Anda di halaman 1dari 6

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Insektisida Alami

Definisi insektisida menurut US EPA (United State Environmental Protection Agency) yaitu
pestisida yang targetnya adalah serangga. Adapun pestisida yaitu zat atau campuran zat yang
dimaksudkan untuk mencegah, menghancurkan, memukul mundur, atau mengurangi hama apapun.
Minyak daun cengkih dan minyak serai wangi tergolong insektisida nabati. Menurut Kardinan
(2002), insektisida nabati mudah terurai di alam (biodegradable), sehingga tidak mencemari
lingkungan, relatif aman bagi manusia dan hewan. Contoh insektisida nabati adalah tanaman cengkih
yang mengandung eugenol dan serai yang mengandung senyawa sitronelal. Rizal (2008) menyatakan
bahwa minyak cengkih bermanfaat sebagai insektisida terhadap nyamuk Culex sp. Serai wangi
bermanfaat sebagai insektisida penolak nyamuk Culex sp. dan Aedes aegypti.
Menurut Djojosumarto (2000), pengendalian serangga terbang, dapat dilakukan dengan
insektisida semprot yang mengandung racun pernapasan atau racun kontak. Serangga sasaran akan
mati bila menghirup insektisida yang mengandung racun pernafasan dalam jumlah yang cukup.
Adapun racun kontak menyebabkan kematian serangga karena kontak langsung dengan insektisida
melalui kulit (jaringan epidermis).
Harris (1987) menyatakan bahwa sitronela bersifat racun dehidrasi (desiscant) saat kontak
dengan serangga dan mati akibat kehilangan cairan terus menerus. Selain itu, Wilbraham dan Matta
(1992) diacu dalam Iffah et al. (2007), menyatakan bahwa minyak cengkih juga mengandung senyawa
racun kontak, yaitu eugenol (senyawa fenol) yang mudah terserap kulit. Menurut Huang et al. (2001),
eugenol, isoeugenol, dan metil eugenol bersifat racun kontak terhadap serangga Sitophilus zeamais
dan Tribolium castaneum. Hal ini didukung oleh pendapat Hart (1990) yang menyatakan bahwa
eugenol merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus alkohol sehingga dapat melemahkan dan
mengganggu sistem saraf. Mutchler (1991) diacu dalam Setyaningrum (2007) menerangkan bahwa
mekanisme kerja racun kontak sitronela adalah menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga
terjadi fosforilasi asam amino serin pada pusat asteratik enzim bersangkutan. Gejala keracunannya
timbul karena adanya penimbunan asetilkolin yang menyebabkan gangguan sistem saraf pusat,
kejang, kelumpuhan pernafasan, dan kematian.

2.2 Minyak Daun Cengkih

Minyak daun cengkih diperoleh dari penyulingan daun cengkih yang umumnya menggunakan
metode distilasi uap dan air. Rendemen minyak daun cengkih yang dihasilkan sebesar 1.73% dan
komponen kimianya didominasi oleh eugenol yang berkisar 80-88 % (Nuryoto et al. 2011). Adapun
menurut Ketaren (1985) kandungan eugenol berkisar 70-93%. Rata-rata rendemen minyak daun
cengkih di kalangan petani menurut Hernando (1987) adalah 1.37%, menurut Yuhono dan Suhirman
(2006) adalah 1.5-3.1% dan menurut Widyatmoko (1986) adalah 1.45%. Selain itu, komponen kimia
lain yang terkandung dalam minyak cengkih menurut Ketaren (1990) adalah betakariofilen, metil
salisilat, metil eugenol, cis-isoeugenol, trans-isoeugenol, eugenol asetat, metil n-amil keton,
seskuiterpenol dan naftalena.
Eugenol merupakan komponen utama minyak daun cengkih dengan rumus molekul C10H12O2..
Eugenol merupakan cairan tak berwarna atau kuning pucat, bila kena cahaya matahari berubah
menjadi coklat kehitaman (Wiratno 2010). Eugenol memiliki karakteristik senyawa fenol yang stabil,
yang struktur kimianya ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gugus fenol
OCH3

OH

Gambar 1. Struktur kimia eugenol (Sastrohamidjojo 2004)

2.3 Minyak Serai Wangi

Minyak serai wangi dapat diperoleh melalui proses distilasi uap. Rendemen minyak serai
wangi menurut Pandia et al. (2008) adalah 0.94% dengan kadar sitronelal 44.59%. Adapun menurut
Sastrohamidjojo (2004), rendemen minyak serai wangi dengan distilasi uap adalah 0.33% dengan
kandungan geraniol 39.9% dan hasil distilasi air adalah 0.32% dengan kandungan geraniol 33.7%.
Minyak serai wangi mengandung persenyawaan aldehid yaitu sitronelal dan persenyawaan
alkohol yaitu geraniol. Minyak serai wangi jawa mengandung geraniol, d-sitronelol dan sitronelal
hingga 36%, sitral 0.2%, dan sisanya adalah senyawa isovaleraldehid, metil neptenon, d-sitronelal,
isoamil alkohol, nerol, borneol, eugenol, geranil asetat, sitronelil asetat, sitronelil butirat, metil
eugenol, disitroneloksida, alkohol-alkohol sekuiterpen, dipenten, campuran rasemik dan l-limonen,
serta seskuisitronelal (Ketaren 1986).
Komposisi komponen kimia minyak serai wangi ditunjukkan oleh Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Komponen minyak serai wangi


Komponen minyak serai wangi Kadar (%)
Sitronelal 32 – 45
Geraniol 12 – 18
Sitronelol 12 – 15
Geraniol asetat 3–8
Sitronelil asetat 2–4
L – limonen 2–5
Elemol & seskuiiterpen lain 2–5
Elemen & kadinen 2–5
Sumber : Ketaren 1985

Ketaren (1986) menyatakan bahwa sitronelal (C10H16O) memiliki gugus aldehida dan ikatan
etilenik yang reaktif, geraniol (C10H18O) memiliki dua ikatan etilenik, dan sitronelol (C10H20O)
memiliki gugus hidroksil. Pada suhu kamar, sitronelal berupa cairan berwarna kekuningan yang
mudah menguap, bersifat sedikit larut dalam air dan dapat larut dalam alkohol dan eter. Sitronelol
berupa cairan tidak berwarna dan berbau mawar, bersifat mudah larut dalam alkohol dan eter, tetapi
sedikit larut dalam air. Geraniol berupa cairan tidak berwarna (kuning pucat) larut dalam alkohol dan
eter. Struktur kimia senyawa sitronelal, geraniol, dan sitronelol ditunjukan oleh Gambar 2.

CH3 Gugus aldehida Gugus hidroksil

OH
O
Ikatan etilenik C C OH
H
H3 C CH3

(a) (b) (c)


Gambar 2. Struktur kimia geraniol (a), sitronelal (b) dan sitronelol (c) (Ketaren 1986)

2.4 Minyak Daun Cengkih sebagai Antiserangga

Berdasarkan laporan-laporan penelitian, minyak cengkih dapat digunakan untuk mengusir atau
melumpuhkan serangga. Minyak cengkih dapat menolak nyamuk dengan dosis 0.1 ml per 30 cm2
(Trongtokit et al. 2005). Eugenol dapat membunuh larva Aedes aegypti dengan LC50 sebesar 33 mg/ℓ
(Knio 2008) dan dapat membunuh 100% Anopheles stephensi, Aedes aegypti, dan Culex
quinquefasciatus dengan dosis 7 ℓ/ha dalam waktu 30-35 menit (Bhatnagar 1993) diacu dalam
(Kegley et al. 2008).
Menurut Shola dan Kehinde (2010), uap minyak atsiri kuncup cengkih (Syzygium aromaticum)
dapat membunuh serangga jenis kumbang (Callosbruchus maculatus). Minyak atsiri cengkih tersebut
mengandung 95.75% eugenol dan 3.75% � - kariopilen. Perlakuan konsentrasi minyak kuncup
cengkih yang digunakan yaitu 0.1g, 0.2g, 0.3g, 0.4g, dan 0.5g dalam 1g zat pembawa padat (silika
gel, alumina, dan kaolin). Tingkat kematian Callosbruchus maculatus dengan konsentrasi tersebut,
yaitu 13.33%, 26.77%, 73.33 % dan 100% dalam durasi pengamatan selama 1 jam.
Supriadi (2010) telah membuat formula anti larva nyamuk. Komposisi bahan menurut invensi
ini yaitu mengandung bahan aktif minyak cengkih 5-10%, dan minyak kayu manis 5-10%. Bahan
pembawanya adalah 1g setil alkohol, 2.5g, asam stearat, 2 g gum arab, 5 ml pengemulsi tween 20, 1
ml trietanolamin, 0.5 – 1.2 g NaOH dan 0.4-0.81 g KC1 per 100 ml air suling.
Wiratno (2010), menyatakan bahwa Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro)
Badan Litbang Pertanian telah berhasil membuat beberapa formula pestisida nabati berbahan aktif
eugenol dari cengkih yang dikombinasikan dengan senyawa lainnya. Formula tersebut diberi nama
CEES, CEKAM, dan Bio- Protector-1 yang berperan aktif sebagai insektisida. Minyak cengkih efektif
mengendalikan hama keong mas, dan hama gudang seperti Tribolium castaneum dan hama tanaman
seperti Aphis gossypii, Aphis. craccivora, Ferissia virgata, dan Valanga nigricornis. Zeng et al.
(2010) juga menyatakan bahwa minyak cengkih dapat mengusir hama gudang yaitu Rhyzopertha
dominica, Sitophilus oryzae dan Tribolium castaneum.

2.5 Minyak Serai Wangi sebagai Antiserangga

Secara umum, minyak serai wangi digunakan dalam produk antiserangga berkisar antara 0.05%
dan 15 %. Aplikasinya dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan dengan minyak lavender,
cengkih, bawang putih, dan minyak cedar (Barnard 2000). Wahyuningtyas (2004) menyatakan bahwa
minyak serai wangi pada konsentrasi 2.5% dapat menolak nyamuk Aedes aegypti Linnaeus. Kiswanti
(2009) telah melakukan uji efikasi produk gel penolak nyamuk terhadap 25 ekor nyamuk Culex
quinquefasciatus. Hasil penelitiannya menunjukan jumlah nyamuk yang jatuh setelah 6 jam dan
dinyatakan mati, pada konsentrasi serai wangi 10% adalah 26,67%, pada konsentrasi 15% adalah
52% dan pada konsentrasi 20% mencapai 60%.
Hasil penelitian Sukma (2009), yaitu obat nyamuk elektrik berbahan aktif minyak serai wangi
memiliki efektivitas sebagai anti nyamuk Aedes aegypti dengan LC90 adalah 25.63 ± 2.30%. Artinya,
90 % nyamuk yang mati dari 25 ekor nyamuk yang diujinya, disebabkan oleh konsentrasi minyak
serai wangi sebesar 25,63%. Selain itu, hasil penelitian Pandia et al. (2008) menunjukkan bahwa
minyak serai wangi dapat membunuh delapan dari 10 nyamuk Aedes aegypti selama pengamatan 30
menit. Ini dilakukan dengan cara menyemprotkan 10% minyak serai wangi yang dicampurkan dalam
air. Rondonuwu dan Langi (2006), menyatakan bahwa pada konsentrasi minyak serai wangi 0.25%
cukup untuk membunuh larva nyamuk Aedes spp. dan dapat mencegah nyamuk bertelur, serta
memiliki daya penolakan dalam radius kurang dari 1 m.
Hasil penelitian Fardaniyah (2007) menunjukan bahwa terjadi penurunan daya hinggap lalat
dimulai dari konsentrasi 2.5% dan penurunan jumlah larva yang signifikan pada ikan mas yang
dilumuri minyak serai wangi mulai dari konsentrasi 2.5% hingga 40% dibandingkan terhadap kontrol.
Lalat yang diuji adalah Lalat Hijau (Chrysomya megacephala [Fab] ) sebanyak 50 ekor. Perlakuan
konsentrasi yang digunakan yaitu 0%, 2.5%, 5%, 10%, 20%, 40%, yang masing-masing memiliki
daya proteksi 93.6%, 94.2%, 96.6%, 97%, 98.6%, dan 99.8%, dalam pengamatan 1 jam.

2.6 Nyamuk Aedes Aegypti dan Lalat

Nyamuk Aedes aegypti L. memiliki morfologi khusus. Nyamuk dewasa berukuran kecil,
berwarna hitam dengan bintik-bintik putih di tubuhnya dan cincin-cincin putih 12 dikakinya
(Jirakanjanakit dan Dujardin 2005). Ciri khas nyamuk Aedes aegypti dewasa adalah "Lyre Marking"
yaitu strip putih keperakan di bagian dorsal, thoraks, dan warna keputihan pada segmen terakhir di
kaki belakang (Wijana dan Ngurah 1982).
Aedes aegypti adalah vektor alamiah dari virus dengue penyebab demam berdarah. Aedes
aegypti termasuk nyamuk "day biter" (aktif menghisap makanan di siang hari), terutama nyamuk yang
masih muda (umur 1-8 hari) (Wijana dan Ngurah 1982). Waktu aktif menggigitnya pada pukul 08.00-
12.00 dan 15.00-17.00, serta lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah. Aedes
aegypti juga dapat menularkan penyakit yellow fever dan chikungunya. Suhu optimum untuk
hidupnya berkisar antara 25- 27ºC (Cahyati dan Suharyo 2006).
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Penyebaran Aedes aegypti
di Asia Tenggara ditemukan hampir di semua daerah perkotaan dan pedesaan. Selain itu,
penyebarannya juga ada di daerah agak gersang seperti India. Aedes aegypti merupakan vektor virus
dengue di perkotaan dan populasinya berubah-ubah sesuai dengan curah hujan (Cahyati dan Suharyo
2006).
Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) ordo diptera yang mempunyai sepasang sayap
berbentuk membran. Lalat yang umum dijumpai adalah lalat rumah atau Musca domestica. Lalat
dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada musim dingin. Lalat dapat menjadi
vektor penularan penyakit saluran pencernaan seperti kolera, tifus, dan disentri. Penularan penyakit
dapat terjadi melalui semua bagian dari tubuh lalat seperti bulu badan, bulu pada anggota gerak,
muntahan serta kotorannya (Santi 2001).
Lalat (Musca domestica) bersifat kosmopolitan dan merupakan vektor (penular) secara
mekanis yang menyebarkan berbagai jenis penyakit, seperti virus, bakteri, protozoa, cacing, amuba
dan lainnya (Brown 1979 dan Kettle 1984). Lalat memiliki bulu-bulu halus yang terdapat disekujur
tubuhnya yang memungkinkan dapat berperan sebagai vektor penyakit, karena perilaku lalat yang
suka berpindah-pindah dari suatu makanan (biasanya bahan organik yang membusuk ataupun kotoran)
ke makanan lain untuk makan dan bertelur (Levine 1990) diacu dalam Kardinan A (2007).

2.7 Formula Antiserangga

Secara umum, formulasi insektisida tersusun atas bahan aktif (active agents), bahan pembawa
(carrier), dan bahan pembantu (adjuvant) (Djojosumarto 2008). Formula antiseranggga ini dibuat
dari bahan aktif dan bahan pembawa yang berbeda sifat polaritasnya. Minyak atsiri bersifat nonpolar,
sedangkan air bersifat polar. Oleh karena itu, formulanya dibuat dalam sistem emulsi minyak dalam
air dengan menggunakan pengemulsi.
Emulsi adalah dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain yang tidak bercampur
dalam keadaan biasa. Molekul-molekul kedua cairan tersebut bersifat saling antagonistik karena
perbedaan sifat kepolarannya. Emulsi merupakan suatu sistem heterogen yang mengandung dua fasa
cairan yaitu fasa terdispersi dan fasa pendispersi yang berbentuk butiran-butiran (droplets) (Suryani
et al. 2000).
Pemilihan pengemulsi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan nilai hidrofil lipofil balance
(HLB) yang pada dasarnya merupakan indikasi persentase berat dari bagian hidrofilik molekul
pengemulsi nonionik. Nilainya yang semakin tinggi menunjukkan bahwa sifat pengemulsi yang
semakin suka pada air (hidrofilik). Kisaran nilai HLB untuk emulsi minyak dalam air (O/W) berkisar
antara 8-18. Polisorbat 80 memiliki nilai HLB 15 (Suryani et al. 2000). Nilai HLB polietilen glikol 40
hidrogenated castor oil adalah 13 ( Chesam 2011). Dengan demikian kedua pengemulsi tersebut dapat
digunakan sebagai pengemulsi minyak dalam air.
Polisorbat adalah pengemulsi hidrofilik yang memiliki kemampuan kuat sebagai surface-active
agents (surfactants) untuk mengurangi tegangan antarmuka dalam air, minyak, dan campuran lainnya
untuk meningkatkan kualitas interaksi antar campuran dan menaikkan stabilitas emulsi. Polisorbat
atau Polyoxyethylene sorbitan esters adalah hasil pembentukan reaksi sorbitan ester dengan etilen
oksida. Sorbitan fatty-acid esters (sorbitan ester) adalah sorbitol turunan dari mono dan digliserida
yang sangat larut dalam air dan memiliki rumus molekul C64H124O26 (O’Brien 2004).
Polisorbate 80 adalah jenis surfaktan nonionik dan pengemulsi turunan dari polyoxylated
sorbitan dan asam oleat. Wujud polisorbat 80 adalah cairan berwarna kuning jernih. Gugus hidrofilik
dalam senyawa ini adalah komponen polieter yang dikenal sebagai polyoxyethylene yang merupakan
polimer dari ethylene oxide (Chou 2005).
Polyethilenglicol-40 Hydrogenated Castor oil merupakan pengemulsi nonionik dengan HLB
13, berwarna putih sampai kekuningan, dan memiliki rumus molekul C57H110O9(CH2CH2O)n.
Umumnya, PEG-40 Hydrogenated Castor oil ( fixolite ), digunakan untuk emulsi minyak dalam air.
Aplikasinya banyak digunakan sebagai agen pengemulsi, agen penstabil, dan agen pengondisian
viskositas formula parfum atau kosmetik (Chesam, 2011).
Cara penambahan bahan pengemulsi dalam proses emulsifikasi menurut Suryani et al. (2000)
dapat dilakukan dengan metode agen dalam air dan metode agen dalam minyak. Teknik agen dalam
air biasanya menghasilkan emulsi yang agak berkoarse dengan ukuran partikel yang bervariasi.
Emulsi yang terbentuk bisa menjadi tidak stabil. Metode agen dalam minyak biasanya menghasilkan
emulsi yang seragam dengan diameter butiran rata-rata adalah 0.5 mikron yang menunjukan tipe
emulsi yang paling stabil.
Metode agen dalam minyak dilakukan dengan cara melarutkan agen pengemulsi dalam fasa
minyak, yang bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama campuran agen dalam minyak ditambahkan
langsung ke dalam air sehingga terbentuk emulsi minyak dalam air (o/w atau oil in water) secara
spontan. Kedua, air ditambahkan langsung ke dalam campuran agen dalam minyak sehingga
terbentuk emulsi sistem air dalam minyak (w/o atau water in oil). Penambahan air lebih banyak dapat
mengubah tipe w/o menjadi tipe o/w, yang biasa disebut inversi.
Teknik emulsifikasi yang tepat bergantung pada jenis dan rasio bahan yang digunakan, fasa
terdispersi, medium pendispersi dan pengemulsi. Selain itu, sifat alami minyak dan agen pengemulsi
merupakan faktor utama dalam menentukan stabilitas emulsi yang dihasilkan. Cara agar sistem
emulsi menjadi stabil dapat dilakukan dengan penyamaan densitas fasa pendispersi dan terdispersi,
atau dengan mengurangi ukuran butiran fasa internal menjadi sangat kecil. Salah satu tekniknya
adalah dengan pengadukan yang cepat atau dengan sonikasi. Cara lain adalah dengan menggabungkan
bahan yang larut dalam air seperti alkohol ke dalam fasa minyak. Alkohol akan keluar dari fasa
minyak menuju fasa air ketika minyak terdispersi dalam air, sehingga butiran yang terbentuk akan
berkurang volumenya. Etil atau metil alkohol dapat mengurangi viskositas fasa minyak dan juga
membantu menghasilkan ukuran partikel yang kecil.
Kualitas formula dalam bentuk emulsi dapat menurun akibat terjadinya pembusaan (foaming).
Udara akan terperangkap dalam formula membentuk gelembung-gelembung kecil yang akan
mempercepat terjadinya oksidasi (Nugraha et al. 2004). Oksidasi tersebut dapat membuat produk
cepat rusak. Vaselin menurut (Prasetyo 2011) dapat digunakan untuk menghambat pembentukan busa
(defoaming), sebagai agen pendispersi dan agen pembakar (propellant). Penambahan vaselin dapat
membuat produk yang disemprotkan memiliki butiran semprotan yang halus, merata, atau berbentuk
kabut. International Programme on Chemical Safety dan Commission of the European Communities
(2002) menerangkan bahwa vaselin merupakan subtansi yang terdiri atas hidrokarbon jenuh dengan
jumlah atom karbon lebih dari 25. Vaselin memiliki suhu leleh 36-60oC, densitas 0,9 g/cm3, dan tidak
larut dalam air.

Anda mungkin juga menyukai