Anda di halaman 1dari 4

Globalisasi dan Informasi Week 11

Moch. Arief Setiawan


071211231059

Terorisme Sebagai Bentuk Terror Mental Media Informasi dan Komunikasi Global

Serangan terhadap gedung World Trade Center pada 9 September 2001 mulai mengalihakan
pandangan akdemisi Hubungan Internasional terkait dengan non-state potential threat.
Media-media menyiarkan secara langsung serangan yang dilakukan oleh teroris ketika
menabrakkan pesawatnya ke dua gedung kembar tersebut. CNN menjadi media yang
menyiarkan serangan tersebut secara real time, dengan kemajuan teknologi informasi,
serangan tersebut mampu diterima di seluruh dunia. Publik dunia mampu melihat betapa
mengerikannya serangan teroris yang dilakukan. Publik dunia pun mengalami kekhawatiran
akan kejamnya serangan yang dilakukan oleh teroris secara tiba-tiba. Dunia kemudian
mengalami berbagai fenomema seperti, anti-islam, xenophobia, dan lain sebagainya sebagai
bentuk respon serangan 9/11.

Satu hal yang kemudian digarisbawahi adalah bagaimana publik mengalami rasa khawatir
dan takut hingga kemudian berujung pada respon adalah ditentukan oleh aktor utama, yaitu
media massa. Kendatipun demikian, definisi pasti dari teorisme maupun cyberterrorism
masih menjadi suatu perdebatan (Weimann 2005, 130). Terorisme merupakan sebuah aksi
terror yang dilakukan, dan media menjadi alat uatam bagi teroris untuk menyampaikan
berbagai aksi-aksi brutalnya. Weimann (2005) mejelaskan model terorisme yang lebih
modern adalah cyberterrorism. Cyberterorrism di definisikan sebagai sebuah bentuk
penggunaan media komputer atau jaringan komputer yang digunakan untuk membahayakan
bahkan mematikan jaringan vital komputer suatu negara. Objek-objek vital tersebut antara
lain jaringan yang berkenaan dengan komputerisasi jaringan transportasi, energi, intelijen,
bahkan pertahanan. Hal ini menandakan bahwa tingkat ketergantungan negara yang semakin
tinggi pada jaringan internet.

Dengan semakin tingginya ketergantungan tersebut maka berbanding lurus dengan risiko
yang semakin tinggi. Semakin tergantung suatu negara terhadap jaringan komputerisasi maka
negara tersebut menghadapi risiko lemahnya jaringan kemanan yang riskan diretas.
Cyberterrorism merupakan sebuah ladang baru bagi para teroris untuk melakukan serangan
karena serangan mampu dilakukan secara anonim. Terminologi terkait dengan cyberterrorism
sebenarnya telah muncul sejak dekade tahun 1990-an. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kekhawatiran para akdemisi di Amerika Serikat yang mulai memperdebatkan terkait dengan
naiknya risiko bersamaan dengan masuknya era information society dan masifnya
penggunaan jaringan internet di Amerika Serikat (Weimann 2005, 131).

Cyberterrorism memberikan efek psikologis yang cukup berat pada opini publik global. Hal
ini cukup berasalan, pertama, rasa takut dalam era modern saat ini dikendalikan oleh
ketakutan teror yang memanfaatkan jaringan komputer dan disebut sebagai cyberterrorism.
Ketakutan tersebut meliputi aksi serangan terhadap korban yang bersifat acak dan tidak
membeda-bedakan target serangan. Musuh yang tidak tampak lebih berbahaya daripada
musuh yang benar-benar tampak. Wujud tangible dari suatu ancaman mampu diberlakukan
cara-cara antisipasi yang lebih baik, seperti letak dimana musuh berada, sehingga mampu
dilakukan serangan secara presisi. Akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya berlaku dalam upaya
menghadapi ancaman yang intangible, was-was yang begitu tinggi tanpa mengetahui dimana
sesungguhnya letak musuh yang ada. Hal ini akan menimbulkan sebuah rasa frustrasi yang
kemudian didukung dengan adanya serangan tiba-tiba yang ada di dekat kita. Seolah-olah
menhadapi sosok hantu yang mengetahui keberadaan kita tanpa kita ketahui keberadaannya
(Weimann 2005, 131).

Alasan kedua adalah adanya pemberitaan oleh media-media mainstream yang memberikan
judul yang menakutkan dan menjadikan setiap aksi terorisme sebagai sebuah headline utama.
Sebagai contoh adalah adanya pemberitaan yang muncul di the Washington Post pada tahun
2003 yang memberikan judul headline “Cyber attacks by Al-Qaeda feared, Terrorist at
Treshold of Using Internet as Tool of Bloodsheed”. Contoh ini adalah sekian dari banyak
sekali artkel serupa yang ada di dunia. Adanya poemberitaan yang hiperbola dari media-
media inilah yang kemudian mampu mengkonstruksikan publik terkait persepsi ketakutan
mereka terhadap aksi terorisme. Sebagai contoh yang penulis ambil adalah dari aksi terorisme
yang terjadi di Paris beberapa pekan yang lalu. Teroris melakukan serangan di Gedung
Batachland dengan melakukan tembakan membabi buta, serta diikuti oleh ledakan bom di
beberapa titik disekitar Paris. Media-media kemudian memberitakan kejadian keseluruh
dunia secara cepat dalam waktu kurang dari 24 jam. Hasilnya adalah publik dunia mengutuk
aksi serangan terorisme di Perancis, dan mampu memupuk aksi solidaritas melalui media
sosial dengan hashtag #PrayforParis dan begitu juga muncul fitur di facebook untuk
mengganti foto profil dengan bendera Perancis sebagai bentuk aksi solidaritas.
Kendatipun demikian, lantas terdapat ambiguitas terhadap cyberterrorism itu sendiri.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalag apakah cyberterrorism sama halnya dengan
hacktivism. Hactivism berbeda dengan cyberterrorism. Dorothy Denning (dalam Weimann
2005, 135) mendefinisikan bahwa hacktivism merupakan percampuran antara aksi hacking
(aksi yang berkenaan dengan manipulasi, melakukan eksploitasi risiko ketidakstabilan
jaringan) dengan political activism. Hacktivism hanya memiliki tujuan untuk melakukan
protes-protes terhadap pemerintah dengan memanfaatkan media jaringan komputer sebagai
sarana protes utama dengan melupuhkan jaringan yang ada, namun hacktivism tidak
melakukan aksi pembunuhan terhadap penduduk secara acak dan membabi buta.

Cyberterrorism menjadi sebuah cara baru yang dilakukan oleh ara teroris dalam melancarkan
aksinya. Terdapat beberapa alasan mengapa cyberterrorism di pilih oleh para teroris. Pertama,
cyberterrorims menghabiskan biaya yang lebih murah apabila dibandingkan dengan aksi
terorisme konvensional. Dalam melakukan aksi cyberterrorism, teroris tidak membutuhkan
uang untuk membeli senjata dan peledak, yang dibutuhkan hanya sebatas komputer pribadi
dan jaringan internet, serta komponen-komponen yang mendukung. Kedua, cyberterrorism
memberikan peluang kepada teroris untuk melakukan aksinya secara anonim, berbeda dengan
aksinya secara konvensional. Selain itu pelaku teror mampu memalsukan identitas dan
bahkan merahasiakan identitasnya, sehingga akan menyulitkan pihak kemanan dalam
melakukan identifikasi secara cepat terhadap pelaku teror. Ketiga, jenis korban dan besarnya
jumlah korban melalui cyberterrorism memiliki jumlah yang sangat besar. Hal ini disebabkan
teroris mampu mejadikan target-target komponen vital sebuah negara. Sepeti secara ekstrim
penulis mengambil contoh reaktor-reaktor nuklir sebuah negara yang terkomputerisasi,
apabila teroris mampu masuk, maka teroris akan dengan mudah meledakkan reaktor tersebut.
Contoh lain adalah sistem penerbangan yang semua sistemnya sebagian besar menggunakan
sistem daring, maka pesawat akan dapat dengan mudah dijatuhkan apabila teroris melakukan
serangan terhadap server pusat yang terkoneksi dalam satu jaringan. Bayangkan akan ada
berapa banyak pesawat yang akan jatuh dan berapa banyak jumlah korban yang akan
ditimbulkan. Keempat, cyberterrorism tidak membutuhkan terlalu banyak physical training,
risk of mortality and travel. Terakhir adalah cyberterrorism memiliki dampak langsung
terhadap para korban, selain itu adanya blow up besar-besaran dari media membantu para
terorismendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu ketakutan massal (Weimann 2005, 137).

Sehingga berdasarkan pemaparan diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa masyarakat


informasi menjadi jalan masuk baru bagi teroris untuk bertransformasi dalam melakukan
aksinya. Tujuan utama dari aksi terorisme adalah menyebarkan rasa ketakutan yang meluas di
kalangan masyarakat global. Dengan adanya era information society semakin menambah efek
dan tujuan dari terorisme itu sendiri. Dengan adanya bantuan media yang melakukan blow up
terhadap berbagai aksi-aksi teror maka teroris telah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Dengan adanya kemajuan teknologi informasi dengan adanya berbagai media sosial seperti
twitter, facebook dan youtube menjadikan media ini sebagai sarana publikasi aksi-aksi teror
yang mereka lakukan. Sebagai contoh adalah bagaimana ISIS menggunakan media twitter
dalam rangka melakukan publikasi terkait dengan statement-statement yang dikeluarkan
hingga kemudian sampai menggunakan media youtube dalam rangka memberikan ancaman
nyata bagi publik secara global. Era informasi memberikan dorongan bagi teroris untuk
melakukan aksinya dan bertransformasi dari cara konvensional menuju era daring, melaui
cyberterrorism. Banyak sekali kemudahan yang diberikan oleh era information society
kepada para teroris yang setidaknya mampu duarngkum menjadi lima faktor, yaitu biaya yang
murah, memberikan peluang untuk merahasiakan identitas, jumlah korban yang lbeih banyak,
risiko kematian dapat ditekan, dan terakhir adalah adanya kekuatan berdasarkan pemberitaan
‘hiperbola’ dari media-media. Terkait dengan posibilitas untuk menghambat aksi teror dalam
era masyarakat informasi menurut penulis adalah sulit bahkan tidak mungkin. Hal ini
menurut penulis dengan semakin masifnya perkembangaan teknologi informasi dan jaringan
komputerisasi maka risiko vulnerabilty juga akan menigkat berbanding lurus. Bahkan penulis
memiliki kekhawatiran terkait dengan semakin advanc- nya teknologi, maka bukan tidak
mungkin jika teroris mampu mencuri kode-kode pencuri nuklir miliki negara untuk kemudian
diluncurkan ke target acak. Hal ini akan menjadi sebuah bencana moral kontemporer bagi
sejarah umat manusia.

Referensi:

Weimann, Gabriell, 2005. Cyberterrorism: the Sum of All Fears?. Studies in Conflict &
Terrorism. Taylor and Francis (28) 129-149.

Anda mungkin juga menyukai