Anda di halaman 1dari 18

A.

DEFINISI
Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu
penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9o−40,0oC). Kejang
demam berlangsung kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada
anak-anak tanpa kecacatan neurologik. (Muscari, 2005)
Kejang demam juga dapat diartikan sebagai suatu kejang yang terjadi
pada usia antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam
namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang
jelas. (Meadow, 2005)
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena
peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia
6 bulan - 4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan
dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam. (Hidayat, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejang
demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu
tubuh sebagai akibat proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit yang
dicirikan dengan demam tinggi dimana suhunya berkisar antara 38,9o −
40,0oC) namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab
yang jelas. Kejang demam ini lebih sering terjadi pada anak usia 6 bulan – 5
tahun, dengan lama kejang kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan
dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam

B. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara
jelas. Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan
atas, infeksi saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum
dengan pergerakan klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak
ada tanda-tanda defisit neurologis pada saat serangan telah menghilang.
Sekitar sepertiga akan mengalami kejang demam kembali jika terjadi demam,
tetapi sangat jarang yang mengalami kejang setelah usia 6 tahun. Kejang yang
lama, fokal, atau berulang, atau gambaran EEG yang abnormal 2 minggu
setelah kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam berulang).
(Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan
dalam menyebabkan kejang demam antara lain :
1) Demam itu sendiri
2) Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap
otak).
3) Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
5) Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak
diketahui atau ensekalopati toksik sepintas.
6) Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan
menjadi intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau
ventrikuler.
2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Congenital : disgesenis, kelainan serebri

Ekstrakranial meliputi:
1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,
gangguan elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat
diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3) Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.

Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu :


1) Riwayat kejang dalam keluarga
2) Usia kurang dari 18 bulan
3) Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum
kejang demam, semakin kecil kemungkinan kejang demam akan
berulang.
4) Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya
demam dengan kejang, maka semakin besar risiko kejang demam
berulang.

C. KLASIFIKASI KEJANG
1. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a. Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari
hal-hal berikut :
1) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian
tubuh, biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang,
dan dapat menjadi merata.
2) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah,
dilatasi pupil.
3) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar
suara musaik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
4) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan,
penglihatan panoramik. (Betz, 2009)
b. Kejang Parsial Kompleks
1) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai
suatu kejang parsial sederhana.
2) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir
mengecap, mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan
lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
2. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
a. Kejang Lena
1) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
2) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang
dari 15 detik.
3) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan
mempunyai perhatian penuh.
4) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang
pada usia 18 tahun. (Betz, 2009)
b. Kejang Mioklonik
1) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan
involunter.
2) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila
patologis melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan
tungkai secara sinkron.
3) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat
kesadaran singkat. (Betz, 2009)
c. Kejang Tonik-klonik (grand mal)
1) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku
otot ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang
berakhir kurang dari satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
2) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3) Tidak ada respirasi dan sianosis.
4) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas
atas dan bawah.
5) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
d. Kejang Atonik
1) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya
kelopak mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke
tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
e. Status Epileptikus
1) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
3) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)

D. PATOFISIOLOGI
Pada anak mudah sekali untuk terinfeksi bakteri, virus dan parasit
yang mengakibatkan reaksi inflamasi dan terjadinya proses demam sehingga
menjadi hipotermi maka terjadi demam. Demam akan menimbulkan proses
peradangan maka anak akan mengalami anoreksi maka akan muncul diagnosa
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang yang dapat mengakibatkan
resiko cedera. Kejang dengan frekuensi lebih dari 15 menit akan
menyebabkan perubahan suplay darah ke otak sehinnga terjadi hipoksia
kemudian permeabilitas kapiler meningkat akan mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2) Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
3) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ᵒC akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang
demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
E. PATHWAY

Infeksi bakteri

Virus dan parasit

Reaksi inflamasi

Proses demam

Hipertermi

F.
Proses
Demam Keringat meningkat
peradangan

Mengubah keseimbangan Gangguan pemenuhan cairan


Anoreksi membran sel neuron

Kekurangan
Ketidakseimbanga Melepaskan muatan listrik yang volume cairan
n nutrisi kurang besar
dari kebutuhan
tubuh

Kejang Resiko cedera


Sel neuron otak
rusak

Kurang dari 15 menit Lebih dari 15 menit


Permeabilitas
kapiler meningkat

Tidak menimbulkan
gejala sisa Perubahan suplay
darah ke otak hipoksia
G. TEMUAN PENGKAJIAN
1. Manifestasi klinis
a. Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak
mendapatkan pertolongan medis, tetapi anak mungkin dalam
keadaan tidak sadar. (Muscari, 2005)
b. Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi
kejang tonik-tonik (yi., tonik−kontraksi otot, ekstensi ekstremitas,
kehilangan kontrol defekasi dan kandung kemih, sianosis, dan
kehilangan kesadaran; klonik−kontraksi dan relaksasi ekstremitas
yang teratur (ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan dengan
ketidaksadaran persisten). (Muscari, 2005)
c. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam.
(Muscari, 2005)
d. Suhu tubuh mencapai 39oC. (Dewanto, 2009)
e. Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang, gejala
kejang bergantung pada jenis kejang. (Dewanto, 2009)
f. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. (Dewanto, 2009)
2. Temuan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
a. Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan
jenis dan fokus kejang. (Betz, 2009)
b. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz,
2009)
c. Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna
untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht
bila menggunakan pemindaian CT. (Betz, 2009)
d. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
(Betz, 2009)
e. Uji laboratorium
1. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama
dipakai untuk menyingkirkan infeksi.
2. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3. Panel elektrolit
4. Skrining toksik dari serum dan urin
5. GDA
6. Kadar kalsium darah
7. Kadar natrium darah
8. Kadar magnesium darah. (Betz, 2009)
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Bila kejang berhenti dengan algoritma tata laksana kejang, maka


dilanjutkan dengan terapi profilaksis intermiten atau rumatan pada saat
demam berupa :
1) Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kg/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen
5-10 mg/kg/hari tiap 4-6 jam.
2) Antikejang : diazepam oral 0,3 mg/kg/dosis tiap 8 jam saat demam atau
diazepam rektal 0,5 mg/kg/hari setiap 12 jam saat demam.
3) Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan pada
kasus kejang demam kompleks dengan faktor risiko. Obat yang
digunakan adalah fenobarbital 3-5 mg/kg/hari atau asam valproat 15-20
mg/kg/hari. (Dewanto, 2009)

I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Data Fokus
 Badan terasa panas
 Adanya mual dan muntah
 Adanya kesulitan saat bernafas
 Adanya aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak
terkoordinasi, kelemahan
 Merasa tidak nyaman, gerah.
 Adanya kekhawatiran orang tua.
 Membran mukosa / kulit kering
 Perubahan tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/ kontraksi
sekelompok otot.
 Penurunan kesadaran
 Tingkah laku distraksi/gelisah.
 Saliva keluar berlebih.

2. Diagnosa keperawatan
diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien kejang demam
adalah :
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu
sekunder terhadap infeksi
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan
oral.
c. Risiko cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder
akibat kejang.
d. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan
sekret.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya
informasi mengenai penyakit dan perawatan.
f. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan
dengan kejang berulang.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu
sekunder terhadap infeksi.
Tujuan : suhu tubuh normal : 36,5 – 37oC
Intervensi :
1) Kaji faktor penyebab terjadinya hipertermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi.
Penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan
panas.
2) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat
menentukan perkembangan perawatan.
3) Pertahankan suhu tubuh normal.
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas,
suhu lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas
atau dinginnya tubuh.
4) Beri kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduktif
5) Longgarkan pakaian, berikan pakaian yang tipis yang menyerap
keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang
ketat.
6) Beri ekstra cairan (air, susu, sari buah dll).
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
7) Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme sehingga
meningkatkan produksi panas.
8) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional :menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan
sebagai propilaksis.
9) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
Rasional : peningkatan kadar WBC merupakan indicator adanya
infeksi
b. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan
sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi :
1) Lakukan suction
Rasional : Untuk rnengeluarkan cairan atau sekret yang ada
dalam saluran pernafasan.
2) Setelah kejang berikan pasien posisi miring, bila tidak
memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan
kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Untuk mencegah bila terjadi aspirasi, isi lambung
tidak menutupi jalan nafas.
3) Atur tempat tidur di bagian kepala ditinggikan kurang lebih
45oC.
Rasional : Kepala lebih tinggi akan memudahkan pasien dalam
bernafas.
4) Berikan tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Untuk mencegah resiko cidera yaitu lidah tergigit
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan batuk dan
mengatasi sekresi.
Rasional : faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis
makanan.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya
atau suara yang hiperaktif.
Rasional :bising usus membantu dalam menentukan respons
untuk makan atau berkembangnya komplikasi.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional :mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah
pemberian nutrisi.
4) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering
dengan teratur.
Rasional :meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien
terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan.
5) Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang santai termasuk
sosialisasi saat makan.
Rasional : sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau
teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi
makan.
6) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
Rasional : merupakan sumber yang efektif untuk
mengidentifikasi kebutuhan kalori atau nutrisi tergantung pada
usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang.
d. Kekurangan volume cairan kebutuhan penurunan masukan oral.
Tujuan : Cairan pasien adekuat.
Intervensi :
1) Awasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : kekurangan atau perpindahan cairan menurunkan
tekanan darah, mengurangi volume nadi.
2) Catat perkembangan turgor kulit, hidrasi, membran mukosa.
Rasional :kekurangan cairan juga dapat diidentifikasi dengan
penurunan turgor kulit, membran mukosa kering.
3) Ukur atau hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan
cairan, catat kehilangan tidak tampak (IWL).
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan umum,
kecenderungan keseimbangan cairan negatif dapat menunjukkan
terjadi defisit.
4) Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air
tubuh total.
5) Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena.
Rasional : salah satu cara untuk memenuhi keseimbangan cairan
dalam tubuh ialah dengan cara pemberian melalui parentral.
e. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik
skunder akibat kejang.
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Intervensi :
1) Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat
tidur yang rendah.
Rasional : Meminimalkan injuri saat kejang.
2) Jangan tinggalkan klien selama fase kejang.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien.
3) Beri tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Menurunkan resiko trauma pada mulut.
4) Letakkan klien pada tempat tidur yang lembut.
Rasional : Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada
ekstremitas ketika kontrol otot volunter berkurang.
5) Setelah kejang berikan klien posisi miring, bila tidak
memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan
kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Mencegah penutupan jalan nafas.
6) Kendurkan pakaian pasien.
Rasional : Mengurangi tekanan pada jalan nafas.
7) Catat tipe dan frekuensi kejang.
Rasional : Membantu menurunkan lokasi area cereberal yang
terganggu.
8) Catat tanda-tanda vital setelah fase kejang.
Rasional : Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.
f. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit dan perawatan.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki
keluarga dan kebenaran informasi yang didapat.
2) Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang
demam.
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat
membantu menambah wawasan keluarga.
3) Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang
dan mencegah kejang demam.
Rasional : Agar keluarga mengetahui cara menolong anak
kejang dan rnencegah kejang demam.
4) Jelaskan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Rasional : Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan
perawatan.
g. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan
berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan : Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami
gangguan.
Intervensi :
1) Cegah terjadinya kejang berulang.
Rasional : dengan tidak terjadinya kejang berulang dapat
mencegah terjadinya kerusakan motorik dan sensorik.
2) Konsul dengan ahli terapi untuk mengevaluasi obat sesuai
indikasi.
Rasional : Pengobatan yang teratur akan dapat mencegah
terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
3) Berikan anak latihan dan kesempatam meningkatkan hubungan
sosial.
Rasional : Latihan dan hubungan sosial dengan orang lain dapat
membantu pertumbuhan dan perkembangan.
4) Berikan nutrisi yang cukup/memenuhi kebutuhan tubuh.
Rasional : Nutrisi akan dapat memperbaiki pertumbuhan dan
perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC

Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk


Pendidikan Kebidanan. Jakarta : salemba Medika

Meadow, Sir Roy. 2005. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga

Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta :


EGC

Anda mungkin juga menyukai