Anda di halaman 1dari 7

Essay Hutan Mangrove Center Kariangau yang Keberadaannya Mulai

Terancam

Review ini disusun untuk mata kuliah : Perencanaan Lingkungan Pesisir


Dosen Pengajar : Ariyaningsih, S.T., M.T., M.Sc dan Dwiana Noviana Tufail, S.T., M.T

Oleh :
Novi Anugraheni (08161055)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
BALIKPAPAN
2018
Hutan Mangrove Center Kariangau yang Keberadaannya Mulai Terancam

Indonesia secara geografis membentang dari 60 LU sampai 110 LS dan 920 sampai 1420
BT. Sebagai negara kepulauan yang memiliki jumlah pulau besar dan kecil yakni kurang
lebih 17.504 pulau , Indonesia telah diakui dunia secara internasional UNCLOS tahun 1982
yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan UndangUndang No.17 Tahun 1985.
Berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut, total luas wilayah laut Indonesia seluas 5,9 juta km2 ,
terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif,
luas tersebut belum termasuk landas kontinen (Lasabuda, 2013).
Dengan garis pantai lebih dari 81.000 km, Indonesia membutuhkan pengelola pesisir
(Coastal manager) yang handal, berkompeten, kreatif dan inovatif (Rositasari, 2001). Maka,
hal tersebutlah yang menjadi alasan yang sangat kuat bagi planners untuk mempelajari
lingkungan pesisir yang diharapkan dapat memberikan perubahan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya menjaga kelestarian dan
pengembangan ekosistem pesisir yang berada di Indonesia.
Menurut Nontji (2002), wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut,
ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Salah satu
contoh dari lingkungan pesisir yang ada di Indonesia adalah Hutan Mangrove. Luas hutan
mangrove di Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta hektar di dalam kawasan
hutan dan 4,8 juta hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan mangrove di dalam
kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau 44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan
4,2 juta hektar atau 87,50 persen, antara tahun 1982-1993 telah terjadi pengurangan hutan
mangrove seluas 513.670 ha atau 46.697 ha per tahunnya (Gunawan dan Anwar, 2005).
Berdasarkan situs resmi litbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kelautan mengenai
Ekosistem Hutan Mangrove). Kerusakan mangrove disebabkan oleh peningkatan penggunaan
lahan pantai serta pengelolaan ekosistem mangrove yang belum memperhatikan aspek
kelestariannya, dalam hal ini sekitar 22 persen penduduk Indonesia dengan tingkat
pertumbuhan 3,6 persen bermukim di kawasan pantai dan sekitar 50 persen ekonomi mereka
tergantung pada kemampuan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayah pantai,
termasuk hutan mangrove. Sehingga hal tersebut seharusnya sudah menjadi dasar yang kuat
bagi pemerintah untuk mulai memperhatikan keberlangsungan hidup ekosistem pesisir

1|P a g e
Indonesia, dalam konteks ini adalah hutan mangrove. Salah satu contohnya adalah Hutan
Mangrove Center Kariangau yang terdapat di Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan
Barat.
Kawasan Teluk Balikpapan secara keseluruhan mempunyai luas hutan mangrove 16.918
ha (Anonim, 1999). Hutan Mangrove Center Kariangau berbatasan langsung dengan
Kawasan Industri Kariangau (KIK). Kapet Sasamba, selaku konsultan pemerintah
Kalimantan Timur (Kaltim) mengusulkan master plan KIK seluas 2.189 hektare dengan
jangkauan dari Teluk Kariangau sampai Teluk Waru. Tetapi rencana dirubah dikarenakan
Dinas Pekerjaan Umum Kaltim mengusulkan KIK menjadi 5.130 hektare dari arah Hulu
sampai Pulau Balang. Usulan ini, ternyata diakomodir dalam usulan revisi rencana tata ruang
wilayah (RTRW) Kota Balikpapan 2011-2031. Pengembangan Kawasan Industri Kariangau
(KIK) seluas 5.130 hektar secara administrasi mencangkup Kelurahan Kariangau, Kecamatan
Balikpapan Barat yang merupakan bencana bagi ekosistem di teluk itu salah satunya adalah
hutan mangrove. Muchamad Solechan, Koordinator Wilayah Balikpapan Forum Peduli Teluk
Balikpapan, mengatakan bahwa bencana ekologis luar biasa dapat terjadi jika perluasan KIK
sampai ke daerah hulu Teluk Balikpapan. Perairan Teluk Balikpapan, merupakan sistem
perairan yang relatif tertutup, hal tersebut dikarenakan tidak ada sungai besar yang berair ke
hulu Teluk Balikpapan. Sehingga menyebabkan pola arus air teluk kebanyakan tidak keluar
ke perairan Selat Makassar tetapi hanya bergerak dari hulu ke hilir. Koordinator Wilayah
Balikpapan Forum Peduli Teluk Balikpapan menyampaikan jika dengan kondisi yang seperti
ini akan menyebabkan hampir semua sedimentasi yang akan turun ke Teluk Balikpapan
mengendap disana termasuk limbah buangan industri akan menumpuk di perairan Teluk. Jika
ini terus menerus terjadi, dalam jangka panjang akan terjadi polusi ekstrim di wilayah pesisir
di Teluk Balikpapan (Situs Resmi Berita Lingkungan: Mongabay, 2012).
Polusi yang ekstrim tentunya akan memberikan dampak negatif bagi seluruh kelestariam
ekosistem di lingkungan pesisir Kariangau, khususnya hutan mangrove. Adapun komposisi
jenis spesies ekosistem yang berada di Hutan Mangrove Center Kariangau didominasi oleh
jenis Rhizopora spp., Avicennia spp. dan Sonneratia spp. untuk semua tingkat pertumbuhan.
Jenis Ceriops spp. dan Xylocarpus spp. hanya ditemukan pada satu di antara bagian dengan
jarak 180 m dari tepi sungai. Selain jenis-jenis tersebut, terdapat juga ekosistem lamun pada
hutan mangrove yang formasinya mengalami kerusakan akibat tingkat kekeruhan yang tinggi
pada perairan dan pencemaran minyak, padahal lamun merupakan habitat bagi duyung
(Dugong dugon) (Jati, Helminuddin, dan Gunawan, 2008). Faktor lingkungan lainnya yang
turut mempengaruhi ekosistem mangrove Kariangau adalah curah hujan dan suhu yaitu di
2|P a g e
kawasan ini, curah hujannya relatif tingg yaitu ratarata berdasarkan pencatatan data pada
stasiun meterologi di Balikpapan tahun 1992-2001 adalah berkisar 2508,9 mm/tahun dengan
suhu udara berkisar antara 21,8 - 33,80 C. Pada umumnya tumbuhan mangrove tumbuh
dengan baik pada daerah dengan curah hujan kisaran 1 500 – 3 000 mm/tahun sehingga curah
hujan di wilayah Kariangau mendukung keberlangsungan ekosistem mangrove. Sedangkan
untuk suhunya, menurut (Aksornkoae,1993), suhu merupakan faktor penting dalam proses
fisiologi tumbuhan seperti fotosintesis dan respirasi. Diperkirakan suhu rata-rata didaerah
tropis meupakan habitat terbaik bagi tumbuhan mangrove. Mikroorganisme mempunyai
batasan suhu tertentu untuh bertahan terhadap kegiatan fisiologisnya. Respon bakteri
terhadap suhu berbeda-beda, umumnya mempunyai batasan suhu optimum 27–36˚C. Oleh
karena itu, suhu perairan berpengaruh terhadap penguraian daun mangrove dengan asumsi
bahwa serasah daun mangrove sebagai dasar metabolisme. Sehingga dapat dikatakan bahwa
suhu yang berada di wilayah mangrove Kariangau cenderung rendah tetapi masih cukup baik
untuk mangrove dan mikroorganismenya tetap berkembang.
Walaupun demikian, kondisi ekosistem mangrove di Kelurahan Kariangau masih
tergolong cukup baik, namun kondisi tersebut belum menjamin keberadaan ekosistem
mangrove yang lestari (Oktawati dan Sulistianto, 2015). Berdasarkan penjelasan dari
berbagai sumber yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa keberlangsungan
hutan mangrove berserta ekosistem didalamnya cenderung semakin terancam. Hal tersebut
dikarenakan semakin meningkatnya pembangunan terutama di sektor industri yang
seharusnya didalam pembangunannya, wajib memperhatikan kondisi lingkungan
disekitarnya. Tetapi pada kenyatannya perluasan kawasan industri ini malah merusak daerah
lingkungan pesisir barat Balikpapan. Disamping itu, pengembangan wilayah pemukiman
penduduk serta adanya kegiatan di daerah pedalaman juga ikut menyumbang dalam memberi
pengaruh polusi/pencemaran dikawasan mangrove.
Sebenarnya jika masyarakat berpikiran luas dan menyadari bahwa hutan mangrove
merupakan kawasan lindung yang keberadaannya dapat memberikan banyak manfaat positif,
pasti kerusakan yang terjadi dapat dihindarkan. Berdasarkan hasil identifikasi dari jurnal
karya (Oktawati dan Sulistianto, 2015), diketahui beberapa manfaat pengelolaan ekosistem
mangrove di Kelurahan Kariangau, antara lain penangkapan kepiting, penangkapan udang
bintik sebagai umpan hidup oleh nelayan, pemanfaatan pohon bakau sebagai kayu bakar serta
budidaya tambak. Selain itu, dikatakan juga bahwa persepsi masyarakat lokal terhadap
ekosistem mangrove memberikan manfaat ekonomi bagi mereka. Tetapi, masyarakat
cenderung memanfaatkan ekosistem yang terdapat di mangrove secara berlebihan, salah satu
3|P a g e
faktornya adalah kurangnya pengetahuan akan berbagai fungsi, manfaat serta pengelolaan
ekosistem mangrove. Kerusakan yang terjadi pada Hutan Mangrove Center Kariangau
menimbulkan berbagai macam dampak negatif, tidak hanya menganggu keseimbangan
ekosistem lingkungan pesisir Kariangau, tetapi juga berpengaruh pada masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai nelayan di lingkungan pesisir tersebut. Perkembangan kawasan
industri mengakibatkan ekosistem laut yang sejatinya tempat bergantung para nelayan dalam
memenuhi kehidupan perekonomian mereka, kini sudah tidak bersahabat lagi atau kondisi
dan kualitas ekosistem lautnya tidak sebaik dulu sebelum terjadi pencemaran dan kerusakan.
Jumlah tangkapan ikan terus mengalami penurunan sehingga kesejahteraan para nelayan di
sekitar wilayah pesisir Kariangau semakin memprihatinkan.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa keberlangsungan hidup,
pelestarian, serta pengembambangan dari ekosistem lingkungan pesisir tergantung kepada
manusia yang mengelolanya. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peraturan tertulis
saja tidak cukup untuk menjaga kelestarian lingkungan baik lingkungan pesisir maupun jenis
lingkungan lainnya, tetapi termasuk juga alam secara keseluruhan. Menanamkan kesadaran
kepada setiap individu untuk turut berpartisipasi langsung dalam menjaga habitat dan
kelangsungan hidup dari segala populasi yang tedapat di ekosistem pada kawasan-kawasan
yang dilindungi merupakan kunci dari terciptanya kehidupan yang seimbang antara manusia
dan alam. Setiap stakeholders atau pemangku kepentingan di wilayah pesisir Hutan
Mangrove Center Kariangau baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat harus saling
bekerjasama dalam menjaga ekosistem wilayah pesisir. Hal tersebut wajib untuk dilakukan
karena mengingat wilayah pesisir hutan mangrove setiap tahunnya mengalami degradasi
lingkungan serta pengurangan luasan kawasan yang tentunya akan memberikan pengaruh
kepada pola dan tata ruang wilayah. Oleh sebab itu fungsi hutan mangrove sebagai
pengendali abrasi panati, penyerap pencemaran, pengendali intruisi air laut serta dapat
mempercepat laju sedimentasi sehingga daratan bertambah luas dapat direalisasikan dan
dimaksimalkan. Aparat penegak hukum harus lebih tegas menangani permasalahan kerusakan
kawasan lindung yakni dapat dilakukan dengan cara pemberian insentif dan disinsentif
kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai
dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk
mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Kasus
kerusakan lingkungan merupakan kasus yang tidak kalah pentingnya dengan kasus-kasus
negara lainnya karena hal ini menyangkut keseimbangan ekosistem bumi dan ketersediaan
sumber daya alam untuk masa depan generasi mendatang. Sehingga penting sekali untuk
4|P a g e
menjaga kelestarian hutan mangrove yang dapat dilakukan dengan cara konservasi dan
pengembangan ekosistem hutan mangrove serta rehabilitasi Hutan Mangrove Center
Kariangau yang mengalami kerusakan. Maka, untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan
pola pembangunan hutan mangrove dengan cara bekerjasama dengan pemerintah (subsidi),
masyarakat (swadaya), dan kemitraan (masyarakat dan swasta).

5|P a g e
Daftar Pustaka
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and management of Mangrove. The IUCN Wetlannds
Programme. Bangkok. Thailand.
Gunawan, H dan C. Anwar. 2004. Keanekaragaman Jenis Burung Mangrove di Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. Vol. I, No.3 : 294-308. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Helminuddin, Istiko Tauhid Jati, Bambang Indratno Gunawan. 2008. Analisis Kelayakan
Ekowisata Hutan Mangrove di Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat Kota
Balikpapan. Jurnal: Kehutanan Tropika Humida Volume 1, No 2, Oktober 2008
Lasabuda R (2013). Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif Negara
Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax, vol 1-2;92- 101.
Meteorologi Balikpapan. 1992-2001. Balikpapan
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. PT. Djambatan. Jakarta
Oktawati, Nurul Ovia, Erwan Sulistianto. 2015. Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove di
Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat melalui Pendekatan Ekonomi. Jurnal
Harpodon Borneo Vol.8. No.2. Oktober. 2015
Rositasari, rocky. 2001. Indonesia Menuju Manajemen Wilayah Pesisir Terintegrasi. Jurnal
Oseana, Volume XXVI, No 2, 2001

http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/membalik-kecenderungan-degrad/BAB-III-4.pdf.
Diakses pada tanggal 26 Januari 2018 Pukul 12.05 WITA
http://www.mongabay.co.id/2012/07/24/pengembangan-kawasan-industri-kariangau-bencana-
ekosistem-teluk-balikpapan-bagian-1/ dan http://www.mongabay.co.id/2016/09/26/ikan-ikan-di-
teluk-balikpapan-yang-kian-menjauhi-nelayan/. Diakses pada tanggal 26 Januari 2018 Pukul
14.08 dan 14.23 WITA

6|P a g e

Anda mungkin juga menyukai