Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Seksual Pranikah

1. Definisi Prilaku Seksual Pranikah

Prilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang

sah (Sarwono, 2005). Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa prilaku seksual

pranikah merupakan prilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses

pernikahan resmi menurut agama dan kepercayaan masing – masing.

Semantara Luthfie (dalam Amrillah dkk, 2001) mengungkapkan bahwa

prilaku seksual pranikah adalah prilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses

pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan

masing-masing individu. Simanjuntak (dalam prastawa & Lailatushifah, 2009)

menyatakan bahwa prilaku seksual pranikah adalah segala macam tindakan seperti

bergandengan tangan, berciuman sampai dengan bersenggama yang dilakukan

dengan adanya dorongan hasrat seksual yang dilakukan sebelum ada ikatan

pernikahan yang sah

Berdasarkan definisi – definisi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan

bahwa prilaku seksual pranikah adalah segala prilaku yang didorong oleh hasrat

seksual seperti bergandengantangan, berciuman, bercumbu dan bersenggama yang

dilakukan oleh pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi

menurut hukum dan agama.

Universitas Sumatera Utara


2. Bentuk – Bentuk Prilaku Seksual

Duvall, E.M & Miller, B.C (1985) mengatakan bahwa bentuk prilaku seksual

pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun bentuk – bentuk

prilaku seksual tersebut adalah.

a. Touching

Berpegangan tangan, berpelukan.

b. Kissing

Berkisar dari ciuman singkat dan cepat sampai kepada ciuman yang

lama dan lebih intim.

c. Petting

Menyentuh atau meraba daerah erotis dari tubuh pasangan biasanya

meningkat dari meraba ringan sampai meraba alat kelamin.

d. Sexual Intercourse

Hubungan kelamin atau senggama

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk dari

prilaku seksual menurut Duvall, E.M & Miller, B.C (1985) yaitu touching,

kissing, petting dan sexual intercouse

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Prilaku Seksual Pranikah Remaja

Pratiwi (2004) mengatakan bahwa prilaku seksual remaja disebabkan oleh

beberapa faktor. Faktor – faktor tersebut adalah :

1. Biologis

Yaitu, perubahan biologis yang terjadi pada masa pubertas dan

pengaktifan hormonal yang dapat menimbulkan prilaku seksual.

Universitas Sumatera Utara


2. Pengaruh Orangtua

kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja

dalam masalah seksual, dapat memperkuat munculnya penyimpangan

prilaku seksual.

3. Pengaruh teman sebaya

Pengaruh teman sebaya membuat remaja mempunyai kecenderungan

untuk memakai norma teman sebaya dibandingkan norma sosial yang ada.

4. Akademik

Remaja yang prestasi dan aspirasi yang rendah cenderung lebih sering

memunculkan prilaku seksual dibandingkan remaja dengan prestasi yang

baik di sekolah.

5. Pemahaman

Pemahaman kehidupan sosial akan membuat remaja mampu untuk

mengambil keputusan yang akan memberikan pemahaman prilaku seksual

dikalangan remaja. Remaja yang mampu mengambil keputusan secara

tepat berdasarkan nilai – nilai yang dianutnya akan menampilkan prilaku

seksual yang sehat.

6. Pengalaman Seksual

Semakin banyak remaja mendengar, melihat dan mengalami hubungan

seksual maka semakin kuat stimulasi yang mendorong munculnya prilaku

seksual tersebut, misalnya melihat gambar – gambar porno diinternet

ataupun mendengar obrolan dari teman mengenai pengalaman seksual.

Universitas Sumatera Utara


7. Pengalaman dan Penghayatan Nilai – Nilai Keagamaan

Remaja yang memiliki penghayatan yang kuat mengenai nilai – nilai

keagamaan, integritas yang baik juga cenderung mampu menampilkan

seksual selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dari

prilaku yang produktif.

8. Faktor Kepribadian

Faktor kepribadian seperti harga diri, kontrol diri dan tanggung jawab akan

membuat remaja mampu mengambil dan membuat keputusan.

9. Pengetahuan mengenai Kesehatan Reproduksi

Remaja yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang

kesehatan reproduksi cenderung memahami prilaku seksual serta alternatif

cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara

sehat dan bertanggung jawab.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang

mempengaruhi prilaku seksual pada remaja menurut Pratiwi (2004) yaitu

biologis, pengaruh teman sebaya, pengaruh orang tua, akademik, pemahaman,

pengalaman seksual, pengalaman dan penghayatan nilai – nilai keagamaan,

kepribadian dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi.

B. Asertivitas

1. Definisi Asertivitas

Menurut Bar-on (dalam golmen, 2000) asertivitas merupakan kemampuan

untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, keyakinan secara terbuka dan

Universitas Sumatera Utara


mempertahankan kebenaran tanpa berprilaku agresif. Selanjutnya Lazarus

(Rakos, 1991) mendefenisikan asertivitas sebagai kemampuan mengatakan

“tidak”, kemampuan untuk meminta sesuatu, kemampuan mengekspresikan

perasaan positif dan negatif, kemampuan untuk memulai, menyambung dan

mengakhiri percakapan umum. Myers dan Myers (2002) mengatakan asertivitas

adalah salah satu gaya komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak

dan mengekspresikan perasaan, pikiran dan kebutuhan secara langsung, jujur dan

bersikap terus terang.

Asertivitas merupakan kemampuan mengungkapkan diri sendiri, meyakini

opini dan perasaan dan mempertahankan haknya. Hal ini tidak sama dengan

agresifitas. Individu dapat menjadi asertif tanpa menjadi kuat dan kasar.

Sebaliknya asertif mempertimbangkan pengungkapan dengan jelas apa yang

diharapkan dan meminta dengan tegas hak – haknya (Williams, 2001). Selain itu

Jakubowski-Spector (dalam Martin R.A & Poland E.Y, 1980) menyatakan

asertivitas merupakan suatu unit prilaku verbal dan non verbal yang kompleks

dimana seseorang menggunakannya untuk mengkomunikasikan hak, perasaan,

kebutuhan, pendapat dan harapannya secara jujur dan terbuka kepada orang lain

dengan cara yang sesuai secara social dan adaptif dan tidak dimanipulasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa asertivitas adalah

kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, keyakinan, serta

kemampuan mengatakan tidak, mengungkapkan opini, perasaan dan

mempertahankan haknya secara jujur, terbuka dan tegas baik secara verbal

maupun non verbal tanpa adanya manipulasi.

Universitas Sumatera Utara


2. Komponen – Komponen Asertifitas

Menurut Eisler Miller & Pinkton (dalam Martin R.A & Poland E.Y, 1980) ada

beberapa komponen dari asertivitas, antara lain :

1. Compliance

Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat

dengan orang lain. Yang perlu ditekankan adalah keberanian seseorang

untuk mengatakan tidak pada orang lain jika memang itu tidak sesuai

dengan kenginginannya.

2. Duration of Reply

Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang

dikehendakinya, dengan menerangkannya pada orang lain. Eisler dkk

(dalam Martin R.A & Poland E.Y, 1980) menemukan bahwa orang yang

tingkat asertifnya tinggi memberikan respon yang lebih lama (dalam arti

lamanya waktu yang digunakan untuk berbicara) dari pada orang yang

tingkat asertifnya rendah.

3. Loudness

Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama seseorang itu

tidak berteriak. Berbicara dengan suara yang jelas merupakan cara yang

terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain (Eisler dkk

dalam Martin R.A & Poland E.Y, 1980).

Universitas Sumatera Utara


4. Request for New Behavior

Meminta munculnya prilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan

tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain,

dengan tujuan agar situasi berubah sesuai yang kita inginkan.

5. Affect

Afek berarti emosi, ketika seseorang berbicara dalam keadaan emosi maka

intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih

asertif jika seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang dan tidak

berupa respons yang monoton ataupun respon emosional.

6. Latency of Response

Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita

untuk mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat

sebelum menjawab secara umum lebih asertif daripada yang tidak terdapat

jeda.

7. Nonverbal behavior

Serber (dalam Martin R.A & Poland E.Y, 1980) menyatakan bahwa

komponen nonverbal dari asertivitas antara lain :

a. Kontak Mata

Secara umum jika kita memandang orang yang kita ajak bicara

maka akan membantu dalam penyampaian pesan dan juga akan

meningkatkan efektifitas pesan.

Universitas Sumatera Utara


b. Ekspresi Muka

Perilaku asertif yang efektif membutuhkan ekspresi wajah yang

sesuai dengan pesan yang disampaikan, misalnya pesan kemarahan

akan disampaikan secara langsung tanpa senyuman ataupun pada

saat gembira tunjukkan dengan wajah senang.

c. Jarak Fisik

Sebaiknya berdiri atau tunduk dengan jarak yang sewajarnya. Jika

kita terlalu dekat dapat mengganggu orang lain dan terlihat seperti

menentang, sementara terlalu jauh akan membuat orang lain susah

untuk menangkap apa maksud dari perkataan kita.

d. Sikap Badan

Sikap badan yang tegak ketika berhadapan dengan orang lain akan

membuat pesan lebih asertif. Sementara sikap badan yang tidak

tegak dan terlihat malas – malasan akan membuat orang lain

menilai mundur atau melarikan diri dari masalah.

e. Isyarat Tubuh

Pemberian isyarat tubuh dengan gerakan tubuh yang sesuai dapat

menembah keterbukaan, rasa percaya diri dan memberikan

penekanan pada apa yang kita katakan, misalnya dengan

mengarahkan tangan keluar. Sementara yang lain dapat

mengurangi seperti menggaruk leher dan menggosok – gosok mata

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh

komponen asertivitas menurut Menurut Eisler Miller & Pinkton (dalam Martin

Universitas Sumatera Utara


R.A & Poland E.Y, 1980) yaitu compliance, duration of replay, loudness, request

for new behavior, affect, latency of response dan non verbar behavior.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Asertifitas

a. Jenis Kelamin

bromberger dan matthews (dalam Arrindell, 1997) mengatakan laki – laki

lebih asertif dibandingkan perempuan. Laki – laki cenderung mengambil

peran dominan dan tegas, sedangkan perempuan lebih pasif dan memiliki

ketergantungan dengan orang lain. Hal yang sama juga dikemukakan oleh

Fukuyama dan Green Field (1985) bahwa laki – laki lebih asertif

dibandingkan perempuan. Shaevitz (dalam Arrindell, 1997) mengatakan

bahwa ada dua penyebab perempuan lebih tidak asertif dibandingkan laki

– laki, yaitu perempuan sulit untuk mengatakan tidak dan sulit untuk

meminta tolong.

b. Kebudayaan

Rakos (1991) mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan

kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan

bahwa pada suatu budaya suatu prilaku dipandang asertif dan sesuai

dengan budaya setempat. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir

oleh masyarakat dengan latar belakang budaya lain.

c. Pola Asuh

Menurut Daud (2004) komunikasi orang tua dan anak dapat

mempengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan pikiran dan

Universitas Sumatera Utara


perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orang tua dapat

mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak.

d. Pendidikan

Rodriques (2001) mengatakan bahwa lingkungan dan tingkat pendidikan

memberikan andil terhadap terbentuknya prilaku asertif. Hal ini terjadi

karena pendidikan bertujuan untuk menghasilkan individu yang mudah

menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, lebih mampu untuk

mengungkapkan pendapatnya memiliki rasa tanggung jawab lebih

berorientasi kemasa depan dan lain – lain.

e. Usia

Baer (1976) menyatakan karena self – assertiveness berkembang

sepanjang kehidupan seseorang, maka faktor usia diasumsikan juga

berpengaruh terhadap perkembangan asertifitas seseorang.

f. Kepribadian

Allport (Suryabrata, 1998) menyatakan kepribadian sebagai organisasi

dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan

caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi asertifitas diantaranya yaitu jenis kelamin, kebudayaan, usia,

pola asuh, pendidikan dan kepribadian.

Universitas Sumatera Utara


C. Remaja

1. Defenisi Remaja

Istilah adolscence atau remaja berasal dari kata latin yaitu “adolescence” yang

berarti perkembangan menjadi dewasa (Monks dkk, 1999). Piget (dalam Hurlock,

1999) mengemukakan bahwa istilah adolscence mempunyai arti lebih luas yaitu

mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik. Santrock (2003),

mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa

anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial.

Menurut papalia (2004) remaja merupakan transisi perkembangan antara masa

kanak – kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif

dan perubahan sosial.

Menurut monks (1998) batasan usia remaja adalah antara 12 sampai 21 tahun.

Monks membagi batasan usia remaja terbagi dalam tiga fase yaitu remaja awal

(antara usia 12 tahun sampai 15 tahun), remaja tengah (antara usia 15 tahun

sampai 18 tahun) dan remaja akhir (antara usia 18 tahun sampai 21 tahun).

Sementara batasan usia remaja menurut WHO antara usia 12 tahun sampai 24

tahun.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah

periode perkembangan dari anak – anak ke dewasa awal yang mencakup

perubahan baik secara fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang

berlangsung antara 12 tahun sampai 21 tahun.

Universitas Sumatera Utara


2. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja

meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk

berperilaku-mengembangkan ideologi.

3. Ciri – Ciri Masa Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat

tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju

kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi

terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-

dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai

mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan

Universitas Sumatera Utara


mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah

dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan

remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada

kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih

menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan

dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena

masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau

sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan

pencapaian :

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan

mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi

4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti

dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum.

4. Perkembangan Seksualitas Pada Remaja

Menurut imran (2000) masa remaja diawali oleh masa pubertas yaitu masa

terjadinya perubahan – perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk

Universitas Sumatera Utara


tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ – organ

seksual). Perubahan ini ditandai dengan haid atau menarche pada wanita dan

mimpi basah atau polutio pada laki – laki (Hurlock, 1999).

Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi

oleh berfungsinya hormon – hormon seksual (testosteron untuk laki – laki) dan

progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon – hormon inilah yang

berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung

oleh pendapat monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah

sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase

ini biasanya lebih diarahkan pada prilaku seksual dibandingkan pertumbuhan

kelenjar seks itu sendiri.

Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ reproduksi

mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Kematangan

organ reproduksi tersebut mendorong individu melakukan hubungan sosial, baik

dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Mereka berupaya

mengembangkan diri melalui pergaulan dengan membentuk teman sebayanya

(peer-group). Pergaulan bebas yang tak terkendali secara normatif dan etika-moral

antar remaja yang berlainan jenis akan berakibat adanya hubungan seksual diluar

nikah (sex pre-marital) (Dariyo, 2004).

Universitas Sumatera Utara


D. Pengaruh Asertivitas Dengan Prilaku Seksual Pranikah Pada Remaja

Perempuan

Masa remaja merupakan periode transisi antara masa kanak – kanak

dengan masa dewasa. Masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang

secara seksual dan berakhir saat ia mencapai usia dewasa secara hukum ( Hurlock,

1980). Banyaknya permasalahan yang terjadi pada masa remaja menjadikan para

ahli dalam bidang psikologi perkembangan menyebutnya sebagai masa krisis

(Iskandarsyah, 2006).

Menurut Rosyidah (2006) ada dua permasalahan utama yang mendominasi

kehidupan remaja yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhannya,

yaitu masalah dari sisi individualnya dan dari sisi seksualnya. Dari sisi

individunya remaja mengalami krisis identitas atau mereka sedang bingung dalam

mencari jati dirinya, sehingga tidak heran remaja senang mencoba sesuatu yang

baru. Umumnya juga remaja mulai menarik diri dari nilai yang didapatnya dari

lingkungan sekitarnya (keluarga) dan beralih kepada nilai – nilai teman

sekelompoknya. Sedangankan dari sisi seksualitas remaja sedang mengalami

perkembangan baik dari sisi biologis, fisik, maupun mental. Dari sisi biologis,

remaja sedang mengalami perkembangan kemampuan reproduksi yang dari sisi

fisiknya terlihat dengan adanya pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder, hal ini

juga memicu perkembangan mental yaitu meningkatnya libidonya atau hasrat

seksual, yang mana remaja tersebut akan mudah sekali tertarik dengan lawan

jenisnya.

Universitas Sumatera Utara


Selain itu juga pada masa remaja sedang mengalami pertumbuhan fisik

dan pematangan fungsi seksual. Pertumbuhan ini juga dipengaruhi oleh hormon-

hormon seksual yang telah berfungsi yaitu testosteron pada laki-laki, dan

progesteron serta estrogen pada perempuan. Hormon-hormon ini jugalah yang

berpengaruh terhadap dorongan seksual (BKKBN, 1997). Monks (1999) juga

menjelaskan bahwa perubahan hormonal pada masa remaja mempengaruhi

munculnya perilaku seksual.

Perilaku seksual yang dilakukan oleh para remaja kita saat ini sudah sampai

pada batas yang sangat mengkhawatirkan. Peningkatan yang terjadi tidak hanya

dalam hal angka kejadiannya, melainkan juga pada kualitas penyimpangannya.

Berbagai analisa dilakukan, mengapa perilaku seksual remaja yang menyimpang

tersebut semakin hari semakin meningkat. Salah satu pendapat yang kemudian

cukup mengemuka adalah bahwa hal tersebut terjadi karena beberapa hal antara

lain kurangnya informasi yang dimiliki oleh remaja tentang kesehatan reproduksi

ataupun perilaku seksual yang benar, lemahnya kualitas keimanan dan ketakwaan

remaja, bangunan kepribadian yang rapuh, hubungan dan komunikasi dengan

orang tua/pendidik yang kurang lancar serta harmonis, gaya hidup yang hedonis,

individualis dan materialis yang marak di masyarakat, hingga peran negara

sebagai pihak penerap sistem di masyarakat yang justru memungkinkan hal-hal

yang mendukung terjadinya free sex terjadi (seperti maraknya pornografi-aksi,

semakin banyaknya lokalisasi ataupun tempat-tempat mesum yang ’legal’, dsb)

(Rosyidah, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Selain itu juga Remaja cenderung lebih mengikuti kata-kata teman

sebayanya daripada kata-kata orangtua dan norma agama, sehingga kontrol

dirinya menjadi berkurang. Apa yang dikatakan oleh teman-temannya langsung

diikuti walaupun belum tentu benar. Penyebab kurangnya kontrol diri pada remaja

antara lain: kurang percaya diri, keagamaan yang kurang terinternalisasi,

rendahnya kemampuan dalam mengambil keputusan. Serta kurangnya

ketrampilan berkomunikasi (misalnya: kesulitan menolak ajakan teman) dan tidak

bisa bersikap tegas ataupun asertif (BKKBN, 1997).

Kebanyakan orang khususnya para remaja enggan bersikap asertif karena

dalam dirinya ada rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya dirinya

tidak lagi disukai ataupun diterima. Selain itu alasan “untuk mempertahankan

kelangsungan hubungan” juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak

ingin membuat pihak lain sakit hati (Learn to say no, 2009). Hal ini sering terjadi

pada remaja perempuan, yang mana remaja perempuan sering tidak tahu

bagaimana mengatakan “tidak” kepada pacarnya jika dia diajak melakukan

sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa remaja perempuan kurang bisa bersikap

tegas dalam melakukan prilaku seksual. Sehingga banyak remaja khususnya

perempuan terjerumus kehal – hal negatif (BKKBN, 1997).

K.A Martin; P.Schwartz & Rutter (dalam Matlin, 2004) menyatakan bahwa

pada remaja putri sering dilaporkan bahwa mereka merasa dipaksa oleh pacar

mereka. Dan pada kenyataannya mereka sering menyebutkan bahwa alasan utama

mereka menyetujui untuk malakukan hubungan intim adalah karena mereka takut

pacar mereka akan meninggalkan mereka. Psikolog Rima Olivia (dalam Olivia,

Universitas Sumatera Utara


2005) juga menambahkan bahwa terjadinya hubungan seksual pranikah karena

remaja perempuan tidak merasa memiliki kekuatan, cemas memikirkan pendapat

orang lain, berupaya menyenangkan orang lain dengan mengorbankan diri sendiri,

penghargaan diri rendah dan mengkritik diri sendiri. Berdasarkan uraian diatas

dapat disimpulakan bahwa ketidakmampuan untuk bersikap asertif sering

berperan terhadap terjadinya hubungan seks yang sebetulnya tidak diinginkan

(Utamadi, 2002).

E. Hipotesa

Adapun hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh

negatif asertivitas terhadap prilaku seksual pranikah dimana semakin tinggi

asertivitas pada remaja perempuan maka semakin rendah prilaku seksual

pranikah.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai