Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Latar belakang terjadinya revolusi perancis disebabkan oleh tiga faktor yaitu: faktor
ketidak adilan politik, kekuasaan raja yang absolut, krisis ekonomi, dan munculnya paham
baru. Dalam bidang politik, kaum bangsawan memegang peranan yang sangat penting dalam
bidang politik, sehingga segala sesuatunya ditentukan oleh bangsawan sedangkan raja hanya
mengesahkan saja. Ketidakadilan dalam bidang politik dapat dilihat dari pemilihan pegawai-
pegawai pemerintah yang berdasarkan keturunan dan bukan berdasarkan profesi atau
keahlian, Hal ini menyebabkan administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya
tindakan korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat
kecil untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.

Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki absolut, di mana raja dianggap selalu
benar. Semboyan Louis XIV adalah l'etat c'est moi (negara adalah saya). Untuk
mempertahankan keabsolutannya itu, ia mendirikan penjara Bastille. Penjara ini
diperuntukkan bagi siapa saja yang berani menentang keinginan raja. Penahanan juga
dilakukan terhadap orang-orang yang tidak disenangi raja. Mereka ditahan dengan surat
penahanan tanpa sebab (lettre du cas). Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena
kekuasaan raja tidak dibatasi undang-undang.

Sebab lain terjadinya Revolusi Prancis adalah adanya krisis keuangan. Kehidupan raja
dan para bangsawan istana serta permaisuri Louis XVI ,yakni Maria Antoinette (terkenal
dengan sebutan Madame deficit) yang hidup penuh dengan kemewahan dan kemegaha. Di
samping itu, adanya warisan hutang dari Raja Louis XIV dan Louis XV menjadikan hutang
negara makin menumpuk. Satu-satunya cara untuk mengatasi krisis keuangan ini adalah
dengan cara memungut pajak dari kaum bangsawan, tetapi golongan bangsawan menolak dan
menyatakan bahwa yang berhak menentukan pajak adalah rakyat. Raja Prancis, Louis XVI
menyadari bahwa masalah keuangan negara dapat teratasi bila setiap orang atau golongan
membayar pajak. Akan tetapi karena mereka tidak memiliki kewibawaan dalam menindak
golongan I dan II, maka golongan tersebut tetap memiliki hak-hak istimewa dan bebas dari
pajak.

Selain faktor ketidak adilan politik dan krisi ekonomi, munculnya filsuf-filsuf
pembaharu juga turut andil dalam meletusnya revolusi Prancis dengan pengaruh paham
rasionalisme mereka. Paham ini hanya mau menerima suatu kebenaran yang dapat diterima
oleh akal. Paham ini telah melahirkan renaisans dan humanisme yang menuntun manusia
bebas berpikir dan mengemukakan pendapat.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari Revolusi Prancis?


2. Apa penyebab terjadinya Revolusi Prancis?
3. Bagaimana proses terjadinya Revolusi Prancis?
4. Apa dampak dari terjadinya Revolusi Prancis ?
5. Apa pengaruh Revolusi Prancis terhadap Indonesia ?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian dari Revolusi Prancis.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Revolusi Prancis.
3. Untuk mengetahui proses terjadinya Revolusi Prancis.
4. Untuk mengetahui dampak dari terjadinya Revolusi Prancis.
5. Untuk mengetahui pengaruh Revolusi Prancis terhadap Indonesia.

D. MANFAAT BAGI PEMBACA


1. Pembaca dapat mengetahui, memahami konsep dasar penulisan makalah.
2. Pembaca dapat mengetahui dan memahami makalah dan ciri-ciri serta syarat-syarat
dalam makalah.
3. Pembacadapat mengetahui, memahami, dan mampu mengimplementasikan teori,
konsep, dan langkah-langkah penulisan makalah serta unsur-unsurnya.
4. Pembaca mengetahui, memahami, dan menguasai tentang kajian kepustakaan untuk
mengimplementasikan dalam penulisan makalah.
5. Pembaca dapat mengetahui, memahami, dan menguasai tentang pembuatan makalah.
BAB II
PEMBAHASAN

Revolusi Perancis (bahasa Perancis: Révolution française; 1789–1799) adalah suatu


periode sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis yang memiliki dampak abadi
terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki
absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun.
Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan
monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-
jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan. Ide-ide lama yang berhubungan dengan
tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan
digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh
Eropa, yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah
pemberontakan rakyat. Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi
selama dua abad berikutnya.

Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI naik takhta pada
tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian
rakyat terhadap monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan
sentimen radikal, Revolusi Perancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya
pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Perancis diawali
dengan diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada bulan Juni oleh Etats Ketiga,
diikuti dengan serangan terhadap Bastille pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita di Versailles yang memaksa istana
kerajaan pindah kembali ke Paris pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi
Perancis didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang
berupaya menggagalkan reformasi.

Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI
dieksekusi setahun kemudian. Perang Revolusi Perancis dimulai pada tahun 1792 dan
berakhir dengan kemenangan Perancis secara spektakuler. Perancis berhasil menaklukkan
Semenanjung Italia, Negara-Negara Rendah, dan sebagian besar wilayah di sebelah barat
Rhine – prestasi terbesar Perancis selama berabad-abad.

Secara internal, sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan


Maximilien Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik
selama Pemerintahan Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama periode ini, antara 16.000
hingga 40.000 rakyat Perancis tewas.[2] Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian
Robespierre, Direktori mengambilalih kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia
digantikan oleh Konsulat di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Revolusi Perancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap
perkembangan sejarah Modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya
sekularisme, perkembangan ideologi modern, dan penemuan gagasan perang total adalah
beberapa warisan Revolusi Perancis.[3] Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan
Revolusi ini adalah Perang Napoleon, dua peristiwa restorasi monarki terpisah; Restorasi
Bourbon dan Monarki Juli, serta dua revolusi lainnya pada tahun 1834 dan 1848 yang
melahirkan Perancis modern.

A. Penyebab Revolusi Perancis

Pemerintah Perancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI
dikritik karena tidak mampu menangani masalah ini. Sebagian besar sejarawan berpendapat
bahwa sebab utama Revolusi Perancis adalah ketidakpuasan terhadap Ancien Régime. Lebih
khusus, para sejarawan juga menekankan adanya konflik kelas dari perspektif Marxis; hal
yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian yang tidak sehat, panen yang buruk,
kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi yang tidak memadai adalah hal-hal yang
memicu kebencian rakyat terhadap pemerintah. Rentetan peristiwa yang mengarah ke
revolusi dipicu oleh kebangkrutan pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang
yang besar akibat keterlibatan Perancis dalam berbagai perang besar. Upaya Perancis dalam
menantang Inggris – kekuatan militer utama di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh
Tahun berakhir dengan bencana, menyebabkan hilangnya jajahan Perancis di Amerika Utara
dan hancurnya Angkatan Laut Perancis. Tentara Perancis dibangun kembali dan kemudian
berhasil menang dalam Perang Revolusi Amerika, namun perang ini sangat mahal dan secara
khusus tidak menghasilkan keuntungan yang nyata bagi Perancis. Sistem keuangan Perancis
terpuruk dan kerajaan tidak mampu menangani utang negara yang besar. Karena dihadapkan
pada krisis keuangan ini, raja lalu memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama
kalinya selama lebih dari satu abad.

Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak
acuh terhadap krisis yang semakin meningkat. Meskipun secara teori pemerintahan Raja
Louis XVI berbentuk monarki absolut, namun dalam praktiknya ia sering ragu-ragu dan akan
mundur jika menghadapi oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi
pengeluaran pemerintah, namun lawannya di parlement berhasil menggagalkan upayanya
untuk memberlakukan reformasi yang lebih luas. Penentang kebijakan Louis semakin banyak
dan berupaya menjatuhkan kerajaan dengan berbagai cara, misalnya dengan membagikan
pamflet yang melaporkan informasi palsu dan dilebih-lebihkan untuk mengkritik pemerintah
dan aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam melawan monarki.[4]

Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Perancis adalah kebencian
terhadap pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya cita-cita Pencerahan. Ini
termasuk kebencian terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh,
dan kaum borjuis terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian
terhadap Gereja Katolik atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga
negara; keinginan untuk memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta
perdesaan miskin terhadap uskup aristokrat; keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial,
politik, ekonomi, serta (khususnya saat Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian
terhadap Ratu Marie Antoinette, yang dituduh sebagai seorang pemboros dan mata-mata
Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat bendahara keuangan Jacques
Necker, salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[5]

Pra-revolusi

Krisis keuangan

Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua
(bangsawan) di punggungnya.

Louis XVI naik takhta menjadi raja Perancis di tengah-tengah krisis keuangan; negara
sudah hampir bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan. Krisis ini terutama
sekali disebabkan oleh keterlibatan Perancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi
Amerika. Pada bulan Mei 1776, menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal
melaksanakan reformasi keuangan. Setahun kemudian, seorang warga asing bernama Jacques
Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan. Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan
resmi karena ia adalah seorang Protestan.
Necker menyadari bahwa sistem pajak di Perancis sangat regresif; masyarakat kelas
bawah dikenakan pajak yang lebih besar, sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan
banyak pengecualian. Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan
dan pendeta harus dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak uang agar
permasalahan keuangan negara bisa teratasi. Necker menerbitkan sebuah laporan untuk
mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa defisit negara menembus angka 36
juta livre. Necker juga mengusulkan pembatasan kekuasaan parlement.

Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja, dan Necker,
yang berharap bisa memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia harus diangkat sebagai
menteri, namun Raja menolaknya. Necker dipecat dan Charles Alexandre de Calonne
ditunjuk menjadi bendahara yang baru.[8] Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan
negara yang sedang kritis dan mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.

Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga
dipungut pada kaum bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne
mengadakan pertemuan dengan Majelis Bangsawan, berharap mendapat dukungan. Namun
bukannya mendukung rencana Calonne, Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan
mengkritiknya. Sebagai tanggapan, untuk pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-
Généraux pada bulan Mei 1789. Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki
Bourbon sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada tuntutan rakyatnya.

Etats-Généraux 1789

Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan
(etats): pendeta (Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat
biasa Perancis (Etats Ketiga). Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614,
masing-masing golongan memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara
ketiga. Parlement Paris khawatir bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander
majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu, mereka memutuskan bahwa susunan Etats
harus sama dengan susunan 1614. Aturan Etats 1614 ini berbeda dengan praktik pada majelis
daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu suara dan Etats Ketiga
memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya. Sebagai contoh, di Dauphiné,
majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan
pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara
per etats.

Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal


yang beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats. Kelompok ini
sebagian besarnya terdiri dari orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara
di Etats-Généraux harus sama dengan sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini
beranggapan bahwa sistem lama sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang
berdaulat".Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan
penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.

Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga
adalah harus laki-laki kelahiran Perancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun,
berkediaman di lokasi tempat pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié
au lieu de vote et compris au rôle des impositions.

Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300
pendeta, dan 610 anggota Etats Ketiga. Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan"
(Cahiers de Doléances) disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang
dihadapi negara.

Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak
setelah dicabutnya penyensoran pers. Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik,
berpendapat mengenai betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce
que le tiers état? (bahasa Inggris: "What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan
Januari 1789. Ia menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan
politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa? Sesuatu."

Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.

Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs,


Versailles, pada tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh
Necker. Etats Ketiga menuntut agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan
bersama oleh semua deputi, bukannya masing-masing etats memverifikasi anggotanya secara
internal; negosiasi dengan etats lainnya gagal mewujudkan hal ini. Golongan rakyat jelata
bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab kalau mereka membutuhkan lebih banyak
waktu untuk memutuskan. Necker pada akhirnya memutuskan bahwa setiap etats harus
memverifikasi anggotanya masing-masing dan "Raja bertindak sebagai penengah". Namun,
negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.

Majelis Nasional (1789)

Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).

Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan
sekarang mengikuti pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats
lainnya untuk ikut serta, namun ajakannya ini tidak diindahkan. Etats Ketiga yang sekarang
menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan
berasal dari etats, namun dari golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk
bergabung, namun menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan
mengatasi permasalahan bangsa."

Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan


pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis biasanya
mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis untuk
menggelar pertemuan di luar ruangan, sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan
pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka
mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis
tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.

Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47 orang dari
kaum bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara terang-terangan telah
menunjukkan penentangannya terhadap Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai
diterjunkan ke seantero Paris dan Versailles. Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari
warga Paris dan dari kota-kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun
kembali menjadi Majelis Konstituante Nasional.

Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)

Penyerbuan Bastille

Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Perancis karena dianggap
memanipulasi opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte
d'Artois, dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat
Necker sebagai penasihat keuangan. Pada 11 Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan
keuangan pemerintah kepada publik, Raja memecatnya, dan segera merestrukturisasi
kementerian keuangan tidak lama berselang.

Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung ditujukan
pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar
tersebut pada keesokan harinya. Mereka juga khawatir terhadap banyaknya tentara –
kebanyakan tentara asing – yang ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional.
Dalam sebuah pertemuan di Versailles, Majelis bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga
jika nanti tempat pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris dengan cepat dipenuhi oleh
berbagai kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari
beberapa Garda Perancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.

Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di
benteng dan penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah
beberapa jam pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya.
Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis
Bernard de Launay dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak
dan diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya menahan tujuh tahanan (empat pencuri, dua
bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan seorang tersangka pembunuhan),
Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime. Di Hôtel de Ville (balai
kota), massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles
sebagai pengkhianat, dan membantainya.

Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara
waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain
Bailly, presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah
struktur pemerintahan baru yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada
tanggal 17 Juli dan menerima sebuah simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la
Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup Raja").

Necker kembali menduduki jabatannya, namun kejayaannya berumur pendek. Necker


memang seorang ahli keuangan yang cerdik, namun sebagai politisi, ia kurang terampil.
Necker dengan cepat kehilangan dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.

Setelah kemenangan Majelis, situasi di Perancis masih tetap memburuk. Kekerasan dan
penjarahan terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang mengkhawatirkan keselamatan
mereka berbondong-bondong pindah ke negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para
émigré ini mendanai kelompok-kelompok kontra-revolusi di Perancis dan mendesak monarki
asing untuk memberikan dukungan pada kontra-revolusi.

Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Perancis. Di daerah
pedesaan, rakyat jelata mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi
asing: beberapa di antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari
pemberontakan agraria umum yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar").
Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif menyebabkan meluasnya kerusuhan dan
kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum dan kacaunya ketertiban.

Perumusan konstitusi baru

Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme


(meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri
feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekret Agustus,
yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima
zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu beberapa jam, bangsawan,
pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak istimewanya.

Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara, yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum.
Majelis Konstituante Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, namun juga sebagai
badan untuk menyusun konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan
dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian
besar bangsawan mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang
segera dilakukan pada hari itu, yang memutuskan bahwa Perancis akan memiliki majelis
tunggal dan unikameral. Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa
menunda implementasi undang-undang, namun tidak bisa membatalkannya. Pada akhirnya,
Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Perancis dengan 83 départements, yang dikelola
secara seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.

Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional, krisis keuangan
terus berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin
meningkat. Honoré Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan
ini, dan Majelis memberi Necker hak penuh untuk mengelola keuangan negara.

Mars perempuan di Versailles

Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.

Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja
pada tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada
tanggal 5 Oktober 1789. Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar
pejabat kota segera menindak permasalahan mereka. Para perempuan ini mencurahkan segala
permasalahan ekonomi yang mereka hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga
menuntut agar kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan
menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad baik
dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.

Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak 7.000 wanita
bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar
20.000 pasukan Garda Nasional di bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi
jalannya protes, tetapi situasi menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana,
membunuh beberapa penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui
permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya bersedia untuk kembali ke Paris. Pada
tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari Versailles ke Paris di bawah
"perlindungan" dari Garda Nasional.

Revolusi dan Gereja

Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekret 16
Februari 1790.

Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh
Gereja Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi
pemilik tanah terbesar di Perancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan. Gereja dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat)
10% dari pajak penghasilan, seringkali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya
sebagian kecil dari dîme tersebut yang diberikan kepada masyarakat miskin. Kekuatan dan
kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok.
Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal di Perancis seperti Huguenots,
menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas dendam kepada para
pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir Pencerahan seperti Voltaire
membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik dan
mendestabilisasi monarki Perancis. Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad
kedelapan belas, takhta Perancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan ini runtuh..."

Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux


pada bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama.
Ketika Majelis Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta
memilih untuk bergabung dengan Majelis. Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi
sosial dan ekonomi. Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan
kewenangan gereja untuk memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis
keuangan, pada tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa properti Gereja
menjadi "milik negara". Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang baru,
assignats. Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi
tanggungjawab negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat orang-orang miskin,
orang sakit, dan yatim piatu. Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik
Gereja kepada penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini efektif
menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun. Pada musim gugur 1789,
undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik dirumuskan, dan pada 13
Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan. Para biarawan dan biarawati disarankan
untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di antaranya akhirnya menikah.

Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa
pendeta adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor dan uskup
paroki, serta menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian besar pendeta Katolik keberatan
dengan sistem pemilihan ini karena hal itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak
otoritas Paus di Roma atas Gereja Perancis. Akhirnya, pada bulan November 1790, Majelis
Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia pada Konstitusi Sipil" bagi semua pendeta
Katolik. Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil sumpah
dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24% dari semua pendeta di
Perancis telah mengambil sumpah. Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi
akan "dibuang, dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat." Paus
Pius VI tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin
terisolasinya Gereja Perancis. Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran de-
Kristianisasi di Perancis terjadi, termasuk memenjarakan dan membantai para pendeta, serta
pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di seluruh Perancis. Upaya untuk
menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan mengganti festival
agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Alasan adalah langkah terakhir dalam de-
Kristenisasi radikal di Perancis. Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan
penentangan terhadap Revolusi di seluruh Perancis. Warga seringkali menolak de-
Kristenisasi dengan cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang
sedang diburu. Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk
menentang kampanye dengan menggantikan Kultus Alasan dengan deisme, walaupun masih
non-Kristen. Konkordat 1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi
dan mulai membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja
Katolik dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh
Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja dengan urusan negara pada tanggal 11
Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.

Kemunculan berbagai faksi

Untuk diskusi lebih jelas, lihat Majelis Konstituante Nasional.

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie
Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan
yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker,
cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris:
mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-
Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.

"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk
Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander
Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya
di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus
selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.

Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan
mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik
pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya
sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.

Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789,
majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS,
deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.

Ke arah konstitusi

Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.

Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai
badan untuk mengusulkan konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang
anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan
mengusulkan majelis tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat
menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya
memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi hukum, namun tidak bisa
mencabutnya sama sekali.

Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka
berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan
insiden, raja dan keluarga kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.

Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara
seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.

Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan
perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin
gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang
memberikan kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.

Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta

Untuk diskusi lanjutan, lihat Konstitusi Sipil Pendeta.

Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan
ini dengan meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran
gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda
itu dengan cepat, pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari
tanah gereja yang disita.

Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi
Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja
pada tanggal 26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai
negeri dan meminta mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga
membuat gereja Katolik sebagai tangan negara sekuler.

Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan
pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu,
dan hal ini menimbulkan perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang
diminta dan menerima rencana baru itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan
anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang menolak berbuat demikian.

Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau

Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara 14 Juli 1790 - 30 September 1791, lihat
Dari peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.

Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll.,
yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan
pangkat émigré.

Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars
memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada
negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.

Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun,
namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus
menerus hingga Perancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu
baru, namun Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara
fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.

Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha
terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang
semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap
kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi."

Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah
pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan
kontrarevolusi.

Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti
kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang
yang bergabung dengan pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.

Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Perancis, yang
paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica,
152 klub berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi
organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para
royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club
Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama
dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan malahan
huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique pada bulan
Januari 1791.

Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi.
Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator
menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk
kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang,
kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu
menghapuskan semua penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan
organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan
menjadi ilegal.

Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi
terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk
pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode
Drako."

Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun
yang menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis
Legislatif yang baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.

Pelarian ke Varennes

Untuk diskusi lebih jelas, lihat Pelarian ke Varennes.

Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, namun menolak bantuan yang kemungkinan
berbahaya ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang
menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di
kampnya di Montmedy.

Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya,
sang Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap
di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah
pengawalan.

Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis,
bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave
became penasihat dan pendukung keluarga raja.

Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan
sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.

Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional

Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional.

Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional
daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI
tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekret
menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas
bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta
secara de facto.

Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis
XVI dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars
untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan
pidato berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan
masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu.
Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan
tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan,
menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.

Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar
radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins
dan Marat lari bersembunyi.

Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich
Wilhelm II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan
Deklarasi Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri,
meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan
serangan ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.

Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Perancis tidak
mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan
militerisasi perbatasan.

Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk
menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini
mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam
konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk tidak
menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama, dan mengajukannya ke Louis
XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak
mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan
menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja
memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan
penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.

Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat;
seperti yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil
kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, namun tak
melaksanakan apapun."

Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki

Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober 1791 - 19 September 1792,
lihat Majelis Legislatif dan jatuhnya monarki Perancis.

Majelis Legislatif
Di bawah Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus
berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa
mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.

Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam
keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia
Britannica: "Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu
membiarkan kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat
yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan berhasil."

Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi
kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri,
dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.

Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu
menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah
sipil yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan
atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.

Perang

Politik masa itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria
dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan
perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan
popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang
hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke
seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang, lebih memilih
konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II,
saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, namun meninggal pada tanggal 1
Maret 1792.

Perancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak
Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.

Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis, pertempuran militer yang
berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Perancis dan
Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan,
artileri Perancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi
huru-hara dan monarki telah menjadi masa lalu.

Krisis konstitusi
10 Agustus 1792 di Komune Paris

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner
baru Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang
muktamar Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir
semuanya Jacobin.

Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune


mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan
mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk mengikuti conth mereka, majelis
itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus
hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September
1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari berikutnya konvensi itu
menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi
sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis.

Konvensi

Eksekusi Louis XVI


Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara 20 September 1792- 26 September
1795, lihat Konvensi Nasional.

Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke
sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh
dalam konvensi dan komite itu.

Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke


penduduk Perancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki.
Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Perancis. 17
Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap
kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi tanggal
21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang
kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.

Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin
radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal
ini mendorong kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang
ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap
faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian
persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi
pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin
melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui
kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit
saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat
revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan
pengadilan tidak berjalan dengan teliti.

Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan
moderat dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama
sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Perancis memberontak terhadap Pemerintahan
Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi
yang moderat menjatuhkan hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka
lainnya di Komite Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas
Girondis yang lolos dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan
penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan
Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah besar bekas anggotanya
pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.

Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795;
sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal
26 September 1795.

Direktorat
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September 1795 - 9 November
1799, lihat Direktorat Perancis.

Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan
legislatur bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan
(Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan
Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des
Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.

Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam
pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan
jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.

Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup
yang melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804)
pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa
Revolusi Perancis.

Dampak terjadinya revolusi Perancis

Revolusi Perancis memiliki banyak dampak terhadap keberlangsungan pemerintahan


Perancis sendiri maupun terhadap negara lain seperti Indonesia sekalipun belum memiliki
bentuk negara. Adapaun dampak terjadinya revolusi Perancis dapat dibagi menjadi beberapa
bidang seperti dibawah ini:

Bidang Politik

Dengan membaca ulasan di atas tentunya kita dapat memahami dampak apa yang terjadi di
bidang politik dengan adanya revolusi Perancis. Namun tidak ada salahnya jika kita singgung
sedikit mengenai dampak politi tersebut.

Dampa utama yang ditimbulkan revolusi perancis terhadap sistem politik jelas berupa
kekuasaan absolut yang sangat dicam oleh rakyat. Lebih dari itu, paham liberal yang muncul
dengan adanya revolusi Perancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti
Spanyol, Jerman, Rusia, Austria, dan Italia. Dengan adanya revolusi Perancis tumbuh pula
paham demokrasi, parlementer, republik, dan lain sebagainya yang tentunya juga mulai
tumbuh di negara lain.

Bidang Sosial

Dalam perjuangan revolusi Perancis jelas dapat kita ketahui bahwa stratifikasi sosial di
negara tersebut dihapuskan, memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh
rakyat serta memberikan kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.

Bidang Ekonomi

Dihapusnya sistem gilde, yakni sistem dalam peraturan perdagangan. Dengan dihapusnya
sistem ini maka perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Perancis
pasca revolusi Perancis.
Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak lain karena dihapusnya
pajak feodal dan selain sebagai penggarap tanah, petani juga diberikan hak untuk memiliki
tanah. Dengan demikian pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.

Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia

Salah satu wilayah yang terkena dampak positif dari terjadinya revolusi Perancis adalah
Indonesia. Meskipun pada saat itu kedaulatan NKRI dan kemerdekaan Indonesia belum
menemu jalannya, namun peristiwa revolusi Perancis memberikan inspirasi bagi para tokoh
di Indonesia. Beberapa paham yang turut dijadikan sebagai motor penggerak massa mencari
jalan Indonesia dalam kebabasan dan kemerdekaan adalah sebagai berikut:

Paham Nasionalisme

Sebagaimana catatan sejarah yang ada, paham nasionalisme muncul dan berkembang di
daratan Eropa. Setelah adanya revolusi Perancis paham ini menyebar dengan cepat di daratan
Asia dan Afrika, tidak terkecuali Indonesia dalam melawan negara imperialis Barat yang
telah lama berkongko di Indonesia.

Adalah Boedi Oetomo salah satu organisasi nasional yang telah mengikuti paham
nasionalisme dan berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Dari organisasi nasional pertama di
Indonesia ini kemudian paham nasionalisme semakin terkenal dan menyebar di Indonesia
sehingga bermunculan pergerakan nasional di negara kita tercinta.

Paham Demokrasi

Meskipun tidak secara langsung terkena dampak dari terjadinya revolusi Perancis, namun
secara tidak langsung paham demokrasi yang mulai muncul di Indonesia pada Abad ke-20
merupakan bukti menyebarnya paham demokrasi ke seluruh penjuru dunia. Hal ini
dibuktikan pada saat pemerintah Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Indonesia
memutuskan kaum bumi putera wajib militer guna memperkuat keamanan. Mendengar
keputusan tersebut yang terjadi pada tahun 1916 ini maka Boedi Oetomo mengirimkan
wakilnya yakni Dwidjosewoyo untuk melakukan perundingan dan negosiasi terhadap para
pemimpin Belanda di Indonesia. Dari hasil negosiasi tersebut pemerintah Belanda tidak jadi
memberikan wajib militer bagi penduduk pribumi melainkan diganti dengan pendirian
Volksraad yakni Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang diresmikan pada tanggal 16
bulan Desember tahun 1916.

Selain hal tersebut diatas, bukti paham demokrasi muncul di Indonesia setelah adanya
revolusi Perancis ialah adanya tuntutan Indonesia Ber-parlemen. Bentuk perjuangan dan asas
yang dianut dalam sistem parlemen tetunya sedikit banyak terinspirasi oleh perjuangan rakyat
Perancis pada masa revolusi Perancis. Dengan adanya paham ini kemudian partai-partai
politik di Indonesia bergabung membentuk wadah baru yang disebut dengan Gabungan
Politik Indonesia atau yang sering disingkat GAPI. Dalam perjuangannya GAPI menyerukan
bahwa Indonesia Berparlemen. Hal ini dilakukan guna menghindari paham fasisme yang
pada saat itu sangat meresahkan dunia khususnya pada masa perang dunia II.

Persatuan
Sebagaimana kita ketahui bahwa revolusi Perancis dapat berjalan dengan lancar karena
adanya persatuan dari rakyat-nya. Hal itu pula menginspirasi Indonesia untuk menumbuhkan
sikap persatuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu bukti awal lahirnya
persatuan di Indonesia setelah adanya revolusi Perancis adalah digunakannya bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini diikrarkan oleh para pemuda Indonesia yang
kemudian kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”.

Hasil revolusi Perancis :

 Dihapuskannya kekuasaan raja, aristokrat, gereja, dan digantikan oleh republik


demokratik sekuler dan radikal yang lebih otoriter dan termiliteristik.
 Perubahan sosial radikal yang berdasarkan pada prinsip-prinsip nasionalisme,
demokrasi, dan Pencerahan mengenai kewarganegaraan dan hak asasi.
 Naiknya Napoleon Bonaparte.
 Konflik bersenjata dengan negara-negara Eropa lainnya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Perancis

Anda mungkin juga menyukai