Anda di halaman 1dari 50

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Blok Mikrobiologi dan Parasitologi adalah Blok ke-8 Semester III dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial
studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi kasus yang
sebenarnya pada waktu yang akan datang.
2. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

3. DATA TUTORIAL
Tutor : dr. Ella Amalia
Moderator : Afifah Salshabila Radiandina
Sekretaris : 1. Yuana Tiara Khumairah
2. Anny Mur Diana
Waktu : 1. Selasa, 22 Agustus 2017
Pukul 07.30 – 10.00 WIB
2. Kamis, 24 Agustus 2017
Pukul 07.30 – 10.00 WIB
Peraturan :1. Meminta izin kepada moderator untuk meninggalkan
ruangan ditengah tutorial
2. Alat komunikasi mode silent
3. Pada saat ingin berbicara terlebih dahulu
mengacungkan tangan, lalu setelah diberi izin
moderator baru bicara

1
PEMBAHASAN

SKENARIO

M, laki-laki 6 tahun, dibawa oleh ibunya ke klinik dengan keluhan ruam pada
wajah dan badan sejak 1 hari yang lalu. Sejak 4 hari yang lalu, anak mengalami
demam tinggi. Ibu memberikan obat penurun panas, tetapi demam hanya turun
sementara kemudian demam kembali . anak juga mengalami batuk, pilek, dan mata
merah. Tetangga M, satu minggu yang lalu juga mengalami keluhan yang sama.
Riwayat imunisasi M tidak lengkap. Menurut ibunya, M hanya diimunisasi satu kali
setelah lahir.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital: tekanan darah 100/60 mmHg,
nadi 112x/menit, frekuensi napas 30x/menit, suhu 39,3 °C ditemukan pada
pemeriksaan spesifik: kepala: konjungtiva mata hiperemis, faring hiperemis, tampak
bercak koplik pada mukosa bukal. Tampak eritema macula-papula di wajah, belakang
telinga dan leher

Thorax: tampak eritema macula-papula . pemeriksaan paru dan jantung dalam batas
normal.pemeriksaan laboratorium: Hb:13 g%, leukosiut: 8.300/mm2 , trombosit:
320.000/mm2

I. KLARIFIKASI ISTILAH
No. Istilah Definisi
1. Ruam Bintil-bintil merah pada kulit (KBBI)
pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang untuk
2. Imunisasi memberikan kekebalan terhadap penyakit
(digilib.unimus.ac.id)
warna kemerahan pada konjungtiva akibat vasodilatasi
Konjungtiva pembuluh darah dan peningkatan pembuluh darah serta akan
3.
Hiperemis terjadi pada seluruh konjungtiva tetapi belum tentu pada
kedua mata (medicinesia.com)
terjadi karena pelebaran pembuluh darah disekitar faring
Faring sebagai respon terhadap inflamasi akibat infeksi local pada
4.
Hiperemis faring atau penyebaran infeksi di daerah sekitarnya
(ocw.usu.ac.id)
lesi merah kecil pada membrane mukosa bukal yang di tengah
5. Bercak Koplik tengahnya terlihat putih kebiruan dengan cahaya (medical
dictionary for dental profession)
lapisan dalam pipi didalam mulut yang bersentuh dengan gigi
6. Mukosa Bukal
(cedars-sinai.edu)
memerahnya permukaan kulit biasanya berbentuk seperti
7. Eritema
belang akibat luka atau iritasi yang menyebabkan dilatasi

2
pembuluh darah (KBBI)
macula adalah ruang bulat pada kulit ukuran bervariasi, datar,
perbedaan warna dengan kulit sekitar. Papula daerah kulit
8. Macula-Papula ndengan elevasi solid kurang samadengan 5 mm
(repository.usu.ac.id)

keadaan dimana temperature rectal lebih dari 38 °C (jurnal


9. Demam
fkui)

II. IDENTIFIKASI MASALAH


No Masalah Konsen
M, laki-laki 6 tahun, dibawa oleh ibunya ke klinik
1. dengan keluhan ruam pada wajah dan badan sejak VVVV
1 hari yang lalu
Sejak 4 hari yang lalu, anak mengalami demam
tinggi. Ibu memberikan obat penurun panas, tetapi
2. VVV
demam hanya turun sementara kemudian demam
kembali
Anak juga mengalami batuk, pilek, dan mata
3. VVV
merah
Tetangga M, satu minggu yang lalu juga
4. V
mengalami keluhan yang sama
Riwayat imunisasi M tidak lengkap. Menurut
5. VV
ibunya, M hanya diimunisasi satu kali setelah lahir

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital:


6. tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 112x/menit, VV
frekuensi napas 30x/menit, suhu 39,3 C

7. Pemeriksaan spesifik: kepala: konjungtiva mata VV


hiperemis, faring hiperemis, tampak bercak koplik
pada mukosa bukal. Tampak eritema macula-
papula di wajah, belakang telinga dan leher

Thorax: tampak eritema macula-papula .


pemeriksaan paru dan jantung dalam batas normal

8 Pemeriksaan laboratorium: Hb:13 g%, leukosiut: VV


8.300/mm2 , trombosit: 320.000/mm2

3
III. ANALISIS MASALAH
1. M, laki-laki 6 tahun, dibawa oleh ibunya ke klinik dengan keluhan ruam pada
wajah dan badan sejak 1 hari yang lalu
a. Bagaimana mekanisme ruam berdasarkan kasus?
Virus Morbili

infeksi Droplet

Reaksi Inflamasi: Demam, suhu naik,


Metabolism naik, RR naik

Penyebaran ke berbagai organ melalui hematogen

Kulit menonjol
Sekitar sebasea dan folikel rambut

Eritema membentuk macula papula


di kulit normal

Rash, ruam pada daerah belakang telinga,


Leher, pipi, wajah, seluruh tubuh,

Virus morbili masuk melalui mukosa saluran pernapasan →


Membawa komponen Glycoprotein virus Hemaglutinin yang berikatan
dengan CD46 (dimiliki oleh semua sel kecuali RBC) dan slam (pada
limfosit dan monosit) pada sel host menyebabkan perubahan pH pada
permukaan GPH → Fusion pada sel host sehingga virus dapat masuk
→ Virus menyerang limfatik lokal → Terjadilah replikasi virus yang
ekstensif → Viremiea primer → Virus menyebar di leukosit pada
sistem retikuloendotelial melalui hematogen → Menginfeksi
hati,spleen,timus,kulit,paru,dan konjungtiva. → Sehingga
menyebabkan Viremiea sekunder → Muncul koplik spot. → Timbul
rash/ruam

b. Mengapa ruam timbul di wajah dan badan ?


karena ruam muncul pada 3 -4 hari panas, mulai dari perbatasan
rambut kepala, dahi, belakang telinga, kemudian menyebar ke muka, leher,

4
tubuh, extremitas atas, terus kebawah, dan mencapai ujung kaki pada pada
hari ke 3 ruam muncul. Setelah ruam sudah menyebar keseruh tubuh,
maka ruam awal akan mengabur, disusul dengan munculnya
hiperpigmentasi dan desquamasi. Munculnya ruam diakibatkan adanya
reaksi sel T imun dengan sel yang terinfeksi virus dalam pembuluh darah
kecil dan bertahan sekitar 1 minggu

c. Bagaimana etiologi ruam ?


Pada kasus ini ruam muncul akibat interaksi sel T imun dengan sel
yang terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan bertahan sekitar 1
minggu. (pada penderita yang mengalami gangguan imunitas berperantara
sel, ruam tidak timbul).

d. Apakah ruam bisa hilang pada wajah dan badan, bagaimanakah caranya?
Ruam pada wajah dan badan dengan sendirinya bisa hilang dalam 7-10
hari, dengan mekanisme dalam stadium penyembuhan (konvalesens) pada
campak yaitu umumnya ruam akan berangsur-angsur menghilang dan
berubah menjadi kecoklatan lalu menghilang.

2. Sejak 4 hari yang lalu, anak mengalami demam tinggi. Ibu memberikan obat
penurun panas, tetapi demam hanya turun sementara kemudian demam
kembali
a. Bagaimana mekanisme demam terkait dengan kasus?
Makrofag memfagosit virus dan mengeluarkan sitokin inflamasi lalu
makrofag mensekresi Interleukin-1(IL1) yang merangsang
thermoregulator di hipotalamus anterior untuk memberikan perintah
berupa pelepasan asam arakhidonat dan mengakibatkan peningkatan
sintesis PGE2 sehingga timbulah respon tubuh untuk melakukan
peningkatan set point pada suhu tubuh dan menghasilkan demam.

b. Mengapa demam hanya turun sementara setelah diberi obat penurun


panas?
Karena penyebab penyakit demam yang diderita M ialah akibat dari
virus Meisles yang merupakan penyebab dari penyakit campak, dalam
kasus ini tanya diberi obat penurun panas, sehingga penyebab demam
tersebut tidak teratasi dan demam terjadi lagi atau hanya turun sementara.
Ketika partikel virus atau bakteri masuk ke dalam tubuh, partikel
tersebut difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan, dan limfosit
pembunuh granular besar. Sel ini melepaskan interleukin-1 sebagai
respons terhadap fagosit. Interleukin-1 menginduksi pembentukan
prostaglandin E2 (PGE2) yang bekerja pada hipotalamus untuk
mencetuskan reaksi demam. Ketika pembentukan prostaglandin dihambat
oleh obat-obatan, demam sepenuhnya menghilang atau setidaknya
berkurang. Ini merupakan mekanisme kerja yang diduga pada aspirin dan

5
anti piretik lainnya untuk menurunkan tingkat demam, hal ini menjelaskan
mengapa senyawa ini tidaak menurunkan suhu tubuh pada orang yang
normal dan sehat (tidak mengalami peningkatan interleukin-1).

c. Apa saja tipe-tipe demam?


 Hectic (or Septic) Fever, adalah demam intermiten yang
menunjukan perbedaan tinggi antara puncak dan suhu terendah,
biasanya ditemani dengan menggigil dan berkeringat.
 Remittent Fever, variasi tingkat suhu yang signifikan setiap hati,
namun tidak pernah turun dari suhu normal tubuh.
 Continuous (or Sustained) Fever, demam yang terjaga pada ringkat
yang tinggi, Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi
atau tidak signifikan.
 Spurious (or False) Fever , peningkatan suhu saat pembacaan
thermometer yang diproduksi dari tipu daya pada tubuh pasien.
 Psychogenic (or Emotional) Fever, peningkatan suhu tubuh akibat
stimulus emosional.
 Catheter Fever, infeksi urethra yang oleh penggunaan kateters,
sitoskopi, dan lain-lain, sehingga diikuti dengan demam akibat
bacteremia sementara.
 Thirst Fever, tipe demam yang terlihat pada bayi yang mengalami
dehidrasi, ditandai dengan peningkatan suhu pagi hari dan kembali
normal pada malam hari.
3. anak juga mengalami batuk, pilek, dan mata merah
a. Bagaimana mekanisme batuk, pilek , dan mata merah pada kasus?
 Batuk: zat iritan (virion) --> memacu reseptor --> mengirim sinyal
ke medula spinalis --> respons ke otot pernafasan (kontraksi untuk
inspirasi maksimal) dan glottis (bila inspirasi sudah maksimal,
glottis menutup) --> tekanan intratorakal naik --> glottis terbuka --
> batuk
 Pilek: zat Irian --> aktivitas sel goblet meningkat --> banyak
mukus --> pilek
 Mata Merah: Akibat dari inflamasi pada konjungtiva dan mata,
yang memperlihatkan efek eksanthem. Siklooksigenase merubah
asam arakidonat --> menjadi PG2, untuk pembentukan PG, dan
juga adanya peroksid yang dihasilkan leukosit pada daerah
inflamasi. --> PG merangsang terjadinya vasodilatasi pada daerah
inflamasi --> efek mata kemerah-merahan

4. Tetangga M, satu minggu yang lalu juga mengalami keluhan yang sama
a. Apakah hubungan tetangga yang mengalami keluhan yang sama dengan
M? (proses penularan)

6
Virus campak menginfeksi dengan invasi pads. epitel traktus
respiratorius mulai dari hidung sampai traktus respirat&rius bagian
bawah. Multiplikasi lokal pada mukosa respiratorius segera disusul
dengan viremia pertama dimana virus menyebar dalam leukosit pada
sistem retikukoendotelial. Setelah terjadi nekrosis pada sel
retikuloendotelial sejumlah virus terlepas kembali dan terjadilah viremia
kedua. Sel yang paling banyak terinfeksi adalah monosit. Jaringan yang
terinfeksi termasuk timus, lien. kelenjar limfe, hepar, kulit, konjungtiva
dan paru. Setelah terjadi viremia kedua seluruh mukosa respiratorius
terlibat dalam peijalanan penyakit sehingga menyebabkan timbulnya
gejala batuk dan korisa. Campak dapat secara langsung menyebabkan
croup, bronchiolitis dan pneumonia, selain itu adanya kerusakan
respiratorius seperti edema dan hilangnya silia menyebabkan timbulnya
komplikasi otitis media dan pneumonia Setelah beberapa hari sesudah
seluruh mukosa respiratorius terlibat, maka timbullah bercak koplik dan
kemudian timbui ruam pada kulit. Kedua manifestasi ini pada
pemeriksaan mikroskopik menunjukkan multinucleated giant cells,
edema inter dan intraseluler, parakeratosis dan dyskeratosis.
b.
Timbulnya ruam pada campak bersamaan dengan timbulnya antibodi
serum dan penyakit menjadi tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan
bahwa timbulnya ruam akibat reaksi hipersensitivitas host pada virus
campak. Hal ini berarti bahwa timbulnya ruam ini lebih ke arah imunitas
seluler. Pernyataaan ini didukung data bahwa pasien dengan defisiensi
imunitas seluler yang terkena campak tidak didapatkan adanya ruam
makulopapuler, sedangkan pasien dengan agamaglobulinemia bila
terkena campak masih didapatkan ruam makulapapula.

b. Bagaimana cara kerja virus pada kasus?


Berbagai virus menginisasi kontak mereka dengan hospes via asosiasi
langsung dengan protein spesifik yang disebut ‘receptor virus’ yang berada
pada permukaan sel target. Berhasalkan penelitian, CD46 (protein kofaktor
membrane) pada manusia diidentifikasi sebagai molekul yang berikatan
dengan glikoprotein hemaglutinin (HA) measles virus (MV) sehinga
memberikan akses pada virus untuk masuk ke dalam sel. Analisis

7
molecular memperlihatkan bahwa MV HA berinteraksi dengan dua Short
Consensus Repeats (SCRs) dari empat SCR milik CD46 (Cluster of
Differentiation), yakni domain SCR1 (amino acid 37-56) dan SCR2
(amino acids 85-104).

Interaksi Domain
Receptor Pola Ekspresi Fungsi Selular
dengan MV
SLAM Domain V pada Sel-sel imun 1. Stimulasi sel T
SLAM tertentu 2. Regulasi sitokin Th1 dan
Th2 3. Inhibisi fungsi
makrofag 4.
Signalling T SLAM-SAP-
Fyn
CD46 Domain SCR1 dan Semua sel yang 1. Diferensiasi sel T
SCR2 pada CD46 memiliki nukleus 2. Mengubah polaritas sel T
terhadap APC
Wild-type MV yang secara klinis diisolasi, menginfeksi lymphoid
cell lines seperti sel CB95-8. Perbedaan ini dikarenakan delesi SCR1 pada
B95-8 sel dan afinitas MV yang lebih tinggi pada reseptor kedua
Signalling Lymphocyte Activation Molecule (SLAM; CD150). SLAM
hanya dapat terdeteksi keberadaannya pada immature thymocytes, sel T
memori, sel T teraktivasi, sel B, monosit, makrofag, dan sel dendrit.

Perbedaan profil kedua reseptor ini dianggap memiliki peran yang


berbeda dalam patogenesis MV. Ekspresi CD46 dan reseptor lain yang
belum diketahui pada sel yang tidak memiliki SLAM (e.g., CNS)
mungkin bertanggung jawab dalam invasi sel epithelial dan neuron.

Campak awalnya mendapatkan akses ke dalam tubuh via traktus


respiratori atau conjunctiva. Virus kemudiann menyebar dengan cepat ke
nodus limfe. Destriksi dari jaringan limfa mengarah ke leucopenia.
Viraemia primer bertanggung jawab terhadap penyebaran sistem
reticuloendothelial dan sistem respiratori. Diikuti viraemia sekunder
dimana virus menyebar ke kulit, organ, kantung kemih, dan ginjal. Bintik

8
koplik dan ruam merupakan hasil dari reaksi hipersensitivitas yang
terlambat.

Infeksi sekunder lebih sering terjadi pada negara yang kurang


berkembang. Wabah alami virus campak pada koloni monyet
menunjukkan organisme enterik yang pada keadaan normal ada pada
individu yang sehat menjadi patogen yang mengkuatirkan pada infeksi
virus. Beberapa bakteri yang dapat terlibat pada superinfection adalah;
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus
aureus, Morganella morganii, Pseudomonas aeruginosa, Chlamydia
trachomatis, dan Streptococcus pyrogenes. Beberapa virus yang dapat
terlibat pada superinfection adalah adenovirus dan herpes simplex virus.

9
c. Bagaimana mekanisme virus terhadap respon imun?
Immunosuppression adalah reduksi dari aktivasi atau efikasi sistem
imun. Beberapa bagian dari sistem imun sendiri memiliki efek
immunosuppressive terhadap bagian sistem imun lainnya.
Immunosupression yang disebabkan MV pada umumnya
dikarakterisasi oleh
 Lymphopenia
 Cytokine imbalance yang mengarah ke respons Th2
berkepanjangan
 Ketidakmampuan peripheral blood lymphocytes (PBL) untuk
memperluas respons terhadap stimulasi poliklonal atau antigen
spesifik ex vivo.

Beberapa abnormalitas imun telah diasosiasikan dengan campak,


termasuk hilangnya reaksi hipersensitivitas (delayed-type hypersensitivity
reactions), merusak limfosit, menurunkan produksi pro-inflamasi
interleukin 12, dan mengubah jalur signal interferon alpha/beta. Beberapa
protein MV diperkirakan menghalangi fungsi imun: hemagglutinin,
fusion protein, nucleoprotein, dan protein non-structural V dan C.

Fokus terhadap interaksi MV protein dengan target seluler, terutama


reseptor membran sel, CD46, CD150, TLR2, dan FcgammaRII pada
infeksi abnormalitas imunologis diasosiasikan campak.

Pada sebuah studi, infeksi MV perubahan imunologis, termasuk T


lympophenia, inhibisi proliferasi sel T dan produksi antibodi,
meningkatnya produksi Th2 sitokin IL-4 dan sitokin immunosuppresive
IL-10.

Walaupun kedua sel B dan sel T telah terbukti mengekspresikan


SLAM(signalling lymphocytic activation molecule) dan rentan terhadap
MV pada tikus KI, hanya penurunan T cell splenic, tidak sel B, yang
nyata terlihat setelah infeksi MV. Alasan dibalik kesenjangan antara sel T
dan B masih belum dipahami. Redistribusi limfosit dari darah perifer ke
jaringan limfoid diduga bertanggung jawab dalam hal ini (namun belum
ada observasi yang jelas). Namun, pada observasi, sel-sel nodus limfe
mengalami peningkatan apoptosis beberapa hari. Hasil ini mensugestukan
bahwa tikus KI mengisi ulang nodus limfe dengan limfosit dari darah
perifer untuk mengkompensasi kekurangan sel diakibatkan peningkatan
apoptosis. Hal ini mungkin setidaknya berkontribusi dalam lymphopenia
pada spleen. Pada manusia, lympophopenia dan supresi pada proliferasi
sel T dan produksi antibodi bertahan beberapa minggu setelah infeksi.

10
5. Riwayat imunisasi M tidak lengkap. Menurut ibunya, M hanya diimunisasi
satu kali setelah lahir
a. Vaksin apa yang seharusnya diberikan kepada M? (pencegahan)
 Imunisasi Aktif
Termasuk dalam Program Imunisasi Nasional. Dianjurkan
pemberian vaksin campak dengan dosis 1000 TCID50 atau
sebanyak 0,5 ml secara subkutan pada usia 9 bulan. Imunisasi
ulangan diberikan pada usia 6-7 tahun melalui program BIAS.
 Imunisasi Pasif (Imunoglobulin)
Indikasi :
– Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum
mendapat imunisasi, kontak dengan pasien campak, dan vaksin
MMR merupakan kontraindikasi.
– – Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan
pasien campak mempunyai resiko yang tinggi untuk
berkembangnya komplikasi penyakit ini, maka harus diberikan
imunoglobulin sesegera mungkin dalam waktu 7 hari paparan.
Setelah itu vaksin MMR diberikan sesegera mungkin sampai
usia 12 bulan, dengan interval 3 bulan setelah pemberian
imunoglobulin.
Dosis anak : 0,2 ml/kgBB IM pada anak sehat
0,5 ml/kgBB untuk pasien dengan HIV
maksimal 15 ml/dose IM.

b. Imunisasi apa saja yang seharusnya diberikan pada anak-anak?


 Imunisasi polio
Saat ini terdapat 2 jenis vaksin polio yaitu oral polio vaccine
(OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV). Vaksin OPV berisi virus
polio hidup tipe 1,2,3 yang dilemahkan. Vaksin ini merupakan jenis
vaksin polio yang digunakan secara rutin. Virus dalam vaksin akan
masuk ke saluran pencernaan kemudian ke darah. Virus akan memicu
pembentukan antibody sirkulasi maupun antibody local di epitel usus.
IPV berisi virus polio tipe 1,2,dan 3 yang diinaktivasi dengan
formaldehid. Dalam vaksin ini juga terdapat neomisin, streptomisin ,
dan polimiksin V.vaksin diberikan dengan cara disuntikan subkutan.
Menurut rekomendasi IDAI, vaksin polio diberikan sebanyak
6 kali : saat bayi dipulangkan dari rumah sakit atau pada kunjungan
pertama (polio-0), pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 18 bulan, 5
tahun, 12 tahun.
 Imunisasi hepatitis B
Vaksin ini mengandung 30-40 mikrongram protein HBs Ag
(antigen virus hepatitis B). Imunisasi hepatitis B untuk balita diberikan
sebanyak 3 kali, yaitu segera setelah lahir, usia 1 bulan, dan diantara
usia 3-6 bulan.

11
 Imunisasi BCG
Bacillie Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin galur
Mycobacterium bovis yang dilemahkan , sehingga di dapat basil yang
tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG
sendiri tidak dapat mencegah infeksi primer tuberculosis, namun dapat
mencegah komplikasinya.
Vaksin BCG biasa diberikan pada anak umur kurang dari 2
bulan. Namun dapat juga diberikan pada umur 0-12 bulan untuk
mendapat cakupan imunisasi yang lebih luas.
 Imunisasi DTP
Vaksin DTP mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan
vaksin pertussis. Vaksin DTP dibedakan menjadi 2 yaitu DTwP dan
DTaP berdasarkan perbedaan vaksin tetanus. DTwP (difteri Tetanus
whole cell pertusis) mengandng suspense kuman B.pertussis yang telah
mati, sedangkan DTaP (Difteri Tetanus acellular Pertusis) tidak
mengandung seluruh komponen kuman B.pertussis melainkan hanya
beberapa komponen yang berguna dalam pathogenesis dan memicu
pembentukan antibody.
Vaksin DTP diberikan saat anak berumur 2,4, dan 6 bulan.
Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian vaksin kembali saat berumur
18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun.
 Imunisasi campak
Campak merupakan penyakit menular dan bersifat akut yang
disebabkan oleh virus campak, yang termasuk dalam family
paramyxovirus. Penyakit ini menular lewat udara melalui system
pernafasan dan biasanya virus tersebut akan berkembang biak pada sel-
sel di bagian belakang kerongkongan maupun pada sel di paru-paru
dan menyebabkan gejala-gejala seperti demam, malise, kemerahan
pada mata, radang saluran nafas bagian atas serta timbul bintik
kemerahan yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga,
kemudian berangsur-angsur menyebar di daerah wajah , leher, tangan
dan seluruh badan. Cara penularan penyakit ini dapat secara langsung
melalui droplet infeksi atau secara tidak langsung melalui udara.
Untuk mencegah tertularnya penyakit campak maka seseorang
perlu diberikan vaksin campak, yang sebenarnya adalah strain dari
virus campak yang telah dilemahkan. Imunisasi campak , menurut
anjuran WHO diberikan pada bayi berumur 9 bulan. Vaksin campak
disuntikkan secara subkuntan maupun intramuscular.

12
c. Bagaimanakah cara kerja vaksin? (kekebalan tubuh)
Prinsip kerja vaksin adalah melalui aktivasi antibodi dengan
memasukkan virus yang telah dilemahkan ke dalam tubuh. Vaksin bekerja
dengan peka pada systim kekebalan tubuh disebabkan oleh toksin bakterial
penyakit tertentu,virus atau bakteri. Jika agen infeksi tertentu menyerang
tubuh pada waktu lain, sistem kekebalan tubuh peka akan cepat
menghasilkan antibodi yang membantu menghancurkan baik agen sendiri
atau toksin yang dihasilkannya.

6. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital: tekanan darah 100/60 mmHg,
nadi 112x/menit, frekuensi napas 30x/menit, suhu 39,3°C
a. Bagaimana interpretasi pada pemeriksaan fisik ? (beserta penyebab dari
hasil interpretasi)
 Tekanan darah: 100/60 mmhg, tidak normal
Tekanan darah normal anak 6 tahun:
Laki-laki = sistolik: 109-117
Diastolic: 72-76
 Nadi: 112x/menit, normal
Denyut nadi normal anak 6 tahun:
Laki-laki = 70-130x/menit
 Frekuensi nafas: 30x/menit, tidak normal
RR normal anak 6 tahun:
Laki-laki= 12-20x/menit
 Suhu: 39,3̊ C, tidak normal

13
7. Pemeriksaan spesifik: kepala: konjungtiva mata hiperemis, faring hiperemis,
tampak bercak koplik pada mukosa bukal. Tampak eritema macula-papula di
wajah, belakang telinga dan leher
Thorax: tampak eritema macula-papula . pemeriksaan paru dan jantung dalam
batas normal
a. Bagaimana interpretasi pada pemeriksaan spesifik ? (beserta penyebab)
kepala:
 konjungtiva mata hiperemis (tidak normal)
 faring hiperemis (tidak normal)
 tampak bercak koplik pada mukosa bukal (tidak normal)Tampak
eritema macula-papula di wajah, belakang telinga dan leher (tidak
normal)

Thorax: tampak eritema macula-papula .

pemeriksaan paru dan jantung dalam batas normal

Ketika virus masuk melalui droplet infection ke tubuh terjadi


eksudat yang serius, proliperasi sel mononukleus polimorfonukleus ->
reaksi inflamasi -> menyebar melau hematogen -> ke saluran cerna (diare)
, saluran nafas (faring hiperemis, bercak koplik pada mukosa bukal),
konjungtiva (hiperemis) , dan kulit (eritema macula papula di thorak,
wajah, belakang teling dan leher)

8. Pemeriksaan laboratorium: Hb:13 g%, leukosiut: 8.300/mm2 , trombosit:


320.000/mm2
a. Bagaimana interpretasi pada pemeriksaan laboratorium ? (beserta
penyebab)

HB:13 g% : Normal

14
leukosiut: 8.300/mm2 : Normal

- Depkes RI, 2011 - Pagana, Pagana and Pagana, 2002 - Nilai Normal Test Laboratorium RSUD Dr. Soetomo Surabaya

trombosit: 320.000/mm2 : Normal

15
- Depkes RI, 2011 - Pagana, Pagana and Pagana, 2002 - Nilai Normal Test Laboratorium RSUD Dr. Soetomo Surabaya

IV. HIPOTESIS

Anak M, laki-laki usia 6 tahun, mengalami demam disertai ruam dengan


gejala batuk, pilek dan mata merah yang disebabkan oleh virus.

V. LEARNING ISSUE DAN KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN

NO Pokok Apa yang Apa yang Apa yang perlu Bagimana


Bahasan diketahui tidak dipastikan memperoleh
diketahui pengetahuan

1 Campak Definisi Epidemiologi, Buku, jurnal ,


etiologi, internet
morfologi,
siklus hidup,
patofisiologi,
pathogenesis,
manifestasi
klinik,
diagnosis

2 Vaksinisasi Definisi Respon Jenis-jenis Buku , jurnal,


terhadap imunisasi internet
(imunisasi) imun, cara
dan tempat
pemberian

16
3 Demam Definisi Regulasi Suhu tubuh Buku,
suhu, normal Internet
kelainan
pengaturan
suhu, tipe
demam,
patofisiologi

4 Ruam Definisi

5 Talaksana
dan
Pencegahan

VI. SINTESIS

1. Campak
Definisi
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang
disebabkan oleh virus. Campak disebut juga rubeola, morbili, atau measles.
Penyakit ini ditularkan melalui droplet ataupun kontak dengan penderita.
Penyakit ini memiliki masa inkubasi 8-13 hari. Campak ditandai dengan gejala
awal demam, batuk, pilek, dan konjungtivitis yang kemudian diikuti dengan
bercak kemerahan pada kulit (rash). Dampak penyakit campak di kemudian
hari adalah kurang gizi sebagai akibat diare berulang dan berkepanjangan
pasca campak, sindrom radang otak pada anak diatas 10 tahun, dan
tuberkulosis paru menjadi lebih parah setelah sakit campak berat.

Infectious Agent Agent


Campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili
paramyxoviridae anggota genus morbilivirus. Virus campak sangat sensitif
terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37
derajat Celcius atau bila dimasukkan ke dalam lemari es selama beberapa jam.
Dengan pembekuan lambat maka infektivitasnya akan hilang.

Epidemologi
Distribusi dan Frekuensi Penyakit Campak
a. Menurut Orang
Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat menginfeksi
anakanak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja dan
kadang kala orang dewasa. Campak endemis di masyarakat metropolitan dan

17
mencapai proporsi untuk menjadi epidemi setiap 2-4 tahun ketika terdapat 30-
40% anak yang rentan atau belum mendapat vaksinasi. Pada kelompok dan
masyarakat yang lebih kecil, epidemi cenderung terjadi lebih luas dan lebih
berat. Setiap orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur
hidup.
b. Menurut Tempat
Penyakit campak dapat terjadi dimana saja kecuali di daerah yang
sangat terpencil. Vaksinasi telah menurunkan insiden morbili tetapi upaya
eradikasi belum dapat direalisasikan.16 Di Amerika Serikat pernah ada
peningkatan insidensi campak pada tahun 1989-1991. Kebanyakan kasus
terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi, termasuk anak-
anak di bawah umur 15 bulan. Di Afrika dan Asia, campak masih dapat
menginfeksi sekitar 30 juta orang setiap tahunnya dengan tingkat kefatalan
900.000 kematian.
c. Menurut Waktu
Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil pada
kelembaban dibawah 40%. Udara yang kering menimbulkan efek yang positif
pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang memiliki alat
penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah utara. Sama halnya
dengan udara pada musim kemarau di Persia atau Afrika yang memiliki
insiden kejadian campak yang relatif tinggi pada musim-musim tersebut.
Bagaimanapun, kejadian campak akan meningkat karena kecenderungan
manusia untuk berkumpul pada musim-musim yang kurang baik tersebut
sehingga efek dari iklim menjadi tidak langsung dikarenakan kebiasaan
manusia.

Etiologi

Virus campak berasal dari genus Morbilivirus dan famili


Paramyxoviridae. Virus campak liar hanya patogen untuk primata. Kera dapat
pula terinfeksi campak lewat darah atau sekret nasofaring dari manusia.
Hopkins, Koplan dan Hinman menyatakan bahws campak tidak mempunyai
reservoir pada hewan dan tidak menyebabkan karier pada manusia.

Virion campak berbentuk spheris, pleomorphic, dan mempunyai


sampu! (envelope) dengan diameter 100-250 nm. Virion terdiri dari
nukleocapsid yaitu helix dari protein RNA dan sampul yang mempunyai
tonjolan pendeK pada permukaannya. Tonjoian pendek ini disebut pepfomer,
dan terdiri dari hemaglutinin (H) pepiomer yang berbentuk buiat dan fusion
(F) peplomer yang berbentuk seperti bel (dumbbell-shape). Bera.t molekui
dari single stranded RNA adalah 4,5 X 106. campak mengakibatkan cytopathic
elect yang tcrdiri dari stellate cell dan multinucleated giant cells.

Virus campak ini sangat sensitif pada panas dan dingin, cepat
inaktivasi pada suhu 37°C dan 20"C. Selain itu virus juga menjadi :iiaktif

18
dengan sinar ultraviolet, ether, trypsin dan p-propiolactone. Virus tetap
infektif pada bentuk droplet di udara selama beberapa jam terutarna pada
keadaan dengan tingkat kelembaban yang rendah.

Morfologi Virus Campak

Secara morfologi tidak dapat dibedakan dengan virus lain anggota


family paramyxoviridae. Virion campak terdiri atas nukleokapsid berbentuk
heliks yang dikelilingi oleh selubung virus (peplos) yang penuh dengan
tonjolan-tonjolan serta mudah sekali rusak karena pengaruh penyimpanan,
pembekuan, dan pencairan atau pengolahan. Sifat infeksius virus campak
ditunjukkan dengan tingginya sensitivitas dan aktivitas hemolitiknya.
(Handayani, 2005)

 Virus campak atau morbilli adalah virus RNA.


 Virion campak terdiri atas nukleokapsid berbentuk heliks yang
dikelilingi oleh selubung virus.
 Virus campak mempunyai 6 protein struktural :
3 di antaranya tergabung dengan RNA dan membentuk
nukleokapsid yaitu:
 Pospoprotein (P),
 protein ukuran besar (L)
 nukleoprotein (N).
3 protein lainnya tergabung dengan selubung virus yaitu:
 protein fusi (F),
 protein hemaglutinin (H)
 protein matrix (M)

Protein F dan H mengalami glikosilasi sedangkan protein M tidak.


Protein F bertanggung jawab terhadap fusi virus dengan membran sel hospes,
yang kemudian diikuti dengan penetrasi (virus memasukkan materi genetic)
dan hemolysis (penguraian sel darah merah dimana hemoglobin akan terpisah
dari eritrosit). Protein H bertanggung jawab pada hemaglutinasi (daya
pengikatan antigen virus dengan eritrosit), perlekatan virus, adsorpsi dan
interaksi dengan reseptor di permukaan sel hospes. Protein F dan H bersama-
sama bertanggungjawab pada fusi virus dengan membran sel dan membantu

19
masuknya virus. Sedangkan protein M berinteraksi dengan nukleo-kapsid
berperan pada proses maturasi virus.

Virus campak mempunyai 1 tipe antigen (monotype), yang bersifat


stabil. Virus campak mempunyai sedikit variasi genetik pada protein F dan H,
sehingga dapat menghindari antibodi monoklonal yang spesifik terhadap
protein tersebut. Namun sisa virus yang masih ada, dapat dinetralisasi oleh
sera poliklonal.

Pada strain virus campak yang berbeda, variasi genetik juga terjadi
pada protein P dan N yang belakangan diketahui mengandung region yang
mengkode residu asam amino C terminal.

Sifat infeksius virus campak ditunjukkan dengan tingginya sensitivitas


dan aktivitas hemolitiknya

VIrion Bulat, pleomorfik, berdiameter 150-300 nm

komposisi RNA (1%), protein (73%), lemak (20%), karbohidrat (6%)

Genom RNA rantai tunggal, lurus, tidak bersegmen, negative-sense

Protein Enam protein struktural

Amplop Mengandung glikoprotein hemagglutinin dan glikoprotein fusi

Replikasi Sitoplasma; partikel bertunas dari membran plasma

20
Ciri khas Stabil secara antigen, partikel labil sangat infeksius

Karakter

Virus Campak / Virus Rubella adalah adalah virus RNA beruntai


tunggal, dari keluarga Paramyxovirus, dari genus Morbillivirus. Virus campak
hanya menginfeksi manusia, dimana virus campak ini tidak aktif oleh panas,
cahaya, pH asam, eter, dan tripsin (enzim). Ini memiliki waktu kelangsungan
hidup singkat di udara, atau pada benda dan permukaan

Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi
apabila berada di luar tubuh manusia. Pada temperatur kamar selama 3-5 hari
virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam
pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4
minggu dalam temperatur 35˚C, beberapa hari pada suhu 0˚C, dan tidak aktif
pada pH rendah (Soegeng Soegijanto, 2002)

Siklus Hidup

Secara umum siklus hidup virus ada 5 macam:

 Attachment : ikatan khas diantara viral capsid protein dan spesifik reseptor
pada permukaan sel inang. Virus akan menyerang sel inang yang spesifik.
 Penetration : virus masuk ke sel inang menembus secara endytocsis atau
melalui mekanisme lain.
 Uncoating : proses terdegradasinya viral kapsid oleh enzim viral atau host
enzymes yang dihasilkan oleh viral genomic nudwic acid.
 Replication : replikasi virus, litik atau lisogenik.pada daur litik, virus akan
menghancurkan sel induk setelah berhasil melakukan reproduksi, sedangkan
pada daur lisogenik, virus tidak menghancurkan sel bakteri tetapi virus
berintegrasi dengan DNA sel bakteri, sehingga jika bankteri membelah atau
berkembang biak virus pun ikut membelah.
 Release : virus dilepaskan dari sel inang melalui lisis.

Siklus replikasi paramiksovirus

21
a) Perlekatan, Penetrasi, Dan Selubung Virus
Paramiksovirus melekat pada sel pejamu melalui glikoprotein
hemaglutinin (protein HN atau N). Pada kasus virus campak,reseptornya
adalah molekul membrane CD46. Lalu, selubung virion berfusi dengan
membrane sel melalui kerja produk pembelahan glikoprotein fusi F1. Jika
prekursor F0 tidak dibelah, precursor ini tidak memilki aktifitas fusi, tidak
terjadi penetrasi virion; dan partikel virus tidak dapat memulai infeksi. Fusi
oleh F1 terjadi pada lingkungan ekstraselular dengan pH netral,
memungkinkan pelepasan nukleokapsid virus secara langsung ke dalam sel.
Dengan demikian, paramiksovirus dapat melewati internalisasi melalui
endosome.
b) Transkripsi, Translasi, Serta Replikasi Rna
Paramiksovirus mengandung genom RNA untai negatif yang tidak
bersegmen. Transkripsi messenger RNA dibut di dalam sitoplasma sel oleh
polymerase RNA virus. Tidak dibutuhkan primer eksogen dan dengan
demikian tidak bergantung pada fungsi sel inti. mRNA jauh lebih kecil
daripada ukuran genom; masing-masing mewakili gen tunggal. Sekuens
regulasi transkripsional pada gen membatasi awal dan akhir transkripsi sinyal.
Posisi relative gen terhadap ujung 3’ genom berkaitan dengan efisiensi
transkripsi. Kelas transkripsi yang paling banyak dihasilkan oleh sel terinfeksi,
berasal dari gen NP, terletak paling dekat dengan ujung 3’ genom, sedangkan
yang lebih sedikit berasal dari gen L, terletak di ujung 5’.
Protein virus disintesis di dalam sitoplasma dan jumlah masing-masing
produk gen berkaitan dengan kadar transkrip mRNA dari gen tersebut.
Glikoprotein virus disintesis dan mengalami glikosilasi di dalam jalur sekresi.
Kompleks protein polymerase virus (protein P dan L) juga berperan
untuk replikasi genom virus. Untuk berhasil menyintesis cetakan antigenom
rantai positif intermedia, kompleks polymerase harus mengabaikan sinyal
terminasi yang tersebar pada perbatasan gen. seluruh panjang genom progeny
dikopi dari cetakan antigenom.
Genom paramiksovirus yang tidak bersegmen meniadakan
kemungkinan penyusunan ulang segmen gen (yaitu, genetic reassortment)
sehingga penting bagi perjalanan alamiah virus influenza. Protein permukaan
HN dan F paramiksovirus menunjukkan variasi genetic yang minimal dalam

22
jangka waktu yang lama. Mengejutkan bahwa virus tersebut tidak mengalami
antigenic drift akibat mutasi yang terjadi saat replikasi, karena RNA
polymerase rentan terhadap terjadinya kesalahan. Satu penjelasan yang
mungkin adalah bahwa hamper semua asam amino di dalam struktur primer
glikoprotein paramiksovirus dapat terlibat di dalam peran pembentukan atau
fungsional, meninggalkan kesempatan yang kecil untuk substitusi yang secara
jelas tidak akan menghilangkan viabilitas virus.
c) Maturasi
Virus matang dengan membentuk tonjolan dari permukaan sel.
Nukleokapsid progeni terbentuk di dalam sitoplasma dan bermigrasi ke
permukaan sel. Mereka ditarik ke suatu tempat di membrane plasma yang
bertaburan duri glikoprotein HN dan F0 virus. Protein M penting untuk
oembentukan partikel, mungkin membentuk hubungan antarac selubung virus
dan nukleokapsid. Saat penonjolan, sebagian besar protein pejamu dikeluarkan
dari membrane.
Jika terdapat protease sel pejamu yang sesuai, protein F0 di dalam
membrane plasma akan diaktivasi oleh pembelahan. Protein fusi yang
teraktivasi kemudian akan menimbulkan fusi membrane sel disekitarnya, dan
menghasilkan pembentukan sinsitium yang besar. Pembentukan sinsitium
adalah respons yang umum terhadap infeksi paramiksovirus. Inklusi
sitoplasma asidofili secara teratur dibentuk. Inkulusi diyakini menggambarkan
tempat sintesis virus dan ditemukan mengandung protein virus dan
nukleokapsid yang dapat dikenali. Virus campak juga menghasilkan inklusi
intranukleus.

Patofisiologi

Penularan virus yang infeksius sangat efektif, dengan sedikit virus


yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan
campak terjadi secara droplet melalui udara, terjadi antara 1 – 2 hari sebelum
timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Lesi utama tampak
ditemukan pada kulit penderita, mukosa nasofarink, bronkus, saluran cerna
dan konjungtiva serta masuk ke dalam limfatik lokal. Virus memperbanyak
diri dengan sangat perlahan dan di situ mulai penyebaran ke sel jaringan
limforetikular seperti limfa.

Sel mono nuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel


raksasa berinti banyak. Virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar

23
ke permukaan epitil orofarink, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung
kemih, dan usus.

Pada hari ke 9 – 10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas


dan konjungtiva, satu sampai dua lapisan mengalami nekrosis. Virus yang
masuk ke pembuluh darah menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran
nafas adalah batuk, pilek, disertai konjungtivitis, demam tinggi, ruam
menyebar ke seluruh tubuh, timbul bercak koplik.

Pada hari ke-14 sesudah awal infeksi akan muncul ruam


makulopopular dan saat itu antibodi humoral dapat dideteksi. Daya tahan
tubuh akan menurun sebagai akibat respon terhadap antigen virus terjadilah
ruam pada kulit. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran
pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopnemoni, otitis dan lain-lain, 2002).

Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8-12 hari).Gejala klinis terjadi


setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium:

 Stadium prodromal:
Berlangsung kirakira 3 hari (kisaran 2-4 hari), ditandai dengan demam
yang dapat mencapai 39,50C ± 1,10C. Selain demam, dapat timbul gejala

24
berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga hidung),
konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran pernapasan
menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus-
virus lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap
cahaya (fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa buccal
yang disebut Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam.1,5,7
Bercak ini berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, di
tengahnya didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini
hanya sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya
luput saat pemeriksaan klinis.

 Stadium eksantem:
Timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang
dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah,
leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam
ini dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai
400C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam.Jika demam menetap setelah
hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya komplikasi.
 Stadium penyembuhan (konvalesens):
Setelah 3-4 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai dengan
pola timbulnya. Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang
akan menghilang dalam 7-10 hari.

25
Patogenesis

Virus campak menginfeksi dengan invasi pads. epitel traktus


respiratorius mulai dari hidung sampai traktus respirat&rius bagian bawah.
Multiplikasi lokal pada mukosa respiratorius segera disusul dengan viremia
pertama dimana virus menyebar dalam leukosit pada sistem
retikukoendotelial. Setelah terjadi nekrosis pada sel retikuloendotelial
sejumlah virus terlepas kembali dan terjadilah viremia kedua. Sel yang paling
banyak terinfeksi adalah monosit. Jaringan yang terinfeksi termasuk timus,
lien. kelenjar limfe, hepar, kulit, konjungtiva dan paru. Setelah terjadi viremia
kedua seluruh mukosa respiratorius terlibat dalam peijalanan penyakit
sehingga menyebabkan timbulnya gejala batuk dan korisa. Campak dapat
secara langsung menyebabkan croup, bronchiolitis dan pneumonia, selain itu
adanya kerusakan respiratorius seperti edema dan hilangnya silia
menyebabkan timbulnya komplikasi otitis media dan pneumonia Setelah
beberapa hari sesudah seluruh mukosa respiratorius terlibat, maka timbullah
bercak koplik dan kemudian timbui ruam pada kulit. Kedua manifestasi ini
pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan multinucleated giant cells,
edema inter dan intraseluler, parakeratosis dan dyskeratosis.

Timbulnya ruam pada campak bersamaan dengan timbulnya antibodi


serum dan penyakit menjadi tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan bahwa
timbulnya ruam akibat reaksi hipersensitivitas host pada virus campak. Hal ini
berarti bahwa timbulnya ruam ini lebih ke arah imunitas seluler. Pernyataaan
ini didukung data bahwa pasien dengan defisiensi imunitas seluler yang
terkena campak tidak didapatkan adanya ruam makulopapuler, sedangkan
pasien dengan agamaglobulinemia bila terkena campak masih didapatkan
ruam makulapapula.

HARI PATOGENESIS
0 Virus campak dalam droplet terhirup dan melekat pada permukaan

26
epitel nasofaring ataupun konjungtiva. Infeksi terjadi di sel epitel
dan virus bermultiplikasi.
1-2 Infeksi menyebar ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Virus bermultiplikasi di epitel saluran napas, virus melekat pertama
kali, juga di sistem retikuloendotelial regional dan kemudian
menyebar.
5-7 Viremia sekunder
7-11 Timbul gejala infeksi di kulit dan saluran napas
11-14 Virus terdapat di darah, saluran napas, kulit, dan organ-organ tubuh
lain.
15-17 Viremia berkurang dan menghilang.

Manifestasi Klinis

1. Stadium Prodromal (kataral)


Demam, malaise, batuk, konjungtivitis, coryza terdapat bercak koplik
berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum dikelilingi oleh eritema terletak
di mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah, timbul dua hari
sebelum munculnya rash. Stadium ini berlangsung selama 4 – 5 hari.
2. Stadium Erupsi

Coryza dan batuk bertambah, terjadi eritema yang berbentuk makula


popula disertai meningkatnya suhu tubuh. Mula-mula eritema terletak di
belakang telinga, di bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut, dan
bagian belakang bawah. Kadang terdapat pendarahan ringan di bawah kulit.
Pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah
belakang leher.

3. Stadium Konvalensi

Erupsi berkurang dan meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua


(hiperpigmentasi) yang akan menghilang dengan sendirinya. Selanjutnya
diikuti gejala anorexia, malaise, limfedenopati (Suriadi, 2001).

Diagnosis

Diagnosa klinis pada campak klasik dengsn gejala batuk, korisa,


bercak Koplik dan ruam makulopapular yang dimulai dsri wajah, mudah
dilakukan. Sering pula didapatkan ieukopenia yang kemungkinan
berhubungan dengan infeksi virus dan leukosit yang mati.

Diagnosa laboratoris berguna jika klinisi jarang melihat kasus campak


atau adanya kemungkinan campak atipikal atau pneumonia dan ensefalitis
yang tidak jelas pada penderita dengan immunocornpromised. Campak dapat

27
didiagnosa secara laboratoris dengan isolasi virus, identifikasi virus antigen
pada jaringan yang terinfeksi atau dengan respon serologis terhadap virus
campak. Pemeriksaan antigen dapat dilakukan dengan pemeriksaan
smunofluoresen dari sel yang berasal eksudat nasal ataupun dari sedimen
urine. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan dengan RT-PCR. Isolasi
virus secara teknis sutit dilakukan dan fasilitas untuk isolas' virus ini tidak
selalu tersedsa. Pada kultur virus, virus campak ini memperlihatkar, efek
sitopatik yang terdili dari sel-sel yang berbentuk bintang, multinucleated
syncytial giant cell yang berisi inklusi intranuklea Pemeriksaan laboratoris
yang sering digunakan adalah respons serologis. terhadap virus campak
Pemeriksaan respon ini digunakar. cara ne^.rslisaF.i, fiksas' komplemen,
ELISA (enzyme-linked immunoosorbent assay) dan HI (Hemaglutination-
inhibition). Tes netrafisasi membutuhkan propsgasi virus in vitro yang secara
teknis sulit dilakukan, sehingga meskipun cukup sensitif tes ini jarang
dilakdkan. Tes HI kurang sensitif dibandingkan dengan netralisasi tetapi
cukup bagus apabila dibandingkan antara dua kaii pengetesan. Diagnosa
campak apabila terdapat peningkatan titer antibodi 4 kali atau lebih. ELISA
lebih sensitif dan lebih mudah dilakukan, serta dapat pula mendeteksi Ig M
spesifik terhadap virus campak pada fase akut. ACIP (Advisry Committee on
Immunization Practice) merekomendasikan bahwa kriteria laboratoris untuk
campak adalah serologi tes yang posilif untuk Ig M campak atau peningkatan
titer antibodi yang signifikan atau didapatkan isolasi virus campak. Akhir-
akhir ini dikembangkan pula pemeriksaan serologis dengan menggunctkan
saliva.

Diagnosis Banding
Campak harus dibedakan dari beberapa penyakit yang klinisnya juga
berupa ruam makulopapular. Gejala klinis klasik campak adalah adanya
stadium prodromal demam disertai coryza, batuk, konjungtivitis, dan
penyebaran ruam makulopapular. Penyakit lain yang menimbulkan ruam yang
sama antara lain:
- Rubella (Campak Jerman) dengan gejala lebih ringan dan
tanpa disertai batuk.
- Roseola infantum dengan gejala batuk ringan dan demam
yang mereda ketika ruam muncul.
- Parvovirus (fifth disease) dengan ruam makulopapular tanpa
stadium prodromal.
- Demam scarlet (scarlet fever) dengan gejala nyeri
tenggorokan dan demam tanpa konjungtivitis ataupun coryza.
- Penyakit Kawasaki dengan gejala demam tinggi,
konjungtivitis, dan ruam, tetapi tidak disertai batuk dan
bercak Koplik.
Biasanya timbul nyeri dan pembengkakan sendi yang
tidak ada pada campak.

28
Terapi

Terapi campak adalah terapi suportif seperi pemberian cairan dan


antipiretik. Antibiotika diberikan apabila didapatkan infeksi sekunder dengan
bakteri. Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder
tidak memberikan nilai dan tidak direkomendasikan. Meta analisis yang
dilakukan oleh Frank Shann menyatakan behwa pemberian antibiotika
profilaksis tidak menurunkan angka mortaiitas akibat campak. WHO dan
UNICEF merekomendasikan pemberian vitamin A pada setiap penderita
campak terutama apabila pada negara tersebut defisiensi vitamin A masih
menjadi masalah. Dosis yang direkomendasikan adalah 100.000 IU untuk
anak berusia 6 bulan sampai 1 tahun dan 200.000 IU untuk anak berusia 1
tahun atau iebih. Dosis diulangi keesokan harinya dan 4 minggu kemudian
jika didapatkan gejala klinis defisiensi vitamin A. Pemberian vitamin A ini
dapat mengurangi mortaiitas dan morbiditas yang disebabkan oleh campak.

2. Vaksinisasi
Imunisasi dedifinisikan sebagai induksi agar terjadi pembentukan
imunitas dengan cara, baik aktif maupun pasif. Vaksin sendiri didefinisikan
sebagai sediaan biologis yang menimbulkan suatu kekebalan terhadap
penyakit. Di dalam suatu vaksin, umumnya mengandung sejumlah kecil bahan
yang menyerupai organisme pathogen yang mampu menginduksi system imun
, sehingga nantinya anak yang telah mendapatkan vaksinisasi tidak akan sakit
jika terpanjan oleh antigen serupa.
Imunisasi atau Vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat
imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respons memori
terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan preparat antigen
nonvirulen/nontoksik. Imunitas perlu dikembangkan terhadap jenis
antibodi/sel efektor imun yang benar. Antibodi yang diproduksi imunisasi
harus efektif terutama terhadap mikroba ekstraseluler dan produknya (toksin).
Antibodi mencegah adherens mikroba masuk ke dalam sel untuk
menginfeksinya, atau efek yang merusak sel dengan menetralisasi toksin
(difteri, klostridium). Ig A berperan pada permukaan mukasa, mencegah
virus/bakteri menempel pada mukosa. Mengingat respons imun yang kuat
baru timbul beberapa minggu, imunisasi aktif biasanya diberikan jauh sebelum
pajanan dengan pathogen.
Imunitas manusia terdiri dari dua tipe: imunitas pasif dan aktif.
Imunitas pasif terbentuk melalui pemberian antibody dalam bentuk
immunoglobulin, baik spesifik maupun nonspesifik. Misalnya pemberian
tetanus immunoglubolin (TIG) dan hepatitis B immunoglobulin (HBIG).
Imunitas pasif hanya bertahan beberapa bulan saja.
Imunitas aktif ditimbulkan dengan pemaparan antigen dari suatu
pathogen terhadap system imunitas sehingga terbentuk suatu antibody.
Misalnya hepatitis, tetanus, atau BCG (sel imun spesifik). Imunisasi aktif

29
dapat dipicu oleh vaksin hidup (contoh : campak) , vaksin virus yang
dimatikan (contoh : influenza). Keuntungan dari pemberian vaksin
hidup/dilemahkan ialah terjadinya replikasi mikroba sehingga menimbulkan
pajanan dengan dosis lebih besar dan respons imun di tempat infeksi alamiah.
Vaksin yang dilemahkan diproduksi dengan mengubah kondisi biakan
mikrrorganisme dan dapat merupakan pembawa gen dari mikroorganisme lain
yang sulit untuk dilemahkan. Resiko vaksin yang dilemahkan ialah oleh
karena dapat menjadi virulen kembali dan merupakan hal berbahaya untuk
subyek imunokompromais.

Respon imun pada imunisasi

Secara umum, system imun dibagi menjadi 2, yaitu system imun non-
spesifik dan system imun spesifik.

System imun non spesifik merupakan mekanisme pertahanan alamiah


yang dibawa sejak lahir (innate) dan dapat ditunjukan untuk berbagai macam
agen infeksi atau antigen. System imun ini meliputi kulit, membrane mukosa,
sel-sel fagosit, komplemen, lisozim, interferon.

System imun non spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yag di


dapatkan selama kehidupan dan ditunjukan khusus untuk satu jenis antigen.
System imun spesifik diperankan oleh sel T dan sel B. Sel T (imunitas seluler)
berperan melawan antigen di dalam sel , sedangkan sel B (imunitas humorl)
berperan melawan antigen di luar sel.

Di dalam kelenjar getah benih terdapat sel T naif yaitu sel T yang
belum pernah terpanjan oleh antigen. Jika terpnjan antigen, sel T naif akan
berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan
bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel
memori akan berada di organ limfoid untuk kemudian berperan jika terjadi
pajanan antigen yang sama.

Sel B, jika terpanjan oleh antigen akan mengalami transformasi,


proliferasi dan diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi
antibody. Antibody akan menetralkan antigen dan memicu reaksi peradangan.
Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak hanya menjadi sel plasma tetapi juga
sebagian akan menjadi sel B memori. Sel B memori akan berada dalam
sirkulasi. Bila sel B memori terpanjan pada antigen serupa, akan terjadi proses
proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan menghasilkan antibody
yang lebih banyak.

Jenis-jenis imunisasi Dasar

 Imunisasi polio
Saat ini terdapat 2 jenis vaksin polio yaitu oral polio vaccine
(OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV). Vaksin OPV berisi virus

30
polio hidup tipe 1,2,3 yang dilemahkan. Vaksin ini merupakan jenis
vaksin polio yang digunakan secara rutin. Virus dalam vaksin akan
masuk ke saluran pencernaan kemudian ke darah. Virus akan memicu
pembentukan antibody sirkulasi maupun antibody local di epitel usus.
IPV berisi virus polio tipe 1,2,dan 3 yang diinaktivasi dengan
formaldehid. Dalam vaksin ini juga terdapat neomisin, streptomisin ,
dan polimiksin V.vaksin diberikan dengan cara disuntikan subkutan.
Menurut rekomendasi IDAI, vaksin polio diberikan sebanyak
6 kali : saat bayi dipulangkan dari rumah sakit atau pada kunjungan
pertama (polio-0), pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 18 bulan, 5
tahun, 12 tahun.
 Imunisasi hepatitis B
Vaksin ini mengandung 30-40 mikrongram protein HBs Ag
(antigen virus hepatitis B). Imunisasi hepatitis B untuk balita diberikan
sebanyak 3 kali, yaitu segera setelah lahir, usia 1 bulan, dan diantara
usia 3-6 bulan.
 Imunisasi BCG
Bacillie Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin galur
Mycobacterium bovis yang dilemahkan , sehingga di dapat basil yang
tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG
sendiri tidak dapat mencegah infeksi primer tuberculosis, namun dapat
mencegah komplikasinya.
Vaksin BCG biasa diberikan pada anak umur kurang dari 2
bulan. Namun dapat juga diberikan pada umur 0-12 bulan untuk
mendapat cakupan imunisasi yang lebih luas.
 Imunisasi DTP
Vaksin DTP mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan
vaksin pertussis. Vaksin DTP dibedakan menjadi 2 yaitu DTwP dan
DTaP berdasarkan perbedaan vaksin tetanus. DTwP (difteri Tetanus
whole cell pertusis) mengandng suspense kuman B.pertussis yang telah
mati, sedangkan DTaP (Difteri Tetanus acellular Pertusis) tidak
mengandung seluruh komponen kuman B.pertussis melainkan hanya
beberapa komponen yang berguna dalam pathogenesis dan memicu
pembentukan antibody.
Vaksin DTP diberikan saat anak berumur 2,4, dan 6 bulan.
Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian vaksin kembali saat berumur
18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun.
 Imunisasi campak
Campak merupakan penyakit menular dan bersifat akut yang
disebabkan oleh virus campak, yang termasuk dalam family
paramyxovirus. Penyakit ini menular lewat udara melalui system
pernafasan dan biasanya virus tersebut akan berkembang biak pada sel-
sel di bagian belakang kerongkongan maupun pada sel di paru-paru

31
dan menyebabkan gejala-gejala seperti demam, malise, kemerahan
pada mata, radang saluran nafas bagian atas serta timbul bintik
kemerahan yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga,
kemudian berangsur-angsur menyebar di daerah wajah , leher, tangan
dan seluruh badan. Cara penularan penyakit ini dapat secara langsung
melalui droplet infeksi atau secara tidak langsung melalui udara.

Untuk mencegah tertularnya penyakit campak maka seseorang


perlu diberikan vaksin campak, yang sebenarnya adalah strain dari
virus campak yang telah dilemahkan. Imunisasi campak , menurut
anjuran WHO diberikan pada bayi berumur 9 bulan dalam satu dosis
0,5 ml secara sub-kutan dalam. Hasil penelitian terhadap titer antibodi
campak pada anak sekolah kelompok usia 10-12 tahun didapat hanya
50% diantaranya masih mempunyai antibody campak di atas ambang
pencegahan, sedangkan 28,3% diantara kelompok usia 5 – 7 tahun
pernah menderita campak walaupun sudah diimunisasi saat bayi.
Berdasarkan penelitian tersebut dianjurkan pemberian imunisasi
campak ulangan pada saat masuk sekolah dasar (5-6 tahun), guna
mempertinggi serokonversi.

Usia dan Waktu Imunisasi

Mekanisme proteksi dipengaruhi berbagai faktor. Keadaan nutrisi,


penyakit yang menyertai, dan usia akan mempengaruhi kadar globulin atau
CMI. In utero, hanin biasanya terhindar dari antigen asing dan infeksi
mikroorganisme, meskipun pathogen tertentu (rubella) dapat menginfeksi ibu
dan merusak janin, Imunitas ibu melindungi janin dengan jalan mengeleminasi
mikroba sebelum masuk uterus, atau melindungi bayi baru lahir melalui
antibodi transplasental atau air susu ibu.

Pada umumnya bayi baru lahir menunjukkan respon imun yang lemah
dan meningkat efektif dengan usia. Bayi baru lahir sudah siap membentuk
IgM dan memberikan respons terhadap toksoid, virus polio yang diberikan
parenteral atau polio yang dilemahkan dan diberikan oral. Pemberian vaksin
pertusis (bakteri yang dimatikan) segera setelah lahir, tidak memberikan
respons protektif, bahkan dapat menimbulkan tolerasi terhadap vaksin sama
yang diberikan kemudian hari.

Antibodi ibu di samping memberikan perlindungan kepada bayi


terhadap berbagai infeksi atau toksinnya, dapat pula mengurangi respons
terhadap antigen. Misalnya, antibodi anti-campak asal ibu yang ada dalam
kadar cukup pada bayi usia 1 tahun akan menghalangi respons bayi tersebut
terhadap vaksin. Maka sekarang vaksinasi campak dianjurkan untuk diberikan
kepada bayi usia 15 bulan (tidak lagi pada 12 bulan). Pemberian vaksin
campak melalui pernapasan tetap menimbulkan peningkatan kadar antibodi,

32
meskipun bayi masih mengandung antibodi asal ibu. Jadi hambatan produksi
antibodi hanya terjadi bila rute pemberian adalah parenteral.

Cara dan Tempat Pemberian Vaksin


Vaksin dapat diberikan secara subkutan, intramuskular,intrakutan
(intradermal), dan per-oral sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam
kemasan. Cara pemberian vaksin selalu tertera pada label vaksin, maka harus
dibaca dengan baik. Vaksin harus diberikan pada tempat yang dapat
memberikan respons imun optimal dan memberikan kerusakan minimal
terhadap jaringan sekitar, pembuluh darah maupun persarafan.
Suntikan subkutan tidak mengganggu sistem neurovaskular, biasanya
diberikan untuk vaksin hidup dan vaksin yang menghasilkan imunogenisitas
yang tinggi apabila diberikan secara subkutan. Vaksin yang seharusnya
diberikan intramuskular (misalnya Hepatitis B) akan menurun
imunogenisitasnya apabila diberikan subkutan.
Suntikan subkutan pada bayi diberikan pada paha atas bagian
anterolateral atau daerah deltoid untuk anak besar. Jarum yang dipergunakan
berukuran 5/8-3/4 inci yaitu jarum ukuran 23-25. Kulit dan jaringan di
bawahnya dicubit tebal perlahan dengan mempergunakan jempol dan jari
telunjuk sehingga terangkat dari otot, kemudian jarum ditusukkan pada lipatan
kulit tersebut dengan kemiringan kira-kira 45 derajat.
Suntikan intramuskular secara umum direkomendasikan pada vaksin
yang berisi ajuvan, apabila diberikan secara subkutan atau intradermal dapat
menyebabkan iritasi pada kulit setempat, menimbulkan indurasi, kulit menjadi
pucat, reaksi inflamasi, dan pembentukan granuloma, Pemilihan tempat dan
ukuran jarum harus mempertimbangkan volume vaksin, tebal jaringan
subkutan, dan tebal otot. M.quadricep padaanterolateral tungkai atas dan
M.deltoideus merupakan pilihan untuk suntikan intramuskular, dengan
mempergunakan jarum nomor 22-25. Menurut pedoman WHO, pada suntikan
intramuskular, jarum harus masuk 5/8 inci atau 16 mm sedangkan FDA
menganjurkan kedalaman 7/8-1 inci atau 22-25 mm.
Suntikan intradermal diberikan pada BCG dan kadang-kadang pada
vaksin rabies dan tifoid, pada lengan atas atau daerah volar. Ukuran jarum 3/8-
3/4 inci atau jarum nomor 25-27. Untuk vaksin oral, apabila dalam 10 menit
anak muntah sebaiknya pemberian vaksin diulang; tetapi bila kemudian
muntah lagi ulangan diberikan pada keesokan harinya.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Pada Vaksinasi


1.Tempat pemberian vaksin
2. Imunitas mukosa
Yaitu proteksi terhadap infeksi epitel mukosa yag sebagian besar
tergantung dari produksi dan sekresi IgA. Hal ini terutama berlaku untuk
pathogen hidup di permukaan mukosa atau yang masuk tubuh melalui mukosa
sebagai pertahanan tubuh. Imunitas mukosa timbul apabila patogen terpajan

33
dengan sistem imun mukosa. Oleh karena itu, vakksin yang dilemahkan dan
diberikan oral atau intranasal, basanya lebih efektif dalam memacu imunitas
setempat dan relevan disbanding dengan pemberian parenteral.
3. Imunitas humoral
4. Sistem efektor
Ialah respons imun yang dapat membatasi penyebaran infeksi atau
mengeleminasi patogen yang idtentukan oleh tempat patogen, intraselular atau
ekstraselular, Unruk membunuh virus intraselular, dibutuhkan sel T CD8+.
Imunitas tersebut dapat dipacu oleh vaksin virus hidup/dilemahkan, yang
selanjutnya mengaktifkan sel-sel efektor melalui presentasi ke sel T dengan
bantuan MHC-I.
Sel CD4+ diperlukan untuk mengontrol patogen yang hidup dalam
makrofag. Vaksin yang dibutuhkan harus dapat merangsang imunitas
seluler/makrofag. Antibodi IgG, IgA, dan lainnya, kadang-kadang efektif
dalam mengontrol patogen yang disebarkan oleh infeksi ulang.
5. Lama Proteksi

3. Demam
Demam adalah keadaan dimana temperatur rektal >38 °C. Menurut
American Academy of Pediatrics (AAP) suhu normal rektal pada anak
berumur kurang dari 3 tahun sampai 38 °C, suhu normal oral sampai 37,5 °C.
Pada anak berumur lebih dari 3 tahun suhu oral normal sampai 37,2 ˚C , suhu
rektal normal sampai 37,8 °C. Sedangkan menurut NAPN (National
Association of Pediatric Nurse) disebut demam bila bayi berumur kurang dari
3 bulan suhu rektal melebihi 38 °C. Pada anak umur lebih dari 3 bulan, suhu
aksila dan oral lebih dari 38,3 °C. Demam mengacu pada peningkatan suhu
tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang
diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin
bakteri, peradangan, dan rangsang pirogenik lain. Bila produksi sitokin
pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka
efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan; tetapi bila telah
melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas
kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui.
Pengukuran suhu melalui mulut dilakukan dengan mengambil suhu
pada mulut (mengulum termometer dilakukan pada anak yang sudah
kooperatif), hasilnya hampir sama dengan suhu dubur, namun bisa lebih
rendah bila frekuensi nafas cepat. Pengukuran suhu melalui rektal dilakukan
pada anak dibawah 2 tahun, dengan memasukkan termometer ke dalam dubur
selama 2-3 cm dan kedua pantat dikatupkan, pengukuran dilakukan selama 3
menit. Pada pengukuran suhu melalui aksila, hasil pengukuran akan lebih
rendah 0,5 - 1 derajat celcius.
Suhu adalah hasil produksi metabolisme tubuh yang diperlukan uituk
kelancaran aliran darah dan menjaga agar reaksi kimia tubuh dapat berjalan
baik. Suhu tubuh diatur oleh suatu mekanisme yang menyangkut susunan

34
saraf, biokimia, dan hormonal. Hipotalamus menerima informasi suhu tubuh
bagian dalam dari suhu darah yang masuk ke otak dan informasi suhu luar
tubuh dari reseptor panas di kulit.
Bila suhu luar lebih rendah, pembentukan panas akan dilakukan dental
meningkatkan metabolisme, dennen mekanisme kontraksi otot/menggigil,
pengeluaran panas akan dikurangi dengue vasokontriksi pembuluh darah dan
kulit. Bila suhu luar lebih tingi, maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan
cara vasodilatasi, evaporasi, radiasi.
Demam pada infeksi terjadi akibat mikroorganisme merangsang
makrofag atau PMN --> membentuk PE (faktor pirogen endogenik) seperti IL-
1, IL-6, TNF (tumor necrosis endogenic), IFN (interferon) --> zat ini bekerja
di hypothalamus dengan bantuan enzim cyclooxgenase pembentuk
prostaglandin --> penglepasan asam arakidonat & peningkatan sintesis
prostaglandin E2 --> meningkatkan set point hypothalamus. --> pireksia
(demam)

Suhu Tubuh Normal

Suhu jaringan dalam tubuh (core suhue, suhu inti) tetap konstan dalam
kisaran ±1 ºF (±0,6 ºC) meskipun suhu lingkungan berfluktuasi tajam. Suhu
tubuh normal rerata diperkirakan antara 98 ºF dan 98,6 ºF jika diukur melalui
mulut dan sekitar 1 ºF lebih tinggi di rektum.

Suhu dikendalikan oleh keseimbangan antara produksi panas dan


pengeluaran panas. Panas adalah suatu produk sampingan metabolism. Panas
tambahan dapat dihasilkan oleh kontraksi otot (menggigil) dalam jangka
pendek atau oleh peningkatan tiroksin dalam jangka panjang. Sebagian besar
dari panas tubuh dihasilkan di jaringan-jaringan dalam. Laju pengeluaran
panas ditentukan oleh kecepatan konduksi panas ke kulit dan kecepatan
konduksi panas dari kulit ke lingkungan.

Pembuluh darah banyak tersebar di jaringan tepat di bawah kulit.


Peningkatan aliran dara ke pembuluh-pembuluh ini dapat meningkatkan
pengeluaran panas, dan penurunan aliran darah ke pembuluh-pembuluh ini
dapat mengurangi pengeluaran panas. Kulit adalah sistem “radiator panas”
yang sangat efektif untuk memindahkan panas dari inti tubuh ke kulit.

Regulasi Suhu

Perubahan suhu tubuh di kedua arah mengubah aktivitas


sel−peningkatan suhu mempercepat reaksi kimiawi seluler, sedangkan
penurunan suhu memperlambat reaksi ini. Karena fungsi sel sangat sensitif
terhadap fluktuasi suhu internal, manusia secara homeostatis menjaga suhu
tubuh pada level optimal demi metabolisme tubuh yang stabil. Peningkatan
suhu pada umumnya lebih serius daripada penurunan suhu. Bahkan kenaikan
suhu tubuh yang moderat dapat mengakibatkan malfungsi saraf dan denaturasi

35
protein ireversibel. Kebanyakan orang mengalami kejang apabila suhu internal
tubuh mencapai 106 ºF (41 ºC); 110 ºF (43.3 ºC) dianggap sebagai batas atas
suhu yang sesuai dengan kehidupan. Sebaliknya , kebanyakan jaringan tubuh
dapat bertahan sementara dalam pendinginan substansial.

Kelainan pengaturan suhu tubuh

Peningkatan suhu tubuh dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak


itu sendiri atau akibat bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengendali
suhu. Kata demam memiliki arti peningkatan temperature tubuh yang
disebabkan oleh infeksi atau inflamasi. Sebagai respons terhadap invasi
mikroba, beberapa sel fagosit (makrofag) melepaskan pirogen endogen
(endogenous pyrogen), yang bertindak di hypothalamic thermoregulator center
untuk meningkatkan setting thermostat.

Selama produksi demam, endogenous pyrogen meningkatkan set point


pada thermostat hipotalamus dengan memicu rilis prostaglandin, yang
merupakan mediator lokal kimiawi yang bertindak langsung terhadap
hipotalamus.

Ketika partikel virus atau bakteri masuk ke dalam tubuh, partikel


tersebut difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh
granular besar. Sel ini melepaskan interleukin-1 sebagai respons terhadap
fagosit. Interleukin-1 menginduksi pembentukan prostaglandin E2 (PGE2)
yang bekerja pada hipotalamus untuk mencetuskan reaksi demam. Ketika
pembentukan prostaglandin dihambat oleh obat-obatan, demam sepenuhnya
menghilang atau setidaknya berkurang. Ini merupakan mekanisme kerja yang
diduga pada aspirin dan anti piretik lainnya untuk menurunkan tingkat demam,
hal ini menjelaskan mengapa senyawa ini tidaak menurunkan suhu tubuh pada
orang yang normal dan sehat (tidak mengalami peningkatan interleukin-1).

Ketika mekanisme interleukin-1 menset ulang set point kendali suhu,


suhu tubuh dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi. Peningkatan set
point suhu tubuh memicu perasaan dingin dan terjadi pengaktifan saraf yang
menyebabkan menggigil dan piroereksi. Jika pirogen telah dibersihkan dari
tubuh, set point untuk kontrol suhu kembali ke normal. Pada tahap ini, suhu
tubuh menjadi terlalu hangat dan timbul perasaan ‘gerah’ sehingga mekanisme
saraf terpicu untuk menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah kulit dan
berkeringat.

Tipe demam

1. Hectic (or Septic) Fever, adalah demam intermiten yang menunjukan


perbedaan tinggi antara puncak dan suhu terendah, biasanya ditemani
dengan menggigil dan berkeringat.

36
2. Remittent Fever, variasi tingkat suhu yang signifikan setiap hati, namun
tidak pernah turun dari suhu normal tubuh.
3. Continuous (or Sustained) Fever, demam yang terjaga pada ringkat yang
tinggi, Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak
signifikan.
4. Spurious (or False) Fever , peningkatan suhu saat pembacaan thermometer
yang diproduksi dari tipu daya pada tubuh pasien.
5. Psychogenic (or Emotional) Fever, peningkatan suhu tubuh akibat
stimulus emosional.
6. Catheter Fever, infeksi urethra yang oleh penggunaan kateters, sitoskopi,
dan lain-lain, sehingga diikuti dengan demam akibat bacteremia
sementara.
7. Thirst Fever, tipe demam yang terlihat pada bayi yang mengalami
dehidrasi, ditandai dengan peningkatan suhu pagi hari dan kembali normal
pada malam hari.

Komplikasi yang diakibatkan oleh demam


1. Kejang
2. Febrile albuminuria
3. Sakit kepala

Patofisiologi Demam

Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen.
Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti
mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan pirogen
yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-
6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat pirogen
endogen adalah monosit, limfosit dan neutrofil (Guyton, 2007). Seluruh
substansi di atas menyebabkan sel-sel fagosit mononuclear (monosit,
makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat sitokin yang bekerja sebagai
pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip interleukin, yang merupakan
suatu mediator proses imun antar sel yang penting.

Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan


berhasil memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis
factor α dan interferon α, interferon β serta interferon γ merupakan sitokin
yang berperan terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-sitokin tersebut juga
diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan kemudian bekerja
pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan
asam arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase
A2. Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran

37
dari enzim siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan
menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus
(Dinarello dan Gelfrand, 2001;Fox, 2002; Wilmana dan Gan, 2007; Ganong.
2008; Juliana, 2008; Sherwood,2010).

Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu


siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform
berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang
berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis pembentukan
prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lender
traktus Gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. Sedangkan
COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli
radang, mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk
prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini
mengarah kepada, bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin
yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis,
sedangkan COX-2 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang
menyebabkan radang (Dachlan et al., 2001; Davey, 2005).

Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang


menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron
termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang
berperan sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan
konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan
meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di
susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh menjadi
panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat (Dinarello dan Gelfrand,
2001; Fox, 2002; Wilmana dan Gan, 2007; Ganong, 2008; Juliana, 2008;
Sherwood, 2010).

38
Penerapan Klinis

Demam pada anak dapat diukur dengan menempatkan termometer ke


dalam anus, mulut, telinga, serta dapat juga di ketiak segera setelah air raksa
diturunkan, selama satu menit dan dikeluarkan untuk segera dibaca.
Pengukuran suhu mulut aman dan dapat dilakukan pada anak usia di atas 5
tahun. Pengukuran ini juga lebih akurat dibandingkan dengan suhu ketiak.
Pengukuran suhu ketiak (aksila) mudah dilakukan, namun hanya
menggambarkan suhu perifer tubuh yang sangat dipengaruhi oleh
vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat sehingga kurang akurat.
Pengukuran suhu melalui anus atau rektal cukup akurat karena lebih
mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan paling sedikit terpengaruh suhu
lingkungan, namun pemeriksaannya tidak nyaman bagi anak. Pengukuran
suhu melalui telinga (infrared tympanic) keakuratannya masih diperdebatkan
oleh para ahli. Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan tidak
dianjurkan karena tidak akurat sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat
jika suhu mencapai tingkat yang membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh
yang merupakan suhu tubuh yang sebenarnya dapat dilakukan dengan
mengukur suhu dalam tenggorokan atau pembuluh arteri paru. Namun ini
sangat jarang dilakukan karena terlalu invasif. Adapun kisaran nilai normal
suhu tubuh adalah :

39
 Suhu oral, antara 35,5° – 37,5° C
 Suhu aksila, antara 34,7° – 37,3° C
 Suhu rektal, antara 36,6° – 37,9° C
 Suhu infrared tympanic, antara 35,7° – 37,5° C

Suhu tubuh yang diukur di mulut akan lebih rendah 0.5-0.6°C (1°F)
dari suhu rektal. Suhu tubuh yang diukur di ketiak akan lebih rendah 0.8-
1.0°C (1.5-2.0°F) dari suhu oral. Suhu tubuh yang diukur di timpani akan 0.5-
0.6°C (1°F) lebih rendah dari suhu ketiak.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, demam mempunyai


manfaat melawan infeksi. Namun demam juga memberikan dampak negatif
diantaranya terjadi peningkatan metabolisme tubuh, dehidrasi ringan, dan
dapat membuat anak sangat tidak nyaman. Penanganan demam sebaiknya
tidak hanya berpatokan pada tingginya suhu, tetapi apabila anak tidak nyaman
atau gelisah sehingga dapat mengganggu penilaian, demam perlu diobati.
Selain pemberian antipiretik, terapi suportif yang dapat dilakukan oleh
orangtua pada anak yang demam diantaranya :

 Meningkatkan asupan cairan. Memperbanyak minum dapat mencegah


dehidrasi. Pemberian minum dapat berupa air, susu, ASI, kuah sup,
atau jus buah.
 Mengompres anak dengan air hangat. Mengompres juga dapat
dilakukan dengan merendam anak di air hangat sambil membasuh
badan anak. Mengompres/merendam anak dengan air hangat dapat
membantu menurunkan suhu terutama apabila dilakukan setelah
pemberian antipiretik. Namun apa bila anak menggigil atau semakin
tidak nyaman, jangan melakukan pengompresan. Pengompresan
dengan air dingin hanya dilakukan Jika panas pada anak disebabkan
oleh suhu lingkungan yang tinggi (heat stroke). Pengompresan dengan
alkohol harus dihindari karena alkohol akan diserap oleh kulit dan
dihirup pernapasan, dapat menyebabkan koma.

Antipiretik

Demam pada anak merupakan suatu keadaan yang sering


menimbulkan kecemasan, stres, dan fobia tersendiri bagi orangtua. Oleh
karena itu, ketika anak demam Orangtua seringkali melakukan upaya-upaya
untuk menurunkan demam anak. Salah satu upaya yang sering dilakukan
orangtua untuk menurunkan demam anak adalah dengan pemberian obat
penurun panas/antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin.

Ada beberapa golongan antipiretik di Indonesia, yaitu :

40
 Golongan antipiretik murni. Termasuk dalam golongan ini adalah
asetaminofen (Parasetamol, Tempra, Termorex, Panadol®, dll),
asetosal (Bodrexin®, dll), dan ibuprofen (Proris®, dll)
 Golongan chlorpromazine
 Golongan aminopyrin dan fenacetin

Pada umumnya antipiretik terpilih untuk bayi dan anak adalah golongan
antipiretik murni karena antipiretik golongan ini dapat menurunkan demam pada
saat demam dan tidak menyebabkan suhu yang sangat rendah bila tidak ada
demam. Golongan kedua dapat menyebabkan suhu rendah pada anak yang tidak
demam, sedangkan golongan ketiga bersifat antipiretik pada dosis rendah dan
bersifat hipotermik pada dosis tinggi. Golongan kedua dan ketiga dipakai
berdasarkan petunjuk dokter dan tidak dijual secara bebas. Antipiretik yang
banyak digunakan dan dianjurkan adalah parasetamol, ibuprofen, dan aspirin
(asetosal). Oleh karena itu antipiretik yang akan dibahas lebih lanjut adalah ketiga
jenis obat tersebut.

1. Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol merupakan obat pilihan pada anak-anak.

Efek anti inflamasi

parasetamol hampir tidak ada. Di Indonesia, parasetamol tersedia


sebagai obat bebas, misalnya Panadol, Bodrex , INZA, dan Termorex.
Parasetamol memiliki sifat analgesik yang menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Parasetamol
merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa. Di Indonesia penggunaan
parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik telah menggantikan penggunaan
salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu
lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik.

2. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan golongan obat antiinflamasi non steroid


(OAINS) yang sering digunakan sebagai antipiretik pada anak. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin.

3. Aspirin

Aspirin atau asam asetilsalisilat atau asetosal adalah suatu jenis obat
dari keluarga salisilat yang sering digunakan sebagai analgesik (terhadap rasa
sakit atau nyeri), antipiretik (terhadap demam) dan anti-inflamasi. Aspirin juga

41
memiliki efek antikoagulan dan digunakan dalam dosis rendah dalam tempo
lama untuk mencegah serangan jantung. Beberapa contoh aspirin yang beredar
di Indonesia ialah Bodrexin, Inzana. Aspirin merupakan obat yang efektif
untuk mengurangi demam, namun tidak direkomendasikan pada anak. Aspirin,
karena efek sampingnya merangsang lambung dan dapat mengakibatkan
perdarahan usus maka tidak dianjurkan untuk demam ringan.

4. Ruam
Ruam makulopapular akut yang terjadi pada anak biasanya
berhubungan dengan infeksi virus. Umur penderita dapat menjadi alat untuk
mempersempit kemungkinan diagnosis banding. Penyakit ruam kulit yang
disertai panas, biasanya karena infeksi, terutama bila disertai dengan gejala
sistemik yang lain, harus mendapat perhatian khusus karena potensial
menimbulkan wabah.
Pemeriksaan klinik jenis ruam sangat penting pada demam dan ruam
kulit:makula adalah ruam yang ditandai oleh perubahan warna kulit tanpa
elevasi maupun depressi, papula yang disertai elevasi permukaan kulit, nodul
melibatkan proses di kulit lebih dalam, yang membedakannya dilakukan
dengan palpasi, plak yang penggabungan papula papula, pustulayang
mengandung cairan, vesikula yang mengandung cairan dengan diameter < 0.5
Cm dan bulla yang diameternya > 0.5 Cm.
Adanya kelainan yang bersifat sistemik, seperti tanda vital,
adenopathy, pembesaran hepar dan lien, tanda dan gejala susunan syaraf
mempunyai poin sangat penting selain juga tingkat kegawatan klinik
penderita. Pemeriksaan laboratorium demam dan ruam umumnya tidak
tersedia dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, namun pemeriksaan
darah lengkap,termasuk hitung jenis, laju endap darah, faal hati dan
pemeriksaan kultur darah maupun urine diperlukan. Pada umumnya para
klinisi melakukan pengelompokan penyakit berdasar jenis ruam, adanya ruam
di telapak, anamnesis, dan pola klinik ruam yang disertai panas.
Ruam makulopapular : kelompok penyakit dengan ruam
makulopapular yang terdistribusi central, dimana ruam mulai muncul dari
daerah kepala, leher kemudian menyebar keseluruh tubuh / menyebar ke
perifer: umumnya berkaitan dengan penyakit campak, rubella, roseola /
exanthema subitum atau ruam yang berhubungan dengan obat. Kelompok
penyakit dengan ruam makulopapular yang terdistribusi perifer, dimana
predileksi ruamnya ada di telapak tangan, telapak kaki, lutut dan siku misalnya
meningococcemia, Rocky Mountain spotted fever, dengue fever, yang
awalnya tampil dengan ruam makulopapular, sebelum akhirnya menjadi ruam
petekhiae, harus segera dikenali agar tatalaksana tidak terlambat dan fatal.
Ruam petekie: Ada 3 penyakit penting yaitu meningococcemia, Rocky
Mountain spotted fever dan dengue fever. Ruam ini juga didapatkan pada
infeksi virus coxsackie A9, echovirus 9, cytomegalovirus, atypical measles,
viral hemorrhagic fever baik yang disebabkan oleh arbovirus maupun

42
arenavirus.Beberapa infeksi bakteri seperti staphylococcemia, disseminated
gonococcal dan thrombotic thrombocytopenic purpura, juga menunjukkan
gejala yang sama.
Ruam erythema dengan desquamasi: terdapat pada Scarlet fever, toxic
shock syndrome, scalded skin syndrome yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan sindroma Kawasaki, juga sering didapatkan pada infeksi
Streptococcus viridan, toxic epidermal necrolysis dan reaksi graft versus host.
Ruam vesicobulous – pustule : didapatkan pada infeksi virus herpes
varicellazoster juga pada infeksi kuman Staphylococcus, gonococcemia. Pada
penderita dengan immunocompromised, perlu diingat infeksi disseminated
herpes simplex virus.
Ruam nodul terdapat pada Erythema nodosum adalah penyakit dengan
ruam nodul, berupa proses inflamasi akut, yang melibatkan proses
immunologi pada panniculus adiposus. Nodule tersebut terasa nyeri.Lesi
banyak dijumpai pada ekstremitas bawah, lutut dan lengan. Penyebabnya
adalah idiopathic, sebesar 40 %, sisanya oleh karena infeksimisalnya karena
beta-hemolytic streptococcus, Mycobacterium, atau sebab non infeksi
misalnya reaksi terhadap sulfonamide , oral kontrasepsi atau Sarcoidosis.
Beberapa akhli menggunakan cara pengelompokan yang berbeda
misalnya dengan melihat ada tidaknya ruam ditelapak tangan dan telapak kaki,
perjalanan penyakit, atau ukuran lesi yang ada. Sebagai contoh ada pada table
dibawah Tabel . Dugaan diagnosis penyakit disertai ruam kulit dengan
ada/tidak nya keterlibatan telapak tangan dan telapak kaki.

Penyakit infeksi akut yang disebabkan virus campak, dengan gejala


berupa ruam pada kulit dan aktifasi jaringan retikuloendotelial.
Ruam penyakit campak adalah erythromaculopapular, muncul 3 -4 hari
panas, mulai dari perbatasan rambut kepala, dahi, belakang telinga, kemudian
menyebar ke muka, leher, tubuh, extremitas atas, terus kebawah, dan
mencapai ujung kaki pada pada hari ke 3 ruam muncul. Setelah ruam sudah
menyebar keseruh tubuh, maka ruam awal akan mengabur, disusul dengan

43
munculnya hiperpigmentasi dan desquamasi. Urutan lokasi terjadinya fade –
hiperpigmentasi – desquamasi, sama dengan urutan lokasi terjadinya ruam
erythro maculopapular.
Pada saat ruam muncul suhu badan kadang-kadang naik sangat tinggi
hingga mencapai 40,5°C. Pada muka dan dada akan terjadi confluent akibat
ruam yang muncul saling rengkuh. Kadang-kadang akan terjadi perdarahan
ringan pada kulit, rasa gatal dan muka bengkak. Ruam ini akan menghilang
dalam 2-3 hari dengan urutan yang sama dengan saat terjadinya. Pada Fase ini
erdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah
leher belakang. Tidak jarang disertai diare dan muntah. Munculnya ruam
diakibatkan adanya reaksi sel T imun dengan sel yang terinfeksi virua dalam
pembuluh darah kecil dan bertahan sekitar 1 minggu.

Mekanisme timbulnya ruam pada penderita campak


Virus morbili masuk melalui mukosa saluran pernapasan → Membawa
komponen Glycoprotein virus Hemaglutinin yang berikatan dengan CD46
(dimiliki oleh semua sel kecuali RBC) dan Systemic Lupus Activity Measure
(pada limfosit dan monosit) pada sel host menyebabkan perubahan pH pada
permukaan GPH → Fusion pada sel host sehingga virus dapat masuk → Virus
menyerang limfatik lokal → Terjadilah replikasi virus yang ekstensif →
Viremiea primer → Virus menyebar di leukosit pada sistem retikuloendotelial
melalui hematogen → Menginfeksi hati,spleen,timus,kulit,paru,dan
konjungtiva. → Sehingga menyebabkan Viremiea sekunder → Muncul koplik
spot. → Timbul rash/ruam

5. Tatalaksana dan Pencegahan


Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa
tirah baring, antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan
sampai setiap 4 jam), cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A.
Vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang meningkatkan
respons antibodi terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat
menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan pneumonia.Vitamin
A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:
a. 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
b. 100.000 IU pada anak umur 6 - 11 bulan
c. 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan

Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis


sesuai umur penderita diberikan antara minggu ke-2
sampai ke-4 pada anak dengan gejala defisiensi vitamin A. Pada campak
dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia bakterial dapat diberi
antibiotik. Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai dengan derajat
dehidrasinya.

44
KOMPLIKASI

Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu:

o Usia muda, terutama di bawah 1 tahun


o Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
o Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
o Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV,
malnutrisi, atau keganasan
o Anak dengan defisiensi vitamin

Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain:

a. Saluran pernapasan: bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup)


b. Saluran pencernaan: diare yang dapat diikuti dengan dehidrasi
c. Telinga: otitis media
d. Mata: keratitis
e. Sistemik: septikemia karena infeksi bakteri sekunder
f. Susunan saraf pusat:
o Ensefalitis akut: timbul pada 0,01 – 0,1% kasus campak. Gejala
berupa demam, nyeri kepala, letargi, dan perubahan status mental
yang biasanya muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-6 setelah
munculnya ruam. Umumnya self-limited (dapat sembuh sendiri),
tetapi pada sekitar 15% kasus terjadi perburukan yang cepat dalam
24 jam. Gejala sisa dapat berupa kehilangan pendengaran, gangguan
perkembangan, kelumpuhan, dan kejang berulang.
o Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE): suatu proses
degeneratif susunan saraf pusat yang disebabkan infeksi persisten
virus campak, timbul beberapa tahun setelah infeksi (umumnya 7
tahun). Penderita mengalami perubahan tingkah laku, retardasi
mental, kejang mioklonik, dan gangguan motorik.

PROGNOSIS
Campak merupakan self limited disease, namun sangat infeksius.
Mortalitas dan morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang
mempengaruhi timbulnya komplikasi. Di negara berkembang, kematian
mencapai 1-3%, dapat meningkat sampai 5-15% saat terjadi KLB campak.
PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi campak ataupun vaksinasi
MMR (Measles, Mumps, Rubella). Sesuai jadwal imunisasi rekomendasi IDAI
tahun 2014, vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan. Selanjutnya, vaksin
penguat dapat diberikan pada usia 2 tahun. Apabila vaksin MMR diberikan
pada usia 15 bulan, tidak perlu vaksinasi campak pada usia 2 tahun.
Selanjutnya, MMR ulangan diberikan pada usia 5-6 tahun. Dosis vaksin
campak ataupun vaksin MMR 0,5 mL subkutan. Imunisasi ini tidak dianjurkan

45
pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien tuberkulosis yang
tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, pengobatan
imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang terinfeksi
HIV.
Anak terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti
kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.Reaksi KIPI
(Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) yang dapat terjadi pasca-vaksinasi campak
berupa demam pada 5-15% kasus, yang dimulai pada hari ke 5-6 sesudah
imunisasi, dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5%
resipien, yang timbul pada hari ke 7 s/d 10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari.8 Reaksi KIPI dianggap berat jika ditemukan gangguan sistem
saraf pusat, seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca-imunisasi. Risiko kedua
efek samping tersebut dalam 30 hari sesudah imunisasi diperkirakan 1 di
antara 1.000.000 dosis vaksin.Reaksi KIPI vaksinasi MMR yang dilaporkan
pada penelitian mencakup 6000 anak berusia 1-2 tahun berupa malaise,
demam, atau ruam 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung 2-3 hari.8
Vaksinasi MMR dapat menyebabkan efek samping demam, terutama karena
komponen campak.14 Kurang lebih 5-15% anak akan mengalami demam
>39,40C setelah imunisasi MMR. Reaksi demam tersebut biasanya
berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi, ada yang selama 1-2 hari. Dalam 6-
11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak,
ensefalitis pasca-imunisasi terjadi pada <1/1.000.000 dosis

IMUNISASI DASAR DI INDONESIA

CAMPAK
 Vaksin beku kering berwarna kekuningan
 1 vial dilarutkan dg water for injection 5 cc (20 dosis)
 Ada wabah campak dpt diberikan usia 6 bln & suntikan ulangan 6 bln
kemudian.
 Booster (second opportunity): 6-59 bln dan SD kls 1-6, rutin pd BIAS kls 1.

46
 Efek samping : sakit ringan, bengkak, demam febris convulsion
 Kontraindikasi : malnutrisi, bumil, infeksi akut+ demam, defisiensi
imunologik, kerentanan tinggi thd protein telur
 Penggunaan : maks 6-8 jam stl dibuka
 Pelarut tdk blh dibekukan, simpan pd suhu kamar
 Paska pemberian imunoglobulin dan tranfusi ditangguhkan min 3 bln
 Stl imunisasi, test tuberkulin ditangguhkan 2 bln Jadwal imunisasi tdk
teratur
 Vaksin 1x dg daya lindung panj : BCG, campak, MMR, varisela jk terlambt
akan mengakibatkan meningkatnya risiko tertular peny
 Blm pernah imunisasi : tdk memiliki antibodi yg ckup u/ menghindari peny.
Imunisasi dpt diberikan kpn saja
 Imunisasi multidosis dg interval ttt : keterlambatan akan menunda
tercapainya antibodi yg tinggi.
 Status imunisasi tdk diket/ meragukan : berikan kpn pun ssi
interval
 HepB : interval 4-8 mgg
 DPT : interval 4 mgg-4 mgg-1 th-4,5 th
 polio : interval = DPT
 Campak : kpn saja

PROSEDUR PEMBERIAN IMUNISASI


a. Periksa jensi vaksin & pastikan vaksin tersimpan baik
b. Periksa tgl kadarluarsa.
c. Periksa apakah vaksin diberikan ssi jadwal & tawarkan
d. vaksin lain unt mengejar imunisasi yg tertinggal
e. Berikan vaksin dg teknik yg benar
f. Konseling penanganan KIPI
g. Catat

47
VII. KERANGKA KONSEP

VIII. KESIMPULAN

M , laki-laki 6 tahun mengalami campak yang disebabkan oleh measles


virus dengan gejala batuk , pilek , mata merah , dan ruam.

48
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Petunjuk praktis Satgas Imunisasi
IDAI. 2000 Jun; 2(1); 43-6p.
Anonim. http://erepo.unud.ac.id/16595/3/0992162029-3-BAB_II.pdf. Diakses tanggal
22 Agustus 2017

Anonim. http://eprints.ums.ac.id/16760/2/BAB_I.pdf. Diakses tanggal 22 Agustus


2017

Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. 6th ed. Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 2004. 430-
67p.
Fauci, A., Braunwald,E., Kasper,D., Hauser.S, Longo,D. (2008). Harrison's
Principles of Internal Medicine, 14th Edition, 14th ed., : Mcgraw-hill.

Halim, R.G. (2016). Campak Pada Anak, 43 (4), 186-188.

Hall JE. Buku Saku Fisiologi Kedokteran. Pendit BU, translator. Jakarta; EGC, 2007.
557-61p.

Ismoedijanto, 2000. "Demam pada Anak, vol 2". Sari Pediatri
Suvianto. "Demam,
Tipe dan Pendekatan". Jurna IPD FK UI jilid 3.


Ismoedijanto. Demam dan Ruam di daerah tropic


(2011).MAKALAH_Prof%20Dr%20dr%20Ismoedijanto%20SpA(K).pdf.
Diakses tanggal 22 Agustus 2017

Jawetz, Melnick, adelberg, 2002. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Ed : 25


Kasper, D. L., & Fauci, A. S. (2010). Harrison’s Infection Disease (17th ed.). New
York: McGraw-Hill.

Maria, Donna Rozalia. "Diagnosis dan Tatalaksana Morbili". Di: www.jukeunila.com

Mathilda.Kelengkapan imunisasi (2009). http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123243-


S09081fk-Kelengkapan%20imunisasi-Literatur.pdf. Diakses tanggal 22 Agustus 2017

Ricky Gustian. "Campak pada Anak". Di: www.cdk.journal.com

Schneider-Schaulies, Jurgen. 2000.


http://www.microbiologyresearch.org/docserver/fulltext/jgv/81/6/0811413a.pdf?expir
es=1503483282&id=id&accname=guest&checksum=29364D184924A9004116A406
FA5816F7. Diakses tanggal 23 Agustus 2017

Setiati,Siti,dkk.2014.Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: InternaPublishing

Sherwood L. Introduction to Human Physiology. 8th ed. Alexander S, Developmental


Editor. West Virginia; Brooks/Cole, 2010. 677p, 683-4p.

49
Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as
exanthema subitum (roseola infantum) Br Med J, 1996 ; 312 : 101-2.

WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000.
WHO/V&B/00. 16.

Yanagi Y, Takeda M, Ohno S. Journal of General Virology. Departement of Virology


Kyushu University. 2006; 87; 2767-9.

Yang D. RNA Viruses: Host Gene Reaction to Infection. 1st ed. Canada; World
Scientific, 2009, 271-6p.

50

Anda mungkin juga menyukai