2.1. Pengendalian Vektor Penular Penyakit 2.1.1 Pengawasan Institusi yang berwenang
dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian vektor di pelabuhan adalah Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP). KKP merupakan UPT pusat yang berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.356/Menkes/Per/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Kesehatan Pelabuhan yang menyatakan bahwa tugas Kantor Kesehatan Pelabuhan adalah
melaksanakan pencegahan masuk keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular
potensial wabah, pelaksanaan kekarantinaan, pelayananan kesehatan terbatas di
wilayah pelabuhan/bandara dan lintas batas darat serta pengendalian dampak risiko
lingkungan (Depkes RI, 2008). Selanjutnya salah satu fungsi Kantor Kesehatan
Pelabuhan sesuai Permenkes RI. No. 356/Menkes/Per/IV/2008 tersebut di atas adalah
pelaksanaan pengawasan alat angkut dan pengendalian vektor penular penyakit dan
risiko lingkungan di wilayah pelabuhan/bandara dan lintas batas darat. 2.1.2
Pengertian Vektor Menurut WHO (2005), vektor adalah serangga atau hewan lain yang
biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu risiko bagi kesehatan
masyarakat.
9
10
Menurut
Iskandar
(1989),
vektor
adalah
anthropoda
yang
dapat
2.1.4 Vektor Penyebab Penyakit Menurut Nafika (2008), hewan yang termasuk ke dalam
vektor penyakit antara lain nyamuk, lalat dan kecoa. Vektor nyamuk yang terdapat di
pemukiman perkotaan secara umum ada tiga jenis yaitu Culex quinquefasciatus,
Anophele dan Aedes aegypti. Yang kedua adalah lalat, jenis serangga ini memiliki
keunikan dibandingkan dengan serangga lain, yaitu biasa meludahi makanannya
sendiri, lalat hanya bisa makan dalam kondisi cair. Sedangkan reaksi lalat terhadap
makanan akan mengeluarkan enzim agar makanan tersebut dapat menjadi cair, setelah
makanan tersebut cair akan disedot masuk ke dalam perut lalat sehingga akan
memudahkan bakteri dan virus turut masuk ke dalam saluran pencernaannya dan
berkembang di dalamnya. Jenis yang ketiga adalah tikus dan mencit yang termasuk
hewan mengerat (rodensia). Jenis ini lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian,
perusak barang di gudang dan hewan pengganggu/menjijikkan di perumahan. Belum
banyak diketahui dan disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan
dan menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan.
Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup di dekat tempat hidup atau kegiatan
manusia ini perlu lebih diperhatikan dalam penularan penyakit. Selain ketiga hewan
tersebut diatas, serangga lainnya juga dapat menularkan penyakit. Dalam pengertian
yang luas, organisme yang tidak termasuk keluarga serangga juga termasuk vektor,
seperti laba-laba, keong dan yang lainnya dijadikan perantara sebagai parasit pada
manusia dan binatang penghuni gudang dan berperan sebagai patogen terhadap penyakit
tertentu. Beberapa vektor penyakit memiliki dampak terhadap kesehatan
masyarakat, antara lain: Nyamuk Aedes aegypti (menyebabkan penyakit demam berdarah
dan cikungunya), Culex quinquefasciatus (menyebabkan penyakit disentri), dan
Anopheles gambiae (menyebabkan penyakit malaria). Lalat menyebabkan penyakit
gastrointestinal pada manusia. Larva dan lalat dewasa (Musca domestica) sering
termakan ayam, kemudian menjadi “hospes intermedier” cacing pita pada ayam dan
kalkun. Tikus dan mencit, penyakit bersumber rodensia yang disebabkan oleh berbagai
agen penyakit seperti virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing dapat
ditularkan kepada manusia secara langsung. sedangkan secara tidak langsung dapat
melalui feses, urin dan ludah, melalui gigitan vektor ektoparasit tikus dan mencit
(kutu, pinjal, caplak, tungau). Disamping itu kecoa juga merupakan vektor penularan
penyakit yang cukup penting yang sering hidup di sekitar kita.
2.1.5 Pengendalian kecoa Jenis-jenis kecoa yang menjadi perhatian dalam kesehatan
masyarakat dan tempat hidupnya pada umumnya berada di dalam lingkungan manusia dan
khususnya di dalam lingkungan kapal antara lain : German cockroach (Blatella
germanica), American cockroach (Periplaneta americana), Oriental cockroach (Blatta
orientalis) Brown-banded cockroach (Supella longipalpa), Australian cockroach
(Periplaneta fuliginosa) dan Brown cockroach (Periplanetabrunnea) (Aryatie, 2005).
Menurut Depkes RI (2002), kecoa merupakan serangga yang hidup di dalam rumah,
restoran, hotel, rumah sakit, alat angkut, gudang, kantor, perpustakaan, dan lain-
lain. Serangga ini sangat dekat hidupnya dengan manusia, menyukai bangunan
yang hangat, lembab dan banyak terdapat makanan, hidupnya berkelompok, dapat
terbang aktif pada malam hari seperti di dapur, tempat penyimpanan makanan, sampah,
saluran-saluran air kotor. Umumnya menghindari cahaya, siang hari bersembunyi di
tempat gelap dan sering bersembunyi di celah-celah. Serangga ini dikatakan
pengganggu karena mereka biasa hidup di tempat kotor dan dalam keadaan tertentu
mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap. Kecoa mempunyai peranan yang cukup
penting dalam penularan penyakit. Peranan tersebut antara lain : a) Sebagai vektor
mekanik bagi beberapa mikro organisme patogen. b) Sebagai inang perantara bagi
beberapa spesies cacing. c) Menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi alergi seperti
dermatitis, gatal-gatal dan pembengkakan pada kelopak mata. Menurut Aryatie (2005),
penularan penyakit dapat terjadi melalui bakteri atau kuman penyakit yang terdapat
pada sampah atau sisa makanan, dimana kuman tersebut terbawa oleh kaki atau bagian
tubuh lainnya dari kecoa, kemudian melalui organ tubuh kecoa, selanjutnya kuman
penyakit tersebut mengkontaminasi makanan. Vektor yang paling sering dijumpai di
atas kapal adalah kecoa. Pada umumnya kecoa merupakan binatang malam. Pada siang
hari mereka bersembunyi di dalam lubang atau celah-celah tersembunyi. Kecoa yang
menjadi permasalahan dalam kesehatan manusia adalah kecoa yang sering
berkembangbiak dan hidup di sekitar makhluk hidup yang sudah mati. Aktivitas kecoa
kebanyakan berkeliaran di dalam ruangan melewati dinding, pipa-pipa atau tempat
sanitasi. Kecoa dapat mengeluarkan zat yang baunya tidak sedap sehingga kita dapat
mendeteksi tempat hidupnya. Jika dilihat dari
kebiasaan dan tempat hidupnya, sangat mungkin kecoa dapat menularkan penyakit pada
manusia. Kuman penyakit yang menempel pada tubuhnya yang dibawa dari tempat-tempat
yang kotor akan tertinggal atau menempel di tempat yang dia hinggapi. Cara
pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002), ditujukan terhadap kapsul telur dan
kecoa : 1) Pembersihan kapsul telur yang dilakukan dengan cara : Mekanis yaitu
mengambil kapsul telur yang terdapat pada celah-celah dinding, celah-celah almari,
celah-celah peralatan, dan dimusnahkan dengan
Strategi pengendalian kecoa ada 4 cara (Depkes RI, 2002) : 1) Pencegahan Cara ini
termasuk melakukan pemeriksaan secara teliti barang-barang atau bahan makanan yang
akan dinaikkan ke atas kapal, serta menutup semua celah-celah, lobang atau tempat-
tempat tersembunyi yang bisa menjadi tempat hidup kecoa dalam dapur, kamar mandi,
pintu dan jendela, serta menutup atau memodifikasi instalasi pipa sanitasi. 2)
Sanitasi Cara yang kedua ini termasuk memusnahkan makanan dan tempat tinggal kecoa
antara lain, membersihkan remah-remah atau sisa-sisa makanan di lantai atau rak,
segera mencuci peralatan makan setelah dipakai, membersihkan secara rutin tempat-
tempat yang menjadi persembunyian kecoa seperti tempat sampah, di bawah kulkas,
kompor, furniture, dan tempat tersembunyi lainnya. Jalan masuk dan tempat hidup
kecoa harus ditutup, dengan cara memperbaiki pipa yang bocor, membersihkan saluran
air (drainase), bak cuci piring dan washtafel. Pemusnahan tempat hidup kecoa dapat
dilakukan juga dengan membersihkan lemari pakaian atau tempat penyimpanan kain,
tidak menggantung atau segera mencuci pakaian kotor dan kain lap kotor. 3) Trapping
Perangkap kecoa yang sudah dijual secara komersil dapat membantu untuk menangkap
kecoa dan dapat digunakan untuk alat monitoring. Penempatan perangkap
kecoa yang efektif adalah pada sudut-sudut ruangan, di bawah washtafel dan bak cuci
piring, di dalam lemari, di dalam basement dan pada lantai di bawah pipa saluran
air. 4) Pengendalian dengan insektisida Insektisida yang banyak digunakan untuk
pengendalian kecoa antara lain : Clordane, Dieldrin, Heptachlor, Lindane, golongan
organophosphate majemuk, Diazinon, Dichlorvos, Malathion dan Runnel. Penggunaan
bahan kimia (insektisida) ini dilakukan apabila ketiga cara di atas telah
dipraktekkan namun tidak berhasil. Disamping itu bisa juga diindikasikan bahwa
pemakaian insektisida dapat dilakukan jika ketiga cara tersebut di atas
(pencegahan, sanitasi, trapping) dilakukan dengan cara yang salah atau tidak pernah
melakukan sama sekali. Celah-celah atau lobanglobang dinding, lantai dan lain-lain
merupakan tempat persembunyian yang baik. Lobang-lobang yang demikian hendaknya
ditutup/ditiadakan atau diberi insektisida seperti Natrium Fluoride (beracun bagi
manusia), serbuk Pyrethrum dan Rotenone, Chlordane 2,5 %, efeknya baik dan tahan
lama sehingga kecoa akan keluar dari tempat-tempat persembunyiannya. Tempat-tempat
tersebut kemudian diberi serbuk insektisida dan apabila infestasinya sudah sangat
banyak maka pemberantasan yang paling efektif adalah dengan fumigasi. 2.1.6
Pengendalian pinjal pada tikus Pinjal tikus merupakan vektor penyakit pes. Penyakit
ini merupakan penyakit zoonosa terutama pada tikus dan rodent lain yang dapat
ditularkan kepada manusia. Pes juga merupakan penyakit yang bersifat akut
disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Pes dikenal ada 2 macam yaitu pes bubo
ditandai dengan demam tinggi, tubuh
menggigil, perasaan tidak enak, malas, nyeri otot, sakit kepala hebat, pembengkakan
kelenjer (lipat paha, ketiak dan leher). Sedangkan pes pneumonic ditandai dengan
gejala batuk hebat, berbuih, air liur berdarah, sesak nafas dan susah bernafas
(Simanjuntak, 2006). Menurut Richardson (2003), bakteri Yersinia pestis endemik
pada rodent liar dan disebarkan oleh gigitan pinjal, ketika terlalu banyak tikus
yang mati akibat pes, maka pinjal tersebut dapat menggigit tikus urban atau manusia
dan menyebarkan infeksi. Sedangkan menurut Depkes RI (2000), secara alamiah
penyakit pes dapat bertahan atau terpelihara dalam rodent. Bakteri Yersinia pestis
yang terdapat di dalam darah tikus terjangkit dapat ditularkan ke hewan lain atau
manusia melalui gigitan pinjal yang berperan sebagai vektor penyakit pes. Penularan
pes dapat juga terjadi di atas kapal dan menurut Chin (2006) : a) Direct contact
yaitu penularan pes ini dapat terjadi kepada seseorang atau para ABK melalui
gigitan pinjal jika ditemukan tikus mati tersangka pes di atas kapal. b) Penularan
pes dapat terjadi pada orang atau para ABK, karena digigit oleh pinjal infeksi
setelah menggigit tikus domestik/komersial yang mengandung kuman pes. d) Droplet
penderita pes paru-paru kepada orang lain melalui percikan ludah atau pernapasan,
penularan pes melalui gigitan pinjal akan mengakibatkan pes bubo dan pes bubo dapat
berlanjut menjadi pes paru-paru (sekunder pes). Menurut Santi (2004), pinjal bisa
menjadi vektor penyakit pada manusia yang penting misalnya penyakit pes (sampar =
plague) dan murine typhus yang dipindahkan dari tikus ke manusia. Disamping itu
pinjal bisa berfungsi sebagai
penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing pita, anjing dan tikus yang
kadangkadang juga bisa menginfeksi manusia. Pinjal bisa juga menjadi vektor untuk
penyakit pes (kira-kira 60 species). Beberapa species pinjal menggigit dan
menghisap darah manusia. Vektor terpenting untuk penyakit pes dan Murine typhus
ialah pinjal tikus Xenopsylla cheopis. Kuman pes, Pasteurella pestis, berkembang
biak dalam tubuh tikus sehingga akhirnya menyumbat tenggorokan pinjal itu. Kalau
pinjal mau mengisap darah maka ia harus terlebih dulu muntah untuk mengeluarkan
kumankuman pes yang menyumbat tenggorokannya. Muntah ini masuk dalam luka gigitan
dan terjadi infeksi dengan Pasteurella pestis. Pinjal-pinjal yang tersumbat
tenggorokannya akan lekas mati. Menurut Soejoedi (2005) yang mengutip pendapat
Ehler dan Stell, keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara dan yang
paling umum adalah adanya kerusakan barang atau alat. Tanda tanda berikut merupakan
penilaian adanya kehidupan tikus yaitu: a) Gnawing (bekas gigitan) b) Burrows
(galian /lubang tanah) c) Dropping (kotoran tikus) d) Runways (jalan tikus) e) Foot
print (bekas telapak kaki) f) Tanda lain : Adanya bau tikus, bekas urine dan
kotoran tikus, suara, bangkai tikus.
dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor di luar
perilaku (non-perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga
kelompok faktor : (1) Faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup
pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur
lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat; (2) Faktor pendukung
(enabling factors) yaitu tersedianya sumber daya, sarana/prasarana kesehatan dan
kemudahan untuk mencapainya; (3) Faktor pendorong (reinforcing factors) berasal
dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang termasuk keluarga, teman,
guru, pengambil kebijakan dan petugas kesehatan. Pendidikan kesehatan mempunyai
peranan penting
dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor tersebut agar searah dengan
tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap
program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya. Determinan perilaku dapat
juga dibedakan menjadi dua, yakni faktor internal yang merupakan karakteristik
orang yang bersangkutan seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, dan
sebagainya. Sedangkan faktor ke dua adalah faktor eksternal baik lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Beberapa
karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan,
tanggung jawab dan status masa kerja (Robbin, 1996). Sedangkan menurut Ajzen (1991)
dalam teori perilaku terencana (Theory of planned behavior), sikap dan kepribadian
seseorang berpengaruh terhadap perilaku hanya jika secara tidak langsung
dipengaruhi beberapa faktor yang terkait erat dengan perilaku. Perilaku kesehatan
bertitik tolak dari adanya dukungan sosial dari masyarakat sekitar, ada tidaknya
informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan, otonomi pribadi yang
bersangkutan dalam mengambil tindakan atau keputusan dan situasi yang memungkinkan
untuk bertindak atau tidak bertindak (Kar dalam Notoatmodjo, 2003). 1) Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Blum, pengetahuan merupakan hasil
dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan teliga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over
behavior). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan indera peraba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif : a. Tahu (know) Tahu
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk
kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu
yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b.
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang dilakukan dan dapat mengintepretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi
yang harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya
terhadap yang dipelajari.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2003). (1)
Komponen pokok sikap Menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Alport,
sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu ; kepercayaan (keyakinan), ide dan
konsep terhadap suatu obyek.kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek,
dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). (2) Jenis sikap Menurut Purwanto
(1999), sikap dapat dibedakan dalam : a) Sikap positif yaitu kecenderungan
pendidikan mendekati, menyenangi,
menghindari, membenci dan tidak menyukai obyek tertentu. (3) Tingkatan sikap
Menurut Notoatmodjo (2003), berbagai tingkatan sikap adalah :
Pengukuran sikap dapat juga dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung, dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap
suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan
hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden. (4) Ciri-ciri sikap Sebagaimana
dikemukakan Walgito (2001), ciri-ciri sikap yaitu : a. Sikap bukan dibawa sejak
lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan seseorang dalam
hubungan dengan obyeknya. b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat
dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila
terdapat keadaankeadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada
seseorang tersebut. c. Sikap tidak berdiri sendiri tetapi senantiasa mempunyai
hubungan tertentu terhadap sesuatu. d. Obyek sikap itu dapat merupakan satu hal
tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. e. Sikap
mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. 3) Tindakan Menurut Notoatmodjo
(2003), terdapat hubungan yang erat antara sikap dan tindakan yang didukung oleh
pengertian sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk
bertindak. Tindakan nampak lebih konsisten dengan sikap bila sikap individu sama
dengan sikap kelompok dimana ia adalah bagiannya
atau anggotanya. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Tingkat-tingkat tindakan atau praktek, yaitu: a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil
adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat memilih
makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya. b. Respon terpimpin (guided
response). Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat
memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotongnya, lamanya
memasak, menutup pancinya dan sebagainya. c. Mekanisme (mechanism). Apabila
seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu
itu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. d. Adaptasi
(adaptation) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan sudah berkembang dengan
baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu
dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,
hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
2.3. Landasan Teori Konsep umum yang dijadikan sebagai landasan teori adalah konsep
Green dan Kreuter (2005), yang digunakan untuk menilai tindakan individu atau
kelompok masyarakat yang dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor predisposisi
(pengetahuan individu, sikap, keyakinan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur lain
yang ada dalam individu), faktor pendukung (tersedianya sarana kesehatan dan
kemudahan untuk mencapainya) dan faktor pendorong (keluarga, teman, panutan, guru,
petugas kesehatan dan pembuat keputusan). Disamping itu dikombinasikan dengan teori
Kar yang dikutip Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan bertitik tolak dari niat
seseorang, dukungan sosial, ada tidaknya informasi dan situasi yang memungkinkan
untuk bertindak. Sedangkan menurut Ajzen (1991), sikap dan kepribadian seseorang
berpengaruh terhadap perilaku tertentu. Selanjutnya
Gambar 2.1 Kerangka Teori Determinan Perilaku Individu, Kelompok dan Komunitas
Sumber : Green dan Kreuter (2005), Kar dalam Notoatmodjo (2003), Notoatmodjo (2003)
dan Robbin (1996).
2.4. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka peneliti
Faktor Pendorong Dukungan Teman Seprofesi Dukungan Kapten Kapal Dukungan Petugas
KKP
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Variabel independen dalam penelitian ini
adalah faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kebangsaan, usia, masa kerja),
faktor pendukung (ketersediaan sarana, ketersediaan waktu) dan faktor pendorong
(dukungan teman seprofesi,
dukungan kapten kapal, dukungan petugas KKP). Sedangkan variabel dependen adalah
pengendalian vektor penular penyakit.