Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUP FATMAWATI

I. IDENTITAS
Nama : An.D
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : laki - laki
Alamat : Pondok aren
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Satus Pernikahan : Belum Menikah

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal 11 Agustus 2010

A. KELUHAN UTAMA :
Bercak – bercak putih hampir diseluruh bagian tubuh sejak ± 5 tahun yang lalu.

B. KELUHAN TAMBAHAN :
-

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dengan keluhan bercak - bercak putih hampir diseluruh tubuh sejak
± 5 tahun yang lalu. Bercak putih pertama kali muncul di pipi kanan. Bercak-bercak
putih disertai bercak-bercak merah di beberapa tempat. Bercak pada mulanya berukuran
kecil dan pasien tidak mengetahui bercak tersebut baal atau tidak. Semakin lama bercak
tersebut semakin banyak dan timbul di bagian - bagian tubuh lainnya seperti pungung,

1
leher, lengan dan kaki. Pasien tidak merasakan gatal pada bercak tersebut, baik pada
saat berkeringat maupun tidak. Pasien sudah berobat ke puskesmas untuk keluhan ini.
Dokter puskesmas mengatakan kelainan pasien disebabkan oleh jamur. Pasien
diberikan salep dan obat minum, namun pasien tidak mengetahui nama obat yang
diberikan dan pasien mengatakan keluhannya tidak membaik. Beberapa waktu yang
lalu, pasien mengalami luka pada kaki kiri bagian samping luar yang tidak ia sadari. Ia
tidak merasa nyeri pada sendi – sendinya, tidak merasa kesemutan, dan tidak
mengalami kerontokan pada alis dan rambut kepala. Menurut pasien dirumah atau
dilingkungan pasien tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini. Pasien mengatakan
mandi 2x sehari dan selalu mengganti bajunya dengan yang bersih.

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien tidak pernah mengalami penyakit kulit seperti ini sebelumnya.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat, maupun udara panas dan dingin.

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami sakit seperti ini.
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi makanan dan obat – obatan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis

1. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8 C (aksila)
Frekuensi Napas : 16 x/menit
BB / TB : 63 kg / 165 cm

2
1. Kepala
− Bentuk : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata
tidak mudah dicabut.
− Mata : Oedem palpebra -/- , pupil : bulat isokor, CA -/-, SI -/-,
RCL +/+, RCTL +/+ .
− Telinga : Bentuk normotia, sekret -/-, serumen -/-, nyeri tekan
tragus -/-, nyeri tarik -/-.
− Hidung : Deviasi septum (-),sekret (-),konka hiperemis & oedem(-).
− Mulut : Bibir kering (+), bibir sianosis (-), deviasi lidah (-), lidah
Kotor (-)
− Tenggorok : Uvula ditengah,faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Hiperemis(-),
− Leher : Trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar.

2. Thorax
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat ics 5
Palpasi : ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra ics V
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : s1-s2 reguler,murmur (-), gallop(-)
Paru-paru
Inspeksi : gerak nafas simetris baik statis maupun dinamis
Palpasi : Vocal femitus kedua hemithorak sama
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler,ronki (-/-),wheezing (-/-)

3. Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, turgor baik, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hati dan limpa
tidak teraba membesar

3
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

4. Ekstremitas
Atas Bawah
Akral : Hangat Hangat
Oedem: (-) (-)
Refleks fisiologis : ka/ki (+) ka/ki (+)
Refleks patologis - -

5. KGB
 Retro aurikuler
 Coli
 Submandibula
 Supra Clavicula
 Infra klavikula
 Axial
Tidak teraba membesar dan tidak nyeri .

6. Kulit
Lihat status Dermatologikus

2. STATUS MORBUS HANSEN


a. Kepala
Alopesia : (-)
b. Alis mata
Madarosis ; (-)/(-)
c. Mata
Lagoftalmus : (-)/(-)
Kelainan kornea: (-)/(-)
d. Wajah

4
Infiltrate : (-)
Macula : (+)
Anastesi :
Panas : (+) tidak terasa
Raba halus : (+) tidak terasa
Nyeri : (+) tidak terasa
e. Telinga
Infiltrate : (-)
Anastesi :
Panas : (-) terasa
Raba halus: (+) tidak terasa
Nyeri : (+) tidak terasa
f. Hidung
Saddle nose : (-)
g. Badan
Lihat Status Dermatologikus
h. Ekstremitas :
 Region manus deksta-sinistra
Atrofi m. tenar : (-)/(-)
Atrofi m. hipotenar : (-)/(-)
Kontraktur : (-)/(-)
Ulkus : (-)/(-)

Anestesi :
Raba halus : +/+
Panas dingin : -/-
Nyeri : -/-
Parese : (-)/(-)
Wrist drop : (-)/(-)
Mutilasi : (-)/(-)
Tes kekuatan otot : 5/5

5
 Region pedis deksta-sinistra
Atrofi : (-)/(-)
Parese : (-)/(-)
Foot drop : (-)/(-)
Anestesi :
Raba halus : +/+
Panas dingin : -/-
Nyeri : -/-
Tes kekuatan otot : (m.tibialis anterior)
Sinistra : baik & dekstra: baik

STATUS DERMATOLOGIKUS
 Pada regio fasialis sisi sinistra terdapat bercak eritema berbatas tegas berukuran plakat
dengan skuama halus dan anestesi (panas, raba dan nyeri).
 Pada regio fasialis sisi dextra terdapat bercak hipopigmentasi berbatas tidak tegas
berukuran plakat dengan skuama halus dan anestesi (panas, raba dan nyeri).

 Pada regio colli sinistra terdapat bercak hipopigmentosa berbatas tegas dengan ukuran
numular disertai skuama.

6
 Pada regio thorakalis posterior terdapat bercak hipopigmentasi dengan tepi infiltrat
berukuran lentikuler hingga plakat disertai anastesi (panas, raba dan nyeri).

 Pada regio brachii anterior dan posterior dextra dan sinistra, antebrachii anterior dan
posterior dextra dan sinistra terdapat bercak hipopigmentasi dengan batas tegas hingga
tidak tegas, berukuran lentikuler hingga plakat disertai anastesi (panas, raba dan nyeri)
dan skuama.

7
 Pada regio femoralis anterior dan posterior dekstra dan sinistra terdapat bercak
hipopigmentosa dengan batas tidak tegas berukuran numuler hingga plakat disertai
skuama halus dan anastesi (panas, raba dan nyeri).

8
STATUS NEUROLOGIKUS
Sepanjang sternocleidomastoideus (n. aurikularis magnus) dekstra/sinistra
Penebalan : +/+
Nyeri : -/-
Konsistensi : padat kenyal

N. ulnaris dekstra/sinistra
Penebalan : -/-
Nyeri : -/-
Konsistensi : tidak teraba
N. Peroneus lateralis dekstra/sinistra
Penebalan : -/-
Nyeri : -/-

9
Konsistensi : tidak teraba

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tes Gunawan : tidak dilakukan
Pewarnaan Ziehl Nielsen : tidak ditemukan basil

V. RESUME
Pasien laki – laki dengan usia 16 tahun datang dengan keluhan utama bercak putih hampir
diseluruh tubuh sejak 2 tahun yang lalu. Pada awalnya bercak kecil di pipi kiri dan tidak gatal.
Saat ini hampir diseluruh bagian tubuh terdapat bercak-bercak putih dan ada yang berwarna
kemerahan.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.
Pada status dermatologikus didapatkan :
 Pada regio fasialis sisi sinistra terdapat bercak eritema berbatas tegas berukuran plakat
dengan skuama halus dan anestesi (panas, raba dan nyeri).
 Pada regio fasialis sisi dextra terdapat bercak hipopigmentasi berbatas tidak tegas
berukuran plakat dengan skuama halus dan anestesi (panas, raba dan nyeri).
 Pada regio colli sinistra terdapat bercak hipopigmentosa berbatas tegas dengan ukuran
numular disertai skuama.
 Pada regio thorakalis posterior terdapat bercak - bercak hipopigmentasi dengan tepi
infiltrat berukuran lentikuler hingga plakat disertai anastesi (panas, raba dan nyeri).
 Pada regio brachii anterior dan posterior dextra dan sinistra, entebrachii anterior dan
posterior dextra dan sinistra terdapat bercak hipopigmentasi dengan batas tegas hingga
tidak tegas, berukuran lentikuler hingga plakat disertai anastesi (panas, raba dan nyeri)
dan skuama.
 Pada regio femoralis anterior dan posterior dekstra dan sinistra terdapat bercak
hipopigmentosa dengan batas tidak tegas berukuran numuler hingga plakat disertai
skuama halus dan anastesi (panas, raba dan nyeri).
Pada status neurologikus didapatkan penebalan N.auricularis magnus dextra dan sinistra.

10
VI. DIAGNOSIS KERJA
 Morbus Hansen tipe BL

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Pitiriasis versikolor
 Psoriasis
 Dermatofitosis

VIII.PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
 Edukasi tentang penyakit pasien dan lama pengobatannya.
 Minum obat harus teratur dan tuntas, tidak boleh putus.
 Jika putus obat maka pengobatan akan diulangi dari awal lagi.
 Jika bercak memerah atau timbul nyeri dan ada keluhan lain segera kontrol ke dokter.
 Selalu memakai alas kaki.
 Istirahat yang cukup.
 Makan teratur dan makan-makanan yang bergizi.

Medikamentosa :

Sistemik :
Hari pertama setiap bulan :
R/ Rifampisin tab 300 mg No. II
ʃ 1 dd 2
R/ Clofazimine cap 100 No. III
ʃ 1dd 3
R/ Dapsone tab 100 mg No. I
ʃ 1 dd 1

Hari kedua dan seterusnya setiap bulan :


R/ Clofazimine cap 50 mg No. XXVII

11
ʃ 1 dd 1
R/ Dapsone tab 100 mg No. XXVII
ʃ 1 dd 1

IX.PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad funtionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

12
ANALISA KASUS

Dasar Diagnosis
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis MH tipe BL atas dasar :

1. Anamnesis
Dari Anamnesis, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien ini mengalami bercak
kemerahan dan bercak putih tidak gatal dan terdapat di hampir seluruh bagian tubuh.

2. Pemeriksaan fisik
Pada status dermatologikus didapatkan :
 Pada regio fasialis sisi sinistra terdapat bercak eritema berbatas tegas berukuran
plakat dengan skuama halus dan anestesi (panas, raba dan nyeri).
 Pada regio fasialis sisi dextra terdapat bercak hipopigmentasi berbatas tidak
tegas berukuran plakat dengan skuama halus dan anestesi (panas, raba dan
nyeri).
 Pada regio colli sinistra terdapat bercak hipopigmentosa berbatas tegas dengan
ukuran numular disertai skuama.
 Pada regio thorakalis posterior terdapat bercak - bercak hipopigmentasi dengan
tepi infiltrat berukuran lentikuler hingga plakat disertai anastesi (panas, raba dan
nyeri).
 Pada regio brachii anterior dan posterior dextra dan sinistra, entebrachii anterior
dan posterior dextra dan sinistra terdapat bercak hipopigmentasi dengan batas
tegas hingga tidak tegas, berukuran lentikuler hingga plakat disertai anastesi
(panas, raba dan nyeri) dan skuama.
 Pada regio femoralis anterior dan posterior dekstra dan sinistra terdapat bercak
hipopigmentosa dengan batas tidak tegas berukuran numuler hingga plakat
disertai skuama halus dan anastesi (panas, raba dan nyeri).

Dari pemeriksaan fisik dapat diambil kesimpulan bahwa diagnosis pada pasien telah
menunjukkan Morbus Hansen yaitu adanya kelainan bercak yang khas MH disertai

13
adanya anestesi. Tipe MH yang terdapat pada pasien ini adalah BL atas dasar bentuk lesi
yang didapatkan sebatas bercak-bercak plakat dengan jumlah yang sulit dihitung, masih
terdapat kulit yang sehat. Distribusi lesi simetris dengan batas agak kurang jelas dan
anestesi tak jelas karena pada satu regio didapatkan pemeriksaannya memberikan hasil
terdapat bagian yang anestesi dan ada yang tidak.

Dasar diagnosis banding :


 Pitiriasis versicolor
Atas dasar :
Persamaannya adalah : timbul bercak hipopigmentasi dan juga eritematosa dengan
skuama yang halus terutama meliputi badan, lengan, tungkai atas, leher dan muka.
Bentuk teratur dan tidak teratur, dengan batas yang jelas sampai difus.

Perbedaannya adalah :
Pada lesi PV dengan pemeriksaan lampu Wood menunjukkan flouresensi berwarna
kuning keemasan dan pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan KOH 20%
terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang berkelompok.
Pada MH terdapat anastesia terhadap nyeri, rasa raba dan suhu. Pada lesi MH juga
terdapat dehidrasi yang disebabkan oleh kelainan pada fungsi saraf otonom. Selain lesi
pada kulit, terdapat gangguan pada saraf perifer yang dapat dinilai dengan adanya
pembesaran, konsistensi dan nyeri pada N. Auricula magnus, N. Radialis, N. Poplitea
lateralis dan N. Tibialis posterior.

 Psoriasis
Atas dasar :
Persamaannya adalah bercak eritematosa berskuama.

Perbedaannya pada psoriasis skuama berlapis – lapis, kasar dan transparan dan biasanya
ada faktor genetik. Tes tetesan lilin, tes Autspitz, Kuffner pada psoriasis. Predileksinya
terbatas pada daerah skalp (perbatasan kulit kepala dan muka), ekstensor lutu dan siku,
lumbosakral. Psoriasis biasanya hilang timbul.

14
 Dermatofitosis
Atas dasar ;
Persamaannya : sama-sama bercak eritema, gambaran pounch out pada MH mirip dengan
lesi aktif pada dermatofitosis
Perbedaannya : Dermatofitosis biasanya gatal (bila berkeringat), ada gambaran polisiklik,
pemeriksaan KOH positif.

Dasar penatalaksanaan
Secara umum harus diterangkan kepada penderita,bahwa ia menderita Morbus Hansen
yang disebabkan M.leprae. Karena M.Leprae merupakan basil tahan asam, maka
pengobatannya ditujukan untuk mematikan kumannya.
Pengobatan MH mempunyai dua jenis berdasarkan klasifikasi MH menurut WHO yaitu
MB dan PB. Resistensi obat dicegah dengan cara diberikan pengobatan mjulti drug
treatment. Untuk pengobatan sistemik MH tipe MB diberikan rifampisin 600mg,
clofazimin 300mg, dapson 100 mg pada hari pertama setiap bulan. Hari kedua dan
seterusnya sampai hari ke 28 diberikan dapson 100mg dan clofazimin 50mg. Pengobatan
diberikan dalam 12 dosis selama 12 – 18 bulan. Sedangkan untuk pengobatan topikal
tidak diberikan apa – apa selama tidak ada indikasi, misalnya terjadi komplikasi berupa
ulkus plantaris dan sebagainya.

Dasar prognosis
 Ad vitam : Bonam,karena proses penyakit tidak mengancam kehidupannya
 Ad fungsionam : dubia ad bonam, karena setelah sembuh tubuh pasien masih
bisa berfungsi dengan baik tetapi jika saraf perifernya sudah rusak tidak bisa
berfungsi kembali dengan baik.
 Ad Sansionam : dubia ad bonam, karena masih bisa terjadi reaksi selama dalam
pengobatan.

15
MORBUS HANSEN (KUSTA)

DEFINISI
 Penyakit infeksi kronik oleh Mycobacterium leprae, (bersifat intraselular obligat,
tahan asam dan alkohol serta gram positif).
 Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan traktus respiratorius bagian atas,
organ lain kec SSP.

EPIDEMIOLOGI
 Masa tunasnya antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5 tahun.
 Faktor-faktor :
o patogenesis kuman penyebab,
o cara penularan,
o keadaan sosial ekonomi dan lingkungan,
o varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan perubahan imunitas
o kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.
 Kuman dapat ditemukan di
o kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan ASI, jarang didapat di urin.
 Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
 Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas,
motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada
daerah anastetik disertai paralisis dan atrofi otot.

PATOGENESIS
 Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas
infeksinya, disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif.aa

16
GEJALA KLINIS
 Hasil bakterioskopi memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit sedangkan
histopatolik 10-14 hari, tes lepromin (Mitsuda) hasilnya setelah 3 minggu.
 SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebalikya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa.
 Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
kusta yang terdiri atas :
 TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil.
 Ti : Tuberkuloid indefinite
 BT : Borderline tuberkuloid
 BB : Mid Borderline
 BL : Borderline lepromatous
 Li : Lepromatosa indefinite
 LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.
 Menurut WHO :
o Multibasilar berarti banyak mengandung basil, yaitu tipe LL, BL dan BB dengan
indeks bakteri lebih dari 2+.
o Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT dan I dengan
indeks bakteri kurang dari 2+

Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)


PB MB
1. Lesi kulit (makula datar, papul - 1-5 lesi - >5 lesi
yang meninggi, nodus) - hipopigmentasi/eritema - distribusi lebih simetris
- distribusi tidak semetris - hilangnya sensasi kurang
- hilangnya sensasi jelas jelas
2. Kerusakan saraf (hilang senses - Hanya satu cabang saraf - banyak cabang saraf
/ kelemahan otot yg
dipersarafi)

 Kusta tipe neural murni dengan tanda sebagai berikut :


17
- Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit.
- Ada satu atau lebih pembesaran saraf.
- Ada anastesia dan atau paralisis, atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya.
- Bakterioskopik negatif
- Tes mitsuda umumnya positif
- Untuk menentukan diagnosisnya sampai ke tipenya, yang biasanya tipe tuberkuloid,
borderline atau nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan secara histopatologik.

Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa. Secara klinis berbentuk
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopi positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistant.
- Relapse sensitive (resisten sekunder) :
i. kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
karena kuman dorman aktif kembali atau pengobatan tidak adekuat.
- Relapse resistant (resisten primer) :
i. kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan,
tidak dapat diobati dengan obat yg sama krn resisten obat MDT.

Cardinal Sign : (Paling sedikit 1 tanda kardinal. tersangka kusta diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.)
Lesi kulit / bercak kulit yg mati rasa yaitu : bercak hipopigmentasi atau eritema,
mendatar (makula) atau meninggi (infiltrat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja thdp rasa sentuh, suhu nyeri.
Penebalan saraf.
Dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena yaitu :
 Gangguan fungsi sensorik : nyeri, mati rasa
 Gangguan fungsi motorik : parese atau paralisis
 Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
Sediaan hapus kulit yang positif (Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping
telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif.)

18
DIAGNOSIS BANDING
dermatofitosis, dermatitis seboroika, skleroderma, tuberkulosis kutis
tinea versikolor, psoriasis, leukemia kutis, verukosa
ptiriasis rosea, neurofibromatosis, granuloma anulare, birth mark
ptiriasis alba, xantomatosis,

PEMERIKSAAN PASIEN
Anamnesis
o Keluhan penderita
o Riwayat kontak
o Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.
Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
Palpasi
o Kelainan kulit, nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki.
Kelainan saraf : Cara pemeriksaan saraf :
1. bandingkan saraf bagian kiri dan kanan.
2. membesar atau tidak
3. bentuk bulat atau oval
4. pembesaran regular (smooth) atau irregular.
5. perabaan keras atau kenyal
6. nyeri atau tidak.

Gejala-gejala kerusakan saraf :


N. ulnaris : - anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.
- clawing jari kelingking dan jari manis.
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial.
N. medianus : - anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari

19
tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. radialis : - anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N.poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
: - kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
N.tibialis posterior - anestesia telapak kaki
: - claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N.fasialis : - cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal hilang ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus : - anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata

Tes fungsi saraf


Tes sensoris
- Rasa suhu
o dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 40oC) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20o)
o sebelumnya dilakukan tes control pada daerah kulit yang normal
- Rasa raba
Dengan kapas dilancipkan menyinggung kulit. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa
di tengahnya dan jangan di pinggirnya.
- Rasa nyeri

20
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien dalam keadaan sambil
menutup mata harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

Tes motoris : Voluntary muscle test (VMT)

Tes otonom : tes anhidrosis


1. Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)
2. Tes histamin (histamine subkutan).
- Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan
daerah anhidrosis tetap kering.

Deformitas pada kusta sesuai dengan patofisiologinya, terdiri atas :


- Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi M.leprae yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktur respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah.
- Deformitas sekunder sebagai akibat kerusakan saraf.

Komplikasi :
- Pada mata, hidung, laring, dan testis
- Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis
- Kerusakan saraf sensoris
- Kerusakan saraf motoris
- Kerusakan saraf otonom

Klasifikasi cacat
Cacat pada tangan dan kaki
 Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
terlihat.
 Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
 Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.

21
Cacat pada mata
 Tingkat 0 : tidak ada gangguan penglihatan.
 Tingkat 1 : tidak ada gangguan berat. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari
pada jarak 6 m).
 Tingkat 2 : gangguan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada
jarak 6 m).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan bakterioskopik
Sediaan dibuat dari kerokan kulit diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.
Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung M.leprae.
Tempat yang akan diambil kedua cuping telinga bagian bawah (mengandung basil
yang paling banyak) dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan scalpel steril. Setelah tempat
tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat tersebut, dengan jalan dipijit,
menjadi iskemik agar kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin darah yang akan
mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis melampaui
subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung
sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan
itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan
yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen.
M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk mati.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut RIDLEY.
 1 + bila 1-10 BTA dalam 100 LP
 2 + bila 1-10 BTA dalam 10 LP
 3 + bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

22
 4 + bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
 5 + bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
 6 + bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks Morfologi (IM) adalah prosentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan nonsolid.
Rumusan :
jumlah solid
× 100%
jumlah solid dan non solid
Syarat perhitungan IM :
- jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1 + tidak usah dibuat IM nya,
- Mulai dari IB 3+ ke atas harus dicari IM nya,

Contoh perhitungan IB dan IM


Tempat pengambilan Ib Solid Nonsolid IM
Telinga kiri 4+ 9 91 9%
Telinga kanan 3+ 8 92 8%
Ujung jari tangan kiri 1+ - 5 -
Ujung jari tangan 2+ 1 22 1/23
kanan 3+ 7 93 7%
Lesi I 5+ 8 92 8%
Lesi II
18 33 395

IB penderita : 18/6 = 3+
IM penderita : _33____ x 100 % = … %
33+395

Tes Lepromin
 Menentukan tipe kusta pada penderita.

23
 Tes lepromin : injeksi ekstrak basil M.leprae inaktif yg tlh distandarkan pd subkutan
lengan atas.
 Tempat injeksi ditandai dan diperiksa 3 dan 28 hari kemudian untuk melihat reaksinya.
 Pasien dengan kusta tipe lepromatosa hasilnya negatif (tidak adanya reaksi antigen pada
kulit).

PENGOBATAN KUSTA
1. Dapson/DDS (4,4 diaminodifenil sulfon)
 Obat ini bersifat bakteristatik, dosis adalah 1-2 mg/kgBB setiap hari.
 Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

2. Rifampisin
 Obat ini bersifat bakterisidal kuat.
 Dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap bulan.
 Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu like syndrom, dan erupsi kulit.

3. Klofazimin/Lamprene
 Mempunyai efek bakteriostatik & efek antiinflamasi ( untuk pengobatan reaksi
kusta, khususnya ENL).
 Dosis 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3x100 mg setiap minggu.
Selain itu dosis bulanan 300 mg diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi
tipe 1 dan 2.
 Efek sampingnya menyebabkan pigmentasi kulit, gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus), dapat juga tertimbun di hati.
Perubahan warna akan menghilang setelah obat dihentikan.

4. Ofloksasin
 Aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro.

24
 Dosis optimal harian adalah 400 mg.
 Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang
ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.

5. Minosiklin
 efek bakterisidal, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.
 Dosis standar harian 100 mg.
 Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
mengenai kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susuna
saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan.

6. Klaritromisin
 Antibiotic makrolid dan bakterisidal terhadap M.leprae.
 Pada dosis harian 500mg.
 Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

Skema Regimen MDT WHO


Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
Dapson swakelola 50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari) 100 mg/hari

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB


OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg

25
Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)
Klofazimin 300 mg/bln diawasi dan
diteruskan 50 mg/hari
Dapson swakelola swakelola 100 mg/hari
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)

Tabel 3. Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak


PB MB
OBAT < 10 tahun 10 th – 14 th < 10 th 10 th -14 th
BB < 50kg BB < 50 kg
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 300 mg/bln 450 mg/bln
Klofazimin - - 100 mg/bln 150 mg/bln
dilanjutkan 50 mg, dilanjutkan 50
25 mg/hr 50 mg/hr 2x/mgg mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr

 Lamanya pengobatan kusta tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan.
 Pengobatan kusta tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan.
 Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT
(Release From Treatment).
 WHO Expert Committee :
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
 Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6
bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100
mg setiap hari selama 18 bulan.

26
 Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.
 Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif
dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau
disebut Release From Control (RFC).

REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan epidose akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologinya dan
klasifikasinya masih bermacam-macam, namun yang paling banyak dianut yaitu :
 Reaksi reversal atau reaksi upgrading (reaksi tipe I)
o hipersensitivitas tipe lambat oleh karena peningkatan mendadak SIS yang
faktor pencetusnya belum diketahui pasti.
 ENL, Eritema Nodusum Leprosum (reakti tipe II)
o karena pengobatan, banyaknya basil leprae yang mati dan hancur, berarti
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut beredar
didalam darah dan akhirnya dapat melibatkan banyak organ. Secara
imunopatologis ENL termasuk respon imun humoral.

Gejala Reaksi tipe I Reaksi tipe II


Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan sampai dengan berat
ringan (subfebril) atau tanpa disertai kelemahan umum dan
demam demam tinggi
Peradangan kulit Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul baru kemerahan
lebih meradang, dapat lunak dan nyeri tekan, nodul
timbul bercak baru dapat pecah. Biasanya pada
lengan dan tungkai.

27
Saraf Sering terjadi, umumnya Jarang terjadi
berupa nyeri tekan saraf
dan/atau gangguan fungsi
saraf
Peradangan pada organ Hampir tidak pernah ada Terjadi pada mata, kelenjar
lain getah bening, sendi, ginjal,
testis dll
Waktu timbulnya Segera setelah pengobatan. Setelah mendapat pengobatan
lama, umumnya lebih dari 6
bulan.
Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta tipe Hanya pada kusta tipe MB
PB maupun MB
Faktor pencetus - Melahirkan - Emosi
- Obat-obatan meningkatkan - Kelelahan dan stress fisik
kekebalan tubuh. lainya
- Kehamilan

Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya
diturunkan bertahap.
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi.
Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan
dapat dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.

Pengobatan reaksi reversal


Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan. Bila ada
neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan
dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang
dosisnya diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan.

28
DAFTAR PUSTAKA

 Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi keempat. FKUI. Jakarta. 2005:9

29

Anda mungkin juga menyukai