PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
1. Untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang suicide
2. Untuk memenuhi tugas referat kepanitraan klinik di Bagian Ilmu kejiwaan RSUD
HB sannin padang 2017.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Skor 0 : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang
Skor 1 :Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak
mengancam bunuh diri.
Skor 2 :Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri.
Skor 3 :Mengancam bunuh diri, misalnya “Tinggalkan saya sendiri atau saya
bunuh diri”.
2.4 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Tidak ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri dan
memberikan petunjuk mengenai cara melakukan intervensi yang terapeutik.
Teori Perilaku menyakini bahwa pencederaan diri merupakan hal yang
dipelajari dan diterima pada saat anak-anak dan masa remaja. Teori psikologi
memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma
interpersonal, dan kecemasan berkepanjangan yang mungkin dapat memicu
seseorang untuk mencederai diri. Teori Interpersonal mengungkapkan bahwa
mencederai diri sebagai kegagalan dari interaksi dalam hidup, masa anak-anak
mendapatkan perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (stuart dan
sundeen, 1995).
Faktor predisposisi yang lain adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
komunikasi (mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan
perasaan yang tidak stabil.
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut:
Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan
bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.
Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko
bunuh diri adalah antipati, impulsive (daya pendorong yang tiba-tiba),
dan depresi.
Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
Faktor biokimia
Data menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti
serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG)
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk
menyelesaikan masalah.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya bunuh diri, terbagi menjadi:
1. Faktor genetic
Ada yang berpikir bahwa bawaan genetik seseorang dapat menjadi faktor yang
tersembunyi dalam banyak tindakan bunuh diri. Memang gen memainkan
peranan dalam menentukan temperamen seseorang, dan penelitian
menyingkapkan bahwa dalam beberapa garis keluarga, terdapat lebih banyak
insiden bunuh diri ketimbang dalam garis keluarga lainya. Namun,
“kecenderungan genetik untuk bunuh diri sama sekali tidak menyiratkan
bahwa bunuh diri tidak terelakan”. kata Jamison.
Kondisi kimiawi otak pun dapat menjadi faktor yang mendasar. Dalam otak.
miliaran neuron berkomunikasi secara elektrokimiawi. Di ujung-ujung cabang
serat syaraf, ada celah kecil yang disebut sinapsis yang diseberangi oleh
neurotransmiter yang membawa informasi secara kimiawi. Kadar sebuah
neurotransmiter, serotonin, mungkin terlibat dalam kerentanan biologis
seseorang terhadap bunuh diri. Buku Inside the Brain menjelaskan, “Kadar
serotonin yang rendah dapat melenyapkan kebahagiaan hidup, mengurangi
minat seseorang pada keberadaanya serta meningkatkan resiko depresi dan
bunuh diri.”. Akan tetapi, faktor genetik tidak bisa dijadikan alasan yang
mengharuskan seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri.5
2. Faktor kepribadian
Salah satu faktor yang turut menentukan apakah seseorang itu punya potensi
untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah faktor kepribadian. Para ahli
mengenai soal bunuh diri telah menggolongkan orang yang cenderung untuk
bunuh diri sebagai orang yang tidak puas dan belum mandiri, yang terus-
menerus meminta, mengeluh, dan mengatur, yang tidak luwes dan kurang
mampu menyesuaikan diri. Mereka adalah orang yang memerlukan kepastian
mengenai harga dirinya, yang akhirnya menganggap dirinya selalu akan
menerima penolakan, dan yang berkepribadian kekanak-kanakan, yang
berharap orang lain membuat keputusan dan melaksanakannya untuknya
(DomanLum).
Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis bahwa
mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang
lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarganya
menolak dan tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya
merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Pengaruh dari latar belakang kehidupan di masa lampau ini disebut faktor
predisposesi (faktor bawaan). Dengan memahami konteks yang demikian,
dapatlah kita katakan bahwa akar masalah dari perilaku bunuh diri sebenarnya
bukanlah seperti masalah-masalah yang telah disebutkan di atas (ekonomi,
putus cinta, penderitaan, dan sebagainya). Sebab masalah-masalah tersebut
hanyalah faktor pencetus/pemicu (faktor precipitasi). Penyebab utamanya
adalah faktor predisposisi. Menurut Widyarto Adi Ps, seorang psikolog,
seseorang akan jadi melakukan tindakan bunuh diri kalau faktor kedua,
pemicu (trigger)-nya, memungkinkan. Tidak mungkin ada tindakan bunuh diri
yang muncul tiba-tiba, tanpa ada faktor predisposisi sama sekali. Akumulasi
persoalan fase sebelumnya akan terpicu oleh suatu peristiwa tertentu.
3. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri adalah kurangnya dukungan
sosial dari masyarakat sekitar, kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara
yang menyebabkan trauma psikologis, dan konflik berat yang memaksa
masyarakat mengungsi. Psikologis seseorang sangat menentukan dalam
persepsi akan bunuh diri sebagai jalan akhir/keluar. Dan psikologis seseorang
tersebut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tertentu juga.
4. Faktor ekonomi
Masalah ekonomi merupakan masalah utama yang bisa menjadi faktor
seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Ekonomi sangat berpengaruh dalam
pemikiran dan kelakuan seseorang. Menurut riset, sebagian besar alasan
seseorang ingin mengakhiri hidupnya/ bunuh diri adalah karena masalah
keuangan/ekonomi. Mereka berangggapan bahwa dengan mengakhiri hidup,
mereka tidak harus menghadapi kepahitan akan masalah ekonomi. Contohnya,
ada seorang ibu yang membakar dirinya beserta anaknya karena tidak
memiliki uang untuk makan. Berdasarkan contoh tersebut, para pelaku ini
biasanya lebih memikirkan menghindari permasalahan duniawi dan mengakhir
hidup.
- Pasien:
1. mengidentifikasi/mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan
pasien
2. melakukan kontak treatment
3. mengajar cara mengendalikan dorongan bunuh diri
4. mendorong pasien untuk berfikir positif dan menghargai diri
5. mengenali pola koping yang digunakan pasien dan menganjurkan pola koping
yang konstruktif kepada pasien
6. membincangkan masa depan pasien dan member dorongan agar pasien dapat
mencapai masa depan yang realistis.
- Keluarga:
1. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala resiko bunuh diri, dan jenis perilaku
bunuh diri yang dialami pasien.
2. Menjelaskan cara merawat pasien resiko bunuh diri
3. Melatih keluarga cara merawat pasien dengan resiko bunuh diri
4. Mendiskusikan sumber rujukan yang ada yang bias dijangkau keluarga
5. Pengawasan ahli keluarga terhadap pasien juga harus diperhatikan.