Anda di halaman 1dari 20

OBAT TRADISIONAL

Oleh
Dra.Indriaty Tubagus,Apt.M.Kes

Keberadaan pengobatan tradisional merupakan bukti sejarah


dari upaya pelayanan kesehatan pada masa lalu. Menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80% dari total populasi
msyarakat di benua Asia dan Afrika bergantung pada pengobatan
tradisional. WHO juga telah mengakui pengobatan tradisional dapat
mengobati berbagai jenis penyakit infeksi, penyakit akut, dan
penyakit kronis. Misalnya, tanaman qinghaosu (yang mengandung
artemisinin) sebagai obat antimalaria yang telah digunakan di
China sejak 2.000 tahun yang lalu. Pada skala regional, ASEAN
telah melakukan pertemuan yang diadakan di Indonesia pada
tanggal 31 Oktober – 2 November 2011. Melalui Tawangmangu
Declaration, pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan
bersama antara negara-negara ASEAN untuk mengintergrasikan
pengobatan tradisional kedalam pengobatan konvensional pada
tahun 2015 mendatang.
Pengobatan tradisional menjadi pilihan beberapa masyarakat
Indonesia sebagai komplementer atau subsider pada pengobatan
konvensional akibat mahalnya biaya pengobatan konvensional.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2010, persentase penduduk
Indonesia yang pernah mengonsumsi jamu sebanyak 59,12%. Dari
jumlah tersebut sekitar 95,60% yang merasakan manfaatnya.
Dengan kata lain, lebih dari setengah penduduk Indonesia
mengonsumsi jamu. Hal ini merupakan pangsa pasar yang besar
dalam mengembangkan pengobatan tradisional di Indonesia.
Pengobatan tradisional merupakan salah satu dari tujuh belas
macam penyelenggaraan upaya kesehatan yang diatur dalam
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Obat tradisional termasuk ke dalam sediaan farmasi selain
obat, bahan obat, dan kosmetika. Dalam definisi yang
disebutkan dalam UU Kesehatan, obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun
telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Obat
tradisional yang berizin harus berasal dari sumber yang sudah

1
terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan,
pengobatan, perawatan, dan/ atau pemeliharaan kesehatan.
Pada tahun 2008, jamu sebagai salah satu bentuk pengobatan
tradisional telah mejadi Brand of Indonesia yang dicanangkan oleh
Presiden RI. Kementerian Kesehatan melalui Sistem Kesehatan
Nasional tahun 2009 telah memasukkan pengobatan tradisional,
alternatif, dan komplementer sebagai bagian dari subsistem upaya
kesehatan. Bahkan pelayanan kesehatan tradisional ini telah
masuk dalam rencana strategis Kementerian Kesehatan 2010–
2014 berupa meningkatkan penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan obat tradisional Indonesia.
Namun pada kenyataannya belum banyak penerapan
pengobatan tradisional terutama di unit pelayanan kesehatan.
Padahal Pemerintah telah mendorong pemanfaatannya dan
pelindungannya melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.
1109/Menkes/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Komplementer-Alternatif di Fasilitas Kesehatan. Salah satu
penyebabnya adalah pengobatan tradisional belum memiliki bukti
ilmiah yang cukup. Melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.
003/Menkes/PER/ I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, jamu telah diangkat
sebagai subjek pengembangan kesehatan agar dapat digunakan
dalam upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif.

Kondisi tersebut perlu disikapi oleh Pemerintah dengan


mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam pengobatan
konvensional melalui roadmap jamu yang telah disusun oleh
Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan
serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selain itu, DPR perlu mendorong Kementerian Kesehatan untuk
terus melakukan penelitian dan pengembangan terhadap
pengobatan tradisional misalnya jamu dan meningkatkan
kemampuan tenaga kesehatan yang akan memberikan tenaga
kesehatan. Dalam kaitannya dengan RUU tentang Pengawasan
Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia yang
akan segera masuk ke sidang paripurna, agar diatur mengenai
penerapan obat tradisional sehingga pengawasan dapat
dilaksanakan secara tegas.
Untuk melindungi masyarakat dari kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari mengkonsumsi obat tradisional, perlu pengawasan
mengenai obat tradisional yang beredar dalam masyarakat agar
tidak menggunakan bahan kimia yang belum teruji keamanannya,

2
terdaftar di BPOM, dan memenuhi persyaratan lain yang telah
ditetapkan oleh BPOM.

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari


pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat
tradisional memiliki efek samping yang relatif ebih sedikit dari pada
obat modern.

Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara


tepat, yang meliputi :
1. Kebenaran bahan
Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang
kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain.
Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi
yang diinginkan. Sebagai contoh lempuyang di pasaran ada
beberapa macam yang agak sulit untuk dibedakan satu dengan
yang lain. Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki
bentuk yang relative lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa
yang pahit. Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah
nafsu makan. Jenis yang kedua adalah lempuyang gajah
(Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan
berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai penambah nafsu
makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber
romaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum.
Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis in memiliki
khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001).
2. Ketepatan dosis
Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa
dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi,
seperti halnya resep dokter. Efek samping tanaman obat dapat
digambarkan dalam tanaman dringo (Acorus calamus), yang biasa
digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki
kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur
kimia mirip golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah,
dringo meman gdapat memberikan efek relaksasi pada otot dan
menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat
((Manikandan S, dan DeviRS., 2005), (Sukandar E Y, 2006)).
Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek
sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang
Y,et al., 2003).
Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang
belum banyak didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara
tradisional menggunakan takaran sejumput, segenggam ataupun

3
seruas yang sulit ditentukan ketepatannya.Penggunaan takaran
yang lebih past idalam satuan gram dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas
antara racun dan obat dalam bahan tradisional amatlah tipis. Dosis
yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan
jika berlebih bisa menjadi racun.
3. Ketepatan waktu penggunaan
Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan
sudah turun-temurun dikonsums idalam ramuan jamu kunir asam
yang sangat baik dikonsumsi saat datang bulan (Sastroamidjojo S,
2001). Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan
beresiko menyebabkan keguguran. Hal ini menunjukkan bahwa
ketepatan waktu penggunaan obat tradisional menentukan tercapa
iatau tidaknya efek yang diharapkan.
4. Ketepatan cara penggunaan
Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang
berkhasiat didalamnya. Masing-masing zat berkhasiat
kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam
penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika
dihisap seperti rokok bersifat bronkodilato dan digunakan sebagai
oba tasma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan
keracunan / mabuk (Patterson S, danO’Hagan D., 2002).
5. Ketepatan telaah informasi
Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya
arus informasi yang mudah untuk diakses. Informasi yang tidak
didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah atau
kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang
menyesatkan. Ketidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional
berbalik menjadi bahan membahayakan. Contohnya, Pare, yang
sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat
lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica charantia) kaya
mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. Pare
mengandung alpha-momorchorin, beta-momorchorin dan MAP30
(momordica antiviral protein 30) yang bermanfaat sebagai anti
HIVAIDS ((Grover JK dan Yadav SP,2004), (Zheng YT, et al.,
1999)). Akan tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang
mempunyai aktivitas anti spermatozoa, sehingga penggunaan biji
pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS
dapat mengakibatk aninfertilitas pada pria ((Girini MM, etal.,
2005), (Naseem MZ, et al., 1998)). Konsumsi pare dalam jangka
panjang, baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur, dapat
mematikan sperma, memicu impotensi, merusak buah zakar dan

4
hormon pria, bahkan berpotensi merusak liver ((Basch E,et al.,
2003), (Lord MJ, et al., 2003)). Bagi wanita hamil, sebaiknya
konsums pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan
pemberian jus pare menimbulkan keguguran.
6. Tanpa penyalahgunaan
Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk
didapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini
mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat dari tanaman obat
maupun obat tradisional tersebut. Contoh:
a. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalah gunakan
untuk pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi
lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian.
b. Menghisap kecubung sebagai psikotropika.
c. Penambahan bahan kimia obat. Bahan-bahan kimia obat
tersebut dapat menimbulkan efek negatif didalam tubuh
pemakainya jika digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia
seperti antalgin misalnya, dapat penipisan dinding usus hingga
menyebabkan pendarahan. Fenilbutazon dapat menyebabkan
pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi
cairan yang dikenal dengan istilah moonface, dan jika digunakan
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoporosis.
7. Ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu
Dalam satu jenis tanaman dapa tditemukan beberapa zat aktif
yang berkhasiat dalam terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan
efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam
pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi.
Contoh, daun Tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat
untuk pengobatan diabetes. Akan tetapi daun Tapak dara juga
mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan
penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga± 30%., akibatnya
penderita menjad irentan terhadap penyakit infeksi ((Bolcskei H, et
al., 1998), (Lu Y, etal., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML,et al.,
2004)). Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang
lama sehingga daun Tapak dara tidak tepat digunakan sebagai
antidia betes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan
leukemia.

DASAR HUKUM
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentangKesehatan
2. PP No. 72 Tahun 1998
tentangPengamananSediaanFarmasi&ALkes
3. PERMENKES No. 006 Tahun 2012 tentangIndustri& Usaha
ObatTradisional

5
4. PERMENKES No. 007 Tahun 2012
tentangRegistrasiObatTradisional
5. Kepmenkes RI nomor 381/menkes/SK/III/2007 tentang
kebijakan obat tradisional nasional
6. Keputusan Ka.BPOM RI nomor HK.00.05.4.2411 tahun2004
tentang Ketentuan pokok pengelompokan danpenandaan
obat bahan alam indonesia
7. Kep.Ka. BPOM RI nomor HK.00.05.41.1384 tahun 2005
tentang Kriteria dan Tatalaksana pendaftaran obat
tradisional, obat herbal terstandar danfitofarmaka
8. Perka BPOM RI nomor 35/2013 tentang tata cara sertifikasi
cara pembuatan obat tradisional yang Baik (CPOTB)
9. Kepmenkes RI nomor 56/menkes/SK/I/2000 tentang
pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional
10. Peraturan Kepala BPOM RI nomor
HK.03.1.23.06.11.5629 tahun 2011 tentang Persyaratan
teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik

DEFINISI

1. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang


berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
2. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik yang
selanjutnya disingkat CPOTB adalah seluruh aspek kegiatan
pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin
agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan
mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
3. Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT
adalah industri yang membuat semua bentuk sediaan obat
tradisional.
4. Industri Ekstrak Bahan Alam yang selanjutnya disebut
IEBA adalah industri yang khusus membuat sediaan dalam
bentuk ekstrak sebagai produk akhir.
5. Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya disebut
UKOT adalah usaha yang membuat semua bentuk sediaan obat
tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen.
6. Usaha Mikro Obat Tradisional yang selanjutnya disebut
UMOT adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat

6
tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar
dan rajangan.
7. Usaha Jamu Racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot
jamuatau sejenisnya yang dimiliki perorangan dengan
melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau sediaan segar
obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen.
8. Usaha Jamu Gendong adalah usaha yang dilakukan oleh
perorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam
bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan
langsung kepada konsumen.

Pengelompokan Obat Tradisional

Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan


tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia
dikelompokkan menjadi :
a. Jamu
b. Obat Herbal Terstandar
c. Fitofarmaka

Jamu harus memenuhi kriteria:


 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
 Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian
tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian
umum dan medium
Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata- kata: " Secara
tradisional digunakan untuk ...", atau sesuai dengan yang
disetujui pada pendaftaran.

Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria:


 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
 Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik
 Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi Memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu
tingkat pembuktian umum dan medium.

7
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria :
 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
 Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik
 Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium
dan tinggi.

Kelompok jamu harus mencantumkan logo dan tulisan “JAMU”


Logo berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan
ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/
pembungkus/ brosur
Logo (ranting daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di
atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras
dengan warna logo
Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan
warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang
menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”

Obat herbal terstandar harus mencantumkan logo dan tulisan


“OBAT HERBAL TERSTANDAR”
Logo berupa” JARI-JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM
LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/ pembungkus/ brosur.
Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di
atas warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan
warna logo.
Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah
dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau

8
warna lain yang mencolok kontras dengan tulisan “OBAT HERBAL
TERSTANDAR”.

Kelompok Fitofarmaka harus mencantumkan logo dan tulisan


“FITOFARMAKA”.
Logo berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK
BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada
bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur
Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di
atas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan
warna logo
Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak
dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain
yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”.

Obat tradisional dilarang mengandung :


1. BKO (bahan kimia obat) yang merupakan hasil isolasi atau
sintetik berkhasiat obat;
2. narkotika atau psikotropika; dan/atau
3. etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan
tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran;
4. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan
dan/atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.

Selain itu, obat tradisional dilarang dibuat atau diedarkan dalam


bentuk sediaan :
1. Intravaginal;
2. Tetes mata;
3. Parenteral; dan
4. Supositoria, kecualidigunakanuntukwasir

9
IZIN USAHA INDUSTRI OBAT TRADISIONAL

Obat tradisional hanya dapat dibuat oleh industri dan usaha


dibidang obat tradisional yaitu :
1. Industri Obat Tradisional (IOT)
2. Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA)
3. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)
4. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT)
5. Usaha Jamu racikan, dan
6. Usaha Jamu gendong

IOT dan IEBA hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum


berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.UKOT hanya dapat
diselenggarakan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. UMOT hanya dapat
diselenggarakan oleh badan usaha perorangan yang memiliki izin
usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendirian IOT dan IEBA harus di lokasi yang bebas pencemaran
dan tidak mencemari lingkungan.
Setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki
izin dari Menteri kecuali untuk usaha jamu gendong dan usaha
jamu racikan.
Selain wajib memiliki izin, industri dan usaha obat tradisional wajib
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
penanaman modal.
Izin industri dan usaha obat tradisional berlaku seterusnya selama
industri dan usaha obat tradisional yang bersangkutan masih
berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pemberian izin tersebut, menteri mendelegasikan
kewenangan pemberian izin untuk :
a. IOT dan IEBA kepada Direktur Jenderal;
b. UKOT kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi; dan
c. UMOT kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Untuk memperoleh izin pendirian IOT dan IEBA diperlukan
persetujuan prinsip.
Persetujuan prinsip untuk IOT dan IEBA diberikan oleh Dirjen
Binfar agar pemohon dapat melakukan persiapan-persiapan dan
usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan
dan lain-lain yang diperlukan pada lokasi yang disetujui.

10
Persyaratan untuk memperoleh persetujuan prinsip terdiri dari:
 surat permohonan;
 fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai
ketentuanperaturan perundang-undangan;
 susunan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 fotokopi KTP/Identitas Direksi/Pengurus dan
Komisaris/BadanPengawas;
 pernyataan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas
tidakpernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-
undangan dibidang farmasi;
 fotokopi bukti penguasaan tanah dan bangunan;
 fotokopi Surat Izin Tempat Usaha;
 Surat Tanda Daftar Perusahaan;
 fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
 fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
 persetujuan lokasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
 Rencana Induk Pembangunan (RIP) yang mengacu pada
pemenuhanCPOTB dan disetujui Kepala Badan;
 asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari
Apotekerpenanggung jawab;
 fotokopi surat pengangkatan Apoteker penanggung jawab
daripimpinan perusahaan;
 fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA); dan
 jadwal rencana pendirian bangunan industri dan
pemasanganmesin/peralatan.
Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur
Jenderaldengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi.
Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip, pemohon
wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan POM.

Persyaratan izin IOT dan izin IEBA terdiri dari:


 surat permohonan;
 persetujuan prinsip;
 daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
 daftar jumlah tenaga kerja beserta tempat penugasannya;
 diagram/alur proses produksi masing-masing bentuk sediaan
obat tradisional dan ekstrak yang akan dibuat;
 fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
danUpaya Pemantauan Lingkungan Hidup/Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;

11
 rekomendasi pemenuhan CPOTB dari Kepala Badan dengan
melampirkan Berita Acara Pemeriksaan dari Kepala
Balaisetempat; dan
 rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Permohonan izin IOT dan izin IEBA diajukan kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi setempat .

Persyaratan izin UKOT terdiri dari:


 surat permohonan;
 fotokopi akta pendirian badan usaha yang sah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
 susunan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 fotokopi KTP/Identitas Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan
Pengawas;
 pernyataan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas
tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-
undangan dibidang farmasi;
 fotokopi bukti penguasaan tanah dan bangunan;
 Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup (SPPL);
 Surat Tanda Daftar Perusahaan;
 fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
 fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
 persetujuan lokasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
 asli Surat Pernyataan kesediaan bekerja penuh dari Tenaga
Teknis Kefarmasian sebagai penanggung jawab;
 fotokopi surat pengangkatan penanggung jawab dari pimpinan
perusahaan;
 fotokopi Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian;
 daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
 diagram/alur proses produksi masing-masing bentuk sediaan
obattradisional yang akan dibuat;
 daftar jumlah tenaga kerja dan tempat penugasannya;
 rekomendasi dari Kepala Balai setempat; dan
 rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Permohonan izin UKOT diajukan oleh pemohon kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Balai.
Dalam hal UKOT memproduksi bentuk sediaan kapsul dan/atau
cairan obat dalam, maka selain harus memenuhi ketentuan diatas
juga harus memenuhi ketentuan:

12
a. memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab yang bekerja
penuh;dan
b. memenuhi persyaratan CPOTB.

Persyaratan izin UMOT terdiri dari:


 surat permohonan;
 fotokopi akta pendirian badan usaha perorangan yang sah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
 susunan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas
dalam hal permohonan bukan perseorangan;
 fotokopi KTP/identitas pemohon dan/atau Direksi/Pengurus dan
Komisaris/Badan Pengawas;
 pernyataan pemohon dan/atau Direksi/Pengurus dan
Komisaris/Badan Pengawas tidak pernah terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
 fotokopi bukti penguasaan tanah dan bangunan;
 Surat Tanda Daftar Perusahaan dalam hal permohonan bukan
perseorangan;
 fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan dalam hal permohonan
 bukan perseorangan;
 fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
 fotokopi Surat Keterangan Domisili.
Permohonan Izin UMOT diajukan oleh pemohon kepada
KepalaDinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Setiap industri dan usaha obat tradisional berkewajiban:


1. menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat
tradisional yang dihasilkan;
2. melakukan penarikan produk obat tradisional yang tidak
memenuhi ketentuan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu
dari peredaran; dan
3. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku.

Setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu)


orang Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung
Jawab.
Setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
Tenaga Teknis Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai
Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat pelatihan CPOTB.
Pembuatan obat tradisional wajib memenuhi pedoman CPOTB yang
yang ditetapkan oleh Badan POM RI.

13
IZIN EDAR

Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang


dibuat dan atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin
edar dari Kepala Badan POM.Untuk memperoleh izin edar harus
dilakukan pendaftaran.
Untuk dapat memiliki izin edar, obat tradisional, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai
berikut :
 menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan /
khasiat;
 dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan
Obat yang Baik yang berlaku;
 penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang
dapat menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman
sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

Produk obat tradisional yang tidak dikenakan wajib daftar adalah :


a. Obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan
usaha jamu gendong;
b. Simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan
keperluan layanan pengobatan tradisional;
c. Obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk
registrasi dan pameran dalam jumlah terbatas dan tidak
diperjualbelikan.

Kode izin edar :

PRODUK LOKAL : POM TR. (+ diikuti 9 digit angka)


PRODUK IMPOR : POM TI. (+ diikuti 9 digit angka)
PRODUK LISENSI : POM TL. (+ diikuti 9 digit angka)

14
Pengawasan Obat Tradisional
Untuk menjamin mutu, keamanan dan efektifitas obat tradisional
menggunakan sistem pengawasan dua lapis yaitu pengawasan
sebelum dipasarkan (pre market approval) dan pengawasan
sesudah pemasaran (post market control).
Pengawasan sebelum dipasarkan berupa penilaian produk pada
saat mendapatkan nomor izin edar meliputi penerapan cara
produksi obat tradisional yang baik, uji laboratorium produk dan
pelabelan.
Pengawasan sesudah pemasaran berupa evaluasi penerapan cara
produksi obat tradisional yang baik secara konsisten dan sampling
produk yang beredar dipasaran.

Hasil pengawasan Badan POM terhadap produksi dan peredaran


obat tradisional bahwa masih ditemukan obat tradisional tidak
memenuhi syarat parameter mikrobiologi (ALT dan AKK) serta
parameter fisika-kimia (kadar air dan waktu hancur), masih
ditemukan obat tradisional mengandung bahan kimia obat, tidak
terdaftar ataupun obat tradisional asing ilegal serta masih
ditemukan produk obat tradisional yang belum mencantumkan
tanggal daluwarsa.

Berdasarkan hasil pengawasan Badan POM di seluruh Indonesia


dari bulan Oktober 2012 sampai dengan Oktober 2013 ditemukan
sebanyak 59 OT-BKO, dimana 57 diantaranya merupakan produk
OT tidak terdaftar (ilegal). Untuk itu Badan POM menerbitkan
peringatan/public warning nomor HM.03.05.1.43.11.13.4940
tanggal 8 November 2013 tentang Obat Tradisional mengandung
bahan kimia obat (OT-BKO), dengan tujuan agar masyarakat tidak
mengkonsumsi OT-BKO karena dapat membahayakan kesehatan.

Bahan Kimia Obat (BKO) yang diidentifikasi dicampur dalam OT


pada temuan periode Oktober 2012 - Oktober 2013 didominasi
oleh penghilang rasa sakit dan obat rematik seperti parasetamol
dan fenilbutason, serta obat penambah stamina/aprosidiaka seperti
sildenafil.

Sebagai tindak lanjut terhadap temuan OT-BKO tersebut, dilakukan


penarikan produk dari peredaran dan pemusnahan. Untuk OT yang
telah terdaftar dan ditemukan mengandung BKO, maka nomor izin
edar dicabut serta diproses secara pro-justitia bekerja sama
dengan aparat penegak hukum lainnya. Selama dua tahun terakhir
sejumlah 44 kasus diajukan ke pengadilan dengan sanksi putusan

15
pengadilan paling tinggi berupa pidana kurungan 2 (dua) tahun
dan pidana denda Rp22.500.000,-.

Dalam penanganan kasus OT-BKO, Badan POM terus melakukan


koordinasi lintas sektor, antara lain dengan Pemda Kab/Kota (Dinas
Kesehatan/Dinas Perindustrian/Dinas Perdagangan) serta Asosiasi.
Selain itu, dilakukan pula pembinaan/advokasi kepada UMKM di
sentra-sentra produksi jamu, antara lain Banyuwangi dan
Sukoharjo.

Ditegaskan kepada pelaku usaha yang memproduksi dan/atau


mengedarkan OT-BKO untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Kegiatan memproduksi dan/atau mengedarkan OT-BKO merupakan
pelanggaran tindak pidana yang dapat dikenai sanksi hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

16
17
18
19
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang RI NO. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
2. PERMENKES No. 006 Tahun 2012 tentangIndustri& Usaha
ObatTradisional
3. PERMENKES No. 007 Tahun 2012 tentangRegistrasiObatTradisional
4. Kepmenkes RI nomor 381/menkes/SK/III/2007 tentang kebijakan obat
tradisional nasional
5. Keputusan Ka.BPOM RI nomor HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang
Ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam
indonesia
6. Kep.Ka. BPOM RI nomor HK.00.05.41.1384 tahun 2005 tentang
Kriteria dan Tatalaksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal
terstandar danfitofarmaka
7. Lusia Oktotara, Ruma KS, Pemanfaatan Obat Tradisional dengan
Pertimbangan manfaat dan Keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasian
Vol.III no. 1, April 2006.
8. Hedi, RD, Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 57, no. 7, Juli 2007.

20

Anda mungkin juga menyukai