Anda di halaman 1dari 32

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA PENGAYOMAN
GELOMBANG II
PERIODE 14 AGUSTUS-08 SEPTEMBER 2017

A.NUR ISTIQAMAH
N211 16 880

SEMESTER AKHIR 2017/2018


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA PENGAYOMAN
GELOMBANG II
PERIODE 14 AGUSTUS-08 SEPTEMBER 2017

A.NUR ISTIQAMAH
N211 16 880

Mengetahui, Menyetujui :
Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Pembimbing PKPA Farmasi Perapotekan
Program Studi Profesi Apoteker Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Dr. Aliyah, M.S., Apt. Andi Arjuna, S.Si., M.Na. Sc.T., Apt.
NIP. 19570704 198603 2 001 NIP. 19850404 201012 1 005

Makassar, September 2017


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan
pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapatkan makanan,
pakaian, perumahan dan pelayanan kesehatan serta pelayanan social lain yang
diperlukan. Dimana Kesehatan bisa mempengaruhi kualitas produktifitas sumber
daya manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup. Pemerintah harus ikut
berperan besar dalam penyelenggaraan sarana-sarana pelayanan kesehatan untuk
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Seiring berjalannya waktu pelayanan
kesehatan khususnya uuntuk Apoteker telah berkembang dari pelayanan obat
bergeser menjadi pelayanan pasien dengan berlandaskan pharmaceutical carre.
Pengembangan kegiatan khususnya untuk Apoteker yang tadinya hanya berfokus
pada pengelolaan obat berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Standar kompetensi apoteker yang disusun oleh Klinik Direktorat Jenderal
Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003 di apotek
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional,
melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman
dalam pengawasan praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan
mutu pelayanan farmasi di apotek. Didalam standar tersebut pelaksanaan farmasi
di apotek terdiri dari pelayanan obat non resep, pelayanan komunikasi-informasi-
edukasi, pelayanan obat resep dan pengelolaan obat.
Apoteker sebagai tenaga profesional di apotek memiliki peran yang sangat
penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, terutama dalam bidang
kefarmasian. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan calon apoteker yang
memiliki dedikasi tinggi yang mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dan dapat mengelola apotek dengan baik, calon apoteker juga perlu
dibekali dengan pengalaman praktek kerja secara langsung di apotek. Berdasarkan
hal tersebut, maka diadakan kerjasama antara Program Kerja Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi (PKPA) Universitas Hasanuddin dengan PT Kimia Farma
(Persero) Tbk menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
Apotek Kimia Farma. Kegiatan PKPA dilaksanakan di Apotek Kimia Farma
Pengayoman Makassar dimana pelaksanaan PKPA dimulai dari tanggal 14
Agustus sampai dengan 8 September 2017

I.2. Tujuan Pelayanan Resep


Pelayanan resep dalam PKPA bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan mahasiswa calon apoteker dalam hal pelayanan resep mulai dari
penerimaan resep yaitu skrining resep dengan memperhatikan persyaratan
administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangkan klinis, penyiapan obat
yang meliputi peracikan, pemberian etiket hingga penyerahan obat kepada pasien
serta pemberian informasi yang jelas terkait obat yang diterima.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Apotek dan Peranan Apoteker Pengelola Apotek

II.1.1 Definisi Apotek dan Apoteker


Permenkes No. 9 Tahun 2017 mendefinisikan apotek sebagai sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.
Adapun Surat Izin Apotek (SIA) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin untuk
menyelenggarakan apotek. (Permenkes, 2017). Menurut peraturan pemerintah
tahun 2009 Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002 menyatakan bahwa Apoteker Pengelola
Apotek (APA) adalah seorang apoteker yang telah diberikan Surat Izin Kerja (SIK)

II.1.2 Tugas dan Fungsi Apoteker Pengelola Apotek


Apotek memiliki tugas dan fungsi sebagai (PP Tahun 2009) :
1) Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
2) Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
3) Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan
yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata

II.1.3 Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Apoteker


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/MENKES/PER/V/2011
tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga kefarmasian, setiap tenaga
kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda
registrasi. Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat satu berupa
STRA bagi apoteker. STRA dan STRTTK berlaku selama lima tahun dan dapat
diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Surat Tanda Registrasi
Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. Untuk dapat menjalankan
pekerjaan kefarmasian, Apoteker yang telah memiliki STRA Khusus tidak
memerlukan SIPA atau SIKA, tetapi wajib melapor kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki ijazah Apoteker;
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik; dan
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Untuk dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian, Apoteker yang telah
memiliki STRA Khusus tidak memerlukan SIPA atau SIKA, tetapi wajib melapor
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Menurut Permenkes tahun 2016 dalam melakukan pelayanan seorang
apoteker harus legal dalam hal-hal berikut ini :
1. Persyaratan administrasi
a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Develop-
ment (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan.
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri,
baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau
mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang
undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar
pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.
II.2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Menurut Permenkes No 73 Tahun 2017 menyatakan bahwa pelayanan
Kefarmasian di Apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana

II.2.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis


Habis Pakai.

Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang
berkesinambungan yang dimulai dari pemilihan, perencanaan, penganggaran,
pengadaan, penerimaan, produksi, penyimpanan. distribusi, peracikan.
pengendalian, pengembalian, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan. Jaminan
mutu serta monitoring dan evaluasi, yang didukung oleh kebilakan, SDM,
pembiayaan dan sistem informasi manajemen yang efisien dan efektif. Proses
pengelolaan tersebut di atas harus dapat menjamin ketersediaan dan
keterjangkauan dari sediaan farmasi dan alat kesehatan yang berkhasiat
bermanfaat, aman dan bermutu (Mashuda, 2011). Menurut Peraturan Meteri
Kesehatan No.73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan apotek, pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan
dan pelaporan.
A. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat (PerMenKes, No.73, 2016).
B. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan
Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan (PerMenKes, No.73, 2016).
C. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima (PerMenKes, No.73, 2016).
D. Penyimpanan
1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas pada wadah baru. Wadah sekurang kurangnya memuat nama obat,
nomor batch dan tanggal kedaluwarsa.
2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang
lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
5. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out) (PerMenKes, No.73, 2016).
E. Pemusnahan dan penarikan
1. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kedaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin
kerja.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan resep
dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
3. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
5. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap
produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri (PerMenKes, No.73,
2016).
F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kedaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang kurangnya memuat nama obat, tanggal
kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan
(PerMenKes, No.73, 2016).
G. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri atas
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan
yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan,
barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang
dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya. Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal (PerMenKes, No.73, 2016).

II.2.2. Pelayanan Farmasi Klinik


Menurut Permenkes no 73 Tahun 2016 dibagi menjadi 7 bagian yakni :
A. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi:
1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan bobot badan
2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf
3. Tanggal penulisan resep
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: bentuk dan kekuatan sediaan;
stabilitas; dan kompatibilitas (ketercampuran obat).
Pertimbangan klinis meliputi: ketepatan indikasi dan dosis obat; aturan, cara
dan lama penggunaan obat; duplikasi dan/atau polifarmasi; reaksi obat yang tidak
diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain); kontra indikasi; dan
interaksi. Apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

B. Dispensing
Dispensing terdiri atas penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
- Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep
- Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan namaobat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
- Warna putih untuk obat dalam/oral;
- Warna biru untuk obat luar dan suntik;
- Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang
berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut (2):
1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta
jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep)
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan
obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari,
kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain
6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik,
mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil
7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker
(apabila diperlukan)
9. Menyimpan Resep pada tempatnya
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien

C. Konseling
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah.Untuk penderita penyakit
tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC,asma dan penyakit kronis lainnya,
Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
D. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya (1).

II.3. Penggolongan Obat


Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, obat adalah
bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.Obat dalam pengertian umum adalah
suatu substansi yang melaui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi
biologic (2).
Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Berdasarkan perundang-
undangan, obat terdiri dari:
Golongan
No Defenisi Contoh Penandaan Referensi
Obat
Obat bebas adalah obat yang
Paracetamol, Depkes RI,
1 Obat Bebas dijual bebas di pasaran dan dapat
Asetosal 2007
dibeli tanpa resep dokter
Obat bebas terbatas adalah obat
Obat Bebas yang dijual atau dibeli bebas tanpa Rhelafen®, Depkes RI,
2
Terbatas resep dokter, dan disertai dengan Feminax® 2007
tanda peringatan *)
Obat keras adalah obat yang
Clopidogrel,
hanya dapat dibeli di apotek
Levofloxacin
dengan resep dokter.
a. Psikotropika adalah zat/bahan
baku atau obat, baik alamiah
Depkes RI,
3 Obat Keras maupun sintesis bukan
2007
narkotik, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh Alprazolam,
selektif pada susunan saraf Diazepam,
pusat yang menyebabkan Barbital
perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
b. Obat Wajib Apotek (OWA)
adalah obat keras yang dapat Linastrenol,
diserahkan oleh apoteker Albendazol,
kepada pasien di apotek tanpa Ranitidin
resep dokter
Obat narkotik adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis
ataupun semi sintesis, yang dapat
Tramodol,
Obat menyebabkan penurunan atau Depkes RI,
4 Pethidin,
Narkotik perubahan kesadaran, hilangnya 2007
Codein
rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan
ketergantungan

Dan untuk kegiatan pengelolaan Psikotropika dan Narkotika memiliki sedikit


perbedaan. Berikut kegiatan pengelolaan psikotropika meliputi:
1. Pemesanan Psikotropika
Menurut UU No. 5 tahun 1997, pemesanan psikotropika harus
menggunakan surat pesanan psikotropika yang telah ditandatangani oleh
apoteker kepada PBF atau pabrik obat.
2. Penyimpanan Psikotropika
Penyimpanan obat psikotropika belum di atur dalam perundang-
undangan. Namun, obat golongan ini sering disalahgunakan, sehingga
disarankan untuk menyimpan obat psikotropika dalam lemari khusus
yang terpisah dengan obat-obat yang lain dan membuat kartu stoknya.
3. Penyerahan Psikotropika
Penyerahan psikotropika oleh apoteker hanya dapat dilakukan untuk
apotek lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan
pelayanan resep dokter.
4. Pelaporan Psikotropika
Laporan penggunaan psikotropika dikirim kepada Dinas Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial, Balai Besar POM, dan untuk arsip Apotek.
Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan
bulanan psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (paten),
satuan, jumlah awal bulan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir
bulan, serta keterangan.

Dan berikut Kegiatan pengelolaan narkotika meliputi:


1. Pemesanan Narkotika
Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan pada Pedangan Besar
Farmasi (PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek
ditandatangani oleh APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap
empat, dimana tiap jenis pemesanan narkotika menggunakan satu surat
pesanan yang dilengkapi dengan SIK apoteker dan stempel apotek.
2. Pelaporan Narkotika
Berdasarkan Surat Edaran Kepala Balai Besar POM di Makassar
No.PO.02.904.1155 tahun 2004 tentang pelaporan narkotika,
disampaikan kepada seluruh apotek yang melakukan pemesanan
narkotika ke PBF Kimia Farma, harus melengkapi catatan stock akhir
narkotika pada Surat Pesanan Narkotikanya. PBF Kimia Farma cabang
selanjutnya akan merekapitulasi jumlah penggunaan narkotika dari
masing-masing apotek setiap 3 bulan dan melaporkannya kepada
Penanggung Jawab Narkotika PT. Kimia Farma Pusat dengan tembusan
kepada Balai Besar POM Makassar dan Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Laporan yang ditandatangani oleh APA meliputi laporan penggunaan
sediaan jadi narkotika, laporan penggunaan bahan baku narkotika,
laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.

Menurut pasal 2 ayat 2 Undang- Undang RI No.5 tahun 1997 tentang


Psikotropika menyatakan bahwa psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Akan tetapi Berdasarkan UU No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 153 dinyatakan bahwa lampiran mengenai
jenis psikotropika golongan I dan golongan II sebagaimana tercantum dalam
lampiran UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi
narkotika golongan I. Dan untuk Narkotika dijelaskan dalam Undang - Undang
Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 6 ayat 1, berikut
penggolongan dan kegiatan pengelolaan psikotropika dan narkotika :

Psikotropika Narkotika
Golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
potensi amat kuat mengakibatkan sindroma serta mempunyai potensi sangat tinggi
ketergantungan. Contohnya antara lain lisergida mengakibatkan ketergantungan. Contoh:
(LSD/extasy), MDMA (Metilen Dioksi Meth Tanaman Papaver somniferum L., opium
Amfetamin), meskalina, psilosibina, katinona. mentah, opium masak, ganja,
Tetrahydrocannabinol, heroin, dan lainnya.
Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat Golongan II adalah narkotika berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir
/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
ketergantungan. Contohnya antara lain amfetamin, serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
metamfetamin (sabu-sabu), metakualon, ketergantungan. Contoh: Alfasetilmetadol,
sekobarbital, metamfetamin, fenmetrazin. Alfametadol, Alfentanil, Benzilmorfina,
Hidrokodon, Fentanil, Metadon, Morfin,
Petidin, dan lain-lain
Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat Golongan III adalah narkotika berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
mempunyai potensi sedang mengakibatkan pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
sindroma ketergantungan. Contohnya antara lain mengakibatkan ketergantungan. Contoh:
pentobarbital, amobarbital, siklobarbital Asetildihidrokodeina, Dihidrokodeina,
Etilmorfina, Kodein, Nikokodina, Norkodeina,
dan lain-lain.
Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam
terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contohnya diazepam,
allobarbital, barbital, bromazepam, klobazam,
klordiazepoksida, meprobamat.
BAB III
PELAYANAN RESEP DI APOTEK

III.1 Contoh Resep Obat


III.2 Skrining Resep

III.2.1 Persyaratan Administratif

Tabel 1. Kelengkapan Administratif Resep Narkotika


Tidak
Kelengkapan Ada Keterangan
Ada
Nama dokter √ dr. L
SIP √ -
Alamat dokter √ -
No. Telepon Dokter √ -
Paraf dokter √ Tidak tercantum
Tanggal penulisan 10 Juli 2017

resep
Tanda R/ √ R/ Codein 10 mg
Hisdane 1 tab
Methyl Prednisolon 5mg
Nama obat, dosis dan Dibuat kapsul sebanyak 10 kapsul

jumlah yang diminta
R/ Cefixime 200 mg No.6

1. 3 dd 1
Aturan pemakaian √
2. 2 dd I
Nama pasien √ Ny. N
Umur pasien √ 61 tahun
Alamat pasien √ Jl. Teuku Umar
Nomor telepon pasien √ 081342712xxx

Setelah dilakukan skrining administratif resep terdapat beberapa kekurangan pada


resep tersebut antara lain :
1. Paraf dokter
Dalam resep tidak tersedia paraf dokter, dalam peraturan penulisan resep
yang ditetapkan harus tersedia para dokter untuk informasi bagi apoteker
apakah resep tersebut legal. Namun akan tetapi karena dokter yang
menjalankan praktek merupakan dokter yang dinaungi oleh perusahaan kimia
farma maka hal ini tidak dipermasalahkan.
2. Alamat dan nomor telepon dokter
Keberadaan alamat dokter dan nomor telpon dokter juga sangat penting untuk
apoteker dalam verifikasi jika terdapat masalah dengan resep. Namun dalam
resep tidak terdapat dikarenakan dokter yang melakukan praktek dinaungi
oleh perusahaan klinik kimia farma sehingga bisa diklarifikasi oleh apoteker.
3. Nomor SIP (Surat Izin Praktek) Dokter
Nomor SIP pada resep sangatlah penting dimana hal ini untuk mengetahui
kelegalan dari resep dan jasa praktek dokternya. Seorang dokter yang menulis
resep harus sudah memiliki no SIP. Akan tetapi dalam resep diatas dokter
yang bersangkutan telah mengikat kontrak dengan klinik kimia farma dan
kelegalan dari praktek dokternya sudah dinaungi oleh perusahaan klinik kimia
farma.

III.3 Kesesuaian Farmasetik


1) Kesesuaian Bentuk Sediaan
Pasien merupakan pasien dewasa yang berumur 61 tahun. Pemberian
obat berdasarkan resep yakni Kapsul dan tablet. Hal ini sudah sesuao
dikarenakan pasien tidak memiliki kesulitan untuk menelan atau
mengkonsumsi obat yang diberikan.
2) Inkompatibilitas Obat
Pada resep diatas, yang mana pada resep pertama adalah obat racikan
serbuk Codein, Hisdane dan metilprednisolone tidak terjadi
inkompatibilitas antara satu sama lain sehingga dapat diracik.
3) Kesesuaian Dosis
a. Cefixime
Dosis lazim cefixime sehari 200 – 400 mg sehari
Perhitungan dosis lazim dewasa (61 tahun)
Sekali pakai : 1 x 200 mg = 200 mg
Sehari : 2 x 200 mg = 400 mg (memenuhi dosis lazim)
b. Obat racikan
1) Codein
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 10 mg untuk tiap
kapsul.
Dosis lazim dewasa sekali pakai 10 - 20 mg, sehari 30 – 60 mg
(FI III, 1979)
Perhitungan dosis lazim dewasa (61 tahun)
Sekali pakai : 1 x 10 mg = 10 mg (memenuhi dosis lazim)
Sehari : 3 x 10 mg = 30 mg (memenuhi dosis lazim)
2) Hisdane (Terfenadine)
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 60 mg untuk tiap
kapsul.
Dosis lazim sehari 60 – 120 mg (Mims, 2016)
Perhitungan dosis lazim dewasa (61 tahun)
Sekali pakai : 1 x 60/10mg = 6 mg
Sehari : 3 x 6 mg = 18 mg.
3) Methyl Prednisolon
Dosis yang diberikan oleh dokter adalah 2 mg untuk tiap kapsul.
Dosis lazim 4-48 mg sehari (BNF, 2007)
Perhitungan dosis lazim dewasa (61 tahun)
Sekali pakai : 1 x 2 mg = 2 mg
Sehari : 3 x 2 mg = 6 mg (memenuhi dosis lazim)

III.4 Pertimbangan Klinis


Dari resep diatas terdapat dua R dimana terdiri dari racikan dan tablet
Dalam racikan terdapat obat codein, hisdane (terfenadine) dan methyl
prednisolon. Dan juga ada cefixime yang diresepkan dalam bentuk sediaan
tunggal. Cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga yang dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran pernapasan
atas. Dan racikan obat berisi 3 obat yakni codein merupakan obat golongan
narkotika yang dapat meredakan batuk, hisdane yang berisi terfenadin
merupakan antihistamin yang dapat mengurangi radang. Dan methyl
prednisolon untuk mengatasi batuk yang dialami oleh pasien dan kondisi
alergi (umumnya penderita batuk terasa gatal pada leher karena aksi
mediator inflamasi histamin). Berdasarkan resep pemberian obat sebaiknya
untuk penggunaan hisdane sebaiknya tidak usah diberikan karena
methylprednisolone juga memiliki mekanisme sebagai antihistamin. Jika
pasien mengalami peradangan yang memerlukan efek anti inflamasi dan
efek penekanan rasa gatal karena aktivitas histamin maka cukup digunakan
metilprednisolon. Dan untuk penggunaan secara bersamaan antara
metilprednisolon dan antihistamin terfenadine bisa meningkatkan efek
sedasi dari kedua obat ini sehingga dapat memberikan rasa tidak nyaman
terhadap pasien.

III.5. Uraian Obat dalam Resep


1. Cefixime (MIMS Indonesia, 2017)
a. Komposisi
Tiap kapsul mengandung Cefixime 50,100 dan 200 mg
b. Indikasi
Cefixime efektif untuk infeksi telinga tengah (otitismedia), infeksi
tenggorokan (faringitis) laringits, bronkitis dan pnemonia. CEfixime juga
digunakan untuk infeksi saluran kemih, gonorhe serta bronkitis akut yang
disebabkan oleh baktero pada pasien dengan penyakit obstruksi akut.
c. Farmakologi
Cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
dimana obat ini sangat stabil dengan adanya enzym beta laktamse. Efek
dari kerja cefixime ini adalah menghambat sintesis mucopeptida pada
dinding sel bakteri. Seperti antibiotik beta laktam lainnya, cefixim
mengikat PBPs (Protein binding proteins) yang terdapat dalam dinding
sel bakteri, yang menyebakan penghambatan pada sintesis dinding sel
bakteri tahap ketiga atau terakhir.
d. Kontraindikasi
Pasien dengan riwayat syok atau hipersensitivitas yang disebabkan
komponen dalam obat.
e. Efek Samping
Diare dan keluhan saluran cerna lainnya, pusing, sakit kepala, vaginitis,
colitis, pseudomembran, reaksi hipersensivitas dalam berbagai
manifestasi, defisiensi vitamin K dan B.
f. Perhatian dan peringatan
Reaksi hipersensitivitas seperti syok dapat terjadi, pemberian
cefixime pada wanita hamil dilakukan hanya bila manfaat lebih besar
dibandingkan resikonya, dan Pada wanita yang menyusui, harus
dipertimbangkan untuk melakukan penghentian terapi, karena cefixime
diekskresikan pada air susu.
2. Codein (MIMS Indonesia, 2016)
a. Komposisi
Setiap tablet mengandung Codeine phosphate hemihydrates setara
dengan Codeine 10 mg
b. Farmakologi
Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya,
tetapi lebih lemah, misalnya efek analgetiknya 6-7 x kurang kuat. Efek
samping dan risiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering digunakan
sebagai obat batuk, obat anti-diare, dan obat antinyeri, yang diperkuat
melalui kombinasi dengan parasetamol/asetosal. Obstipasi dan mual
dapat terjadi terutama pada dosis lebih tinggi (di atas 3 dd 20 mg).
Resorpsi oral dan rectal baik; di dalam hati zat ini didemetilasi menjadi
norkodein dan morfin (10%) yang memberikan sifat analgetiknya.
Kodein secara umum diubah menjadi morphine yang merupakan bentuk
aktivnya melalui enzim CYP2D6 yang bekerja pada reseptor opioid yang
tersebar luas pada sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonestrasi diotak.
Pada dasarnya reseptor opiod di otak ternbagi menjadi 5 yaitu reseptor
mu, delta, kapa, sigma dan episilon. Reseptor ini banyak tersebar pada
medula oblongata yang juga merupakan tempat tersebarnya pusat batuk
sehingga menaikan ambang rangsang batuk, menekan batuk dan
mengurangi iritan perifer.
c. Indikasi
Sebagai analgetika dan antitusif narkotika bekerja dengan cara
menekan langsung pada pusat batuk di medulla dan digunakan untuk
mengurangi frekuensi batuk pada batuk kering non produktif.
d. Kontraindikasi
Hindari penggunaan pada depresi napas akut, asma bronkial,
emfisema paru, alkoholisme akut, dan bila terdapat resiko ileus paralitik;
tidak dianjurkan pada akut abdomen; peningkatan tekanan kranial atau
trauma kepala, feokromositoma.
e. Efek samping atau efek toksik
Mual, muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi.
f. Peringatan dan perhatian
Hipotensi, hipotiroidisme, asma (hindari selama serangan); dan
turunnya cadangan pernapasan, hipertrofi prostat; wanita hamil dan
menyusui; dapat memicu koma pada kerusakan hati (kurangi dosis atau
hindari; tetapi banyak pasien demikian dapat menerima morfin), kurangi
dosis atau hindari pada kerusakan ginjal; penderita lanjut usia dan skit
parah (kurangi dosis); ketergantungan (gejala putus obatnya berat);
penggunaan antitusif golongan analgetik opioid secara umum tidak
dianjurkan pada anak dan harus dihindari seluruhnya pada mereka di
bawah satu tahun

3. Hisdane (drugbank.com)
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung terfenadin 60 mg
b. Indikasi
Terfenadin merupakan antihistamin yang digunakan untuk pengobatan
rhinitis alergi, demam dan gangguan alergi kulit.
c. Farmakologi
Terfenadine merupakan golongan obat antihistamin H1 dimana ibat ini
bersaing dengan histamine untuk menghancurkan reseptor H1 di saluran
pencernaan, uterus, pembesaran pembuluh darah .
d. Kontraindikasi
Ibu menyusui bayi premature dan bayi baru lahir
e. Efek Samping
Sedatif ringan, gangguan pencernaan dan mulut kering.
4. Methyl Prednisolon
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung 4 mg metil prednisolone
b. Indikasi
Kondisi inflamasi dan alergi, rhinitis alergi, penyakit autoimun, penyakit
reumatik, gangguan hematologi.
c. Farmakologi
Methylpredinolone merupakan suatu glukokorticosteroid yang digunakan
sebagai antiinflamasi atau agen immunosupresan. Obat ini bekerja
dengan cara menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang
responsif. Ikatan steroid reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang
kemudian mempengaruhi sintesis berbagai protein. Beberapa efek
penting yang tibul akibat ini yaitu berkurangnya produksi prostaglandin
dan leukotriene, berkurangnya degranulasi mast sel dan berkurangnya
sintesis kolagen.
d. Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik dan pasien hipersensitif. Pemberian kortikosteroid
yang lama merupakan kontraindikasi pada ulkus duodenum dan
peptikum, osteoporosis yang berat, penderita dengan riwayat penyakit
jiwa, herpes. Pasien yang sedang diimunisasi
e. Efek Samping
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kelemahan otot, gangguan
penyembuhan luka, katarak subkapsular posterior, hambatan
pertumbuhan pada anak, osteoporosis dan tukak peptic.
f. Dosis
Ketika diberikan secara oral, methylprednisolone biasanya memiliki
rentang dosis awal 4-48 mg sehari-hari tetapi lebih tinggi awal dosis
hingga 100 mg atau lebih sehari dapat digunakan pada penyakit berat
akut.
III.6. Penyiapan dan Peracikan Obat
III.6.1 Resep Non Racikan
1. Cefixime 200 mg
Disiapkan cefixime sebanyak 6 tablet dan dimasukkan ke dalam sak obat.
Kemudian diberi etiket putih dengan aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet
sesudah makan dan dihabiskan.
III.6.2 Resep Racikan
Racikan (codein, hisdane, dan methyl prednisolon)
a. Perhitungan bahan
1) Dibuat 10 kapsul, bahan yang harus disiapkan :
 Tiap 1 tablet mengandung 10 mg codein
100 mg
Codein = 10 mg x 10 kapsul = × 1 tablet = 10 tablet
10 mg

 Tiap 1 tablet mengandung hisdane 60 mg


60 mg
Hisdane = x 10 kapsul = 60 mg = 1 tablet
10
 Tiap 1 tablet mengandung methyl prednisolone 4 mg
20 mg
methyl prednisolon = 2 mg x 10 kapsul = × 1 tablet
2 mg
= 10 tablet untuk 2 mg
*yang digunakan 4 mg jadi 5 tablet.

b. Cara pembuatan
1) Ketiga komponen obat dimasukkan ke dalam alat pulverizer/blender,
kemudian alat dijalankan hingga seluruh komponen obat tercampur
homogen. Setelah homogen campuran obat diletakkan dikertas perkamen.
2) Selanjutnya campuran obat dimasukkan ke dalam cangkang kapsul
menggunakan alat pengisi kapsul sebanyak 10 kapsul hingga sama rata.
3) Kemudian itu cangkang ditutup dan dilap dengan tissue/kasa untuk
membersihkan sisa-sisa serbuk yang melekat pada bagian luar cangkang
kapsul.
c. Pengemasan
Kapsul yag telah bersih dimasukkan dalam sak obat lalu diberi etiket
putih dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 kapsul sesudah makan.
III.7 Etiket dan salinan resep

1. Etiket

APOTEK KIMIA FARMA PENGAYOMAN


Jl.Pengayoman C2 no. 16, Makassar
Apoteker: . Rezky Ekawati S.Farm, Apt
No. SIPA: 446/263.1.10/SIPA/DKK/X/2016
No. 01/1 Makassar, 10-07-2017

Ny.N

3 x Sehari 1 kapsul (Pagi dan Malam)


sesudah makan

Gambar 7. Etiket obat racikan

APOTEK KIMIA FARMA PENGAYOMAN


Jl. Pengayoman C2 No. 16, Makassar
Apoteker: Rezky Ekawati S.Farm, Apt
No. SIPA: 446/263.1.10/SIPA/DKK/X/2016
No. 01/2 Makassar, 10-07-2017

Ny. N

2 x Sehari 1 tablet (pagi, siang, malam)


sesudah makan dan dihabiskan

Gambar 10. Etiket obat non racikan


2. Salinan resep

APOTEK KIMIA FARMA PENGAYOMAN


Jl. PENGAYOMAN C2 No.16, Makassar
MAKASSAR
Apoteker: .
COPY RESEP
Salinan dari Resep No: 01 Tanggal: 10/07/2017
Dari dr. : dr. L
Dibuat tanggal : 10/07/2017
Untuk : Ny. N

R/ Codein 1 mg *10tab
Hisdane 1 tab
Methylprednisolon 4 mg *5tab
m.f.pulv.da.in caps No.X
S.3.dd.I
det

R/ Cefixime 200 mg No. VI


S.2.dd.tab I a.c
det.

Stempel
apotek

p.c.c
Paraf
(Rezky Ekawati, S.Farm., Apt)

Gambar 11. Salinan resep


III.8. Penyerahan Obat dan KIE
Dalam proses penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melakukan
pemeriksaan akhir terlebih dahulu diantaranya yakni, kesesuaian obat dengan
resep, nama pasien, alamat pasien, umur, obat (nama, bentuk sediaan, dosis,
jumlah obat), aturan pakai, dan etiket. Dimana ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya kesalahan dalam pemberian obat. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker dan disertai dengan pemberian informasi obat kepada pasien.
Selanjutnya, dilakukan dilakukan proses penyerahan obat disertai dengan
pemberian informasi obat. Informasi yang diberikan kepada pasien/ keluarga
pasien pada saat penyerahan obat antara lain:
1. Pada resep yang pertama merupakan obat racikan yang ditujukan untuk
mengatasi batuk dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 kapsul sesudah makan
2. Pada resep kedua obat yang diberikan adalah antibiotik yang digunakan untuk
mengatasi infeksi saluran pernapasan pada pasien dengan jumlah pemakaian
maksimal adalah 2 kali sehari sesudah makan dan dihabiskan. Dan jumlah
pemakaian obat adalah selama 3 hari.
3. Memberi informasi tentang efek samping yang akan ditimbulkan dari obat
yang tertera pada resep,
4. Pasein tidak dianjurkan memnium jus jeruk ketika mengonsumsi obat
racikan.
5. Obat sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk dan
kering, terlindung dari cahaya dan terhindar dari jangkauan anak-anak.
BAB IV
PENUTUP
IV. I Kesimpulan
Berdasarkan hasil skrining resep yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa :
1. Berdasarkan obat yang diresepkan sudah sesuai untuk mengatasi peradangan
dikarenakan infeksi saluran pernasapasan.
2. Didalam resep terdapat polifarmasi dimana ada dua obat yang bisa memiliki
aktivitas farmakologi yang sama yakni sebagai antihistamin dalam obat
racikan.

IV. II Saran
Dalam menjalankan tugas sebagai apoteker, edukasi dan penjelasan
mengenai obat yang akan diberikan harus jelas dan pasien dipastikan mengerti
dengan apa yang dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan


RI. Jakarta.

2. Drug Interaction. https://www.drugs.com/drug_interactions.php. 2017.

3. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). 2016. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia.
Volume 50. PT. ISFI Penertibatan. Jakarta.

4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/Menkes/SK/VII/1990 Tahun 1990


tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta.

5. Keputusan Menteri Kesehatan No 924/Menkes/Per/X/1993 Tentangg Daftar


Obat Wajib Apotek No. 2. Jakarta.

6. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar


Obat Wajib Apotek No. 3. Jakarta.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan


Kefarmasian; Jakarta.

8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.

9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang


Apotek. Jakarta.

10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015


Tentang
11. Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi. Jakarta.

12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
13. Perubahan Penggolongan Narkotika

14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang
15. Perubahan Penggolongan Psikotropika

16. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.2380/A/SK/VI/83


Tahun 1983 Tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas.
Jakarta.
17. Sukandar, E. Y, Retnosari. A, Jeseph I Sigit, I. K. Adnyana, dan Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.

18. Tim Editor MIMS. 2016. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi
Kesepuluh. PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

19. Tjay, H.T dan Rahardja, K.,2008. Obat-obat Penting Edisi Keenam. Elex Media
Komputindo, Gramedia, Jakarta

20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.


Jakarta.

21. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai