Anda di halaman 1dari 3

Ekspansi Wisata Bali, Semakin Mengikis Keseimbangan Alam Pulau

Dewata

Kemajuan sektor pariwisata yang pesat di pulau Bali, rupanya tak hanya membawa
berkah bagi warga setempat. Ekspansi sektor ini, yang menuntut semakin banyak
fasilitas dan akomodasi wisata bagi jutaan turis lokal dan mancanegara setiap
tahunnya, juga membawa berbagai permasalahan lingkungan bagi warga Bali.
Dalam sebuah tulisan yang dirilis oleh Michael Bachelard di dalam arrtikelnya di
media onlinetheage.com.au, jutaan ton sampah juga mengotori pantai setiap
tahunnya, lalu lintas yang padat juga semakin memecah kedamaian pulau Bali, dan
kebutuhan air yang terus meningkat secara drastis dikhawatirkan membawa dampak
bagi penyediaan air bersih dalam lima atau satu dekade mendatang.
Kini, sistem irigasi tradisional Bali yang kita kenal dengan nama subak harus berebut
air dengan ratusan ribu hotel dan restoran yang membutuhkan air jutaan kubik setiap
hari. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh salah seorang warga bernama Nengah
Daryana,”Sepanjang subak masih bisa beroperasi, saya tak akan menjual sawah yang
diwariskan oleh ayah saya,” ungkap seorang petani bernama Nengah Daryana. Hal
ini diungkapkan Nengah Daryana, setelah salah satu sawah milik pamannya terpaksa
harus ditutup karena suplai air terhenti oleh berbagai bangunan yang mengelilingi
sawahnya.
Namun, subak bukan sekedar sebuah sistem pengairan untuk persawahan di Bali.
Sistem ini sekaligus sebuah harmoni interaksi orang-orang Bali yang merupakan
penggambaran dari ‘Tri Hita Karana’, yang merupakan simbol dari
hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan alam.
Kini kondisi semakin mengkhawatirkan setelah suplai air semakin tertekan oleh
kehadiran hotel dan berbaga restoran di Bali. Menurut Yayasan Wisnu yang sempat
diwawancara oleh Bachelard, untuk kebutuhan rumah tangga warga setidaknya
membutuhkan 150 liter air sehari sementara turis di hotel setidaknya membutuhkan
air sekitar 1500 liter atau lebih. Sebagian besar air di Bali, diperoleh dengan gratis
dengan mengambil air tanah yang diraih lewat pipa sedalam 12 meter untuk rumah
tangga dan sedalam 60 meter untuk hotel-hotel besar.
Seiring dengan masifnya kebutuhan air di Bali, bahaya instrusi air laut kini
mengancam. Seorang pakar dari Universitas Udayana, I Nyoman Sunarta, telah
menemukan adanya intrusi air laut ini di wilayah selatan Bali yang marak menjadi
arena wisata utama untuk para turis. Sementara seorang peneliti dari Inggris, Dr.
Stroma Cole mengatakan bahwa sekitar 260 dari 400-an sungai di Bali kini sudah
mengering. Dan salah satu sumber air alami di Bali, Danau Bunyan kini semakin
menurun debit airnya akibat sedimentasi dan mengalami penurunan kualitas air
akibat limbah kimia dari pertanian. Sementara sumber air lain yang berasal dari mata
air, yang sebelumnya gratis, kini dijual dalam botol plastik setelah dikuasai oleh
perusahaan produsen air minum kemasan.
Akibat lebih jauh, daerah tangkapan air di Bali kini semakin menurun dengan cepat.
Kuota minimum untuk menghutankan Bali dengan 30% kawasan hutan, kini tinggal
23% dan terus menyusut. “Seiring dengan bertambahnya hotel, villa, lapangan golf
dan akomodasi bisnis, kualitas dan kuantitas hutan, danau, daerah tangkapan air dan
mata air semakin berkurang, dan semakin menyusutkan jumlah persediaan air,”
ungkap Nyoman Sunarta. Menurutnya, Bali mengalami defisit air sekitar 15.000
giga liter setiap tahun -sekitar 25 kali volume air di Sydney Harbour- dan akan defisit
ini akan meningkat hingga 27.000 giga liter tahun 2015. Penggunaan air di Bali, kini
sudah jauh berada diluar kemampuan pulau ini untuk menyediakan air bersih bagi
manusianya.
Kondisi ini tidak menyurutkan minat manusia yang tertarik untuk menetap di Bali.
Terbukti harga properti di pulau ini meningkat terus setiap tahun secara signifikan.
Harga sebuah villa di sekitar Seminyak kini adalah 2,4 miliar rupiah dengan luas
100 meter persegi, dan ini akan terus mengalami kenaikan sebanyak 20% setiap
tahunnya menurut analis property Knight Frank. Setiap tahun setidaknya 1000
hektar lahan pertanian diubah menjadi perumahan dan villa.
Tekanan ini, memaksa warga yang sebelumnya bekerja sebagai petani berpindah ke
sektor pariwisata, yang kini menjadi hajat hidup bagi sekitar 80% warga Bali.
Sementara tata guna lahan yang ada tidak mampu berbuat apa-apa karena begitu
banyaknya pelanggaran aturan yang terjadi dalam alihfungsi lahan pertanian ini
menjadi hotel dan perumahan. Misalnya yang terjadi dengan moratorium
pembangunan hotel yang dilancarkan oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika
tahun 2011 silam, seringkali dilanggar oleh pemimpin daerah yang ada di level
bawah yang memiliki otoritas untuk memberikan persetujuan.
Masalah lain yang juga muncul akibat meledaknya dunia pariwisata di Bali adalah
sampah. Walhi Bali mengatakan bahwa sektor pariwisata bertanggung jawab atas
terkontaminasinya 13 pantai di Bali. “Airnya sangat kotor, kita tidak bisa
menggunakan sungai-sungainya,” ungkap seorang mantan nelayan bernama Gusti
Lanang Oka, kepada Jakarta Post. “Jika kita berenang maka kita akan gatal-gatal,
dan laut sudah terkontaminasi, lalu ikan juga semakin berkurang.”
Hal ini juga terlihat di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, hutan mangrove yang
terbentang seluas 1300 hektar dan pernah menjadi hutan mangrove tersisa yang
terbesar di Asia, dan tahun 2009 dinilai sebagai hutan mangrove terbaik di Asia.
Kini, hutan mangrove ini penuh dengan sampah plastik, styrofoam, dan bahkan
berbagai satwa mati.
Kini, Tahura Ngurah Rai, nampaknya akan menjadi sasaran berikutnya dari ekspansi
pariwisata di Bali yang sangat masif. Lokasi ini akan dikelola oleh sebuah
perusahaan untuk dijadikan restoran dan resort. Kendati Wahana Lingkungan Hidup
di Bali sudah menentang hal ini, dan bahkan menuntut gubernur Bali, namun
nampaknya rencana ini akan terus berjalan. ” Satu lagi benteng bencana dan habitat
keragaman hayati di Bali akan musnah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
semakin meningkat.
Keindahan dan Keagungan Bali, jelas bukan hilang akibat aksi teroris. Kebutuhan
manusia yang tiada batas, nampaknya menjadi teror sebenarnya bagi alam Pulau
Dewata ini.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2013/05/07/ekspansi-wisata-bali-semakin-mengikis-
keseimbangan-alam-pulau-dewata/

Anda mungkin juga menyukai