(Hasbullah Thabrany)1
Pendahuluan
Pada dekade tahun 1990-an ini Sistem Kesehatan kita sedang mengalami
berbagai perubahan. Perubahan pertama adalah perubahan di dalam
penyelenggaraan pelayanan (delivery system) untuk mengurangi beban
pembiayaan pemerintah. Peran serta masyarakat semakin didorong di dalam
penyediaan pelayanan kesehatan, khususnya yang bersifat kuratif. Bahkan rumah
sakit yang bersifat pencari laba telah diberikan ijin beroperasi di Indonesia.
Perubahan kedua adalah perubahan di dalam cara pembiayaan kesehatan dari
yang tadinya bersifat individual ke kelompok dengan melalui mekanisme asuransi
kesehatan. Termasuk pada perubahan kedua adalah terbukanya kesempatan
penyelenggaraan asuransi komersial yang berpijak pada UU No. 2/1992,
penyelenggaraan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek
yang berdasarkan UU No. 3/1992, dan penyelenggaraan program JPK Mayarakat
(JPKM) yang dituangkan pada Pasal 66 UU No. 23/1992. Program JPK
Jamsostek dan JPKM secara eksplisit telah menggariskan pembayaran sistem
kapitasi kepada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) di dalam rangka
pengendalian biaya kesehatan. Penyelenggaraan JPK pegagawai negeri sipil, yang
kini dikenal dengan pelayanan PT Asuransi Kesehatan Indonesia, telah terlebih
dahulu menggunakan sistem pembayaran kapitasi.
Bagaimana sistem kapitasi menjadi primadona sistem pembayaran JPK? Di
dalam makalah ini kita akan meninjau landasan berpikir mengapa sistem kapitasi
ini diplih dan beberapa persyaratan yang diperlukan. Di dalam pembahasan ini
kita tidak bisa melewatkan apa yang telah terjadi pada sistem kesehatan Amerika
yang telah mempopulerkan sistem kapitasi di dunia kesehatan. Meskipun
demikian, harus diakui bahwa pembayaran sistem kapitasi tidaklah dimulai di
Amerika, tetapi sudah dimulai lebih dulu di Eropa. Tetapi sistem pembayaran
kapitasi menjadi bahan yang ramai dibicarakan dalam diskusi-diskusi
pembaharuan pelayanan kesehatan (health care reform) setelah Amerika
mengeluarkan HMO Act di tahun 1973. Pembicaran sistem pembayaran kapitasi
tidaklah lengkap tanpa kita menelaah karakteristik ekonomis pelayanan
1
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia/Ketua Umum PAMJAKI
kesehatan. Oleh karenanya, saya akan memulai diskusi kita dengan
menyampaikan ciri pelayanan kesehatan.
Uncertainty
Uncertainty atau ketidakpastian menunjukkan bahwa kebutuhan akan
pelayanan kesehatan tidak bisa dipastikan, baik waktunya, tempatnya, maupun
besarnya biaya yang dibutuhkan. Sifat inilah yang menyebabkan timbulnya
respons penyelenggaran mekanisme asuransi di dalam pelayanan kesehatan.
Mekanisme asuransi menghimpun (pooling) resiko perorangan menjadi resiko
kelompok atau dari suatu kelompok kecil kepada kelompok yang lebih besar.
Dengan pooling resiko itu kepada kelompok (dengan membayar premi) maka
resiko tiap orang menjadi kecil/ringan dan pasti karena dipikul bersama secara
periodik.
Asymetry of information
Sifat kedua, asymetry of information menunjukkan bahwa konsumen
pelayanan kesehatan berada pada posisi jauh yang lebih lemah sedangkan
provider (PPK seperti dokter) mengetahui jauh lebih banyak tentang manfaat dan
kualitas pelayanan yang "dijualnya". Akibat dari ciri ini, konsumen individu
mudah menjadi "mangsa" PPK. Sebagai respons institutional dari ciri ini adalah
pengendalian dan pemantauan dari pemerintah atau pembayar untuk melindungi
konsumen yang lemah. Sistem pembayaran kapitasi antara lain bertujuan untuk
mengatasi masalah informasi asimetri ini.
Externality
Externality berarti bahwa konsumsi pelayanan kesehatan tidak saja
mempengaruhi "pembeli/pengguna/konsumen" tetapi juga bukan konsumen.
Demikian juga resiko kebutuhan pelayanan kesehatan tidak saja mengenai diri
pembeli. Contohnya adalah konsumsi rokok yang mempunyai resiko lebih besar
pada yang bukan perokok. Karena ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan
h.thabrany 2 kapitasi
subsidi dalam berbagai bentuknya. Oleh karenanya, pembiayaan pelayanan
kesehatan tidak saja menjadi tanggung jawab diri seseorang, akan tetapi juga
merupakan tanggung jawab bersama (publik).
Selain ketiga ciri di atas, pelayanan kesehatan mempunyai aspek sosial
yang rumit dipecahkan sendiri oleh bidang kedokteran atau ekonomi. Dokter
tidak bisa memperlakukan pasien sebagai komputer, yang jika salah satu
komponennya tidak berfungsi dan tidak dapat diganti atau mahal dimusnahkan
saja. Dokter berusaha mencari teknologi baru untuk memecahkan masalah klinik
yang tidak pernah tuntas. Teknologi baru tersebut menuntut penelitian
longitudinal dan biaya besar. Akibatnya teknologi baru menjadi mahal. Hal ini
berdampak pada aspek ekonomi, dimana teknologi kedokteran dapat mengatasi
keadaan pasien, akan tetapi biaya untuk itu sering tidak tejangkau oleh
kebanyakan orang. Dengan demikian, hal ini menambah besar resiko/ketidak
pastian seseorang yang semakin memperkuat kebutuhan asuransi kesehatan.
Karena manusia memberikan nilai yang sangat tinggi akan kehidupan dan
kesehatan, maka seringkali timbul dilema besar yang menyangkut kelangsungan
hidup seseorang hanya karena faktor biaya. Karena secara sosial kita tidak bisa
melakukan pertimbangan biaya dan efisiensi maka harus ada suatu mekanisme
yang mampu memecahkan pembiayaan pelayanan bedah, diagnostik canggih,
pelayanan gawat darurat, dan pelayanan intensif lain yang mahal.
h.thabrany 5 kapitasi
Gambar 1: Gambar hipotetikal tentang kebutuhan dan konsumsi
pelayanan kesehatan
H1 ?
H2 ?
?
H0 5 8 15 J
H1
H2
20%⎨
H0 5 10 15 J
h.thabrany 6 kapitasi
Gambar 3: Efek Kapitasi Terhadap Utilisasi Pelayanan Kesehatan
H1
H3 Kap = Ave. Cost
5 9 15 J
RS Apotik
PPK2
PP PP
K1 K1
h.thabrany 7 kapitasi
Model 1 ini dapat dilaksanakan jika Pembayar memiliki jumlah anggota
cukup banyak dan masing-masing individu PPK atau rumah sakit mendapatkan
jumlah anggota yang memadai jumlahnya. Jumlah anggota yang terlalu sedikit
pada suatu PPK menyebabkan varians utilisasi menjadi besar dan karenanya
resiko PPK menjadi besar pula. Dengan jumlah anggota yang kecil, PPK akan
enggan menerima pembayaran kapitasi, apalagi jika PPK tersebut telah memiliki
pasien langganan yang cukup banyak. Jika ada PPK yang mau menerima jumlah
kecil tersebut, kemungkinan besar PPK itu adalah PPK baru yang belum memiliki
langganan dan tidak memberikan pelayanan yang memadai kualitasnya. Model ini
tentu saja memberikan pekerjaan yang cukup banyak bagi Pembayar untuk
melakukan kontrak kapitasi dengan tiap-tiap PPK. Kapitasi parsial mengandung
resiko lebih banyak bagi Pembayar untuk menanggung biaya rujukan dan obat.
Akan tetapi, model ini akan memberikan peluang lebih besar kepada Pembayar
untuk mendapatkan informasi utilisasi yang lebih baik. Pembayar juga dapat
melakukan pemantauan kinerja masing-masing PPK secara rinci.
Apotik
RS
IPA
PPK
1-2
PP FFS/Gaji
PP
K1PPK
K1
1-2
Pembayar
FFS. Hal ini mengingat kendala manajemen yang paling memungkinkan. Akan
tetapi pada daerah dimana jumlah anggota cukup memadai, Pembayar masih
melakukan kontrak langsung secara individual. Dengan cara ini, Pembayar dapat
mengatasi sulitnya mengadakan kontrak di daerah yang sebaran anggotanya
sedikit, padahal menurut peraturan Pembayar harus membayar kapitasi. Hal ini
terjadi pada JPK yang secara legal tidak memberikan alternatif pembayaran lain.
Grup RS
Grup
PPK
RS
RS
RS PPK
PPK
Kapitasi/ 1-2
1-2
FFS/ Gaji
h.thabrany 9 kapitasi
Pembayar
Model 4: Grup, Kapitasi penuh
Model ini sangat memudahkan Pembayar dalam mengembangkan
kepesertaan sementara grup dapat berkonsentrasi penuh dengan pelayanan. Disini
grup menanggung resiko penuh atas fluktuasi utilisasi dan dapat mengendalikan
rujukan dengan baik. Pada model terdahulu, rujukan rawat inap dapat cukup
tinggi jika komunikasi antara Pembayar dengan kedua grup tidak baik. Pada
model ini, Pembayar tidak perlu khawatir dengan adanya rujukan yang
berlebihan. Karenanya pada model ini dana withold atau referal pool tidak
diperlukan. Anggota grup dapat dibayar dengan FFS, gaji, atau cara lain.
Pembayaran FFS merupakan pilihan yang paling dapat diterima oleh masing-
masing anggota PPK.
Grup
Grup
PPK
PPK
RS PPK
RS
RS 1-2PPK
Kapitasi/ 1-2PPK
FFS/ Gaji 1-2PPK
1-2
h.thabrany 10 kapitasi
Beberapa Masalah dan Perlunya Keterbukaan
Untuk mencapai hal tersebut, PPK yang bersifat memaksimalkan laba dapat
melakukan hal-hal sebagai berikut:
Yang positif;
• Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan
diagnostik yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang
tepat. Dengan pelayanan yang baik ini, pasien akan cepat sembuh dan
tidak kembali ke PPK untuk konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang
menambah biaya.
• Memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens
kesakitan. Apabila angka kesakitan baru menurun, maka peserta tentu
tidak perlu lagi berkunjung ke PPK yang akan menurunkan utilisasi
menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil.
• Memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk
mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JPK
h.thabrany 11 kapitasi
sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik jika situasi pasar
sangat kompetitif, dimana PPK sulit mencari pasien/langganan baru.
Yang negatif;
• Jika kapitasi yang diberikan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan
rawat jalan tingkat pertama dan rujukan dan tanpa diimbangi dengan
insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, PPK akan dengan
mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit.
Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan
resiko menjadi lebih kecil. Dengan demikian, PPK tingkat pertama dan
rawat jalan rujukan dapat mengantongi surplus yang dikehendaki.
• Mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak
untuk melayani pasien non JPK yang "dinilai" membayar lebih banyak.
Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang
singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak JPK pada akhimya
dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang
menjadi lebih mahal di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan
pelayanan rawat jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih
berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih
mahal.
• Tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien
kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan
anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek
strategi ini mungkin berhasil tetapi untuk jangka panjang hal ini akan
merugikan PPK itu sendiri.
Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai kekhawatiran prilaku PPK
yang mendapatkan pembayaran sistem kapitasi dan yang mendapatkan
pembayaran FFS adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan,
dan kepuasan peserta. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada
evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO
di mana serangan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat gencar, hal ini
pernah diteliti secara eskperimental. Hasilnya tidak menunjukkan adanya
penurunan mutu pelayanan pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi
terdapat efisiensi sampai 30%.
Keseimbangan informasi antara PPK dan Pembayar merupakan kunci
sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer resiko tidaklah berarti bahwa PPK
harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer resiko
dengan pembayaran kapitasi menempatkan PPK pada resiko fluktuasi utilisasi
yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada PPK untuk menghindari
h.thabrany 12 kapitasi
moral hazard. Karena rentang resiko kapitasi bagi PPK adalah fluktuasi normal
dan pemberian insentif kepada PPK untuk melakukan usaha-usaha pencegahan
guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah
diketahui bersama. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara Pembayar dan PPK
harus cukup memadai agar besaran biaya kapitasi tidak menyebabkan salah satu
pihak menderita kerugian.
Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review)
mutlak diperlukan untuk dua hal. Pertama, telaah utilisasi dapat memberikan
informasi kepada Pembayar dan PPK apakah pelayanan yang diberikan selama ini
sudah pas, pada titik optimal. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu
pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan
merugikan PPK, jika dikapitasi penuh. Telaah utilisasi dilakukan pada PPK yang
dikontrak kapitasi dan PPK rujukan. Dengan demikian dapat dipantau PPK mana
yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat
penting untuk mengetahui apakah keluhan anggota/peserta tentang kualitas yang
kurang memadai memang terjadi.
Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting
yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan
keterbukaan ini, sehingga Pembayar dan PPK sama-sama mengetahui besarnya
resiko yang ditransfer dari Pembayar ke PPK. Dengan demikian, maka besaran
kapitasi menjadi fair. Biaya kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan
menghasilkan hasil yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan
hubungan Pembayar dan PPK.
Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, Pembayar dan PPK harus sama-
sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam PPK dan di luar PPK. Di dalam
suatu PPK terjadi variasi utilisasi dari waktu ke waktu dan dari suatu kelompok ke
kelompok lain. Sementara di antara berbagai PPK terjadi juga variasi yang sama.
Besaran biaya kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar PPK, bukan
hanya variasi yang terjadi di dalam suatu PPK. Hal ini dapat menimbulkan salah
pengertian jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Memang, penyesuaian
terhadap besarnya resiko yang harus ditanggung oleh suatu PPK atau suatu
kelompok PPK dapat disesuaikan (adjusted capitation rate). Namun hal ini tidak
didasarkan atas variasi utilisasi di dalam suatu PPK, akan tetapi atas dasar variasi
resiko kelompok suatu PPK yang berbeda dengan resiko rata-rata anggota
seluruhnya.
Kesimpulan
Asuransi kesehatan merupakan respons yang rasional untuk meningkatkan
akses pelayanan kesehatan akibat sifat ketidak-pastian akan kebutuhan pelayanan
h.thabrany 13 kapitasi
kesehatan. Sistem asuransi. kesehatan konvensional yang biasanya memberikan
penggantian biaya atau pertanggungan pelayanan berdasarkan pembayaran FFS,
memberikan insentif kepada PPK dan peserta untuk meningkatkan konsumsi
pelayanan kesehatan dan pada akhinya akan meningkatkan inflasi biaya
kesehatan. Sebagai alternatif pendekatan pembayaran FFS yang tidak efisien telah
dikembangkan sistem pembayaran kapitasi. Sistem pembayaran kapitasi
merupakan intervensi pihak ketiga kepada PPK (suplai) dengan jalan
melimpahkan PPK resiko finansial di dalam menangani pelayanan kesehatan.
Tujuannya antara lain adalah untuk mengurangi moral hazard dan mengatasi
sebagian masalah informasi asimetri. Dengan transfer resiko sebagian atau
seluruhnya kepada PPK, maka diharapkan PPK yang memiliki informasi lebih
banyak dapat memberikan pelayanan kesehatan yang pas. Mekanisme kapitasi
dapat dilakukan terhadap individual PPK atau melalui kelompok. Mekanisme
kapitasi tidak dimaksudkan untuk pembayaran dari satu asuransi atau pemerintah
kepada lembaga asuransi lainnya.
Namun demikian sistem kapitasi tidak lepas dari berbagai masalah.
Kapitasi parsial akan menyebabkan PPK merujuk lebih banyak pelayanan
tertentu. PPK dapat mengurangi jumlah konsumsi pelayanan untuk mendapatkan
laba yang memadai atau dengan menurunkan mutu. PPK yang bertanggung
jawab akan berusaha mengurangi konsumsi dengan meningkatkan mutu
pelayanan dan memberikan pelayanan promotif dan preventif. Kepuasan peserta
pada sistem kapitasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan sistem fee for
service. Untuk menjamin bahwa pembayaran kapitasi tidak merugikan konsumen,
maka telaah utilisasi menjadi keharusan. Telaah utilisasi dan penetapan biaya
kapitasi untuk periode berikutnya memerlukan informasi yang seimbang antara
Pembayar dengan PPK. Keterbukaan diantara keduanya merupakan kunci
keberhasilan dan kesinambungan kontrak kapitasi. Fairness pembayaran kapitasi
hanya dapat dicapai dengan adanya keterbukaan ini. selanjutnya, fairness ini juga
merupakan kunci kesinambungan kepesertaan sebuah Pembayar.
Kepustakaan
Black, S. 1994. Life Insurance. Prentice Hall, Englewood, NJ,
Boland, P. 1993. Making Managed Health Care Work. Aspen Publ.,
Gaithersburg, MD,
Davies, A.R. et al. 1986. Consumer Acceptance of Prepaid and Fee-for-Service
Medical Care: Results from a Randomized Controlled Trial. Rand
Corporation, Santa Monica.
h.thabrany 14 kapitasi
Evans, R.G. 1984. Strained Mercy: The Economic of Canadian Health Care,
Butterworths, Toronto, Canada.
Gaucher, E.J. and Coffey, R-J. 1993. Total Quality in Health Care. Jossey-Bass
Publ, San Francisco.
Kongstvedt, P.R. 1995. Essentials of ManagedHealth Care. Aspen Publ.,
Gaithersberg, MD.
Luft, H. S. 1987. Health Maintenance Organizations: Dimensions of
performance. John Willey & Sons, New York.
Mann, J dan Neu, C. R. 1987. Setting Medicare Capitation Rates for Frail and
Elderly. RAND Corporation, Santa Monica.
Newhouse, J. et. al. 1993. Freefor All: Lessons fronm the RandHealth Insurance
Experiment. Harvard University Press, Cambridge.
Roemer, M. I. 1991. National Health System of the World, Vol 1. Oxford
University Press, New York.
Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates: Establishing Per Capita Budgets.
In (Kongstvedt, P.R. Ed) The ManagedHealth Care Handbook. Aspen
Pub., Rockville, NM.
Thabrany, H. 1995. Health Insurance and the Demand for Medical Care in
Indonesia.Disertasi, University of Califonia at Berkeley, UMI, Ann Arbor.
Vaughan E. J. 1992. Fundamentals of Risk Insurance. John Willey and Sons,
New York, NY.
Depkes RI, 1992. Undang-Undang No. 23/1992 tentang Kesehatan, Sekneg RI,
Jakarta
PT Astek, 1993. Undang-Undang No. 3/1992 tentang Janisostek, Jakarta, 1993.
HIAA, 1996. Managed care: integrating the delivery and financing of health care:
Washington D.C., 1996
1993. Managed HeaIth Care: Effect on employer Costs Difficult to
Measure.USGAO, Washington, D.C., 1993
1996. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha
Perasuransian Depkeu RI, Jakarta.
1995. Pedoman Studi Kelayakan dan Rencana Usaha JPKM. Depkes RI,
Jakarta.
1997. Source Book of Health Insurance Data, HIAA, Washington. DC.
h.thabrany 15 kapitasi