Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. Berdasarkan Pembentukannya
Sumber daya alam yang dapat diperbaharui adalah sumber daya alam yang jika
dimanfaatkan tidak akan habis karena dapat diperbaharui kembali dengan budi daya maupun
secara alami.
Pembaharuan bisa dilakukan melalui dua cara:
1) Reproduksi, terjadi pada sumber daya alam hayati karena hewan dan tumbuhan dapat berkembang
biak sehingga jumlahnya selalu bertambah.
2) Siklus, terjadi pada air, udara, tanah, dan energi matahari dapat diperbaharui dengan proses yang
melingkar membentuk siklus.
B. TANAH
Tanah adalah lapisan kulit bumi paling luar yang merupakan hasil pelapukan dan
pengendapan batuan yang dalam proses terjadinya telah bercampur dengan bermacam-macam
bahan organis.
Jenis-Jenis Tanah di Indonesia
a. Tanah Humus
Tanah humus adalah tanah hasil pelapukan tumbuh-tumbuhan (bahan organik). Tanah
jenis ini terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian.
b. Tanah Vulkanis
Tanah vulkanis adalah tanah hasil pelapukan bahan padat dan bahan cair yang
dikeluarkan oleh gunung berapi. Jenis tanah ini terdapat di Pulau Jawa (Utara), Sumatra, Bali,
Lombok, Halmahera dan Sulawesi.
c. Tanah Podzol
Tanah podzol adalah tanah yang terjadi karena pengaruh suhu rendah dan curah hujan
tinggi. Jenis tanah ini terdapat di pegunungan tinggi.
d. Tanah Laterit
Tanah laterit adalah tanah yang terjadi karena suhu tinggi dan curah hujan tinggi,
mengakibatkan berbagai mineral yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan larut dan meninggalkan
sisa oksidasi besi dan aluminium. Tanah ini terdapat di Jawa Timur, Jawa Barat,dan Kalimantan
Barat.
e. Tanah Pasir
Tanah pasir adalah tanah hasil pelapukan batuan beku dan sedimen, tidak terstruktur.
Tanah pasir terdapat di Pantai Barat Sumatera Barat, Jawa Timur,dan Sulawesi.
f. Tanah Gambut
Tanah gambut adalah tanah yang berasal dari bahan organik yang selalu tergenang air.
Karena kekurangan unsur hara dan peredaran udara di dalamnya tidak lancar, proses penghancuran
tanah sempurna. Tanah ini terdapat di Pantai Timur Sumatra, Kalimantan, dan Irian Jaya.
g. Tanah Mergel
Tanah mergel adalah tanah yang terjadi dari campuran batuan kapur, pasir, dan tanah liat.
Pembentukan tanah ini dipengaruhi oleh hujan yang tidak merata sepanjang tahun. Tanah ini
banyak terdapat di lereng pegunungan dan dataran rendah, misalnya Solo, Madiun, Kediri, dan
Nusa Tenggara.
h. Tanah Kapur (Renzina)
Tanah kapur adalah tanah yang terjadi dari bahan induk kapur (batu endapan) dan telah
mengalami laterisasi lemah. Jenis tanah ini terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, dan di Sumatera.
i. Tanah Padas
Tanah padas adalah tanah yang amat padat karena mineral di dalamnya dikeluarkan oleh
air yang terdapat di lapisan tanah sebelah atasnya. Jenis tanah ini terdapat hampir diseluruh
wilayah Indonesia.
j. Tanah Endapan
Tanah endapan adalah tanah yang terjadi akibat pengendapan batuan induk yang telah
mengalami proses pelarutan dan pada umumnya merupakan tanah yang subur. Jenis tanah ini
terdapat di Jawa bagian utara, di Sumatera bagian timur, Kalimantan bagian barat, dan Selatan.
Jenis tanah endapan adalah:
1) Tanah endapan laterit
2) Tanah endapan pasir, dan
3) Tanah endapan vulkanis.
k. Tanah Terrarosa
Tanah terrarosa adalah tanah yang terbentuk dari pelapukan batuan kapur. Tanah ini
banyak terdapat di dasar dolina-dolina dan merupakan tanah pertanian yang subur di daerah batu
kapur. Tanah ini banyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Sumatera.
C. AIR
Air yang meresap ke dalam tanah akan menempati pori-pori batuan sebagai air tanah.
Kedalaman air tanah berbeda-beda tergantung pada tinggi-rendahnya permukaan bumi dan musim
yang sedang berlaku.
Berdasarkan hal itu, dapat dibedakan menjadi dua:
1. Air di Daratan
a. Air permukaan
Air permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan bumi dan dapat terlihat
wujudnya. Air permukaan meliputi sungai, danan, rawa, daerah aliran sungai, teluk, selat,
laut/lautan.
1) Sungai
Sungai adalah bagian daratan yang lebih rendah dari daerah sekitarnya sehingga menjadi
tempat aliran air.
Berdasarkan sumber airnya,dibedakan tiga:
a) Sungai hujan, sumber airnya berasal dari hujan.
b) Sungai gletser, sumber airnya berasal dari gletser yang mencair.
c) Sungai campuran.
Berdasarkan keadaan airnya sepanjang tahun:
a) Sungai permanen, sungai yang alirannya tetap sepanjang tahun.
b) Sungai periodik, sungai yang airnya tidak tetap sepanjang tahun. Pada musim hujan airnya meluap
dan pada musim kemarau airnya kering.
2) Danau
Danau adalah cekungan di daratan yang berisi air. Permukaannya lebih tinggi dari
permukaan air laut.
Berdasarkan proses terjadinya, danau terbagi atas:
a) Danau tektonik, terjadi akibat tenaga tektonik. Contoh: Danau Tanganyika dan Danau Nyassa.
b) Danau bendungan, terjadinya karena terbendungnya oleh alam (seperti Danau Laut Tawar di Aceh
dan Danau Tordano di Sulawesi Utara) dan oleh manusia (seperti Waduk Jatiluhur, Waduk
Sanguling, Waduk Cirata di Jawa Barat, dll).
c) Danau Karit, terjadi karena larutnya batuan kapur. Misalnya Dolin, Polye dan Lokva di daerah
Gunung Kidul.
d) Danau Vulkanik, terjadi karena adanya gunung berapi yang meletus dan mengeluarkan
ekshalasi.
Danau vulkanik ada 3 macam:
(1) Danau Kawah, terjadi karena kawah yang meletus atau kepundan gunung api tergenang air hujan.
(2) Danau Maar, merupakan lubang berbentuk corong yang terjadi sesudah letusan gunung api dan
lubang tersebut terisi air hujan.
(3) Danau Kaldera, terjadi karena peletusannya yang kuat.
e) Danau Tektovulkanik, terjadi karena adanya tenaga tektonik vulkanik. Misalnya Danau Toba,
Batur dan Dana Ranau.
3) Rawa
a) Rawa selalu tergenang, kadar keasamannya tinggi, di dasarnya terdapat gambut yang tebal.
b) Rawa yang mengalami pergantian air, terjadi karena pengaruh pasang naik dan surut. Airnya tidak
terlalu asam dan lapisan gambut di dasarnya tidak terlalu tebal.
D. UDARA
Udara adalah campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang
memenuhi ruang di atas bumi. Lapisan udara atau uap yang sudah terbentuk oleh kekuatan dan
proses alam sehingga bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup.
1. Pemanfaatan udara untuk kehidupan
a. Pernapasan manusia dan binatang
b. Pernapasan dan fotosintesis tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.
2. Manfaat gerakan udara (angin) bagi kehidupan
a. Salah satu medium untuk merambatkan bunyi dan cahaya
b. Untuk pelayaran, perhubungan, dan komunikasi
c. Untuk kincir angin
d. Untuk kegiatan nelayan
E. BARANG TAMBANG
Barang tambang merupakan sumber daya yang banyak dibutuhkan untuk kehidupan
manusia, pendukung pembangunan, dan bahan dasar industri.
1. Jenis dan Persebaran Barang Tambang.
Digolongkan sebagai berikut:
a. Barang Tambang Energi, terdiri atas minyak bumi, gas bumi dan batu bara.
b. Barang Tambang Mineral Logam, terdiri atas timah, bauksit/aluminium, besi, tembaga, nikel,
emas, perak, dan mangan.
c. Barang Tambang Mineral Bukan Logam/Tambang Industri, terdiri atas intan, belerang, fosfat,
gamping/batu kapur, lempung/tanah liat, marmer, batu, pasir, dan lain-lain.
2. Persebaran Barang Tambang di Indonesia.
a. Minyak Bumi, terdapat di Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Seram, dan Irian Jaya.
b. Gas Bumi, terdapat di Bontang dandi Arun.
c. Batu Bara, terdapt di Ombilin/Sawahlunto, Bukit Asam, dal Kalimantan Timur.
d. Timah Putih, terdapat di Bangka, di Belitung, Sinkep, dan Bangkinang.
e. Bauksit/Aluminium, terdapat di Bintan.
f. Tembaga, terdapat di Tembaga Pura di Irian Jaya.
g. Besi, bijih besi terdapat di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Sedangkan pasir besi ditemukan di Lampung, pantai selatan Jawa Tengah.
h. Nikel, terdapat di Sulawesi Tenggara (Bulubulang, Pomala Utara dan Selatan).
i. Emas dan Perak, tambang emas utama di Cikotok.
j. Bahan Tambang Industri
1) Intan, terdapat di Cempaka, Kal-Sel.
2) Belerang, terdapat di sekitar kepundan gunung api.
3) Batu gamping/kapur, terdapat di Pegunungan kapur Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, dan Sulawesi Tenggara, Bali, dan Irian Jaya bagian Selatan.
4) Marmer atau Batu Pualam, terdapat di Trenggalek dan Tulung Agung (Jawa Timur), di dekat
Banjarnegara Jawa Tengah, dan Lampung.
5) Fosfat, terdapat di Pegunungan kapur dan di Pulau Jawa.
6) Aspal, terdapat di Pulau Buton dan Sulawesi Tenggara.
3. Peranan Barang Tambang dan Pembangunan Indonesia.
a. Untuk memenuhi kebutuhan lokal
b. Untuk memenuhi kebutuhan nasional
c. Sebagai sumber devisa negara
d. Sebagai bahan batu industri
Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang
untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat
utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam
mendorong investasi pembangunan jangka menengah (2004-2009). Prinsip-prinsip tersebut saling
sinergis dan melengkapi dengan pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance)
yang mendasarkan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya
perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
PERMASALAHAN
Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk di
bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dapat
digambarkan berikut ini:
Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Hutan merupakan salah satu sumber daya yang
penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya
dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan
luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia
memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta
hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu
akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan negara ASEAN
lainnya.
Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan konversi lahan
menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS
berkondisi kritis meningkat dari yang semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut
sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998. Pada saat ini diperkirakan sekitar 282 DAS
dalam kondisi kritis. Kerusakan DAS tersebut juga dipacu oleh pengelolaan DAS yang kurang
terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Hal ini akan mengancam
keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan
untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga.
Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah
pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau
Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi
hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah
mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga
diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa
kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut
untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk
memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan
pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa
mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh
kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi
tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada
kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal
dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal
dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut
minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak
dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang
memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.
Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha pertambangan, khususnya tambang
terbuka (open pit mining), selalu merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan
habitat aslinya. Dalam skala besar akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan
berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha pertambangan
cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh banyaknya pertambangan tanpa ijin
(PETI) yang sangat merusak lingkungan.
Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity). Sampai saat ini 90 jenis
flora dan 176 fauna di Pulau Sumatera terancam punah. Populasi orang-utan di Kalimantan
menyusut tajam, dari 315.000 ekor di tahun 1900 menjadi 20.000 ekor di tahun 2002. Hutan bakau
di Jawa dan Kalimantan menyusut tajam, disertai rusaknya berbagai ekosistem. Gambaran tersebut
menempatkan Indonesia pada posisi kritis berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union
for the Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli Indonesia belum
berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang dilatarbelakangi rendahnya kesadaran
masyarakat, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Pencemaran air semakin meningkat. Penelitian di 20 sungai Jawa Barat pada tahun 2000
menunjukkan bahwa angka BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen
Demand)nya melebihi ambang batas. Indikasi serupa terjadi pula di DAS Brantas, ditambah
dengan tingginya kandungan amoniak. Limbah industri, pertanian, dan rumah tangga merupakan
penyumbang terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan danau, situ, dan
perairan umum lainnya juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Umumnya disebabkan
karena tumbuhnya phitoplankton secara berlebihan (blooming) sehingga menyebabkan terjadinya
timbunan senyawa phospat yang berlebihan. Matinya ikan di Danau Singkarak (1999), Danau
Maninjau (2003) serta lenyapnya beberapa situ di Jabodetabek menunjukkan tingginya
sedimentasi dan pencemaran air permukaan. Kondisi air tanah, khususnya di perkotaan, juga
mengkhawatirkan karena terjadinya intrusi air laut dan banyak ditemukan bakteri Escherichia Coli
dan logam berat yang melebihi ambang batas.
Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun. Kualitas udara di 10 kota
besar Indonesia cukup mengkhawatirkan, dan di enam kota diantaranya, yaitu Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru dalam satu tahun hanya dinikmati udara bersih selama
22 sampai 62 hari saja. Senyawa yang perlu mendapat perhatian serius adalah partikulat (PM10),
karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NOx). Pencemaran udara utamanya disebabkan oleh
gas buang kendaraan dan industri, kebakaran hutan, dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Hal
ini juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di
stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons (CFCs), halon, carbon
tetrachloride, methyl bromide yang biasa digunakan sebagai refrigerant mesin penyejuk udara,
lemari es, spray, dan foam. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon (BPO) atau
ODS (ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal Protocol dan Kyoto Protocol yang
telah diratifikasi untuk ikut serta mengurangi penggunaan BPO tersebut, namun demikian sulit
dilaksanakan karena bahan penggantinya masih langka dan harganya relatif mahal.
Selain permasalahan tersebut di atas, juga terdapat berbagai permasalahan lain yang pada
akhirakhir ini justru sangat menonjol, termasuk masalah-masalah sebagai dampak dari bencana
dan permasalahan lingkungan lainnya yang terjadi karena fenomena alam yang bersifat musiman.
Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum optimal dilaksanakan. Sejak tahun
1970-an hutan telah dimanfaatkan sebagai mesin ekonomi melalui ekspor log maupun industri
berbasis kehutanan. Sistem pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan
(HPH) kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan masyarakat
setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah daerah. Saat ini sekitar 28 juta hektar hutan
produksi pengelolaannya dikuasai oleh 267 perusahaan HPH atau rata-rata 105.000 hektar per
HPH. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar
keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan
hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang
memperhatikan aspek ekonomi – sosial – lingkungan secara bersamaan.
Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum jelas. Otonomi daerah
telah merubah pola hubungan pusat–daerah. Titik berat otonomi daerah di Kabupaten/Kota
mengakibatkan pola hubungan Pemerintah Pusat–Propinsi–Kabupaten/Kota berubah, dan karena
kurang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya.
Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan
hutan secara ideal, sementara aspek kewenangan pengelolaan hutan tidak terakomodasi secara
jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, walaupun sudah menegaskan hubungan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,
pemeliharaan, pengendalian, bagi hasil, penyerasian lingkungan dan tata ruang, masih
memerlukan peraturan perundang-undangan lebih lanjut.
Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan. Hasil
hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan, seperti nilai hutan sebagai sumber air,
keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas
asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan
memiliki potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil
penelitian, nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih besar dari nilai produk kayunya. Diperkirakan nilai
hasil hutan kayu hanya sekitar 7 persen dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan
non-kayu dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan mulai meningkat,
khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya.
Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang secara
maksimal.
Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga. Wilayah laut ZEEI (Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia) yang belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan Malaysia,
Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. Sedangkan batas
laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan
timur), Malaysia, dan Timor Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum mempunyai undang-
undang tentang pengelolaan wilayah laut, termasuk lembaga yang memiliki otorita mengatur batas
wilayah dengan negara tetangga. Di samping itu, kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah
internasional juga masih lemah, sehingga merupakan kendala tersendiri yang perlu diatasi.
Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal. Sektor kelautan menyumbang sekitar
20 persen dari PDB nasional (2002). Kontribusi terbesar berasal dari migas, diikuti industri
maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata bahari, bangunan laut, dan jasa-jasa lainnya. Namun
demikian, bila dibandingkan dengan potensinya, sumber daya laut masih belum tergarap secara
optimal. Kebijakan pembangunan nasional selama ini cenderung terlalu berorientasi ke wilayah
daratan, sehingga alokasi sumber daya tidak dilakukan secara seimbang dalam mendukung
pembangunan antara wilayah darat dan laut.
Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak. Pencurian ikan
(illegal fishing), baik oleh kapal-kapal domestik dengan atau tanpa ijin maupun kapal-kapal asing
di perairan teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), menyebabkan
hilangnya sumber daya ikan sekitar 1-1,5 juta ton per tahun dengan nilai kerugian negara sekitar
US$ 2 milyar. Hal ini diperburuk oleh upaya pengendalian dan pengawasan yang belum optimal
akibat kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut. Selain itu, jumlah dan kapasitas
petugas pengawas, sistem pengawasan, partisipasi masyarakat, dan koordinasi antar instansi
terkait juga masih lemah. Sementara itu, penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing)
seperti penggunaan bahan peledak dan racun (potasium) masih banyak terjadi, yang dipicu oleh
meningkatnya permintaan ikan karang dari luar negeri dengan harga yang cukup tinggi. Kegiatan
ini menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang sangat
penting.
Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal. Indonesia memiliki banyak sekali pulaupulau
kecil, tetapi lebih dari tiga dasawarsa terakhir pulau-pulau kecil tersebut kurang atau tidak
memperoleh perhatian dan atau tersentuh kegiatan pembangunan. Pulau kecil, yang didefinisikan
sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km² yang umumnya jumlah penduduknya kurang
dari 200.000 jiwa, sangat rentan terhadap perubahan alam karena daya dukung lingkungannya
sangat terbatas dan cenderung mempunyai spesies endemik yang tinggi. Ciri lainnya adalah jenis
kegiatan pembangunan yang ada bersifat merusak lingkungan pulau itu sendiri atau
“memarjinalkan” penduduk lokal. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa pulau
kecil yang berpotensi memiliki konflik dengan pihak asing, terutama pulau-pulau kecil yang
berada di wilayah perbatasan. Pada saat ini terdapat 92 pulau-pulau kecil menjadi base point (titik
pangkal) perbatasan wilayah RI dengan 10 negara-negara tetangga. Sampai sekarang baru dengan
satu negara, yaitu Australia telah dibuat perjanjian yang menetapkan pulau-pulau kecil Nusantara
sebagai titik pangkal batas wilayah. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam
pembangunan pulau-pulau kecil yang ada, yang berbeda pola pendekatannya dengan pulau-pulau
besar lainnya. Pada saat ini telah tersusun rancangan Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas)
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang integratif sebagai dasar pengembangannya.
Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan. Banyak wilayah Indonesia yang rentan
terhadap bencana alam. Secara geografis Indonesia terletak di atas tiga lempeng aktif besar dunia
yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Disamping itu, juga merupakan wilayah
pertemuan arus panas dan dingin yang berada di sekitar Laut Banda dan Arafura. Kondisi ini, dari
satu sisi, menggambarkan begitu rentannya wilayah Indonesia terhadap bencana alam, seperti
gempa bumi, tsunami dan taufan. Apabila tidak disikapi dengan pengembangan sistem
kewaspadaan dini (early warning system) maka bencana alam tersebut akan mengancam
kehidupan manusia, flora, fauna, dan infrastruktur prasarana publik yang telah dibangun; seperti
yang terjadi di NAD, Sumatra Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam jangka menengah
ini, pengembangan kebijakan sistem mitigasi bencana alam menjadi sangat penting, yang antara
lain melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membantu mengurangi
dampak negatif bencana tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman akan “kawasan rawan
bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan secara baik, dan rencana tata
ruang yang disusun dengan memperhitungkan kawasan rawan bencana geologi dan lokasi kegiatan
ekonomi, serta pola pembangunan kota disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal. Upaya-
upaya lain yang perlu dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan mangrove dan terumbu
karang) di wilayah pesisir.
Terjadinya penurunan kontribusi migas dan hasil tambang pada penerimaan negara.
Penerimaan migas pada tahun 1996 pernah mencapai 43 persen dari APBN, dan pada tahun 2003
menurun menjadi 22,9 persen. Penurunan ini tampaknya akan terus terjadi. Cadangan minyak
bumi dewasa ini sekitar 5,8 miliar barel dengan tingkat produksi 500 juta barel per tahun. Apabila
cadangan baru tidak ditemukan dan tingkat pengurasan (recovery rate) tidak bertambah, maka
sebelas tahun lagi cadangan minyak kita akan habis. Cadangan gas-bumi-terbukti tahun 2002
sebesar 90 TCF (trillion cubic feet) baru dimanfaatkan setiap tahun 2,9 TCF saja. Rendahnya
tingkat pemanfaatan ini karena kurangnya daya saing Indonesia dalam hal suplai. Berbeda dengan
Malaysia dan Australia yang selalu siap dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru
dikembangkan setelah ada kepastian kontrak dengan pembeli, sehingga dari sisi supply readiness
Indonesia kurang bersaing. Pertambangan mineral seperti timah, nikel, bauksit, tembaga, perak,
emas, dan batubara tetap memberikan kontribusi walaupun penerimaannya cenderung menurun.
Penerimaan negara dari pertambangan pada tahun 2001 sebesar Rp2,3 triliun, tahun 2002 menjadi
Rp1,4 triliun, dan tahun 2003 Rp1,5 triliun.
Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan. Hal ini terjadi akibat belum selesainya
pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian
berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi,
pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan usaha
pertambangan yang harus dilalui.
Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan. Alokasi dana pemerintah untuk sektor
lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan
hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara,
maka upaya pendanaan alternatif harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema
DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan
green tax. Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan negara sangat
kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Selain itu,
perlu dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber pendanaan dalam negeri
dengan mengembangkan berbagai mekanisme pengelolaan pendanaan melalui lembaga keuangan
maupun lembaga independen lainnya.
Isu lingkungan global belum dipahami dan diterapkan dalam pembangunan nasional dan
daerah. Tumbuhnya kesadaran global tentang kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang
semakin buruk, telah mendesak seluruh negara untuk merubah paradigma pembangunannya, dari
ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. Untuk itu telah dihasilkan 154 perjanjian
internasional dan multilateral agreement yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan isu
lingkungan global. Indonesia telah meratifikasi 14 perjanjian internasional di bidang lingkungan
tetapi sosialisasi, pelaksanaan dan penaatan terhadap perjanjian internasional tersebut kurang
mendapat perhatian sehingga pemanfaatannya untuk kepentingan nasional belum dirasakan secara
maksimal. Selain itu, masukan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai
konvensi internasional juga masih terbatas mengingat lemahnya kapasitas institusi, sumber daya
manusia, serta sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi tersebut. Dengan aktifnya
Indonesia pada perjanjian perdagangan baik regional seperti AFTA dan APEC atau global seperti
WTO, maka pembangunan nasional dan daerah perlu mengantisipasi dampaknya terhadap
lingkungan.