Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kejadian apendisitis akut dalam kehamilan dan di luar kehamilan tidaklah


berbeda. Kejadiannya satu diantara 1000 sampai 2000 wanita hamil. Akan tetapi
kejadian perforasi lebih sering pada kehamilan yaitu 1,5 sampai 3,5 kali dari
wanita tidak hamil. Hal ini karena diagnosis dini apendisitis akut kadang-kadang
sulit dibuat, dan meragukan akibat adanya perubahan anatomi dan fisiologi yang
terjadi selama kehamilan. Serta gejala yang sama pada wanita hamil seperti mual,
muntah, anoreksia dan nyeri perut. Untuk membuat diagnosis yang tepat, perlu
dilakukan anamnesis yang cermat, serta pemeriksaan yang teliti.

1
BAB II

ISI

DEFINISI :

Proses inflamasi akut pada apendiks vermiformis yang terjadi pada wanita dengan
kehamilan

EPIDEMIOLOGI :
 Akut Abdomen terbanyak pada kehamilan
 1 : 1500 – 2000 pada kehamilan
 0,05% - 0,07%
 Kejadiannya pada trimester pertama 20%, trimester kedua 55%, trimester
ketiga 15%
 Diagnosa apendisitis ditegakkan tepat waktu sebanyak 50-85 %
 Risiko penundaan diagnosis dapat menimbulkan komplikasi seperti perforasi,
infeksi, kelahiran prematur, dan risiko kematian ibu dan janin.

ANATOMI

Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch


(analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Appendiks
adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada
bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada
Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal
appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm,
diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia

2
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.

Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)


yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak
yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi
kecil.

Gambar 1. Anatomi Appendiks

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,


submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan
serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang
merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke
ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari

3
jaringan ikat dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan
lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri
dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular
layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga
taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan
sebagai pegangan untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu
ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang
kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks.

Jenis posisi:
- Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontoriun sacri
- Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya
retroperitoneal.
- Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
- Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
- Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor
- Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas ke
belakang caecum.
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika

4
superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di
sekitar umbilikus.
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari
a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada
infeksi, appendiks akan mengalami gangren.
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti
usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh
mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama.
Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh
darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak
retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

HISTOLOGI

- Tunika mucosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.


- Tunika submucosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika muscularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale (
gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum
viscerale.(6)

FISIOLOGI

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya


dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian
dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang

5
dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan
limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran
cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa
dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada
jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.

ETIOLOGI

Pada apendisitis akut yang menjadi faktor penyebab yang dominan adalah
obstruksi lumen, terutama oleh fekalit (40%), sedangkan faktor yang lain yaitu:
hipertrofi limfoid, kontras barium, tumor, sayuran, biji-bijian, dan parasit.

PATOFISIOLOGI

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh


hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup

6
yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga
menjadi gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya

7
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.

DIAGNOSIS

Anamnesa
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut kanan
bawah (tergantung umur kehamilan), mual dan muntah. Kemudian untuk bergerak
dan batuk bertambah nyeri, adanya obstipasi.
Yang perlu diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan diperut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

8
Pemeriksaan Fisik
 Nyeri tekan dan nyeri lepas perut kanan bawah (lihat gambar)

 Subfebris
 Tergantung pada letak /variasi anatomi appendiks
 Rovsing’ s sign (+), Blumberg’s sign (+), Psoas’s sign (+), Obturator’s
Sign (+)
 Pemeriksaan colok dubur, nyeri tekan (+) terutama apendiks letak
Retrosaekal/ pelviks

Pemeriksaan Penunjang
 Leukositosis 15.000-20.000/mm3
 Moderat polymorphonuclear predominan
 Urinanalisis untuk menentukan adanya sumber infeksi traktus urinarius
 Tes kehamilan untuk menyingkirkan kehamilan

Ultrasonografi
 Gambaran tubuler buntu , nonperistaltik
 Diameter anteroposterior >6 mm
 (‘Target-like appearance’)
 ‘Loss of wall compressibility’
 ‘Increased echogenity of the surrounding fat signifying inflammation

9
 Loculated pericecal fluid’
 Sensitifitas 55-96% dan spesifisitas 85-98%
 Pemeriksaan patologi anatomi harus dilakukan.
 Diagnosa apendicitis akut ditegakan secara klinis, pencitraan dilakukan
atas indikasi.

DIAGNOSIS BANDING

 Gastrointestinal
o Perforasi ulkus peptikum.
o Perforasi intestinal.
o Ischemia Intestinal.
o Divertikulitis Meckel’s.
o Divertikulitis Colon.
o Ileitis terminalis.
o Gastroenteritis.
 Limfadenitis mesenterial.
 Traktus billiaris/pankreas.
o Kolesistitis akut.
o Pankreatitis akut.
 Traktus Urinarius
o Batu Ureter
o Pielonefritis akut
 Ginecologik
o Ruptur kista/ folikel ovarium
o Torsio ovarium
o Kehamilan ektopik / tuba
o Salpingitis Akut
 Dinding Abdomen
o Hematoma m. rectus

10
 Supradiafragma
o Pneumonia lobus inferior kanan
 Endokrin / metabolik
o Diabetik Ketoasidosis
o Porphyria akut
 Sistem nervus
o Tabes Dorsalis
o Herpes Zoster

TERAPI

Intervensi pembedahan secara dini, mengurangi morbiditas dan mortalitas


pada bayi dan ibu, sedangkan pembedahan tertunda yang dilakukan lebih dari 24
jam, berhubungan dengan terjadinya apendisitis perforasi dan kematian ibu dan
janin.

Kasus dengan suspek apendisitis harus dirawat, dengan tujuan untuk


mencegah keterlambatan pembedahan, mengurangi risiko perforasi, dan
sebaliknya mencegah apendektomi negatif.

Jika diagnostik meragukan, harus dilakukan observasi aktif, dimana akan


menurunkan apendektomi negatif, tanpa meningkatkan angka perforasi. Pasien
dipuasakan, diberikan resusitasi cairan dengan kristaloid.

Antibiotika profilaksis yang aman untuk janin diberikan 1 jam


preoperative. Penggunaan antibiotik yang tidak aman dapat menyebabkan efek
teratogenik. Penggunaan gentamisin dapat mengakibatkan nefrotoksik dan
ototoksik. Tetrasiklin menyebabkan perubahan warna gigi secara permanen dan
malformasi tulang panjang. Fluoroquinolon menyebabkan displasia kartilago dan
artropati. Ampisilin atau sefalosporin dapat dikombinasikan dengan metronidazol
pada kasus apendisitis perforasi atau apendiks gangrenosa.

11
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi Apendiktomi per
laparoskopik. Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka atau perlaparoskopi.

KOMPLIKASI

 Perforasi 55%  Peritonitis


 Angka kematian ibu 2%
 Massa periapendiks
 Sepsis dan MODS
 Komplikasi terjadinya partus prematurus 10 – 15 %
 Kematian Janin 3 – 5 % meningkat menjadi 20 % pada kasus perforasi

PROGNOSIS

 Baik, jika tidak ada komplikasi.


 Angka kematian pasca operasi apendicitis akut 0,1% dengan perforasi 5%.

12
KESIMPULAN

Diagnosis dini apendisitis akut kadang-kadang sulit dibuat, dan meragukan


akibat adanya perubahan anatomi dan fisiologi yang terjadi selama kehamilan.
Serta gejala yang sama pada wanita hamil seperti mual, muntah, anoreksia dan
nyeri perut. Yang perlu diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan diperut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
Intervensi pembedahan secara dini, mengurangi morbiditas dan mortalitas
pada bayi dan ibu, sedangkan pembedahan tertunda yang dilakukan lebih dari 24
jam, berhubungan dengan terjadinya apendisitis perforasi dan kematian ibu dan
janin. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi Apendiktomi per laparoskopik.
Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka atau perlaparoskopi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Jamal Mourad., et al 2000. Appendicitis in Pregnancy. Am. J Obstet. Gynecol.


182:5

Jong, W.D., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.

Mansjoer, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua,
Media Aesculapius, FK UI

Patricia A Pastore et al., 2006. Appendicitis in Pregnancy.


http://www.jabfm.org/content/19/6/621.full. (10 Januari 2014)

Robert B. Samda., Stephen E Gaba., 2013. Acute Appendicitis in Pregnancy.


Arch. Int. Surg. 3:6-10

Rachelle Guttman., 2004. Appendicitis During Pregnancy.


http://www.motherisk.org/prof/updatesDetail.jsp?content_id=688 (10 Januari
2014)

Schwartz., et al, 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam, EGC,
Jakarta

Siralingam Nalah et al., 2011. Issues in Management of Acute Appendicitis in


Pregnancy. Ie. J. SME. 5(1):2-9

14

Anda mungkin juga menyukai