan tempat yang nyaman dan aman agar segala aktivitas

dapat berjalan lancar. Hal tersebut juga mempengaruhi pembangunan gedung di indonesia

yang semakin pesat pula.

Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 dalam pasal 1 tentang bangunan

gedung adalah wujudd fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat

kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air,

yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau

tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun

kegiatan khusus. Sedangkan dalam pasal 3 pada undang undang yang sama, menyatakan

bahwa bangunan gedung yang difungsikan untuk berbagai macam aktivitas penghuni

seharusnya memberikan jaminan keselamatan, kesehatan dan kenyamanan bagi penghuninya,

termasuk adalah jaminan keselamatan terhadap bahaya kebakaran. Bahaya kebakarn

merupakan ancaman serius bagi penghuni atau pun pemakai gedung-gedung bertingkat

terutama di daerah yang menjadi sentra layanan dan bisnis. Risiko yang diakibatkan oleh

bahaya kebakaran bisa menjadi semakin besar apabila pemilik atau pemakai bangunan

tersebut tidak memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengantisipasi bahaya yang mungkin

timbul dari ancaman ini.


Berdasarkan data dari United State National Fire Protection Association (US NFPA)

yang diterbitkan tahun 2008 menjelaskan tentang kerugian yang diakibatkan dari bencana

kebakaran. Dari rata rata 350.000 kali bencana kebakaran didaerah perumahan dan

perkantoran yang terjadi dalam setahun, 15.300 kali merupakan kebakaran di gedung gedung

bertingkat diseluruh amerika serikat dengan rata rata 60 orang meninggal, 930 luka-luka dan

52 juta dollar kerugian hangus terbakar mengikuti bencana kebakaran di gedung-gedung

bertingkat tersebut. Hasil temuan menyatakan bahwa kebakaran di gedung gedung bertingkat

tersebut sangat mematikan dan merugikan dari lokasi-lokasi lain dimana bencana tersebut

terjadi. Ditambah lagi penanganan kebakaran dilokasi gedung bertingkat lebih menyulitkan

dan berisiko tinggi.

Salah satu contoh ledakan dan disusul dengan kebakaran yang terjadi di kawasan

perkantoran lewissville, texas, Amerika serikat, pada jumat 11 Januari 2013, menurut laporan

media lokal, ledakan diduga berasal dari kebocoran gas di dalam gedung. Saksi mata yang

berada di dalam gedung mengaku mencium bau gas di sekitar gedung beberapa jan sebelum

ledakan dan kebakaran terjadi. Satu orang terluka dan dilarikan ke rumah sakit akibat

kejadian tersebut (www.bbc.co.uk).

Berdasarkan data kementrian dalam negeri republik Indonesia, pada tahun 2011

terjadi sebanyak 16.500 kebakaran di498 kota dan kabupaten yang ada di indonesia, Di

Medan kebakaran terjadi sebanyak 163 kali, di Surabaya 187 kejadian, Bandung 163 kali,

Bekasi 127 kali, Depok 124 kali dan kota Tangerang 167 kali (Nasional Kompas.com).

Sedangkan menurut Dinas sosial Provinsi Kalimantan Timur banyaknya kejadian kebakaran

pada tahun 2014 sebanyak 62 kasus dengan korban jiwa sebanyak 2833 jiwa, serta kerusakan

bangunan sebanyak 473 bangunan. Sepanjang tahun 2015 di kota Samarinda telah terjadi

kebakaran sebanyak 294 kali, dan menelan kerugian mencapai 22,833 Miliar rupiah dan

sebanyak 1.795 jiwa kehilangan tempat tinggal (Kaltim Post).


Sebagai salah satu contoh kebakaran yang disebabkan oleh arus pendek adalah

kebakaran yang terjadi di lantai 3 gedung BRI jalan Gajah Mada Kota Samarinda, Provinsi

Kalimantan Timur, Kebakaran tersebut terjadi pada hari Rabu 8 Juni 2016,pukul 18.30 Wita.

Menurut informasi dari saksi mata pada saat kejadian, kobaran api berasal dari plafon lantai 3

gedung tersebut, (TribunNews.com).

Dengan banyaknya dampak negatif dari risiko kebakaran, sehingga untuk upaya pencegahan

dan penanggulangan kebakaran diperlukan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK)

sebagaimana diatur dalam Kepmenneg PU No.11/KPTS/2000 yang didukung Kepmenneg PU

No.10/KPTS/2000, UU RI No.28 Tahun 2002, Kep. Dirjen Perkim No. 58/KPTS/2002, dan

beberapa SNI terkait.

Dengan terbitnya Kepmen PU No.10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis

Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, Kepmen

PU No.11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di

Perkotaan, UU RI No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan secara teknis juga telah

diperinci dalam Badan Standardisasi Nasional (2006) melalui beberapa SNI Tahun 2000

sampai 2002 (edisi terakhir). Beberapa NSPM (Norma, Standar, Pedoman, Manual) yang

tersebut di atas membuktikan bahwa masalah kebakaran adalah masalah yang cukup serius

untuk ditanggulangi, terutama untuk pengamanan bangunan gedung dan lingkungannya

terhadap bahaya kebakaran.

1.2 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan adalah :

1. Sebagai pedoman untuk menambah pengetahuan dalam membuat suatu Makalah.

2. Sebagai referensi bagi penulis dalam pembuatan makalah berikutnya.


3. Agar mengetahui proteksi yang dibutuhkan saat melakukan pembangunan konstruksi

gedung baik sebagaai tempat hunian atau perkantoran.

4. Sebagai referensi dalam menentukan dan mencari proteksi pasif yang tepat bagi

bangunan hunian maupun perkantoran.

5. Agar pembaca lebih menyadari pentingnya pemilihan bahan bangunan dan proteksi

pasih yang di perlukan sehingga menjamin keselamatan dan kenyamanan

penghuninya.

Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

a. Hasil penelitian dapat dijadikan referensi untuk penelitian dimasa

mendatang.

b. Hasil penelitian dapat dijadikan pengembangan ilmu pengetahuan dengan

penelitian yang sejenis.

Bagi Peneliti

a. Menambah dan mengembangkan pengetahuan terutama mengenai dampak

keselamatan dan kesehatan pada pekerja di bidang keselamatan dan

kesehatan kerja.

b. Menerapkan ilmu yang telah diperoleh dan dipelajari selama perkuliahan.

c. Dalam rangka menyelesaikan penulisan tugas akhir sebagai syarat untuk

memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan di Universitas Balikpapan

Jurusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

1.3 Tujuan Teoritis

1.3.1 Definisi Api

Api Adalah proses oksidasi atau proses kimia cepat antara yang melepaskan energi

dalam bentuk panas dan cahaya (Cheney and Sullivan, 2009)


1.3.2 Fire Triangle (Segitiga Api)

Kebakaran dapat terjadi karena adanya tiga unsur antara lain bahan bakar, sumber

panas dan oksigen. Panas ssangat penting untuk nyala api tetapi bila api telah timbul dengan

sendirinya maka menimbulkan panas untuk tetap menyala (ILO, 1992). Ketiga unsur tersebut

bila bertemu akan terjadi api, hal inilah yang disebut segitiga api (gambar 1).

1.3.3 Fire Tetrahedron

Pertemua dari ke tiga unsur (bahan bakar, panas dan oksigen) tersebut baru menjadi

bara Sedangkan agar pembakaran dapat berlangsung harus ada unsur ke 4 (empat) unsur

penunjang yang bertemu menjadi satu (PIRAMIDA API) gambar 2. Ke 4 (empat) unsur

tersebut adalah:

 Unsur Bahan Bakar

 Unsur Panas.

 Unsur Oksigen.

 Unsur Rantai Reaksi Kimia.

Gambar 1. Fire Traingle Gambar 2. Tetrahedron Fire


1.3.4 Definisi Kebakaran

Definisi kebakaran menurut National Fire Protection Association (NFPA) yaitu

peristiwa oksidasi dimana bertemunya tiga unsur yaitu bahan yang dapat terbakar, oksigen

yang terdapat di udara dan panas yang dapat berakibat menimbulkan kerugian harta benda

atau cidera bahkan kematian manusia.

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian umum

2.1.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Suma’mur (1996) menyatakan bahwa Keselamatan dan kesehatan kerja secara

filosofis adalah suatu upaya dan pemikiran untuk menjamin keutuhan, dan

kesempurnaan baik jasmani ataupun rohani manusia pada umumnya dan tenaga kerja

pada khususnya serta hasil karya dan budayanya untuk menuju masyarakat yang adil,

makmur dan sejahtera.

Sedangkan menurut Tarwaka (2008) secara keilmuan, keselamatan dan

kesehatan kerja adalah ilmu dan penerapannya secara teknis dan teknologis untuk

melakukan pencegahan terhadap timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat

kerja dari setiap pekerjaan yang dilakukan.

Tarwaka (2008) juga menyatakan bahwa Keselamatan dan kesehatan kerja secara

hukum merupakan suatu upaya perlindungan agar tenaga kerja dan orang lain yang

memasuki tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat serta sumber-sumber

proses produksi dapat dijalankan secara aman, efisien dan produktif.


2. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja menurut Suma’mur (1996) adalah sebagai

berikut:

1) Agar tenaga kerja dan setiap orang lain yang berada di tempat kerja selalu

dalam keadaan selamat dan sehat.

2) Agar hasil produksi dapat diakui dan digunakan secara aman dan efisien.

3) Agar proses produksi dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun.

3. Sasaran Keselamatan dan Kesehatan Kerja menurut Suma’mur (1996) adalah sebagai

berikut:

1) Mencegah dan mengurangi kecelakaan.

2) Mencegah dan megurangi timbulnya penyakit akibat kerja.

3) Mencegah dan mengurangi angka kematian, cacat tetap, dan luka ringan.

4) Mengamankan dan meningkatkan kualitas pekerja.

5) Meningkatkan produktivitas.

6) Mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal.

7) Menjamin tempat kerja yang aman.

Kesehatan kerja bertujuan agar tenaga kerja dapat bekerja secara sehat tanpa

memberikan resiko akibat kerja sehingga dapat diperoleh produktivitas kerja setinggi-

tingginya. Oleh karna itu perlu adanya keseimbangan dan hubungan interaktif antara

tiga komponen utama yaitu Kapasitas kerja, Beban Kerja, dan Beban tambahan akibat

dari lingkungan kerja :

a. Kapasitas Kerja adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk melakukan

aktivitas pekerjaan. Kemampuan seseorang berbeda-beda antara satu dengan

yang lainnya, hal ini sangat tergantung dari beberapa hal antara lain :
Keterampilan, Keserasian, Keadaan gizi, Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan,

Tingkat kesehatan, dan Keadaan fisiologis.

b. Beban Kerja

Pekerjaan yang dilakukan adalah memberikan beban bagi pelakunya. Beban

yang dimaksud adalah berupa beban fisik misalnya : Menyapu, memikul dan

sebagainya, beban mental misalnya seperti berfikir dan tekanan dari jenis

pekerjaan tersebut. Tenaga kerja memiliki kemampuan yang berbeda antara

satu dengan yang lainnya. Ada yang hanya lebih sesuai untuk menerima beban

fisik dan juga ada yang lebih sesuai untuk menerima beban mental dan ada

juga yang dapat menerima beban keduanya. Pada umumnya tenaga kerja

hanya mampu memikul beban ringan hingga beban berat tertentu, atau sering

disebut dengan maksimal. Sehingga perlu penempatan tenaga kerja yang tepat

sesuai dengan kemampuan tenaga kerja kerja itu sendiri. Ketepatan

penempatan tenaga kerja harus mempertimbangkan hal hal antara lain:

Kecocokan, pengalaman, keterampilan, motifasi dan lain-lain.

c. Beban Tambahan akibat lingkungan kerja

d. Pekerjaan biasanya dilakukan dalam suatu lingkungan atau tempat tertentu.

Lingkungan kerja dapat memberikan beban tambahan kepada tenaga kerja,

beban tambahan ini dapat berupa :

 Faktor fisik meliputi : Pencahayaan,Suhu udara, kelembaban udara,

tekanan udara, kebisingan, radiasi.

 Faktor Kimia meliputi : Gas, Uap Cairan, Debu dan lain-lain

 Faktor Biologi meliputi : Bakteri, Virus, Tumbuhan, Hewan, Parasit dan

lain-lain
 Faktor Fisiologis meliputi : Konstruksi peralatan, Sikap kerja, Cara Kerja

dan lain-lain.

 Faktor Psikologis meliputi : Suasana kerja, Hubungan antar tenaga

kerja,Pemulihan Kerja dan lain-lain.

3. Yang dimaksud dengan tempat kerja sesuai dengan Undang – undang Nomor 1 tahun

1970, Pasal 1, ayat 1

“Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau

tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk

keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya

sebagaimana diperinci dalam pasal 2.

Pasal 2, ayat 1

Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja,

baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang

berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia

2.1.2 Prinsip Dasar Pencegahan Kebakaran (Fire Protection)

Proteksi kebakaran (fire protection) adalah merupakan aspek paling utama dalam program

perlindungan kebakaran. Perencanaan yang baik dalam aktifitas pencegahan kebakaran akan

dapat menyelamatkan miliaran rupiah dan juga nyawa manusia akibat kebaran. Salah satu

penyebab utama terjadinya kebakaran pada berbagai industri adalah tindakan tidak aman atau

kondisi lingkungan yang kurang baik. Dengan memperbaiki tindakan tidak aman (unsafe act)

dan kondisi lingkungan kerja maka penyebab terjadinya kebakaran dapat dikurangi.

Program proteksi kebakaran membutuhkan investasi baik personel kebakaran, peralatan

kebakaran, waktu dan biaya-biaya lain yang cukup besar bagi perusahaan, namun hal ini

dapat dijustifikasi dengan menperlihatkan bukti-bukti kerugian yang diakibatkan oleh


kebakaran. Investasi yang ditanamkan untuk program pencegahan kebakaran sangatlah jauh

lebih kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang dapat terjadi akibat kebakaran.

Program pencegahan kebakaran dapat kelompokkan menjadi tiga kategori utama yaitu;

1. Program engineering

yaitu program yang meliputi perencanaan bangunan yang yang aman dari kebakaran

dan perencanaan proses yang aman dari kebakaran, misalnya instalasi fire detection

system (aktif) dan instalasi fire protection system (pasif).

2. Program edukasi

yaitu program untuk meningkatkan kesadaran pekerja terhadap kebakaran, yaitu

dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan tentang kebakaran, identifikasi penyebab

kebakaran, bahaya kebakaran, pencegahan kebakaran dan evakuasi jika terjadi

kebakaran.

3. Pogram Penegakkan Sistem

program penegakkan sistem adalah program untuk memastikan bahwa semua sistem

pencegahan kebakaran sesuai atau comply dengan fire code atau regulasi yang ada.

Maka harus dilakukan inspeksi terhadap semua fasilitas pencegahan kebakaran secara

berkala.

Program engineering memegang peranan yang sangat penting dalam pencegahan

kebakaran. prinsip teknis yang baik, program edukasi dan penegakkan sistem tidak akan bisa

bisa optimal dalam mencegah terjadinya kebakaran. Prinsip engineering dalam pencegahan

kebakaran yang harus memperhatikan:

a. disain dan konstruksi bangunan

b. bahan bangunan

c. pemasangan sistem perlindungan kebakaran


d. pasokan air untuk pemadam

e. disain dan rencana pengembangan bagunan

f. sistem pemadam dan jaringan pasokkan air pemadam

Hal lain yang sangat penting dalam program pencegahan kebakaran adalah pemahaman

terhadap fire code atau standar baku kebakaran. Personel pencegah kebakaran harus

mengetahui dan memahami fire code dan regulasi yang harus diterapkan untuk jenis industri

mereka. Fire code dan regulasi yang harus dipahami misalnya adalah NFPA, OSHA, regulasi

pemerintah, kebijakan perusahaan, perusahaan asuransi yang digunakan dan fire code atau

regulasi yang spesifik terhadap proses atau bahan kimia tertentu.

Industri yang menggunakan teknologi moderen memasukkan sistem pencegahan

kebakaran sebagai bagian dari sistem keselamatan secara keseluruhan. Namun jika sistem

pencegahan kebakaran tidak merupakan bagian dari teknologi yang diggunakan seperti

industri moderen, maka komite keselamatan kebakaran harus dibentuk untuk membantu

pengembangan dan penerapan program pencegahan kebakaran, seperti identifikasi bahaya

kebakaran, inspeksi proses tertentu, perencanaan kegiatan pencegahan kebakaran, melakukan

pelatihan bagi pekerja, melakukan komunikasi program pencegahan kebakaran kepada

pekerja dan komunitas disekitar pabrik atau perusahaan.

Penegakan sistem adalah merupakan program penting lainnya dalam mencegah terjadi

kebakaran. Untuk menjamin bahwa sistem kebakaran yang sudah dibuat berjalan dan alat-alat

pemadam selalu dalam kondisi baik maka perlu dilakukan inspeksi secara rutin. Setiap

temuan dalam inspeksi sistem kebakaran harus dilaporkan kepada pihak manajemen untuk

difollow up agar tidak terjadi kebakaran.


2.1.3 Pengertin Tujuan Sistem Proteksi Pasif

Pasif protection menurut Essential Fire Protection Service Amerika adalah

rancangan bangunan sedemikian rupa sehingga api akan silit untuk menyala atau menyebar

dengan cepat. Ada beberapa komponen proteksi antara lain :

a. Dinding dan pintu

Tujuan ke dua struktur ini adalah untuk menciptakan sebuah penghalang dan pemisah

antara oksigen dan api

b. Bahan bangunan tahan api

Salah satu metode yang baik untuk menghindari dan mengendalikan kebakaran dalam

gedung adalah membuat bangunan dari struktur atau bahan yang tidak mudah

terbakar.

Sistem Proteksi Pasif (SPP) adalah sistem perlindungan bangunan terhadap kebakaran

melalui pertimbangan sifat termal bahan bangunan, penerapan sistem kompartemenisasi

dalam bangunan, serta persyaratan ketahanan api struktur bangunan. Termasuk pula dalam

sistem pasif ini hal-hal yang menyangkut pengaturan tapak bangunan (site plan), persyaratan

akses ke bangunan, perancangan arsitektur dan penataan ruang bangunan dan sistem

pengendalian asap. Namun pada beberapa ketentuan, persyaratan mengenai akses ke

bangunan dan sistem pengendalian asap diatur tersendiri. Selanjutnya dalam bahasan ini SPP

ditekankan pada pertimbangan sifat bahan terhadap api (material fire properties), persyaratan

sruktur tahan api, kompartemenisasi dan perlindungan bukaan sebagai unsur pembentuk

pembatas api (fire barrier), serta sistem pembatas asap untuk pencegahan aliran asap masuk

ruangan hunian (smoke barrier).

Mengacu ke KEPMEN PU Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis

Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, yang

dimaksud dengan sistem proteksi kebakaran pasif adalah sistem perlindungan terhadap
kebakkaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan

gedung dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi

penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran, maka Sistem Proteksi Pasif

(Bab IV) ditekankan kepada aspek bahan bangunan dan konstruksi yang meliputi persyaratan

sebagai berikut :

a. Ketahanan api dan stabilitas

b. Kompartemenisasi dan pemisahan

c. Perlindungan pada bukaan

Dalam Kepmen ini, pengaturan mengenai tapak bangunan termasuk akses pemadam

kebakaran ke lingkungan

Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 bangunan diatur tersendiri dalam

Bab II, sarana penyelamatan termasuk evakuasi diatur dalam Bab III sedangkan sistem

kontrol asap tercantum sebagai bagian dari sistem proteksi aktif (SPA) pada Bab V Bagian 5

yang terdiri atas sistem deteksi asap dan sistem pembuangan asap. SPP bertujuan untuk :

a. Melindungi bangunan dari keruntuhan serentak akibat kebakaran

b. Meminimasi intensitas kebakaran apabila terjadi (agar flashover tidak terjadi)

c. Memberi waktu bagi penghuni untuk menyelamatkan diri

d. Menjamin keberlangsungan fungsi gedung, namun tetap aman

e. Melindungi keselamatan petugas pemadam kebakaran saat operasi pemadaman dan

penyelamatan

2.2 Proteksi Pasif Sebagai Unsur Pokok Dalam Sistem Proteksi Total

Paradigma baru proteksi kebakaran memunculkan sistem proteksi total (SPT) sebagai

upaya yang efektif dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran baik pada

bangunan maupun industri. SPT terdiri atas sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif dan
fire safety management. Sistem proteksi aktif (SPA) merupakan sistem yang menggunakan

energi dalam pengoperasiannya (energized systems), sistem pasif merupakan built-in system,

sedang fire safety management (FSM) lebih merupakan sebagai human-oriented systems.

Dibandingkan dengan SPA dan FSM, sistem proteksi pasif memiliki rentang tanggung jawab

terpanjang ditinjau dari historis perkembangan kebakaran yang ditunjukan dalam kurva suhu-

waktu (time temperature curve), sebagaimana diperlihatkan pada Gambar-3.

Pada gambar tersebut diperlihatkan pula mengenai tahap-tahap pertumbuhan, sifat

api, tindakan yang perlu dilakukan penghuni, jenis pendeteksian dan peran sistem proteksi

baik aktif maupun pasif.

2.2.1 Sarana Penyelamatan Jiwa

Sarana Penyelamatan jiwa adalah sarana yang dapat dipersiapkan oleh penghuni

maupun petugas pemadaman kebakaran dalan upaya penyelamayan jiwa maupun harta benda

bila kebakaran dalam suatu bangunan gedung dan lingkungan.

Tujuan utama dari adanya sarana penyelamatan jiwa adalah mencegah terjadinya kecelakaan

atau luka pada waktu melakukan evaluasi pada saat keadaan darurat terjadi (Permen PU No.

26 tahun 2008). Sarana penyelamatan jiwa seperti sarana jalan keluar darurat, pintu darurat,

tangga darurat, penunjuk arah jalan keluar, komunikasi darurat, penerangan darurat dan

lokasi berkumpul (Muster point).

Temperatur (⁰C) Pra-Flashover Pasca-Flashover


Flashover

1000
Pembakaran
Pertumbuhan
Surut

20
Waktu
Tahap Pertumbuhan Pembakaran Surut
Prilaku Api Dikendalikan bahan bakar Dikendalikan Dikendalikan

ventilasi bahan bakar

Prilaku Penghuni Tindakn penyelamatan Kematian

Pendeteksi Detector asap, Detector panas Nyala api dan asap eksternal

Sistem Aktif Dipadamkan manual, Dipadamkan oleh pemadam kebakaran

pemadam kebakaran,

sprinkler, kontrol asap

Sistem Pasif Kontrol sifat bahan, batasi Ketahanan api, pengurungan api,

penjalaran api/asap ketahanan struktur

Gambar 3. Kurva suhu – waktu, indikasi bahaya dikaitkan dengan intensitas kebakaran serta

pengendalian dengan sistem aktif dan pasif.

2.2.2 Persyaratan Penggunaan Bahan Bangunan

Bahan bangunan mempengaruhi intensitas kebakaran. Oleh karena itu agar kebakaran

yang mungkin terjadi dapat diminimasi intensitasnya, maka pemakaian bahan bangunan

harus mempertimbangkan persyaratan berikut :

a. Pertimbangan klas mutu bahan (mudah terbakar – semi mudah terbakar –

menghambat api – semi menghambat api – sukar terbakar) termasuk pula disini bahan

interior atau lapis penutup

b. Unsur inersia termal bahan mempengaruhi sifat tersulutnya suatu bahan

c. Jumlah dan perletakan bahan mudah terbakar dalam suatu ruangan menentukan beban

api (fire / fuel load) dalam ruangan tersebut.

d. Beban api dan faktor bukaan menentukan intensitas kebakaran dalam ruangan.

e. Penggunaan bahan penghambat api (fire retardant materials) untuk meningkatkan klas

mutu bahan, apabila pemakaian bahan mudah terbakar tidak dapat dihindari.
f. Pertimbangan beban api sesuai dengan klas penggunaan bangunan.

g. Integrasi dengan sistem aktif dan fire safety management membentuk sistem proteksi

total (total fire protection).

2.2.3 Konstruksi Pelindung Untuk Jalan Keluar (Exit way)

Setelah upaya meminimasi intensitas kebakaran agar kebakaran yang terjadi tidak

parah saat dilakukan evakuasi, maka selanjutnya bagaimana agar jalur evakuasi aman

terhadap kemungkinan penjalaran kebakaran dan juga kemungkinan keruntuhan akibat panas

tinggi. Dalam hal ini Life Safety Code (NFPA 101) banyak mengatur mengenai sarana jalan

ke luar (means of egress). Sarana jalan ke luar adalah jalur menerus yang tidak terhalangi dari

setiap titik ruangan dalam bangunan ke halaman luar bangunan (tentunya di lantai dasar).

Sarana jalan ke luar terdiri atas akses ke eksit (exit access), eksit dan pelepasan eksit (exit

disharge). Sedangkan eksit (exit) diartikan sebagai bagian dari sarana jalan ke luar yang

dipisahkan dari ruang-ruang lainnya dalam bangunan lewat konstruksi tahan api atau

peralatan proteksi kebakaran agar terwujud jalan ke luar yang aman menuju ke pelepasan

eksit. Sarana jalan ke luar dengan komponen-komponen nya digambarkan pada Gambar 4.

A
The stage of
B typical escape
C
route

A-B : Stage 1

B-C : Stage 2 D
C-D : Stage 3
E
D-E : Stage 4 Place of
safety outside
at ground
level
Gambar 4. Komponen jalan keluar darurat (means of egress)
A – E + sarana : Means of egress

A–C : Exit Access

Pintu C : Door to stairway

Kotak C-D : Exit

Pintu D : Door to exit discharge

Kotak D – E : Exit discharge

D–E : Exit Passageway

Pintu E : Exterior exit door

Travel Distance : A ke E apabila exit dalam konstruksi tahan api sesuai ketentuan,

maka travel distance adalah dari A ke C

Sejauh mana sistem proteksi pasif berperan dalam hal ini dapat dilihat dari persyaratan dasar

namun pokok pada sarana jalan ke luar berdasarkan NFPA 101 Bab 2 yang disusun dalam

Tabel berikut.

No Persyaratan Sarana Jalan Keluar Peran SPP

1 Setiap bangunan (baru maupun lama) harus dilengkapi dengan - Konstruksi jalan ke

sarana jalan ke luar dan kelengkapan lainnya untuk menjamin luar yang aman

penyelamatan segera dari penghuni atau sarana lain yang - Struktur tahan api

menjamin tingkat kesela-matan yang tinggi saat terjadi

kebakaran dan keadaan darurat lainnya

2 Bangunan harus dikonstruksi, diatur dan dioperasikan - Struktur tahan api

sedemikian rupa agar terhindar dari bahaya yang mengancam Penerapan sistem
keselamatan jiwa penghu-ni akibat asap, nyala api dan rasa kompartemenisasi

panik saat harus melakukan evakuasi atau harus bertahan di

tempat dalam bangunan bila terjadi kebakaran atau keadaan

darurat (emergency) lainnya

3 Setiap bangunan harus dilengkapi dengan exit dan pengaman - Konstruksi tahan

lainnya yang sesuai dalam jumlah cukup, terpasang di lokasi api utk sarana jalan

yang tepat, disesuaikan dengan sifat hunian dan kemampuan ke luar

penghuni sedemi-kian hingga menjamin tingkat keamanan - Exit signs

yang memenuhi

4 Exit harus diatur dan dipelihara untuk menjamin jalur - Konstruksi tahan

evakuasi aman tanpa hambatan dari setiap bagian bangunan api

pada setiap saat. Pintu dalam keadaan tidak terkunci agar - Sistem

tidak menghalangi tindakan penyelamatan dari dalam. kompartemenisasi

- Sistem kontrol asap

5 Setiap exit harus mudah dilihat atau setiap rute ke exit harus - Exit signs

mudah diketahui sedemikian rupa sehingga setiap penghuni - Travel distance

yang secara fisik dan mental mampu akan segera mengetahui

arah penyelamatan dari setiap titik lokasi dalam bangunan

6 Rancangan sistem pencahayaan buatan dalam bangunan harus - Exit signs

pula memasukkan untuk fasilitas exit sesuai ketentuan yang

berlaku

7 Apabila ukuran, pengaturan ataupun pemanfaatan bangunan - Fire alarm systems

tidak memungkinkan kebakaran dapat terdeteksi, maka - Fire & emergency

bangunan perlu dilengkapi dengan fasilitas alarm kebakaran response procedure

yang memenuhi syarat. Alarm tersebut selain untuk memberi


tahu penghuni juga sebagai tanda untuk memulai prosedur

emergency.

8 Sekurang-kurangnya 2 (dua) jalan ke luar harus disediakan - Penempatan dan

dalam bangunan, setiap bagian bangunan atau area dimana jumlah eksit sesuai

karena ukuran, jenis penggunaan atau pengaturan akan beban hunian

membahayakan penghuni yang hanya memakai 1 sarana jalan - Kompartemenisasi

keluar, sementara asap dan api menghalangi jalan tersebut. - Sistem kontrol

9 Jalur vertikal exit dan bukaan-bukaan vertikal lainnya antar - Kompartemenisasi

lantai bangunan harus dilindungi atau diproteksi sesuai - Perlindungan

ketentuan untuk menjamin keselamatan penghuni yang bukaan

menggunakannya dan mencegah penjalaran api serta asap

lewat bukaan vertikal dari lantai ke lantai sebelum penghuni

masuk ke dalamnya untuk evakuasi

Tabel 1. SPP Berdasarkan NFPA 101

Dalam NFPA 101 section 5-1.3 sebagai berikut. Apabila exit disyaratkan harus

diletakkan terpisah dari bagian atau ruang-ruang lain dalam bangunan dengan konstruksi

aman kebakaran, maka konstruksi pelindung / pemisah tersebut harus memenuhi :

a. Memiliki ketahanan minimal 1 jam apabila eksit menghubungkan 3 lantai atau

kurang, di atas atau di bawah lantai pelepasan exit (exit discharge)

b. Memiliki ketahanan api sekurangkurangnya 2 jam apabila eksit tsb menghubungkan 4

– 5 lantai, baik di atas atau di bawah lantai pelepasan exit.

c. Exit harus dibuat dari bahan-bahan yang tidak mudah terbakar (non combustible) dan

ditopang dengan konstruksi yang memiliki ketahanan api minimal 2 jam

d. Apabila konstruksi pemisah tersebut memiliki bukaan maka harus dilindungi dengan

pintu kebakaran yang dilengkapi dengan self closing devices.


e. Bukaan di dalam konstruksi pelindung exit harus dibatasi hanya untuk keperluan

akses masuk ke dalam kontruksi pelindung exit dari ruang-ruang hunian normal dan

dari koridor, dan dari konstruksi pelindung exit ke luar.

f. Penembusan ke dalam konstruksi pelindung exit dan bukaan-bukaan melewati

susunan konstruksi pelindung exit tidak diperbolehkan kecuali untuk pintu-pintu exit

yang disyaratkan, saluran udara dan peralatan yang diperlukan untuk sistem

presurisasi independen pada tangga, pipa sprinkler, selang kebakaran dan jaringan

listrik yang melayani tangga. Tidak boleh ada penembusan atau bukaan komunikasi

antar konstruksi pelindung eksit yang berdekatan.

2.2.4 Persyaratan Komponen Struktur Bangunan

Berdasarkan data dari SNI 03 – 1736 – 2000 (Butir 4.1), Suatu bangunan gedung harus

mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada tingkat tertentu bisa mempertahankan

stabilitas struktur selama terjadi kebakaran, yang sesuai dengan :

a) fungsi bangunan.

b) beban api.

c) intensitas kebakaran.

d) potensi bahaya kebakaran.

e) ketinggian bangunan.

f) kedekatan dengan bangunan lain.

g) sistem proteksi aktif yang terpasang dalam bangunan.

h) ukuran kompartemen kebakaran.

i) tindakan petugas pemadam kebakaran.


j) elemen bangunan lainnya yang mendukung.

k) evakuasi penghuni.

Suatu bangunan gedung harus memiliki elemen bangunan yang pada tingkat tertentu dapat

mencegah penjalaran asap kebakaran (4.1);

a) ke pintu kebakaran atau eksit;

b) ke unit-unit hunian tunggal dan koridor umum hanya berlaku pada banguna kelas 2, 3,

dan bagian kelas 4;

c) antar bangunan;

d) dalam bangunan, serta ditentukan sesuai butir 4.1.a sampai dengan butir 4.1.k.

tersebut di atas dan waktu evakuasi penghuni.

Bahan dan komponen bangunan harus mampu menahan penjalaran kebakaran untuk

membatasi pertumbuhan asap dan panas serta terbentuknya gas beracun yang ditimbulkan

oleh kebakaran (4.4), sampai suatu tingkat yang cukup untuk :

a) waktu evakuasi yang diperlukan.

b) jumlah, mobilitas dan karakteristik penghuni/pemakai bangunan.

c) fungsi atau penggunaan bangunan.

d) sistem proteksi aktif yang terpasang.

Dinding luar bangunan yang terbuat dari beton yang kemungkinan bisa runtuh dalam

bentuk panel utuh (contoh beton yang berdiri miring dan beton pracetak) harus dirancang

sedemikian rupa, sehingga pada kejadian kebakaran dalam bangunan, kemungkinan runtuh

tersebut dapat dihindari, (ketentuan ini tidak berlaku terhadap bangunan yang mempunyai 2

lantai di atas permukaan tanah) (4.5).


Suatu bangunan harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkatan tertentu

mampu mencegah penyebaran asap kebakaran, yang berasal dari peralatan utilitas yang

berpotensi bahaya kebakaran tinggi atau bisa meledak akibat panas tinggi (4.6).

Suatu bangunan harus mempunyai elemen yang sampai pada batas-batas tertentu

mampu menghindarkan penyebaran kebakaran, sehingga peralatan darurat yang dipasang

pada bangunan akan terus beroperasi selama jangka waktu tertentu yang diperlukan pada

waktu terjadi kebakaran (4.7).

Setiap elemen bangunan yang dipasang atau disediakan untuk menahan penyebaran

api pada bukaan, sambungan-sambungan, tempat-tempat penembusan struktur untuk utilitas

harus dilindungi terhadap kebakaran sehingga diperoleh kinerja yang memadai dari elemen

tersebut (4.8).

Berdasarkan KEPMEN PU 10/KPTS/2000 dan NFPA 101 section 5 Perancangan struktur

bangunan aman kebakaran harus memperhitungkan hal-hal berikut :

a. Tipe konstruksi yang dirancang sesuai jenis bahan pembentuknya (A,B atau C)

b. Persyaratan ketahanan api komponen struktur bangunan (fire rated construction),

untuk mencapai tingkat ketahanan api (TKA), yang mencakup :

 Unsur stabilitas struktur (stability)

 Unsur ketahanan terhadap retakan akibat panas (integration)

 Unsur ketahanan terhadap penetrasi panas (insulation)

c. Persyaratan sistem kompartemenisasi dan pemisahan, meliputi :

 Ukuran maksimum kompartemen

 Persyaratan pemisahan

 Kombinasi dengan sistem proteksi aktif

d. Persyaratan perlindungan pada bukaan

e. Integrasi dengan sistem proteksi aktif


2.3 Klasifikasi Bangunan

Menurut Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan

Gedung dan Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000

(2000 : 3 ), kelas bangunan adalah pembagian bangunan atau bagian bangunan sesuai dengan

jenis penggunaan bangunan. Kelas bangunan tersebut dibagi menjadi:

1. Bangunan kelas 1

Merupakan satu/lebih bangunan yang terdiri atas:

a. Bangunan hunian tunggal.

b. Bangunan asrama/kost, rumah tamu, hotel/sejenisnya dengan luas total lantai

kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap.

2. Bangunan kelas 2.

Merupakan bangunan hunian yang terdiri atas 2/lebih unit yang masing-masing

merupakan tempat tinggal terpisah.

3. Bangunan kelas 3.

Meupakan bangunan hunian diluar bangunan kelas 1 dan 2 yang umum digunakan

sebagai tempat tinggal lama/sementara oleh sejumlah orang yang tidak saling

berhubungan. Seperti :

a. Rumah, asrama, rumah tamu, losmen.

b. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan sekolah.

c. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel/mall

d. Panti jompo, cacat/anak-anak.

4. Bangunan kelas 4.

Merupakan bangunan hunian campuran untuk tempat tinggal yang berada di dalam

bangunan kelas 5,6,7,8/9.

5. Bangunan kelas 5.
Merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan wisata professional,

pengurusan administrasi/usaha komersial di luar bangunan kelas 6,7,8 / 9.

6. Bangunan kelas 6.

Merupakan bangunan toko/bangunan usaha lain untuk penjualan, termasuk :

a. Rumah makan, kafe, restoran.

b. Bar, toko/ kios yang merupakan bagian dari suatu hotel.

c. Salon kecantikan, tempat cuci umum.

d. Pasar, ruang penjualan, ruang pameran/bengkel.

7. Bangunan kelas 7.

Merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk penyimpanan, yaitu :

a. Tempat parkir umum.

b. Gudang/ tempat pameran barang produksi untuk dijual/cuci gudang.

8. Bangunan kelas 8.

Merupakan bangunan gedung laboratorium/bangunan yang dipergunakan untuk

pemrosesan suatu produksi, perakitan, pengepakan barang-barang produksi dalam

rangka perdagangan /penjualan.

9. Bangunan kelas 9

Merupakan bangunan yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat,

misalnya bangunan perawatan kesehatan, bangunan pertemuan, bengkel kerja,

bangunan ibadah, bangunan cagar budaya.

10. Bangunan kelas 10.

Bangunan/struktur bukan hunian, misalnya : garasi pribadi, carport, kolam

renang/sejenisnya.
Berdasarkan SNI 03-1736-2000, Suatu bangunan gedung harus mempunyai bagian atau

elemen bangunan yang pada tingkat tertentu bisa mempertahankan stabilitas struktur selama

terjadi kebakaran, yang sesuai dengan :

1. Fungsi bangunan.

2. Beban api.

3. Intensitas kebakaran.

4. Potensi bahaya kebakaran.

5. Ketinggian bangunan.

6. Kedekatan dengan bangunan lain.

7. Sistem proteksi aktif yang terpasang dalam bangunan.

8. Ukuran kompartemen kebakaran.

9. Tindakan petugas pemadam kebakaran.

10. Elemen bangunan lainnya yang mendukung.

11. Evakuasi penghuni.

2.3.1 Perlindungan terhadap kebakaran

Perkembangan struktur bangunan yang semakin kompleks dan penggunaan bangunan

yang semakin beragam serta tuntutan keselamatan yang semakin tinggi, membuat pihak

pemilik atau pengembang bangunan harus mulai memikirkan Fire Safety Management.

Beberapa kejadian kebakaran pada bangunan tinggi baik bangunan komersial maupun

perkantoran mestinya menjadi pelajaran penting dalam penyiapan Fire Safety Management.

Dari segi peraturan dan perundangan-undangan bangunan tinggi, jaminan keselamatan

bagi penghuni bangunan tinggi telah ditetapkan dalam UU No. 28 tahun 2002 tentang

bangunan gedung (UUBG 2002) dimana faktor keselamatan telah menjadi persyaratan
penting yang harus dipenuhi. Salah satu persyaratan keselamatan gedung adalah kemampuan

bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran.

Lebih jauh lagi dijelaskan dalam Kepmenneg PU No.10/KPTS/2000 bahwa unsur

manajemen pengamanan kebakaran, terutama yang menyangkut kegiatan pemeriksaan,

perawatan, pemeliharaan, audit keselamatan kebakaran, dan latihan penanggulangan

kebakaran harus dilaksanakan secara periodik sebagai bagian dari kegiatan pemeliharaan

sarana proteksi aktif yang terpasang pada bangunan. Selain itu ditegaskan pula dalam

Kepmenneg PU No. 11/KPTS/2000 dan Kepmennaker 186/MEN/1999, dimana

mensyaratkan adanya manajemen keselamatan kebakaran pada bangunan gedung.

Adanya peraturan perundangan-undangan, standard nasional maupun internasional,

seperti NFPA 101 dalam hal keselamatan kebakaran menyiratkan bahwa pemilik atau

pengelola gedung harus menyiapkan atau melaksanakan Fire Safety Management dan harus

dilaksanakan dengan komitmen yang kuat dari pemilik/pengelola gedung.

2.3.2 Sarana Evakuasi

Setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan oleh

penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri dengan

aman tanpa terhambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat. Komponen dari sarana

evakuasi terdiri dari :

1. Tangga Kebakaran (Fire Escape)

Tangga kebakaran adalah suatu tempat yang menghubungkan ruangan bawah dengan ruangan

diatasnya yang juga berfungsi sebagai tempat melarikan diri dari gangguan bahaya kebakaran

(Dwi Tanggoro, 2000:43). Tangga kebakaran adalah tangga yang direncanakan khusus untuk

penyelamatan bila terjadi kebakaran. Tangga kebakaran dilindungi oleh saf tahan api dan

termasuk didalamnya lantai dan atap atau ujung atas struktur penutup. Tangga darurat dibuat
untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau luka-luka pada waktu melakukan evakuasi pada

saat kebakaran (Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan

Gedung dan Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000).

Perlu diperhatikan urut-urutan bahaya yang timbul akibat adanya kebakaran adalah:

a. Bahaya kepanikan

b. Bahaya asap/gas beracun

c. Bahaya panas api

Untuk mengatasi ke tiga hal tersebut , maka kemudian jalan keluarnya adalah

melewati fire escape (tangga darurat). Koridor tiap jalan keluar menuju tangga darurat

dilengkapi dengan pintu darurat yang tahan api (lebih kurang 2 jam) dan panic bar sebagai

pegangannya sehingga mudah dibuka dari sebelah dalam dan akan tetap mengunci kalau

dibuka dari sebelah tangga (luar) untuk mencegah masuknya asap kedalam tangga darurat.

Tiap tangga darurat dilengkapi dengan kipas penekan / pendorong udara yang dipasang di

atap (Top). Udara pendorong akan keluar melalui grill di setiap lantai yang terdapat di

dinding tangga darurat dekat pintu darurat. Rambu-rambu keluar (exit signs) ditiap lantai

dilengkapi dengan tenaga baterai darurat yang sewaktu-waktu diperlukan bila sumber tenaga

Utama (PLN) padam.

Fungsi sistem pintu keluar baik berupa tangga kebakaran maupun pintu darurat

dimaksudkan untuk memberikan akses bagi penghuni/pengguna bangunan untuk dapat

menuju tempat yang aman dengan selamat.

Dalam pemasangan jalan keluar atau jalan penyelamatan (emergency exit) berupa tangga

kebakaran (fire escape) harus memperhatikan syarat-syarat, yaitu :

a. Tangga terbuat dari konstruksi beton atau baja yang mempunyai ketahanan kebakaran

selama 2 jam.
b. Tangga dipisahkan dari ruangan-ruangan lain dengan dinding beton yang tebalnya

minimum 15 cm atau tebal tembok 30 cm yang mempunyai ketahanan kebakaran

selama 2 jam.

c. Bahan-bahan finishing, seperti lantai dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak

licin, susuran tangan terbuat dari besi.

d. Lebar tangga minimum 120 cm (untuk lalu lintas 2 orang ).

e. Harus dapat dilewati minimal oleh 2 orang bersama-sama atau lebar bersih tangga

minimal 120 cm.

f. Untuk anak tangga, lebar minimum injakan tangga 27,9 cm, tinggi minimum 10,5 cm,

tinggi maksimum 17,8 cm dan jumlah 2R + G ≤ 70cm.

g. Harus mudah dilihat dan dicapai (dilengkapi dengan penunjuk arah). Jarak maksimum

dari sentral kegiatan 30 m atau antar tangga 60 m.

h. Persyaratan tangga kebakaran, khususnya yang terkait dengan kemiringan tangga,

jarak pintu dengan

anak tangga, tinggi

pegangan tangga

dan lebar serta

ketinggian anak

tangga, dapat dilihat

pada gambar

berikut:

Gambar 5. Detail rel pegangan tangan, Sumber : SNI 03 – 1746 – 2000.

i. Supaya asap kebakaran tidak masuk dalam ruangan tangga, diperlukan :


1. Exhaust fan yang berfungsi menghisap asap yang ada di depan tangga. Penempatan

exhaust fan berupa :

i. Dipasang di depan tangga kebakaran yang berfungsi untuk menghisap asap

yang akan masuk dalam tangga darurat saat pintu dibuka.

ii. Dipasang didalam tangga yang secara otomatis berfungsi memasukkan udara

untuk memberikan tekanan pada udara di dalam tangga darurat yang berfungsi

mengatur tekanan udara dalam tangga agar lebih besar daripada udara dalam

bangunan khususnya saat terjadi kebakaran sehingga saat pintu dibuka asap

tidak masuk ke dalam tangga darurat.

iii. Untuk bangunan khusus atrium, dipakai alat exhaust vent yang secara otomatis

terbuka saat terjadi kebakaran sehingga asap dapat keluar melalui alat tersebut.

2. Pressure fan yang berfungsi menekan/memberi tekanan di dalam ruang tangga yang

lebih besar daripada tekanan pada ruang luar. Di dalam dan di depan tangga diberi

alat penerangan sebagai penunjuk arah tangga dengan daya otomatis/emergency.

2. Pintu Kebakaran (Fire Doors)

Pintu darurat adalah pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan hanya dipergunakan

apabila terjadi kebakaran. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pintu darurat adalah :

Gambar 6. Pintu Darurat


Sumber : Jimmy S Juwana, 2005.
a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam.

b. Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel.

c. Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis (door closer) Bila pintu

dioperasikan dengan tenaga listrik maka harus dapat dibuka secara manual bila terjadi

kerusakan, dapat membuka langsung kearah jalan umum dan harus dapat membuka

otomatis bila terjadi kegagalan pada daya listrik atu saat aktivasi alarm kebakaran.

d. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang berada diluar ruang

tangga (kecuali tangga yang berada dilantai dasar, berada didalam ruang tangga) dan

sebaiknya menggunakan tuas yang memudahkan, terutama dalam keadaan panik

(panic bar).

e. Pintu dilengkapi dengan tanda peringatan “TANGGA DARURAT – TUTUP

KEMBALI”.

f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api.

g. Ambang pintu harus tidak mengenai anak tangga atau ramp minimal selebar daun

pintu.

h. Pintu paling atas membuka kearah luar (atap bangunan) dan semua pintu lainnya

membuka kearah ruangan tangga kecuali pintu paling bawah membuka keluar dan

langsung berhubungan ruang luar.

3. Jalur Sirkulasi/Penyelamatan.

Jalur sirkulasi pada bangunan dapat berupa koridor. Koridor ini melayani jalan keluar dari 2

atau lebih unit hunian tunggal ke eksit di lantai tersebut atau bagian yang disediakan sebagai

eksit dari suatu bagian dari setiap tingkat menuju jalan keluar.

Persyaratan jalur sirkulasi harus memenuhi persyaratan :

a. Setiap eksit harus terlindung dari kebakaran.


b. Suatu eksit harus tidak terhalang pada titik atau tempat hamburan dan mempunyai

tinggi bebas tidak kurang dari 2 m dan lebarnya tidak boleh kurang dari 1 m.

c. Jumlah akses sedikitnya 2 jalan keluar dan langsung menuju jalan atau ruang terbuka.

d. Jarak tempuh keluar ke tempat yang aman.

Jarak tempuh Maksimal (m)


Fungsi Batasan Lorong
Buntu (m) Tanpa Sprinkler Dengan Sprinkler

Ruang pertemuan 6 45 70

Pendidikan 6 45 70
- Sistem terbuka Tidak perlu 45 70
- Sistem fleksibel Tidak perlu 45 70

Kesehatan
- Bangunan baru 9 30 45
- Kondisi yang Tidak perlu 30 45
ada
Hunian
- Hotel 10 30 45
- Apartemen 10 30 45
- Asrama 0 30 45
- Rumah tinggal Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu

Komersial
- Pengunjung
>100 orang 15 30 45
- Ruang terbuka 0 Tidak perlu Tidak perlu
- Mall tertutup 15 70 90
- Perkantoran 15 70 90

Tabel 1. Sumber : Jimmy S Juwana. 2005

e. Harus dilengkapi tanda penunjuk arah keluar Pemberian petunjuk arah keluar bertujuan

untuk memberikan petunjuk atau rambu yang cukup jelas untuk menuju jalan keluar (exit)

dan alur pencapaian menuju exit. Dalam menunjang proses evakuasi, tanda-tanda yang

cocok atau cara lain untuk dapat mengenali, sampai pada tingkat yang diperlukan harus

memenuhi syarat :

1. Penunjuk arah keluar harus dipasang pada bangunan A, B, C, D, E.


2. Penunjuk arah keluar harus terpasang pada ruang koridor, diatas pintu tangga

kebakaran dan tempat lain yang direncanakan untuk evakuasi.

3. Pada setiap ruangan yang digunakan lebih dari 10 orang, harus dipasang denah

evakuasi pada tempat yang mudah dilihat.

4. Penunjuk arah keluar harus menggunakan 2 sumber daya listrik berbeda.

5. Penunjuk arah keluar harus mempunyai kuat penerangan minimal 50 lux dan

berwarna hijau dengan warna tulisan adalah putih (tinggi huruf 10 cm dan tebal

huruf 1 cm).

6. Penempatan penunjuk arah keluar harus mudah terlihat jelas dan terang dari jarak

20 m.

7. Jarak antara penunjuk arah keluar minimal 15 m & maksimal 20 m dan, tinggi

penunjuk arah keluar 2 m dari lantai.

2.4 Tipe konstruksi tahan api.

Data dari SNI 03 – 1736 – 2000 Dikaitkan dengan ketahanannya terhadap api, terdapat 3

(tiga) tipe konstruksi, yaitu:

 Tipe A :

Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan secara

struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi ini terdapat komponen pemisah

pembentuk kompartemen untuk mencegah penjalaran api ke dan dari ruangan

bersebelahan dan dinding yang mampu mencegah penjalaran panas pada dinding

bangunan yang bersebelahan.

 Tipe B :
Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api mampu

mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam bangunan, dan

dinding luar mampu mencegah penjalaran kebakaran dari luar bangunan.

 Tipe C :

Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan yang dapat

terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan secara struktural terhadap

kebakaran.

Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan ketentuan pada

tabel 2, dan ketentuan butir (5.5 SNI 03-1736-2000), kecuali :

a) bangunan kelas 2 atau 3 pada butir 5.8 SNI 03-1736-2000.

b) kelas 4 dari bagian-bagian bangunan pada butir 5.9 SNI 03-1736-2000.

c) panggung terbuka dan stadion olahraga dalam ruang pada butir 5.10 SNI 03-1736-

2000 dan konstruksi ringan pada butir 5.11 SNI 03-1736-2000.

Dari jenis-jenis konstruksi, konstruksi Tipe A adalah yang paling tahan api dan Tipe C yang

paling kurang tahan api.

Kelas Bangunan / type konstruksi


Jumlah lantal bangunan
2, 3, 9 5, 6, 7, 8

4 atau lebih A A

3 A B

2 B C

1 C C

Tabel 2. Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan


2.4.1 Kompartemen dan Spesifikasi konstruksi tahan api.

Kompartemenisasi dimaksudkan untuk membatasi kebakaran di suatu ruangan agar

tidak menjalar ke ruangan ruangan lainnya dalam bangunan tersebut. Menurut KEPMEN PU

10/KPTS/2000 ukuran kompartemenisasi ditentukan berdasarkan jenis penggunaan bangunan

dan tipe konstruksi sebagaimana diperlihatkan pada Tabel-3 berikut

Tabel 3. Ukuran Kompartemen

Tipe konstruksi bangungan


Uraian
Tipe - A Tipe - B Tipe - C

Maks luas lantai 8000 m2 5500 m2 3000 m2


Klas 5 atau 9b
Maks volume 48000 m3 33500 m3 18000 m3

Klas 6,7,8 dan 9a


Maks luas lantai 5000 m2 3500 m2 2000 m2
(kecuali daerah
Maks volume 30000 m3 21500 m3 12000 m3
perawatan pasien)

Keterangan : Bangunan klas 5 : Bangunan kantor

Bangunan klas 6 : Bangunan perdagangan

Bangunan klas 7 : Bangunan gudang / tempat penyimpanan

Bangunan klas 8 : Bangunan industri / lab / pabrik

Bangunan klas 9a : Bangunan perawatan kesehatan

Bangunan klas 9b : Bangunan pertemuan / sekolah

Konstruksi tipe A : konstruksi tahan api

Konstruksi tipe B : konstruksi semi tahan api

Konstruksi tipe C : konstruksi dari bahan mudah terbakar


Ketahanan api elemen bangunan pada konstruksi Tipe A. Tiap elemen bangunan

sebagaimana tercantum pada 5.4.1 SNI 03-1736-2000. dan setiap balok atau kolom yang

menjadi satu dengan elemen tersebut harus mempunyai TKA tidak kurang dari yang tertulis

dalam tabel tersebut untuk jenis bangunan tertentu.

A. Persyaratan dinding dan kolom – Tipe A.

1. Dinding luar, dinding biasa, dan bahan lantai serta rangka lantai untuk sumuran lif ( lift

pit ) harus dari bahan tidak dapat terbakar.

2. Tiap dinding dalam yang disyaratkan mempunyai TKA harus diteruskan ke :

a) Permukaan bagian bawah dari lantai di atasnya.

b) permukaan bagian bawah dari atap serta harus memenuhi tabel 4.

c) langit-langit yang tepat berada di bawah atap, memiliki ketahanan terhadap

penyebaran kebakaran ke ruang antara langit-langit dan atap tidak kurang dari

60 menit ( 60/60/60 ).

d) bila menurut butir 5.4.1.e) SNI 03-1736-2000 atap tidak disyaratkan

memenuhi tabel 4, maka permukaan bawah penutup atap yang terbuat dari

bahan sukar terbakar terkecuali penopang atap berdimensi 75 mm x 50 mm

atau kurang, tidak boleh digantikan dengan bahan kayu atau bahan mudah

terbakar lainnya.

KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit) Kelaikan

struktur/integritas/isolasi
Elemen bangunan
Kelas 2,3 atau Kelas 5,9 atau Kelas 7

bagian 7 tempat Kelas 6 selaintempat

bangunan parkir parkir atau 8


kelas 4

Dinding Luar ( termasuk

kolom dan elemen bangunan

lainnya yang menyatu) atau

elemen bangunan luar

lainnya yang jaraknya ke

sumber api adalah :

Bagian-bagian pemikul

beban

- kurang dari 1,5 m 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

- 1,5 m hingga < 3,0 m 90/60/60 120/90/90 180/180/120 240/240/180

- 3,0 m atau lebih 90/60/30 120/60/30 180/120/90 240/180/90

Bagian-bagian bukan

pemikul beban :

- kurang dari 1,5 m --/90/90 -/120/120 -/180/180 -/240/240

- 1,5 m hingga < 3,0 m -/60/60 -/90/90 -/180/120 -/240/180

- 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

Kolom Luar yang tidak

menyatu dalam dinding luar,

yang jaraknya ke sumber api

- kurang dari 3 m 90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-

- 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

Dinding biasa dan

Dinding penahan api 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

Dinding dalam Saf tahan api 90/90/90 120/120/120 180/120/120 240/120/120


pelindung lif dan tangga. -/90/90 -/120/120 -/120/120 -/120/120

- Memikil beban

- Tidak memikul beban

Pembatas koridor umum,

Lorong utama dan

semacamnya :

- Memikul beban 90/90/90 120/-/- 180/-/- 240/-/-

- Tidak memikul beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

Diantara atau pembatas unit

unit Hunian Tunggal :

- Memikul beban 90/90/90 120/-/- 180/-/- 240/-/-

- Tidak memikul beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

Saf pelindung jalur ventilasi,

pipa, sampah dan

semacamnya yang bukan

untuk pelepasan produk

panass hasil pembakaran :

- Memikul beban 90/90/90 120/90/90 180/120/120 240/120/120

- Tidak memikul beban -/90/90 -/90/90 -/120/120 -/120/120

Dinding biasa dan dinding


90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
penahan api

Dinding dalam, Balok, Kuda-


90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-
kuda/Penopang atap dan
kolom lainnya yang memikul

beban

Lantai 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

Atap 90/60/30 120/60/30 180/60/30 240/90/60

Tabel 4 : Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan.

3. Dinding pemikul beban seperti dinding dalam dan dinding pemisah tahan api termasuk

dinding-dinding yang merupakan bagian dari saf pemikul beban harus dari bahan beton

atau pasangan bata.

4. Bila suatu struktur yang tidak memikul beban yang berfungsi sebagai :

a. Dinding dalam yang disyaratkan tahan api.

b. saf untuk lif, ventilasi, pembuangan sampah atau semacamnya yang tidak

digunakan untuk pembuangan atau pelepasan produk pembakaran.

maka harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar (non combustible).

5. Tingkat ketahanan api sebagaimana tercantum pada tabel 4 untuk kolom luar, berlaku

pula untuk bagian dari kolom dalam yang permukaannya menghadap atau berjarak 1,5 m

dari bukaan dan tepat berhadapan dengan sumber api.

6. Persyaratan kolom dan dinding internal. Bangunan dengan ketinggian efektif tidak lebih

dari 25 m dan atapnya tidak memenuhi tabel 4, tetapi mengikuti persyaratan butir 5.4.1.c)

SNI 03-1736-2000, maka pada lantai tepat di bawah atap, kolom-kolom internal di luar

yang diatur dalam butir 5.4.1.a).5) SNI 03-1736-2000 serta dinding internal pemikul

beban selain dinding-dinding api boleh mempunyai :

A. bangunan kelas 2 atau 3; TKA 60/60/60.


B. bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.

1. bila jumlah lantai bangunan melebihi 3 lantai; TKA 60/60/60

2. bila jumlah lantai kurang dari 3 lantai; tidak perlu TKA.

B. Persyaratan lantai.

Konstruksi lantai tidak perlu mengikuti tabel 4, apabila :

terletak langsung di atas tanah. di bangunan kelas 2, 3, 5 atau 9 yang ruang di bawahnya

bukanlah suatu lapis bangunan, tidak digunakan untuk menampung kendaraan bermotor,

bukan suatu tempat penyimpanan atau gudang ataupun ruang kerja dan tidak digunakan

untuk tujuan khusus lainnya. lantai panggung dari kayu di bangunan kelas 9 b yang

terletak di atas lantai yang mempunyai TKA dan ruang di bawah panggung tersebut tidak

digunakan untuk kamar ganti pakaian, tempat penyimpanan atau semacamnya.

1. lantai yang terletak didalam unit hunian tunggal di bangunan kelas 2, 3 atau

bagian bangunan kelas 4.

2. lantai dengan akses terbuka (untuk menampung layanan kelistrikan dan peralatan

elektronik) yang terletak di atas lantai yang memiliki TKA.

3. persyaratan berkaitan dengan pembebanan lantai bangunan kelas 5 dan 9 b. Pada

lantai bangunan kelas 5 dan 9 b yang dirancang untuk beban hidup tidak melebihi

3 kPa, maka :

a. lantai di atasnya (termasuk balok lantai) dibolehkan memiliki TKA 90/90/90.

b. atap, bila terletak langsung di atas lantai tersebut (termasuk balok atap)

dibolehkan memiliki TKA 90/60/30.

C. Persyaratan atap.
1. Penempatan atap di atas plat beton penutup tidak perlu memenuhi butir 5.1. SNI 03-

1736-2000 mengenai konstruksi tahan api, apabila :

a. penutup dan bagian-bagian konstruksi yang terletak diantara penutup tersebut

dengan plat beton seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar.

b. plat atap beton memenuhi tabel 4.

2. Suatu konstruksi atap tidak perlu memenuhi tabel 4. bila penutup atap terbuat dari

bahan tidak mudah terbakar dan bila pada bangunan tersebut :

a) terpasang seluruhnya sistem springkler sesuai standar yang berlaku.

b) terdiri atas 3 (tiga) lantai atau kurang.

c) adalah bangunan kelas 2 atau 3.

d) memiliki ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan langit-langit yang

langsung berada di bawah atap mempunyai ketahanan terhadap penyebaran

awal kebakaran ke ruang atap tidak kurang dari 60 menit.

D. Persyaratan bangunan kelas 2.

1) Bangunan kelas 2 yang ketinggian lantainya tidak lebih dari 3 lantai boleh

dikonstruksikan dengan memakai :

a) kerangka kayu secara menyeluruh.

b) keseluruhan dari bahan tidak mudah terbakar.

c) kombinasi dari a) dan b), bila

1. dinding pembatas atau dinding dalam harus tahan api yang

diteruskan sampai di bawah penutup atap yang dibuat dari bahan

tidak mudah terbakar, kecuali kaso atap berukuran 75 mm x 50 mm


atau kurang, tidak disambung silangkan dengan kayu atau bahan

mudah terbakar lainnya.

2. tiap isolasi yang terpasang di lubang atau rongga dinding yang

memiliki TKA harus dari bahan tidak mudah terbakar.

3. bangunan dipasangi sistem alarm pendeteksi asap otomatis yang

memenuhi persyaratan sebagaimana persyaratan dalam SNI 03-3985-

2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem deteksi

kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan

gedung.

2) Suatu bangunan kelas 2 yang mempunyai jumlah lapis bangunan tidak lebih dari 4

diperbolehkan 3 (tiga) lapis teratas boleh dikonstruksikan sesuai butir 5.4.1.a) SNI

03-1736-2000, bila lapis terbawah digunakan semata-mata untuk parkir kendaraan

bermotor atau fungsi tambahan lainnya dan konstruksi lapis tersebut termasuk lantai

antara lapis tersebut dengan lapis diatasnya terbuat dari struktur beton atau struktur

pasangan.

3) Pada bangunan kelas 2 yang memenuhi persyaratan butir 1) dan 2) serta dipasang

sistem springkler otomatis yang memenuhi ketentuan dalam SNI 03-3989-2000

tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatis untuk

pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, maka setiap kriteria TKA

yang dicantumkan pada tabel 4. berlaku :

a) untuk tiap lantai dan tiap dinding pemikul beban bisa dikurangi sampai 60,

kecuali kriteria TKA sebesar 90 untuk dinding luar harus tetap

dipertahankan bila diuji dari bagian luarnya.


b) untuk tiap dinding dalam yang bukan dinding pemikul beban, tidak perlu

mengikuti tabel 5.4.1. bila :

1) dilapis pada tiap sisinya dengan papan plaster standar setebal 13 mm

atau bahan tidak mudah terbakar lainnya yang semacam itu.

2) dinding dalam tersebut diteruskan hingga :

a. mencapai sisi bagian bawah dari lantai atas berikutnya.

b. mencapai sisi bagian bawah langit-langit yang memiliki

ketahanan terhadap penjalaran awal kebakaran sebesar 60

menit.

c. mencapai sisi bagian bawah dan penutup atap tahan api.

3 bahan isolasi yang dipasang menutupi rongga atau lubang pada dinding dibuat dari

bahan tidak mudah terbakar.

4 tiap sambungan konstruksi, ruang atau semacamnya yang terletak di antara bagian atas

dinding dan lantai, langit-langit atau atap ditutup rapat terhadap penjalaran asap

menggunakan bahan dempul jenis intumescent atau bahan lainnya yang setara.

5 Tiap pintu di dinding dilindungi dengan alat penutup otomatis, terpasang rapat, yang

bagian inti dari pintu tersebut terbuat dari bahan padat dengan ukuran ketebalan minimal

35 mm.

2.4.2 Ketahanan Api Bangunan untuk Bangunan – Tipe B

Pada bangunan yang disyaratkan memiliki konstruksi tipe B harus memenuhi

ketentuan sebagai tercantum pada tabel 5 dan setiap balok atau kolom yang menyatu dengan

elemen tersebut harus memiliki TKA tidak kurang dari yang tertera pada tabel tersebut untuk

kelas bangunan yang dimaksud.


Tabel 5 : Konstruksi tipe B : TKA konstruksi bangunan.

KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit) Kelaikan

struktur/integritas/isolasi

Kelas 7
Kelas 2,3
Elemen bangunan Kelas 5,9 (selain
atau bagian
atau 7 tempat Kelas 6 tempat
bangunan
parkir parkir) atau
kelas 4
8

DINDING LUAR, (termasuk

tiap kolom dan elemen

bangunan lainnya yang

menjadi satu) atau elemen

bangunan luar lainnya, yang

jaraknya dari kemungkinan

sumber api adalah sebagai

berikut :

Bagian-bagian yang memikul

beban :

- kurang dari 1,5 m. 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

- 1,5 m hingga kurang dari 90/60/30 120/90/60 180/120/90 240/180/120

3m

- 3 m hingga kurang dari 9 90/30/30 120/30/30 180/90/60 240/90/60

m.

- 9 m hingga kurang dari 90/30/-- 120/30/30- 180/60/-- 240/90/--


18m.

- 18 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--

Bagian-bagian yang tidak

memikul beban.

- kurang dari 1,5 m --/90/90 --/120/120 --/180/180 --/240/240

- 1,5 m hingga kurang dari -/60/30 --/90/60 -/120/90 -/180/120

3m

- 3 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- 240/240/240

KOLOM LUAR, yang tidak

menyatu dalam dinding luar,

yang jaraknya ke sumber

utama adalah :

- kurang dari 3 m. 90/--/-- 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--

- 3 m atau lebih --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--

DINDING BIASA DAN


90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
DINDING PEMBATAS API.

DINDING DALAM.

Saf pelindung lif dan tangga

yang tahan api :

- Memikul beban. 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

Saf pelindung tangga yang

tahan api :

- Tidak memikul beban. 90/90/90 120/120/120 180/120/120 240/120/120

Pembatas koridor umum,

jalan umum di ruang besar


dan semacamnya :

- Memikul beban 60/60/60 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--

- Tidak memikul beban --/60/60 --/--/-- --/--/-- --/--/--

Diantara atau yang

membatasi unit-unit hunian

tunggal

- Memikul beban 60/60/60 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--

- Tidak memikul beban : --/60/60 --/--/-- --/--/-- --/--/--

DINDING DALAM, BALOK

DALAM, RANGKA ATAP 60/--/-- 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--

DAN KOLOM LAINNYA :

ATAP : --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--

a. Persyaratan dinding dan saf.

1) Dinding-dinding luar, dinding-dinding biasa dan lantai serta kerangka lantai di tiap

lubang lif harus dari bahan tidak dapat terbakar.

2) Bilamana saf tangga menunjang lantai atau bagian struktural dari lantai tersebut,

maka :

a) lantai atau bagian struktur lantai harus mempunyai TKA 60 / --/ -- atau lebih.

b) sambungan saf tangga harus dibuat sedemikian sehingga lantai atau bagian

lantai akan bebas lepas atau jatuh saat terjadi kebakaran tanpa menimbulkan

kerusakan struktur pada saf.


3. Dinding dalam yang disyaratkan memiliki TKA, kecuali dinding yang melengkapi

unit-unit hunian tunggal di lantai teratas dan hanya ada satu unit di lantai tersebut,

harus diteruskan ke :

a) permukaan bagian bawah dari lantai berikut di atasnya, bilamana lantai

tersebut mempunyai TKA minimal 30/30/30.

b) permukaan bagian bawah langit-langit yang memiliki ketahanan terhadap

penjalaran api awal ke arah ruang di atasnya tidak kurang dari 60 menit.

c) permukaan bagian bawah dari penutup atap bilamana penutup atap

tersebut terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan tidak disambungkan

dengan kayu atau komponen bangunan lainnya dari bahan yang mudah

terbakar terkecuali dengan penopang atau berukuran 75 mm x 50 mm atau

kurang.

4. Dinding dalam dan dinding pembatas yang memikul beban (termasuk bagian saf yang

memikul beban) harus dari bahan beton ataupun pasangan bata.

5. Dinding dalam yang tidak memikul beban namun disyaratkan agar tahan api, maka

harus dari konstruksi tidak mudah terbakar

6. Pada bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 pada tingkat bangunan yang langsung berada di

bawah atap, kolom-kolom dan dinding-dinding dalam selain dinding-dinding pembatas

api dan dinding saf tidak perlu memenuhi tabel 5.

7. Lif, jalur ventilasi, pipa, saluran pembuangan sampah, dan saf-saf semacam itu yang

bukan untuk dilalui produk panas hasil pembakaran dan tidak memikul beban, harus

dari konstruksi yang tidak mudah terbakar, khususnya pada :

a) bangunan kelas 2, 3 atau 9.


b) bangunan kelas 5, 6, 7 atau 8 bilamana saf tersebut menghubungkan lebih

dari 2 lapis bangunan.

b. Persyaratan lantai.

Pada bangunan kelas 2 atau 3, kecuali dalam unit hunian tunggal, dan bangunan kelas 9,

lantai yang memisahkan tingkat-tingkat bangunan ataupun berada di atas ruang yang

digunakan untuk menampung kendaraan bermotor atau digunakan untuk gudang ataupun

tujuan pemakaian lainnya harus :

1) Harus dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga konstruksi lantai tersebut terutama

bagian bawahnya memiliki ketahanan terhadap penyebaran kebakaran tidak kurang

dari 60 menit.

2) Mempunyai lapis penutup tahan api pada permukaan bawah lantai termasuk balok-

balok yang menyatu dengan lantai tersebut, bilamana lantai tersebut dari bahan

mudah terbakar atau metal atau memiliki TKA tidak kurang dari 30/30/30.

c. Persyaratan untuk bangunan kelas 2.

1) Suatu bangunan kelas 2 yang mempunyai tingkat bangunan tidak lebih dari 2

(dua) boleh dikonstruksi dengan :

(a). keseluruhan rangka kayu.

(b). seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar.

(c). kombinasi a) dan b) bila :

1. tiap dinding pembatas api atau dinding dalam yang memenuhi syarat

tahan api serta diteruskan hingga mencapai permukaan bagian bawah

penutup atap dari bahan tidak mudah terbakar tidak ditumpangkan dengan
komponen bangunan dari bahan mudah terbakar, terkecuali untuk

penopang atap berukuran 75 mm x 50 mm atau kurang.

2. tiap isolasi yang dipasang pada lubang atau rongga di dinding yang

memiliki TKA harus dari bahan tidak mudah terbakar.

3. pada bangunan dipasang sistem deteksi alarm otomatis yang memenuhi

ketentuan SNI 03-3985-2000 tentang tata cara perencanaan dan

pemasangan sistem deteksi kebakaran untuk pencegahan bahaya

kebakaran pada bangunan gedung.

2) Pada bangunan kelas 2 yang memenuhi persyaratan butir a) dan pada bangunan

tersebut dipasang sistem springkler sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara

perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatis untuk pencegahan

bahaya kebakaran pada bangunan gedung, maka setiap kriteria TKA yang

diuraikan dalam tabel 5 berlaku sebagai berikut :

a) untuk setiap dinding memiliki beban dapat berkurang hingga 60, kecuali

nilai TKA sebesar 90 untuk dinding luar harus tetap dipertahankan bila

diuji dari permukaan luar.

b) untuk tiap dinding dalam yang bukan memikul beban, tidak perlu

memenuhi tabel 5 tersebut bilamana.:

i. kedua permukaan dinding diberi lapisan setebal 13 mm dari papan

plaster atau bahan tidak mudah terbakar yang setara.

ii. dinding tersebut diperluas.

hingga mencapai permukaan bawah dari lantai berikut di atasnya

bila lantai tersebut memiliki TKA minimal 30/30/30 atau


permukaan bawah lantai tersebut dilapis dengan bahan pelapis

tahan api.

hingga mencapai bagian bawah langit-langit yang memiliki

ketahanan terhadap penjalaran api awal sebesar 60 menit.

hingga mencapai permukaan bagian bawah penutup atap yang

terbuat dari bahan tidak mudah terbakar.

iii. tiap isolasi yang terpasang pada rongga atau lubang di dinding

dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar.

iv. tiap sambungan konstruksi, ruang dan semacamnya yang berada di

antara ujung teratas dinding dengan lantai, langit-langit atau atap

disumbat atau ditutup dengan dempul intumescent atau bahan yang

tepat lainnya.

2.4.3 Ketahanan api elemen bangunan untuk konstruksi - Tipe C

Pada suatu bangunan yang memenuhi konstruksi Tipe C, maka :

Elemen bangunan harus memenuhi ketentuan yang tercantum pada tabel 5.4.3. dan setiap

balok atau kolom yang menjadi satu dengan elemen bangunan tersebut harus mempunyai

TKA tidak kurang dari yang tercantum dalam tabel tersebut sesuai dengan kelas

bangunannya.

Tabel 6. : Konstruksi tipe C : TKA konstruksi bangunan.

KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit) Kelaikan


Elemen bangunan
struktur/integritas/isolasi

Kelas 2,3 Kelas 5,9 atau Kelas 6 Kelas 7


atau bagian 7 tempat parkir (selain tempat

bangunan parkir) atau 8

kelas 4

DINDING LUAR,

(termasuk tiap kolom

dan elemen bangunan

lainnya yang menjadi

satu) atau elemen

bangunan luar lainnya,

yang jaraknya dari

kemungkinan sumber api

adalah sebagai berikut :

- kurang dari 1,5 m. 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

- 1,5 m hingga kurang 90/60/30 120/90/60 180/120/90 240/180/120

dari 3 m

- 3 m atau lebih. 90/30/30 120/30/30 180/90/60 240/90/60

KOLOM LUAR, yang

tidak menyatu dalam

dinding luar, yang

jaraknya ke sumber

utama adalah :

- kurang dari 1,5 m. 90/--/-- 90/--/-- 90/--/-- 90/--/--

- 1,5 m hingga kurang 60/--/-- 60/--/-- 60/--/--

dari 3 m.

- 3 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--


DINDING BIASA DAN

DINDING PEMBATAS 90/90/90 90/90/90 90/90/90 90/90/90

API.

DINDING DALAM

- Membatasi koridor 60/60/60 -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --

umum, jalan di ruang

besar untuk umum dan

semacamnya

- Diantara atau 60/60/60 -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --

membatasi unit-unit

hunian tunggal

- Membatasi tangga bila 60/60/60 -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --

disyaratkan memiliki

TKA

Atap -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --

a) Persyaratan dinding.

1. Suatu dinding luar yang disyaratkan sesuai tabel 6, memiliki TKA hanya memerlukan

pengujian dari arah luar untuk memenuhi persyaratan tersebut.

2. Suatu dinding pembatas api atau dinding dalam yang membatasi unit hunian tunggal

atau memisahkan unit-unit yang berdekatan bila dibuat dari bahan beton ringan harus

memenuhi ketentuan yang berlaku untuk beton ringan.

3. Dalam bangunan kelas 2 atau 3, suatu dinding dalam yang disyaratkan menurut tabel 6

memiliki TKA harus diperluas :


a. sampai mencapai permukaan bawah lantai diantaranya bilamana lantai tersebut

mempunyai TKA sekurang-kurangnya 30/30/30 atau bagian permukaan bawah

tersebut dilapis dengan bahan tahan api.

b. mencapai permukaan bagian bawah langit-langit yang memiliki ketahanan

terhadap penjalaran api awal ke ruang diatasnya tidak kurang dari 60 menit.

c. mencapai permukaan bagian bawah penutup atap bilamana penutup atap tersebut

terbuat dari bahan tidak mudah terbakar, dan terkecuali untuk penopang atap

berdimensi 75 mm x 50 mm atau kurang, tidak boleh disimpangkan dengan

menggunakan komponen bangunan kayu atau bahan mudah terbakar lainnya.

d. menonjol di atas atap setinggi 450 mm bilamana penutup atap dari bahan mudah

terbakar.

b) Persyaratan lantai.

Pada bangunan kelas 2 atau 3, kecuali di dalam unit hunian tunggal, atau pada bangunan

kelas 9, maka lantai yang memisahkan tingkat-tingkat pada bangunan atau berada di atas

ruang untuk menampung kendaraan bermotor atau digunakan sebagai gudang atau

keperluan ekstra lainnya dan tiap kolom yang menopang lantai haruslah :

1. Memiliki TKA sedikitnya 30/30/30.

2. Memiliki pelapis tahan api

2.5 Kinerja bahan bangunan terhadap api

Bahan bangunan yang digunakan untuk unsur bangunan harus memenuhi persyaratan

pengujian sifat bakar (combustibility test) dan sifat penjalaran api pada permukaan (surface

test) sesuai ketentuan yang berlaku tentang bahan bangunan.


Bahan bangunan yang dibentuk menjadi komponen bangunan (dinding, kolom dan balok)

harus memenuhi persyaratan pengujian sifat ketahanan api yang dinyatakan dalam waktu (30,

60, 120, 180, 240) menit.

Bahan bangunan berikut sebagaimana dimaksud pada butir 5.14.1 SNI 03 – 1736 - 2000

diklasifikasi-kan sebagai :

a) Bahan tidak terbakar (mutu tingkat I)

b) Bahan sukar terbakar (mutu tingkat II).

c) Bahan penghambat api (mutu tingkat III).

d) Bahan semi penghambat api (mutu tingkat IV).

e) Bahan mudah terbakar (mutu tingkat V).

Bahan bangunan yang mudah terbakar, dan atau yang mudah menjalarkan api melalui

permukaan tanpa perlindungan khusus, tidak boleh dipakai pada tempat-tempat penyelamatan

kebakaran, maupun dibagian lainnya, dalam bangunan di mana terdapat sumber api.

2.5.1 Kinerja dinding luar terhadap api.

Bila suatu bangunan dengan ketinggian tidak lebih dari 2 (dua) lantai memiliki dinding luar

dari bahan beton yang kemungkinan bisa runtuh seluruhnya dalam bentuk panel (contoh :

beton, precast), maka dinding tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat

terjadi kebakaran, kemungkinan runtuhnya panel ke luar bisa diminimalkan.

Dinding luar bangunan yang berbatasan dengan garis batas pemilikan tanah harus tahan api

minimal 120 menit.

Pada bangunan yang berderet, dinding batas antara bangunan harus menembus atap dengan

tinggi minimal 0,5 m dari seluruh permukaan atap.


2.6 Kinerja dinding penyekat sementara terhadap api.

Dinding penyekat ruang sementara, ketahanan apinya harus minimal 30 menit.

Dinding sebagaimana dimaksud pada butir 2.5.1. tidak boleh menerus sampai langit-langit

serta tidak boleh mengganggu fungsi sistem instalasi dan perlengkapan bangunan pada ruang

tertentu.

2.7 Sarana proteksi pada bukaan.

1. Jenis sarana proteksi.

a. Sarana proteksi pada bukaan dalam persyaratan ini adalah pintu kebakaran, jendela

kebakaran, pintu penahan asap dan penutup api.

b. Ketentuan dalam sub bab ini mengatur persyaratan untuk konstruksi pintu kebakaran,

jendela kebakaran, pintu penahan asap dan penutup api

2. Pintu kebakaran.

Pintu kebakaran yang memenuhi persyaratan adalah :

a. Sesuai dengan standar pintu kebakaran.

b. Tidak rusak akibat adanya radiasi melalui bagian kaca dari pintu tersebut selama

periode waktu, sesuai dengan nilai integritas dalam TKA yang dimiliki.

3. Pintu penahan asap.

a. Persyaratan Umum.

Pintu penahan asap harus dibuat sedemikian rupa sehingga asap tidak akan melewati

pintu dari satu sisi ke sisi yang lainnya, dan bila terdapat bahan kaca pada pintu

tersebut, maka bahaya yang mungkin timbul terhadap orang yang lewat harus

minimal.
b. Konstruksi yang memenuhi syarat.

Pintu penahan asap, baik terdiri dari satu ataupun lebih akan memenuhi

persyaratan butir 7.6.3.a SNI 03–1736-2000 diatas bila pintu tersebut

dikonstruksikan sebagai berikut :

1. daun pintu dapat berputar disatu sisi.

a. dengan arah sesuai arah bukaan keluar.

b. berputar dua arah.

o
2. daun pintu mampu menahan asap pada suhu 200 C selama 30 menit.

3. daun pintu padat dengan ketebalan 35 mm (akan memenuhi butir 2 diatas).

A. Pada daun pintu dipasang penutup atau pengumpul asap.

B. Daun pintu pada umumnya pada posisi menutup.

1. daun pintu menutup secara otomatis melalui pengoperasian penutup pintu

otomatis yang dideteksi oleh detektor asap yang dipasang sesuai dengan

standar yang berlaku dan ditempatkan disetiap sisi pintu yang jaraknya

secara horizontal dari bukaan pintu tidak lebih dari 1,5 m.

2. dalam hal terjadi putusnya aliran listrik ke pintu, daun pintu berhenti aman

pada posisi penutup.

c. Pintu akan kembali menutup secara penuh setelah pembukaan secara manual.

d. Setiap kaca atau bahan kaca yang menyatu dengan pintu kebakaran atau

merupakan bagian pintu kebakaran harus memenuhi standar yang berlaku.


e. Bilamana panel berkaca tersebut bisa membingungkan untuk memberi jalan keluar

yang tidak terhalang, maka adanya kaca tersebut harus dapat dikenali dengan

konstruksi tembus cahaya.

4. Lubang tembus utilitas pada pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran.

Pintu-pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran tidak boleh ditembus oleh perangkat

utilitas apapun selain dari :

1. Kabel-kabel listrik yang berkaitan dengan sistem pencahayaan atau sistem tekanan

udara yang melayani sarana keluar atau sistem inter komunikasi untuk melindungi

tanda “KELUAR”.

2. Ducting yang berkaitan dengan sistem pemberian tekanan udara bila hal itu :

a. Dibuat dengan bahan/material yang memiliki TKA tidak kurang dari

120/120/160 yang melalui bagian-bagian lain dari bangunan.

b. Tidak terbuka saat melintasi bagian bangunan tersebut. Persyaratan penembus

pada dinding, lantai, dan langit-langit oleh utilitas bangunan.

3. Lingkup.

Ketentuan ini menjelaskan tentang bahan dan metoda instalasi utilitas atau

peralatan mekanikal dan elektrikal yang menembus dinding, lantai dan langit-

langit yang disyaratkan memiliki TKA.

4. Penerapan.

a. Persyaratan ini berlaku menurut ketentuan ini sebagai alternatif sistem

yang telah dibuktikan melalui pengujian dalam rangka memenuhi

ketentuan pada butir 7.16 SNI 03–1736-2000.


b. Persyaratan ini tidak berlaku untuk instalasi di langit-langit yang

dipersyaratkan mempunyai ketahanan terhadap penjalaran kebakaran awal

atau untuk instalasi pemipaan yang berisi atau dimaksudkan untuk

mengalirkan cairan ataupun gas mudah terbakar.

5. Pipa metal.

a. Suatu pipa metal yang secara normal berisi cairan tidak boleh menembus

dinding, lantai ataupun langit-langit pada jarak 100 mm dari bahan mudah

terbakar, dan harus dikonstruksikan atau terbuat dari :

1. campuran tembaga atau baja tahan karat dengan ketebalan minimal 1

mm.

2. besi tuang atau baja (selain baja tahan karat) dengan ketebalan dinding

minimal 2 mm.

b. Bukaan untuk pipa metal harus :

1. Dibentuk rapih, potong atau dibor.

2. Sekurang-kurangnya 200 mm dari penetrasi utilitas lainnya.

3. Menampung hanya satu pipa.

c. Pipa metal tersebut harus dibungkus atau diberi selubung tetapi tidak perlu

dikurung dalam bahan isolasi termal sepanjang penembusan di dinding,

lantai ataupun langit-langit kecuali bila pengurungan atau pemberian bahan

isolasi termal itu memenuhi butir 7.17.7 SNI 03–1736-2000

d. Celah yang terjadi diantara pipa metal dan dinding, lantai atau langit-langit

yang ditembus harus diberi penyetop api sesuai dengan butir 7.17.7 SNI 03–

1736-2000
5. Pipa yang menembus ruang sanitasi.

Apabila sebuah pipa logam atau PVC menembus lantai ruang sanitasi sesuai butir 7.16 SNI

03–1736-2000, maka :

a. Bukaan atau lubang penembusan harus rapih dan berukuran tidak lebih besar dari

yang sesungguhnya diperlukan untuk ditembusi pipa atau fiting.

b. Celah antara pipa dan lantai harus diberi penyetop api (fire stopping) sebagaimana

diatur dalam butir 7.17.7 SNI 03–1736-2000.

6. Kawat dan kabel.

Bilamana sebatang kawat atau kabel atau sekumpulan kabel menembus lantai, dinding atau

langit-langit, maka :

a. Lubang penembusan harus rapih baik melalui pemotongan ataupun pemboran dan

minimal berjarak 50 mm dari lubang penembusan untuk utilitas lainnya.

b. Luas penampang lubang penembusan tersebut tidak lebih dari :

1. mm2 bila mengakomodasi hanya satu kabel dan celah antara kabel dan dinding,

lantai atau langit-langit tidak lebih lebar dari 15 mm.

2. 500 mm2 pada kasus lainnya.

c. Ketentuan yang berlaku atau celah yang terjadi antara utilitas dan dinding, lantai atau

langit-langit harus diberi penyetop api sesuai ketentuan butir 7.17.7. SNI 03–1736-

2000.
BAB III

Metodologi Penelitian

a. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian kualititatif.

Menurut Sugiono (2013:14) metode penelitian kuantitatif adalah “metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat positivisme yang digunakan untuk meneliti pada populasi dan

sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random,

pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kualitatif dengan

tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan”.

b. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah objek yang dijadikan penelitian atau yang menjadi titik perhatian

suatu penelitian atau lembaran-lembaran Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko dari

Kemungkinan kebakaran di tempat kerja, tempat tinggal atau pun gedung gedung yang

digunakan sebagai tempat aktivitas maupun hunian. Di dalam penelitian ini yang menjadi

objek penelitian adalah sistem proteksi pasif dari kebakaran yang dampak pada keselamatan

penghuni, tempat hunian maupun tempat untuk melakukan aktivitas kerja.

c. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di perusahaan PT. Baker Hughes Indonesia, Balikpapan,

yang bertempat di Jalan Mulawarman Km 16 63, Manggar, Balikpapan Timut, provinsi

Kalimantan Timur. Beker Hughes adalah perusahaan yang bergerak di bidang reservoir

tubing minyak dan gas dengan pengeboran kinerja tinggi, produksi dan jasa. Adapun waktu

penelitian dalam menyusun karya tulis / Makalah ini adalah 1 minggu. Mulai dari tanggal 10

Oktober 2016 sampai dengan 17 Oktober 2016.


Berdasarkan potensi bahaya dan dari jenis bahan bangunan serta perabot yang berada di

dalam dan area perkantoran tersebut penulis berupaya memberikan beberapa gambaran

potensi bahaya yang dapat terpapar pada pekerja dan proteksi pasif yang dapat di teraapkan

pada perusahaan tersebut.

3.1 Teknik Pengambilan Data

Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi lapangan

Teknik pengumpulan dan pengambilan data dengan pengamatan serta survei langsung ke

lapangan dan pengamatan langsung terhadap penerapan dan pengelolaan identifikasi bahaya

dan keselamatan dan kesehatan kerja, serta mencari potensi dan faktor resiko yang mungkin

dapat mempercepat penyebaran api.

Gambar 5. Baker Hughes Office Jalan Mulawarman Km 16 63, Manggar, Balikpapan Timut,

provinsi Kalimantan Timur


2. Wawancara

Yaitu teknik pengambilan dan pengumpulan data dengan cara wawancara langsung

dengan karyawan yang berwenang serta memiliki keterkaitan langsung dengan masalah

keselamatan dan kesehatan kerja yang diteliti.

Wawancara dengan beberapa pekerja yang bekerja di area perkantoran maupun karyawan

yang bekerja di luar area perkantoran pada perusahaan Beker Hughes balikpapan, untuk

mengetahui segala sesuatu hal yang berkaitan dengan program pelaksanaan keselamatan kerja

khususnya dalam proteksi pasif serta Melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait,

seperti Dinas Pemadam Kebakaran (PMK). Teknik ini digunakan pertama kali ketika peneliti

melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tapi juga

digunakan saat peneliti mengetahui hal-hal dari responden yang sifatnya lebih mendalam.

Jadi dengan teknik wawancara ini, peneliti dapat mengetahui hal-hal yang lebih mendalam

tentang bahaya-bahaya yang ada pada area pekerjaan / perkantoran tersebut.

3. Kepustakaan

Studi kepustakaan ini dilakukan dengan membaca dan mempelajari informasi yang

peneliti dapatkan dari beberapa buku dan literatur serta undang undang ketenaga-kerjaan

dan undang undang keselamatan kerja, dan juga peraturan-peraturan yang berhubungan

atau relevan terhadap penelitian. Studi kepustakaan ini digunakan untuk memperoleh

informasi dan sumber yang tepat guna mendukung peneliti untuk mengidentifikasi teori

secara sistematis, penemuan pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi

mengenai identifikasi bahaya dan penilaian resiko dalam penelitian.

3.2 Sumber Data

Dalam melaksanakan penelitian, penulis menggunakan data-data sebagai berikut :


1. Data Primer

Data primer diperoleh dari melakukan observasi secara langsung pada setiap area kerja

atau lapangan, wawancara dengan penanggung jawab dan karyawan perusahaan tersebut.

serta melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian yang meliputi

dampak keselamatan dan kesehatan kerja serta proteksi kebakaran.

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari arsip-arsip atau dokumen / literatur serta undang undang

yang berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, proses kerja pada sistem

proteksi pasif, buku referensi sumber kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian.

Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara menbaca bahan bahan mengenai hukum dan perundangan yang relevansinya

berhubungan dengan topic pembahasan atau masalah yang sedang diteliti.

Data Sekunder penelitian ini juga diperoleh dari :

1. Peraturan Perundang – undangan.

2. Data data di lapangan yang menjadi bahan untuk peneliti.

3. Data atau Dokumen dari perusahaan terkait.

3.3 Analisa Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko

serta sistem proteksi pasif pada perusahaan Beker Hughes Balikappan adalah metode

deskriptif kualitatif. Seluruh data yang diperoleh selama pengamatan pada perusahaan

tersebut. Kemudian ditelaah dan disusun secara sistematis, sebagai bahan penelitian untuk

kemudian dianalisis dengan membandingkan identifikasi bahaya dan penilaian resiko serta

sistem proteksi pasif yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan teori-teori, perundang-
undangan, serta referensi yang berkaitan dengan analisis dan penilaian resiko sebuah

pekerjaan atau tempat aktifitas atau hunian yang aman dan nyaman untuk kemudian dibuat

kesimpulan umum berupa pemaparan sederhana.

3.4 Kerangka konsep penelitian


Mulai

Pendahuluan

Landasan Teori

Study Literatur Study Lapangan

Penerapan data

1. Data primer
2. Data Sekunder

Analisa dan
pembahasan

Pembahasan

Selesai

Gambar 6. Flowchart Konsep Penelitian


3.5 Kerangka Pemikiran

Mulai

Inventarisir Tempat Kerja

Pengamatan Proses Kerja Pengamatan Prilaku Kerja

Identifikasi lingkungan Kerja

Faktor Potensi Bahaya

Identifikasi bahaya dan


linfkungan kerja

Pengendalian Operasionl

Selesai

Gambar 7. Flowchart Kerangka Pemikiran

3.6 Skala Pengumpulan Data

Skala pengukuran dibagi menjadi beberapa macam skala. Menurut Sugiyono (2010:134)

“beberapa skala pengukuran yang dapat digunakan dalam penelitian adalah Skala Likert,

skala Guttman , Ratting Scale, Semantic Deferential”. Pengukuran penelitian ini

menggunakan skala Guttman. Skala yang digunakan untuk mendapatkan jawaban yang
bersifat jelas ( tegas dan konsisten ), yang hanya memberikan dua alternatif jawaban.

Menurut Sugiyono (2012) skala Guttman digunakan apabila ingin mendapatkan jawaban

yang jelas terhadap suatu permasalahan. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi

variable. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item –

item instrument yang dapat berupa pertanyaan.

PERTANYAAN ALTERNATIF JAWABAN

SOAL 1 YA TIDAK

SOAL 2 YA TIDAK

Tabel 7. Kategori pemberian alternatif jawaban Sumber : Sugiyono (2010).

3.7 Metode Analisa

Metode analisa data pada penelitian ini akan dilakukan melalui empat tahapan yang

meliputi editing, coding, tabulating dan entry. Editing adalah proses pengecekan jumlah

kuesioner, kelengkapan data yang diantaranya kelengkapan identitas, lembar kuesioner dan

kelengkapan isian kuesioner, sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian dapat dilengkapi

dengan segera oleh peneliti. Coding adalah tindakan untuk melakukan pemberian kode atau

angka untuk memudahkan pengolahan data. Tabulating adalah merupakan tahapan ketiga

yang dilakukan setelah proses editing dan coding. Kegiatan tabulating dalam penelitian

meliputi pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian kemudian dimasukan ke dalam

table-tabel yangtelah ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan. Tahap terakir

dalam pengolahan data adalah Entry. Entry bertujuan memasukan semua data yang telah

diperoleh dari hasil kuesioner.


BAB IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1 Hasil Penelitian

Kebakaran adalah peristiwa yang tidak terduga dan menimbulkan banyak kerugian. Hal

ini dapat terjadi pada gedung gedung yang tidak memiliki sistem perlindungan serta

management kebakaran dan keselamatan. Para pengelola gedung khususnya gedung tinggi

perkantoran, harus memiliki beberapa sistem standar kebakaran, salah satunya adalah sistem

proteksi pasif. Design proteksi pasif sangat penting bagi bangunan sebagai sistem untuk

menahan penjalaran asap dan api dalam bangunan saat terjadi bahaya kebakaran.

Menurut Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan

Gedung dan Lingkungan (Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000)

pasal 2 mengatakan bahwa :

1. Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan

lingkungan dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang aman

terhadap bahaya kebakaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pada

tahap pemanfaatan sehingga bangunan gedung senantiasa berkualitas sesuai dengan

fungsinya.

2. Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan

lingkungan bertujuan terselenggaranya fungsi bangunan gedung dan lingkungan yang aman

bagi manusia, harta benda, khususnya dari bahaya kebakaran sehingga tidak mengakibatkan

terjadinya gangguan proses produksi/distribusi barang dan jasa dan

bahkan dari gangguan kesejahteraan sosial.

Berdasarkan maksud dan tujuan dari ketentuan tersebut, maka dalam penyelenggaraan

keamanan bangunan khususnya terhadap bahaya kebakaran dapat terlaksana dengan baik
sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam gedung Plasa

Ambarukmo diperlukan perlengkapan, instalasi, pengatasan dan media penyelamatan yang

cepat dan efisien baik dari dalam maupun luar gedung, tetapi dalam kesempatan ini penulis

hanya akan membahas tentang jalur penyelamatan / emergency exit dengan

perlengkapannya.

Menurut Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Bangunan

Gedung dan Lingkungan (Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000,

2000 : 26), bahwa setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat

digunakan oleh penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk

menyelamatkan diri dengan aman di dalam Tangga Darurat

No Tinjauan Standart* Lapangan Keterangan

Dimensi Lebar min. 120 cm Lebar 120 cm

Lebar
Lebar min. pijakan
Kurang
pijakan (G) 27,9 cm (G) 25 cm
Memenuhi
Persyaratan
Tinggi min. Tinggi
pijakan tannga
pijakan (R) 10,2 cm pijakan
Tinggi max. (R) 17,5cm
Pijakan (R) 17,8 cm
1 Fisik
Bahan Beton Besi
Anak tangga
lantai tidak
Lantai kasar / Greting
licin Memenuhi
Standart
Susuran
Besi Carbon Steel
tangga

Dinding tebalnya 15 cm sampai 30 Dinding beton Memenuhi


cm yang tahan dari setebal 15 cm persyaratan
kebakaran selama 2 jam
Mudah dicapai, jarak maksimum dari Jarak antar tangga
2 Letak sentral kegiatan 30 m atau antar tangga darurat yang terdekat Memenuhi
60 m. 15 m dan yang persyaratan
terjauh : 35 m.
3 Fungsi Hanya untuk evakuasi di saat keadaan Dialih Tidak
darurat fungsikan pernyaratan

Tabel 8
Keterangan : Data hasil observasi di Beker Hughes Balikpapan

*) Sumber dari Kepmen, No. 10/KPTS/2000


No Pelengkapan Standart * Lapangan Keterangan

Lebar min 80 cm, tinggi lebar 90, tinggi 210 cm dan Memenuhi
1 Pintu darurat
210 cm dan tebal 5 cm tebal 5 cm persyaratan
Di samping kanan dan kiri Memenuhi
2 Pegangan tangga Tinggi 86 – 96 cm
tangga darurat rata-rata 90cm persyaratan
Memenuhi
3 Pengeras suara Harus disediakan Ada di setiap tangga darurat
persyaratan
Lampu Memenuhi **
4 Minimal 50 lux Memakai lampu TL : 20 watt
penerangan persyaratan
Tidak
Shaft smoke Tidak Ada di setiap tangga
5 Harus disediakan Memenuhi
exhaust darurat
persyaratan
Tabel 9

Keterangan : Data hasil observasi di Beker Hughes Balikpapan

*) Sumber dari Kepmen, No. 10/KPTS/2000

**) Sumber dari juwana , 2005

Perhitungan lux lampu:

Lampu TL 20 watt (40 lumen/watt(tabel) x 20 = 800 lumen)

CU= 60%, LLF = 0,8 ,A= p x l, Maka N= (A.E) / (L.CU.LLF)

N = (50 lux x 2,95 m x 5 m) / (800 lumen x 0,6 x 0,8)= 2.119∞ 1 unit lampu

4.2 Pembahasan

4.2.1 Sistem proteksi pasif gedung kantor Beker Hughes

1. Ketahanan Api pada struktur bangunan

Bangunan Gedung kantor Beker Hughes yang ditinjau memiliki struktur yang mampu

bertahan terhadap penjalaran api yaitu berupa beton bertulang, sehingga memberikan

waktu bagi penghuni gedung untuk melakukan evakuasi dengan aman. Selain itu juga

untuk memberikan waktu bagi petugas pemadam kebakaran untuk memadamkan api

sehingga mengurangi kerusakan terhadap properti yang lainnya.


dinding beton setebal setebal 15 cm. Dalam

persyaratan disebutkan bahwa Jalur darurat

dipisahkan dari ruangan ruangan lain dengan

dinding beton yang tebalnya minimum 15 cm atau

tebal tembok 30 cm yang mempunyai ketahanan

kebakaran selama 2 jam. Berdasarkan pembahasan

diatas, maka dinding beton pada tangga darurat ini

telah memenuhi persyaratan

2. Kompartemenisasi ruangan
Gambar 8
Ukuran kompartemenisasi dan konstruksi pemisah harus dapat membatasi kobaran api

yang terjadi, sehingga dapat memberikan perlindungan bagi penghuni yang berada diruangan

lain di dalam bangunan. Selain itu juga

membatasi penjalaran api dan memudahkan

bagi petugas pemadam kebakaran dalam

melaksanakan tugasnya. dinding beton setebal

setebal 15 cm. Dalam persyaratan disebutkan

bahwa Jalur darurat dipisahkan dari ruangan

ruangan lain dengan dinding beton yang

tebalnya minimum 15 cm atau tebal tembok

30 cm yang mempunyai ketahanan kebakaran

selama 2 jam. Berdasarkan pembahasan diatas,

maka dinding beton pada tangga darurat ini Gambar 9

telah memenuhi persyaratan


Namun di dalam ruaangan tersebut terdapat pemisah ruangan yang terbuat dari bahan

yang tidak dapat menahan api, yang akan membuat perambatan api dengan cepat. Di

beberapa tempat masih terdapat ruangan yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar,

terbuat dari bakan tripleks, bangunan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai system proteksi

pasif bangunan.

Gambar 10.
3. Pembuangan asap

Pembuangan asap merupakan alat yang berguna untuk mengeluarkan asap dari dalam

ruangan menuju keluar gedung pada saat kebakaran terjadi. Dalam peraturannya setiap

reservoir asap diberikan minimum 1 buah fan yang mampu menghisap asap. Selain itu

reservoir asap terletak dengan ketinggian 2 m dari lantai, alat ini tersedia di beberapa tempat

dalam gedung tersebut.


Gambar 11 Pembuangan Asap

4. Cahaya darurat

Pencahayaan darurat pada gedung perkantoran dinilai baik karena sudah sesuai dengan

peraturan yang berlaku (Kep.Men. PU No. 441/KPTS/1998 tenyang persyaratan teknis

pembangunan gedung) yaitu pencahayaan darurat harus dipasang disetiap tangga yang

terlindung dari bahaya kebakaran, disetiap lantai dengan luas >300m2.

Perhitungan lux lampu:

Lampu TL 20 watt (40 lumen/watt(tabel) x 20 = 800 lumen)

CU= 60%, LLF = 0,8 ,A= p x l, Maka N= (A.E) / (L.CU.LLF)

N = (50 lux x 2,95 m x 5 m) / (800 lumen x 0,6 x 0,8)= 2.119∞ 1 unit lampu

(Sumber dari juwana , 2005)

5. Konstruksi jalan keluar

Bentuk konstruksi jalan keluar atau

koridor yang biasa dilalui oleh

karyawan, koridor tersebut terbuat dari

beton bertulang yang mampu bertahan

terhadap api dalam waktu beberapa

jam sehingga dapat memberikan waktu

evakuasi bagi karyawan, namun ada

beberapa bagian dari dinding yang

terbuat dari gibsum yang kurang

mampu menahan api terlalu lama.

Gambar 12
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Proses identifikasi bahaya dan penilaian resiko sistem proteksi pasif memang cukup

efektif untuk mengetahui faktor dan potensi bahaya, serta besarnya resiko yang ditimbulkan

dari suatu proses kerja. Sehingga untuk proses pengendalian bahaya dan resiko bisa

dilakukan dengan memasukkan proses identifikasi bahaya, penilaian resiko, dan

pengendalian resiko harus menjadi bagian dari proses perencanaan yang sedang berlangsung.

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian serta dilihat dari kondisi gedung menunjukkan

bahwa gedung tersebut masuk dalam kategori bagunan tipe B kelas 2 yang memiliki 2 lantai,

yang mana bangunan Tipe B Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen

penahan api mampu mencegah

penjalaran kebakaran ke ruang-ruang

bersebelahan di dalam bangunan, dan

dinding luar mampu mencegah

penjalaran kebakaran dari luar bangunan.

Namun sebagian dari gedung tersebut

khususnya pada lantai 2 merupakan

bangunan tipe C Konstruksi yang

komponen struktur bangunannya adalah Gambar 13.

dari bahan yang dapat terbakar serta

tidak dimaksudkan untuk mampu

menahan secara struktural terhadap

kebakaran.
5.2 Saran

1. Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko

Perusahaan terkait Harus lebih meningkatkan dan melaksanakan program

Keselamatan dan Kesehatan yaitu dengan melaksanakan identifikasi bahaya dan

penilaian resiko yang diharapkan dapat menurunkan angka kecelakaan kerja yang

berhubungan dengan kurangnya penerapan proteksi pasif pada gedung perkantoran

tersebut.

Perusahaan sebaiknya menggunakan elemen-elemen berikut sebagai acuan dalam

mengidentifikasi bahaya, elemen-elemen tersebut yaitu:

1) Benda yang menjadi sumber bahaya (contoh: penataan kabel dan fitting extention

cable)

2) Jenis bahan berbahaya atau bahan yang mudah terbakar

3) Kondisi kerja yang tidak standar pada peralatan, material, proses atau lingkungan

4) Perbuatan yang tidak sesuai dengan instruksi kerja

5) Informasi atau nasehat dari ahli

6) Analisis pekerjaan berwawasan K3 (job safety analysis)

Hal ini telah sesuai dengan Permenaker No. 05/MEN/1996 tentang identifikasi sumber

bahaya.

Penilaian resiko ini ditujukan untuk menyusun prioritas penanganan bahaya yang

sudah di identifikasi. Tindakan kontrol dimulai dari bahaya yang mempunyai resiko

tinggi kemudian yang lebih rendah tingkat bahayanya. Hal ini telah sesuai dengan

Permenaker No. 05/MEN/1996 lampiran I pasal 3.3.2 tentang penilaian resiko.

2. Pengendalian Resiko

Management beker hughes menerapkan / memiliki komitmen bahwa salah satu

keberhasilan dari pengendalian resiko akan bergantung pada kemampuan pekerja untuk
mengidentifikasi bahaya, menilai resikonya dan menanggapinya dengan tepat atas

observasi yang dilakukannya. Keberhasilan dalam hal ini memerlukan :

1) Keterampilan

2) Pengetahuan

3) Pengalaman

4) Partisipasi positif dari semua orang

Pengendalian atau pengurangan resiko adalah langkah-langkah sistematis yang

diambil untuk mengurangi tingkat potensi resiko sampai pada batas yang bisa ditoleransi

atau diterima setelah dilakukan identifikasi bahaya dan penilaian resiko.

tindakan pengendalian atau penurunan resiko dapat dilakukan dengan penggunaan APD

standar, menyediakan JSA, instruksi kerja, dan pelatihan keselamatan. Hal ini sesuai

dengan UU No. 1 Tahun 1970 pasal 13 tentang keselamatan kerja.

3. Tindakan Pengendalian

Disamping upaya pengendalian atau pengurangan resiko yang tercantum di atas juga

perlu diupayakan mengenai rancangan (design) atau rekayasa dan pengendalian administrasi.

Pengendalian yang dilakukan yaitu dengan melakukan perencanaan manajemen dan

pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan resiko kecelakaan kerja

yang tinggi. Namun tidak semua metode pengendalian diterapkan, metode yang dilakukan

antara lain:

a. Rekayasa/Engineering

Tindakan pengendalian yang berupa rekayasa teknik yang digunakan adalah dengan

menggunakan peralatan listrik yang memiliki tingkat proteksi tinggi atau memasang

double proteksi pada setiap peralatan yang memungkinkan dapat menimbulkan

bahaya api.

b. Pengendalian administrasi instruksi kerja


Pengendalian administratif dengan mengurangi atau menghilangkan kandungan

bahaya dengan memenuhi prosedur atau instruksi kerja dan manufaktur peralatan

yang telah disetujui. Instruksi tersebut antara lain:

1) Instruksi kerja di area perkantoran.

2) Instruksi kerja pencegahan kecelakaan.

3) Instruksi kerja electrical hand & power tools.

4) Instruksi standar tentang penempatan bahan bahan yang mudah menyala

atau terbakar.

c. Pengendalian administrasi pelatihan

Pelatihan K3 diberikan kepada karyawan, pengawas kerja dan management dengan

dibuat rencana pelatihan K3 tahunan dan disahkan oleh direktur melalui pelatihan

K3 antara lain:

1) Pelatihan teknik pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) diberikan kepada

level pengawas dan level pekerja.

2) Pelatihan dasar-dasar keselamatan kerja serta pengendalian dan penanganan

kebakaran diberikan kepada level pekerja.

3) Pelatihan keselamatan berdasarkan perilaku diberikan kepada level pengawas

dan level pekerja.

4) Pelatihan risk assessment dan job safety analysis diberikan kepada level

pengawas

5) Pelatihan kesehatan industri diberikan kepada level pengawas dan level pekerja.

d. Eleminasi

Eleminasi merupakan upaya modifikasi untuk menghilangkan metode Bahan atau

pun proses untuk menghilangkan bahaya. Selain mengacu pada Hierarki pengendalian,

salah satu upaya pengendalian potensi bahaya yang dilakukan yaitu dengan melakukan
penyuluhan tentang keselamatan dan inspeksi bulanan. Kegiatan ini dilakukan secara

rutin setiap bulan oleh jajaran manajemen Dinas kebersihan kota balikpapan. Temuan-

temuan dari hasil inspeksi ini akan ditindak lanjuti oleh departemen terkait. Selain itu

tujuan dari diadakannya inspeksi bulanan ini adalah untuk mengetahui bahaya-bahaya

baru yang timbul di area kerja agar dapat dilakukan identifikasi bahaya dan penilaian

pada resiko yang ada serta dicatat dalam Risk Register untuk kemudian

disosialisasikan agar potensi bahaya tersebut dapat diketahui oleh para pekerja.

e. Pengendalian bahaya dengan menggunakan kontrol darurat dan jalur emergency.

Dalam upaya mencegak dan mengurangi tingkat kecelakaan maka perusahaan juga

memasang emergency plan atau jalur evakuasi jika terdi keadaan darurat, juga

melakukan tidakan tindakan pencegahan dengan menempatkan orang-orang yaang

terlatih di dalam hal atau keadaan darurat.

Gambar 14. Denah jalur evakuasi lantai 1


Gambar 15. Denah jalur evakuasi lantai 2
Gambar 16. Flow chart emergency procedure

4. Perlu penyesuain jumlah APAR dan alat pemadam lain seperti hydrant box, sprinkler

sistem sesuai KEPMEN No. 10/KPTS/2000.

5. Tanda Petunjuk arah exit yang berada di area office lantai 1 dan 2 dan lampu pada

penunjuk arah evakuasi atau menggunakan illuminium stiker.


DAFTAR PUSTAKA

1. Buchanan, A.H (1994),” Fire Engineering Design Guide,” Centre for Advanced

Engineering, University of Canterbury, New Zealand.

2. Drysdale, Dougal (1985), “ An Introduction to Fire Dynamics,” John Wiley & Sons, pp

278 – 303

3. KEPMENEG PU no 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap

Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan, 2000

4. KEPMENEG PU no 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Pengamanan

Kebakaran di Perkotaan, 2000

5. NFPA 101 (1994),” Life Safety Code Handbook,” National Fire Protection Association

Inc, Quincy, Massachusetts, USA

6. Patterson, James (1993),” Simplified Design for Building Fire Safety,” John Wiley and

Sons, pp 157 – 211.

7. SNI no 03-1736-2000 tentang Standar Perencanaan Sistem Proteksi Pasif 117 Sistem

Proteksi Kebakaran …(Suprapto)

8. SNI no. 03 – 1735 - 2000 tentang Tatacara Perencanaan Akses Lingkungan untuk

Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung

9. SNI no 03-1746-2000 tentang Tatacara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan

Keluar untuk Penyelamatan Kebakaran pada Bangunan Gedung

10. Suprapto (2004),” Sistem Proteksi Pasif, kurang diperhatikan namun sangat penting,”

IFFC Bulletin, edisi Perdana, 2005 Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 118

11. Aji Kurniawan, 2010. System pemadam kebakaran pada gedung sejahtera family hotel

dan apartemen yogyakarta.


12. SNI 03-3989-2000 Tata cara perancangan dan pemasangan sistem sprinkler otomatis

untuk pencegahan bahaya kebakaran pada gedung

13. DPU 2000 ketentuan tekhnis pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan

gedung dan lingkungan, yayasan badan penerbit PU, Jakarta

14. DPU 1987 Panduan pemasangan alat bantu evakuasi untuk pencegahan bahaya kebakaran

pada bangunan rumah dan gedung. Yayasan penerbit PU, Jakarta

15. Juwon, Jimmy S. 2005, panduan sistem bangunan tinggi untuk arsitek dan praktisi

bangunan, penerbit erlangga, Jakarta.

16. Poerbo harton, 2005. Utilitas bangunan, penerbit Djambatan, Jakarta

17. Sumarjito 2010. Kajian terhadap sarana emergency exit pada bangunan bangunan pusat

perbelanjaan di yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai