Anda di halaman 1dari 30

Kolitis Infeksi

Eifraimdio Paisthalozie

10-2011-384

Kelompok E6

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi :

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : eternaldoom_10@yahoo.co.id

Tahun Ajaran 2011/2012


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kolitis merupakan suatu peradangan akut atau kronik pada kolon atau usus besar
yang berdasarkan penyebab dan patofisiologinya dapat diklasifikasikan dalam 2
kategori besar yaitu kolitis non-infeksi dan kolitis infeksi. Seperti yang kita semua
sudah ketahui bahwa usus besar memiliki peranan dalam melakukan “tugas akhir”
pengelolaan makanan yaitu dengan mengabsorpsi air dan elektrolit pada kimus
sehingga menghasilkan feses yang padat sekaligus sebagai tempat penyimpanan
sisa-sisa materi pencernaan sebelum dikeluarkan melalui rektum. Orang yang
mengalami gangguan pada kolon umumnya mengeluh nyeri perut dengan diare
yang disertai darah, kadang-kadang dapat pula diketemukan lendir apabila
penyebab radang usus besarnya ialah kuman. Kolitis infeksi merupakan suatu
penyakit dengan prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia yang notabene
merupakan negara tropik. Bakteri E.coli patogen disinyalir sebagai penyebab
utama diare kronik di Jakarta. Selain bakteri E.coli, ada jenis-jenis lain bakteri
yang ikut berperan dalam menyebabkan kolitis infeksi ini, antara lain Entamoeba
histolytica, Shigella, dan Mycobacterium tuberculosa. Kesemua kolitis infeksi
umumnya disertai dengan diare yang berdarah, berlendir dan kadang disertai
demam tinggi, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dalam rangka
mengetahui penyebab dan menentukan tatalaksana yang tepat. Di dalam makalah
ini, saya akan mencoba membahas mengenai kolitis infeksi dengan penyebabnya
yang beragam.
1.2 Rumusan Masalah
Seorang laki-laki usia 36 tahun datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 tahun
hilang timbul, terakhir kambuh 1 minggu yang lalu dan kadang disertai diare
berdarah. PF: nyeri tekan LLQ. Lab: Hb 10 g/dL. Leukosit 11.000/uL, lain-lain di
batas normal. Feses lengkap: darah +, lendir +
1.3 Hipotesis
Laki-laki tersebut mengalami kolitis akibat infeksi.
1.4 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan kolitis infeksi dengan penyebabnya
yang beragam dan ikut membahas kolitis lain yang umum ditemukan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Kolitis seperti yang sudah dideskripsikan pada bab pendahuluan merupakan


suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Kolitis dapat pula disertai dengan
enteritis (inflamasi dari usus kecil), proctitis (inflamasi pada rektum) atau bahkan
keduanya. Kolitis secara luas diistilahkan sebagai Inflammatory Bowel Disease (IBD)
untuk menjelaskan mengenai 3 kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi
gastrointestinal yaitu Chron’s disease, kolitis ulserativa dan kolitis yang
indeterminate. Kasus IBD seringkali dianggap sebagai kolitis non infeksi ditemani
dengan kolitis akibat radiasi, kolitis iskemik, dan kolitis non-spesifik (simple colitis).
Lain penyebab tentu lain pula kategorinya, di samping kolitis non-infeksi, dapat
diketemukan pula kolitis infeksi misalnya pada shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus, bakteri atau parasit lain. Dengan
banyaknya penyebab kolitis yang beragam, tentu akan sulit untuk membedakan kolitis
yang satu dengan yang lain. Untuk itulah, diperlukan pemeriksaan penunjang yang
spesifik untuk setiap jenis kolitis, agar diharapkan penyebab dapat ditemukan untuk
menentukan rencana terapi selanjutnya.1,2

2.1 Anamnesis Kolitis


Anamnesis untuk kasus kolitis umumnya mencakup beberapa poin penting
yang tidak jauh berbeda dengan kasus GIT lain, yaitu:
 Onset dan durasi nyeri, serta sifat dan lokasi nyeri
 Perjalanan penyakit, apakah membaik, memburuk, atau tetap?
 Hubungannya dengan makan dan buang air besar (frekuensi buang air
besar, bau dan konsistensi tinja)
 Gejala penyerta seperti adanya demam, penurunan berat badan, buang
air besar tidak seperti biasa (mis: feses bercampur darah, lendir), mual,
muntah
 Adanya pemicu seperti alkohol, trauma, dan obat-obatan
 Riwayat pengobatan yang sudah pernah dilakukan3

Anamnesis ini sebaiknya dilakukan secara teliti untuk memastikan


gangguan terjadi pada organ mana. Sifat dan lokasi nyeri terutama penting

3
untuk dideskripsikan. Sifat nyeri terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu nyeri
viseral yang bersifat tumpul, rasa terbakar dan samar batas lokasinya.
Sedangkan nyeri peritoneum parietal lebih tajam dan lokasinya lebih jelas.
Lokasi nyeri yang spesifik pun perlu untuk ditanyakan untuk menunjang
diagnosis, apabila nyeri terasa pada daerah (1) epigastrium, kemungkinan
besar pasien mengalami gangguan pada gaster, pankreas, duodenum (2)
periumbilikalis, kemungkinan besar pasien mengalami gangguan pada usus
halusm duodenum (3) kuadran kanan atas, kemungkinan besar pasien
mengalami gangguan pada hati, duodenum, kandung empedu (4) kuadran kiri
atas, kemungkinan pasien mengalami gangguan pada pankreas, limpa, gaster,
kolon, ginjal.
Selain sifat dan lokasi, perlu juga ditanyakan mengenai kualitas nyeri,
intensitas nyeri dan faktor yang memperberat atau memperingan nyeri.
Kualitas nyeri seringkali sulit untuk dijelaskan dikarenakan perbedaan
interpretasi masing-masing individu yang merasakannya, perlu diketahui
apakan nyeri terasa sebagai nyeri kolik pada obstruksi intestinal dan bilier,
nyeri yang bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, nyeri seperti diremas pada
kolesistitis, rasa panas seperti pada esofagitis dan appendisitis yang kadang
terasa sebagai nyeri tumpul dan menetap. Intensitas nyeri perlu untuk
dipertimbangkan untuk menentukan seberapa hebat gangguan yang terjadi.
Faktor yang meringankan dan memperberat sebaiknya ditanyakan, misalnya
pada penderita tukak duodenum, setelah minum antasida, nyeri akan terasa
lebih ringan. Nyeri pada pankreas terjadi setelah makan. Pada penyakit kolon,
umumnya nyeri lebih ringan setelah buang air besar.1

2.2 Pemeriksaan Fisik Kolitis

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk kasus kolitis, mencakup:

Sebelum melakukan rangkaian pemeriksaan inspeksi-palpasi-perkusi,


mutlak dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh,
frekuensi napas dan frekuensi nadi) dan lihat juga keadaan umum pasien
apakah tampak sakit ringan/sakit berat. Perlu juga dilaporkan bagaimana
kesadaran pasien ketika datang kepada dokter.

a. Inspeksi

4
Pada bagian inspeksi, dapat diperhatikan secara seksama apakah
adanya massa abdomen untuk melihat adakah kemungkinan keganasan
pada pasien. Selain itu, perhatikan pula adanya sikatriks apabila pasien
mungkin pernah mengalami operasi sebelumnya dan pelebaran
vaskular pada regio abdomen pasien. Di luar abdomen, dapat pula
dilakukan pemeriksaan inspeksi pada konjungtiva pasien untuk
mendeteksi adanya keberadaan konjungtiva anemis.
b. Palpasi
Sebelum melakukan palpasi, dapat ditanyakan pada pasien titik-titik
mana yang sekiranya memberikan rasa nyeri, baik nyeri yang bersifat
ringan maupun berat untuk kemudian dilakukan pemeriksaan nyeri
tekan dan nyeri lepas. Nyeri tekan dan nyeri lepas pada regio abdomen
yang spesifik dapat memberikan gambaran organ apa yang mengalami
gangguan. Selain memeriksa nyeri tekan dan nyeri lepas, dilakukan
juga perabaan pada beberapa organ spesifik seperti hati dan lien untuk
melihat apakah ada pembesaran pada organ tersebut. Berikut ini
merupakan gambar pembagian regio abdomen. Pembagian regio ini
penting untuk menentukan membantu diagnosis dan mengetahui secara
spesifik organ yang mengalami gangguan.

Gambar 1. Pembagian regio abdomen


5
c. Perkusi
Pemeriksaan fisik dengan perkusi, terutama berguna untuk menentukan
apakah pasien menderita asites, dengan ditemukannya cairan di dalam
rongga abdomennya dan biasa diidentifikasi dengan istilah shifting
dullness.3
2.3 Diagnosis

Working Diagnosis

Diagnosis kerja atau working diagnosis saya untuk kasus kali ini kolitis infeksi.

Kolitis infeksi menurut penyebabnya terbagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu
kolitis amebik (amebiasis kolon), shigellosis (disentri basiler), kolitis oleh karena
E.coli patogen dan kolitis tuberkulosa. Kesemua kolitis infeksi ini memiliki gejala
klinis yang kurang lebih mirip dan oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan penyebab kolitis yang dialami pasien dalam
skenario. Untuk skenario kali ini, saya menduga kemungkinan besar pasien dapat
mengalami amebiasi kolon, disentri basiler atau dapat pula mengalami kolitis oleh
karena infeksi E.coli patogen.1

Manifestasi klinis amebiasis kolon

Manifestasi klinis untuk penderita amebiasis kolon dibagi-bagi lagi menjadi


beberapa bagian berdasarkan pada kondisi amebiasis yang dialami, antara lain:

a. Carrier: pada pasien carrier, ameba tidak melalukan invasi ke dinding usus
dan umumnya didapati pasien yang asimptomatis atau pun dapat pula didapati
keadaan pasien dengan keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi
kadang disertai dengan diare. Sekitar 90% pasien akan sembuh sendiri dalam 1
tahun dan sisanya akan berlanjut menjadi kolitis ameba.

b. Disentri ameba ringan: pada pasien ini, akan didapatkan gejala kembung, nyeri
perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk dan
bercampur darah serta lendir, keadaan umum pasien rata-rata baik.

c. Disentri ameba sedang: pada pasien ini, didapatkan gejala kram perut, demam,
badan lemah, hepatomegali dan nyeri spontan.

6
d. Disentri ameba berat: pada pasien ini, didapatkan gejala diare disertai dengan
banyak darah, demam tinggi, mual dan anemia

e. Disentri ameba kronik: pasien ini tidak jauh berbeda dengan disentri ameba
ringan, diselingi dengan periode tanpa gejala yang dapat berlangsung selama
bertahun-tahun kemudian, diare pada pasien umumnya muncul ketika pasien
kelelahan atau mengkonsumsi makanan yang sukar dicerna.

Manifestasi klinis disentri basiler

Pada pasien dengan disentri basiler yang tidak diobati maka akan memberikan
gambaran yang kurang lebih sama seperti kolitis ulserosa. Pada fase awal, pasien
akan mengeluh nyeri pada bagian perut bawah, rasa panas pada rektal, diare
disertai dengan demam mencapai 400 C, selanjutnya diare akan berkurang namun
tinja masih tetap bercampur dengan darah dan lendir. Pasien juga mengeluh
tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak, gejalanya lebih berat
dengan demam tinggi disertai kejang, delirium, nyeri kepala dan kaku kuduk.1

Manifestasi klinis kolitis oleh E.coli patogen

Pasien dengan kolitis oleh karena infeksi E.coli patogen biasanya


menunjukkan gambaran klinis yang bervariasi, bisa berupa infeksi yang
asimptomatis, diare tanpa adanya darah, diare berdarah yang mengacu pada kolitis
hemoragik, SHU, purpura trombositopenik dan paling parah ialah kematian.
Gejala klasiknya ialah nyeri abdomen yang sangat, diare yang akan diikuti diare
berdarah dan sebagian pasien mengalami mual dan muntah. Suhu tubuh pasien
umumnya meningkat sedikit atau bahkan normal, dan hal ini sering mengecoh
kolitis ini sebagai kolitis non-infeksi. Gejala dehidrasi dapat pula ditemukan pada
pasien dengan E.coli yang enteroinvasif. Secara klinis, tinja dari pasien kolitis ini
akan mengandung darah dan leukosit PMN. Pasien dengan E.coli SHU akan
menunjukkan gejala hemolisis, trombositopenia dan uremia sehingga memerlukan
hemodialisis secepatnya. Gejala dari sindrom hemolitik uremik (SHU) ini, dapat
berupa asimtomatis, diare tanpa darah sampai diare berdarah dengan gagal ginjal,
anemia hemolisis mikroangiopatik dan manifestasi pada sistem saraf pusat.1,9

Differential Diagnosis

7
Diagnosis banding atau differential diagnosis saya ialah:

 Crohn’s disease

Crohn’s disease didefinisikan sebagai salah satu dari penyakit


inflamasi usus yang bersifat kronik, oleh karena itu penyakit ini
dikategorikan sebagai Inflammatory Bowel Disease bersama-sama dengan
kolitis ulseratif. Penyakit ini terutama memiliki frekuensi yang cukup
tinggi di kalangan anak-anak dan remaja di bawah usia 20 tahun.
Penyebab dari penyakit ini masih belum dapat dijelaskan secara pasti,
namun diketahui bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang
disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). Sebuah interaksi antara
faktor predisposisi genetik, faktor lingkungan faktor host dan kejadian
pemicunya diduga menyebabkan penyakit ini dapat berkembang. Sekitar
30% pasien di bawah usia 20 tahun yang didiagnosa menderita penyakit
ini, positif memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.
Persentase itu kemudian menurun pada pasien yang didiagnosa Crohn’s
disease di usia 20-40 tahun. Patofisiologi yang diduga berperan kuat pada
penyakit ini ialah reaksi autoimun tubuh yang melibatkan aktivasi sel T,
yang berakhir pada kerusakan jaringan. Aktivasi ini akan melepaskan
sejumlah besar mediator inflamasi seperti IL-12 dan TNF-α yang
merangsang respon inflamasi dan secara langsung melukai usus. Pada
pemeriksaan dengan endoskopi atau kolonoskopi, didapatkan adanya
variasi edema, eritema, ulserasi dan penebalan dari dinding usus dan
ekstensi lemak sepanjang permukaan serosa usus. Hal penting untuk
membedakan antara Crohn’s disease dengan kolitis ulseratif ialah, pada
Crohn’s disease ditemukan inflamasi dengan lesi terputus-putus
dimanapun, dapat di traktus gastrointestinal atas maupun bawah, hal ini
sangat berlainan dengan adanya inflamasi kolon diffus dan kontinu pada
kolitis ulseratif. Granuloma-granuloma dapat ditemukan pada
pemeriksaan biopsi lesi Crohn’s disease namun pada kolitis ulseratif tidak
pernah ditemukan adanya granuloma. Crohn’s disease dapat menyerang
saluran cerna mana saja dengan gejala klinis yang berbeda, bila penyakit
ini menyerang traktus GIT atas maka didapatkan pasien dengan gejala
mual, muntah, nyeri abdomen sebagai gejala dominan. Apabila penyakit

8
ini menyerang usus kecil, maka pada pasien terutama anak dapat
ditemukan keadaan malabsorpsi seperti diare, nyeri abdomen,
perlambatan pertumbuhan, penurunan berat badan dan anoreksia.
Kegagalan pertumbuhan dapat menjadi nyata ketika seseorang menderita
penyakit ini selama bertahun-tahun. Crohn’s disease yang terjadi pada
kolon mungkin akan sulit dibedakan dengan kolitis ulseratif dengan gejala
diare berdarah yang mukopurulen, nyeri perut disertai keram, dan urgensi
untuk selalu defekasi.

Manifestasi klinis: abnormalitas pertumbuhan, tanda-tanda vital


umumnya normal walaupun keadaan takikardi dapat ditemukan pada
pasien anemis, demam naik turun yang kronis, penurunan berat badan,
nyeri abdomen yang diffus, terabanya massa diskret umumnya pada RLQ
abdomen yang menggambarkan penebalan usus yang palpable, eritema
nodosum dan pyoderma gangrenosum, artritis dan atralgia yang
melibatkan sendi-sendi besar.4

 Kolitis ulseratif

Kolitis ulseratif ialah salah satu dari 2 tipe mayor dari Inflammatory
Bowel Disease bersama-sama dengan Crohn’s disease. Tidak seperti
Crohn’s disease yang dapat mengenai seluruh bagian dari traktur
gastrointestinal, kolitis ulseratif umumnya hanya melibatkan usus besar.
Etiologi pasti untuk penyakit ini sampai sejauh ini belum dapat diketahui
tetapi penyakit ini diduga merupakan penyakit dengan penyebab
multifaktor dan poligenik. Diduga disebabkan oleh faktor lingkungan,
disfungsi sistem imun dan lebih meyakinkan lagi disebabkan oleh
predisposisi genetik. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil bahwa
anak yang mengalami kolitis ulseratif memiliki ibu yang menderita hal
yang sama. HLA-B27 dapat diidentifikasi pada sebagai besar pasien
dengan kolitis ulseratif walaupun penemuan HLA-B27 ini tidak berjalan
beriringan dengan peningkatan risiko dari kolitis ulseratif.
Pada pasien dengan kolitis ulseratif, didapatkan mukosa kolon yang
hiperemik dengan hilangnya pola vaskular normal. Ulserasi pada kolon
seringkali menyebabkan adanya gambaran mukosa yang polipoid yang

9
akhirnya mengacu pada istilah pseudopolip. Diagnosa untuk kolitis
ulseratif sangat baik ditentukan dengan endoskopi dan biopsi mukosa
untuk pemeriksaan histopatologi dengan gambaran lesi yang tidak
terputus-putus atau adanya inflamasi uniform dengan area mukosa
sepenuhnya meradang, dan inilah yang membedakan dengan Crohn’s
disease yang cenderung menunjukkan gambaran skip lesion. Pemeriksaan
radiologi dapat digunakan untuk melihat adanya kehadiran fistula atau
kehadiran lesi pada usus kecil yang lebih proksimal yang mengacu pada
Crohn’s disease.
Kolitis ulseratif umumnya melibatkan seluruh bagian kolon dan
terkadang dapat melibatkan ileum terminalis sebagai hasil dari katup yang
inkompeten dan ini dapat menjadi faktor risiko refluks dari mediator
inflamator dari kolon ke ileum terminalis yang berakhir pada inflamasi
ileum terminalis.
Kehadiran kolitis ulseratif pada seorang pasien diduga juga berkaitan
dengan adanya reaksi imun pada tubuh yang menurunkan integritas dari
barrier epitel intestin. Autoantibodi serum dan mukosa yang melawan
epitel usus disinyalir terlibat dalam kasus ini. Adanya kehadiran dari anti-
neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-Saccharomyces
cereviseae anitbodies (ASCA) umum ditemukan pada IBD.
Manifestasi klinis:
Perdarahan rektal, frekuensi BAB meningkat, pelepasan mukus dari
rektum, tenesmus, nyeri pada regio abdomen bawah, dehidrasi berat, diare
yang parah, demam, distensi abdomen, penurunan berat badan, dan
keadaan takikardi.5
Pada tabel di bawah ini, kita bisa melihat apa perbedaan bermakna
antara Crohn’s disease dengan kolitis ulseratif untuk membuat diagnosis
lebih akurat.

Tabel 1. Karakteristik antara Crohn’s disease dengan kolitis ulseratif 4


Crohn Disease Ulcerative Colitis
Characteristic
Distribution Entire GI tract Colon only, although gastritis recognized
Skip lesions Continuous involvement proximally from rectum

10
Pathology Full thickness Mucosa only
Granulomas (30%) No granulomas
Radiology Entire GI tract Colon only

Skip lesions Continuous involvement proximally from rectum


Fistulas, abscesses, fibrotic strictures Mucosal disease only
Cancer risk Increased Estimated 1%/y, starting 10 y after diagnosis
Presentation
Bleeding Common Very common
Obstruction Common Uncommon
Fistula Common None
Weight loss Common Uncommon

 Karsinoma kolon
Karsinoma kolon atau kanker kolon adalah tipe kanker GIT yang
umum dijumpai, dan biasanya melibatkan proses yang multifaktorial
dengan etiologi faktor genetik yang diturunkan, eksposur lingkungan
(termasuk diet) dan kondisi peradangan pada traktus digestivus.
Karsinoma kolon ini seringkali juga ikut melibatkan rektum oleh karena
itu kadang juga disebut sebagai kanker kolorektal. Secara genetis, kanker
kolorektal menggambarkan sebuah penyakit yang kompleks dan
modifikasi genetis yang seringkali menyebabkan progresi dari lesi pre-
malignant (adenoma) menjadi adenokarsinoma yang invasif. Selain itu,
mutasi juga menyebabkan adanya metilasi abnormal DNA yang
menyebabkan aktivitas tumor supressor genes terhenti atau aktivasi dari
onkogen, yang berakhir pada transformasi kanker menjadi ganas.
Faktor konsumsi makanan sehari-hari juga ikut berpengaruh dan
berimbas pada perkembangan kanker ini, konsumsi daging merah dan
lemak hewan yang tinggi, diet rendah serat, intake buah dan sayuran yang
rendah disinyalir menjadi penyebab kanker ini, dapat berkembang. Serat
dari sereal dan gandum utuh diduga efektif untuk menurunkan resiko
kanker. Beberapa faktor risiko lain yang diduga berperan ialah rokok,
obesitas, dan konsumsi alkohol yang intens. IBD seperti kolitis ulseratif

11
dan Chron’s disease ikut berpengaruh meningkatkan risiko seseorang
mengidap kanker kolorektal ini. Risiko akan meningkat seiring dengan
durasi inflamasi yang semakin lama dan daerah inflamasi yang kian
meluas. Kanker kolon umumnya dideteksi selama prosedur screening dan
dengan memeriksa level CEA (Carcino Embryonic Antigen) selain itu
dapat pula dilakukan pemeriksaan kolonoskopi, dan MRI untuk
kepentingan penentuan stadium kanker.
Manifestasi klinis: anemia defisiensi besi, perdarahan rektal, nyeri
abdomen, perubahan kebiasaan usus, obstruksi usus atau perforasi, pada
tahap lanjut dapat ditemukan adanya massa abdomen yang palpable,
hepatomegali dan asites.6

 Divertikulitis

Divertikulitis didefinisikan sebagai inflamasi atau bahkan perforasi


dari satu atau lebih divertikula yang merupakan sebuah kantung kecil
terbentuk akibat herniasi dari mukosa ke dalam dinding kolon yang lemah
yang memang merupakan pembukaan alami dibentuk oleh vasa rekta di
dalam dinding kolon. Perforasi ini dapat diikuti oleh proses infeksi dan
inflamasi yang menyebar ke dinding kolon, epiploic appendage,
mesenterium organ-organ sekitar atau miko/makro perforasi bebas ke
kavum peritoneum. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit orang tua
namun walau begitu sebanyak 20% pasien mengidap divertikulitis di usia
di bawah 50 tahun. Kolon sigmoid yang memiliki tekanan intraluminal
paling tinggi ialah bagian kolon yang paling sering terkena.
Penyebab dari penyakit ini menurut Painter dan Burkitt ialah karena
konsumsi serat yang sangat rendah sehingga seringkali penyakit ini
disebut sebagai penyakit defisiensi serat. Konsumsi makanan dengan serat
tinggi terutama serat yang tidak larut pada bij-bijian, sayuran, dan buah-
buahan akan memberikan massa pada tinja dan mengurangi tekanan
intraluminal yang mencegah timbulnya divertikula. Pada orang-orang
yang kurang mengkonsumsi serat mak akan terjadi penurunan massa feses
menjadi kecil-kecil dan keras, dengan waktu transit kolon lebih lama dan
absorpsi air akan lebih banyak sehingga diperlukan tekanan yang lebih
besar bagi kolon untuk mendorong feses keluar dan menyebabkan

12
segementasi kolon berlebihan. Pada orang tua, terjadi penurunan tekanan
mekanik dinding kolon sebagai akibat berkurangnya struktur kolagen
dinding usus.
Divertikulitis yang rekuren akan berakhir pada pembentukan jaringan
parut dan menyebabkan penyempitan dan selanjutnya obstruksi dari
lumen kolon. Perforasi pada divertikulitis umumnya terjadi akibat dari
tekanan intraluminal yang meningkat atau akibat divertikel yang
tersumbat oleh feses/bahan makanan yang tidak tercerna sehingga akan
menyebabkan erosi pada dinding divertikel yang berlanjut menjadi erosi,
inflamasi, dan nekrosis fokal. Perforasi kecil (mikroperforasi) yang
terlokalisir akan menyebabkan gambaran flegmon sedangkan perforasi
yang tidak terlokalisir akan berakhir pada perforasi bebas. Mikroperforasi
dan makorperforasi akan mengakibatkan iritasi dan inflamasi peritoneal
yang selanjutnya menjadi penyebab dari peritonitis generalisata.
Komplikasi lain dari divertikulitis ialah pembentukan fistel ke organ-
organ terdekat. Pada pria, fistel kolovesikal umum terbentuk sedangkan
pada wanita seringkali terbentuk fistel kolovaginal.
Manifestasi klinis: nyeri pada LLQ (70% pasien) karena umumnya
divertikula terbentuk di kolon sigmoid, nyeri pada RLQ yang menyerupai
apendisitis akut apabila divertikula terjadi di sisi kanan, kebiasaan usus
yang berubah, mual dan muntah, konstipasi, diare, flatulen, demam,
leukositosis, pada divertikulitis yang sudah komplikasi dapat teraba
adanya massa yang nyeri berupa flegmon atau abses, bising usus dapat
hilang, pada wanita dengan fistel kolovaginal dapat ditemukan sekret
vagina yang purulen, pada fistel kolovesikal dapat ditemukan gejala di
traktus urinarius dan kadang fekaluria.1,7

2.4 Pemeriksaan Penunjang Kolitis

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk kasus kolitis secara


umum, ialah sebagai berikut:

 Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah terutama mencakup pemeriksaan Complete Blood


Count, level elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan

13
C-reactive protein (CRP). Peningkatan CRP umum didapatkan pada 90%
pasien dengan Chron’s disease dan lebih dari 50% pada pasien dengan
kolitis ulseratif. Ketika kolitis disebabkan oleh sebab bakterial (mis:
Salmonella sp, Shigella sp, Campylobacter sp, Yersinia sp, E.coli atau C
difficile) maka dapat ditemukan adanya hitung jenis leukosit yang
meningkat atau bahkan di batas normal.2

 Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja terutama dibutuhkan apabila diduga kolitis


disebabkan oleh infeksi bakteri. Pemeriksaan ini dilakukan dengan biakan
dari sampel tinja, pewarnaan Gram dan pewarnaan biru metilen.
Kehadiran darah pada fese dan leukosit fekal mengindikasikan adanya
inflamasi aktif.2
Pada pasien dengan amebiasis kolon, maka dilakukan pemeriksaan
eritrosit pada tinja, bila positif maka dilakukan pemeriksaan tinja segar
yang diberi larutan garam fisiologis dan minimal dikerjakan pada 3
spesimen tinja terpisah untuk mencari bentuk trofozoit, pengecatan tinja
dengan trichrome untuk melihat kista.
Pada pasien dengan disentri basiler (Shigellosis) maka ketika
dilakukan pemeriksaan mikroskopik tinja, akan ditemukan adanya
eritrosit dan leukosit PMN. Secara makroskopik maka akan terlihat tinja
berdarah yang bercampur dengan lendir, hal serupa yang dapat ditemukan
pula pada amebiasis kolon. Untuk lebih memastikan maka dilakukan
kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal.
Pada pasien dengan infeksi kolon oleh karena E.coli patogen maka
akan didapatkan tinja yang penuh dengan darah namun sebagian lagi
pasien justru menunjukkan gambaran tinja tanpa darah.1

 Pemeriksaan serologi

Pada pasien 85-95% dengan infeksi ameba yang invasif maka aka
dideteksi adanya antibodi terhadap ameba dalam pemeriksaan serologi.
Sedangkan, pada infeksi kolon oleh karena Shigella sp, pada fase akut
infeksi justru pemeriksaan serologi tidak memberi makna apapun.

14
Pemeriksaan serologi untuk memastikan diagnosis kolitis infeksi
umumnya kurang bermakna dan lebih baik dilakukan pemeriksaan tinja.1

 Pemeriksaan radiologi

Pada pasien dengan amebiasis kolon, pemeriksaan radiologi justru


tidak banyak membantu, dan gambarannya cenderung sangat bervariasi
dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma, maka akan tampak sebagai
filling defect.
Pemeriksaan radiologi terutama bermanfaat untuk membedakan antara
kolitif infeksi dengan Chron’s disease. Penting untuk dibedakan antara
amebiasis kolon dengan Chron’s disease, dikarenakan pengobatan
kortikosteroid yang ditujukan untuk Chron’s disease, bila diberikan pada
pasien dengan amebiasis kolon akan menyebabkan penyebaran organisme
dengan cepat dan berujung pada kematian.1,2

 Endoskopi, kolonoskopi dan sigmoidoskopi

Pada pasien dengan amebiasis akut, pemeriksaan endoskopi akan


bermanfaat untuk menunjang diagnosis, pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sejak dini sebelum dimulai terapi, akan terlihat adanya
gambaran ulkus yang bentuknya khas, berupa ulkus kecil dengan batas
jelas dan dasar yang melebar, dan dilapisi eksudat putih kekuningan.
Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit dapat
ditemukan di dasar ulkus dengan mengerok atau aspirasi untuk kemudian
diperiksa di bawah mikroskop setelah diberi larutan fisiologis.
Kolonoskopi terutama dilakukan apabila terdapat pasien, terutama
anak yang diduga menderita Inflammatory Bowel Disease (IBD) namun
pemeriksaan tidak boleh dilakukan kecuali kondisi pasien cukup stabil.
Pemeriksaan kolonoskopi pada infeksi kolon oleh E.coli patogen akan
memperlihatkan gambaran mukosa yang edematous dan hiperemia,
kadang-kadang dapat pula ditemukan ulserasi supersifial, dan dapat pula
dijumpai pseudomembran seperti pada infeksi oleh C.difficile.
Pemeriksaan sigmoidoskopi terutama dilakukan untuk mendiagnosis
disentri basiler namun umumnya pemeriksaan ini tidak dilakukan kecuali
dituntut urgensi untuk segera memastikan diagnosis apakah pasien terkena
15
disentri basiler atau justru kolitis ulserosa idiopatik. Pemeriksaan ini
sering tidak dilakukan karena membuat pasien merasa tidak nyaman.1,2
2.5 Etiologi

Etiologi Amebiasis Kolon

Amebiasis kolon ialah peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa


Entamoeba histolytica. Parasit ini terutama dapat ditularkan utamanya melalui
jalur fecal-oral. Kista infektif dapat ditemukan pada makanan dan suplai air yang
telah terkontaminasi melalui tinja. Tranmisi seksual dapat pula terjadi terutama
pada hubungan seks oral-anal. Nutrisi yang buruk menjadi faktor risiko
amebiasis.1,8

Etiologi Disentri Basiler (Shigellosis)

Disentri basiler ialah infeksi akut pada ileum terminalis dan kolon yang
disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Shigella merupakan kelompok
enterobacteriacea yang merupakan bakteri Gram negatif, anaerob fakultatif dan
mempunyai kemiripan dengan E.coli. Beberapa hal yang membedakan antara
Shigella dengan E.coli ialah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi
gas dalam media glukosa dan pada umumnya tidak meragi laktosa. Saat ini, telah
dikenal adanya 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipenya, yaitu: Shigella
dysenteriae (12 serotipe), Shigella flexnerii (14 serotipe), Shigella boydii (15
serotipe) dan Shigella sonnei (1 serotipe). Secara berurutan, disebut sebagai
golongan A,B,C dan D. Infeksi paling berat terutama disebabkan oleh Shigella
dysenteriae, sedangkan infeksi ringan disebabkan oleh Shigella sonnei.1

Etiologi Kolitis oleh E.coli patogen

Infeksi kolon jenis ini ialah infeksi kolon yang disebabkan oleh serotipe
tertentu Escherichia coli, yaitu serotipe O157:H7 yang menyebabkan diare
berdarah/tidak. Genus Escherichia terutama dinamai sesuai dengan nama Theodor
Escherich yang mengisolasi tipe-tipe spesies dari genus ini. Organisme
Escherichia ialah organisme basil Gram negatif yang dapat muncul sendiri-sendiri
atau berpasang-pasangan. E.coli sendiri merupakan kuman anaerobik fakultatif
dengan tipe metabolisme yang fermentatif. Bakteri bersifat non-motil atau ,ptil

16
dengan flagel yang peritrik. E.coli ialah bakteri fakultatif paling banyak yang
menghuni usus besar.1,9

2.6 Epidemiologi

Epidemiologi Amebiasis Kolon

Amebiasis memiliki prevalensi yang bervariasi di berbagai tempat,


diperkirakan sekitar 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi terutama
didapatkan pada daerah-daerah tropis sekitar 50-80%. Manusia pada kasus ini
merupakan host sekaligus sebagai reservoir utama. Penularan terutama terjadi
lewat makanan dan minuman yang telah terkontaminasi tinja, dengan perantara
lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau melalui hubungan seksual anal oral.
Pasien yang asimptomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista
pada tinjanya. Kista tersebut selanjutnya dapat tumbuh di luar tubuh manusia,
sedangkan pada pasien dengan amebiasis yang invasif selain kista juga
mengeluarkan trofozoit, namun bentuk ini tidak dapat bertahan lama di luar
tubuh.1

Secara luas mencakup seluruh dunia, kira-kira terdapat 50 juta kasus dari
penyakit E.histolytica yang invasif muncul setiap tahunnya dan berakhir kematian
sebanyak 100.000 kasus. Insidens amebiasis meningkat pada negara-negara
berkembang. Prevalensi dari infeksi Entamoeba ini setinggi 50% di area Amerika
Tengah dan Selatan, Afrika, dan Asia. Amebiasis intestinal yang simptomatis
terjadi pada semua kelompok usia dengan anak-anak yang masih sangat kecil
sangat berisiko menderita kolitis fulminan. Amebiasis kolon menginfeksi kedua
jenis kelamin dengan kemungkinan sama, namun invasif amebiasis lebih sering
ditemukan pada laki-laki dewasa dibanding perempuan.8

Epidemiologi Disentri Basiler

Infeksi oleh Shigella terutama mudah terjadi pada daerah pemukiman padat
dengan sanitasi buruk, kurang air bersih, dan tingkat kebersihan perorangan
rendah. Pada daerah yang endemis, infeksi Shigella merupakan 10-15% penyebab
diare pada anak. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan penyakit relatif sedikit,
hanya sekitar 10-100 kuman, oleh karena itu penyakit ini menjadi sangat mudah
tertular melalui jalur fecal-oral, baik melalui kontak langsung ataupun melalui

17
konsumsi makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi sebelumnya. Di
daerah tropis termasuk Indonesia, disentri banyak terjadi terutama pada saat
musim kemarau dengan Shigella flexnerii menjadi penyebab infeksi terbanyak.1
Penyakit ini terutama banyak menyerang anak-anak usia 6 bulan hingga 5
tahun. Tidak ada predileksi seksual maupun ras yang lebih rentan pada infeksi
oleh Shigella. Infeksi Shigella di dunia, setidaknya sudah menyebabkan 1 juta
kematian dan 165 juta kasus diare setiap tahunnya.10

Epidemiologi Kolitis oleh E.coli patogen

Pemeriksaan laboratorium untuk E.coli patogen hingga saat ini masih jarang
dilakukan, sehingg angka kejadian untuk kolitis yang disebabkan oleh kuman ini
masih belum dapat diketahui secara pasti. Pasien diare kronik yang ada di Jakarta
seringkali didapati adanya E.coli (O157:H7) dibandingkan dengan Shigella.
Kuman patogen ini terutama ditemukan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), dan
penularan ke manusia yang dapat menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) ialah
lewat daging yang telah terkontaminasi dan melalui proses pemanasan yang
kurang baik. Masa inkubasi reratanya ialah 3-4 hari, namun dapat pula terjadi
antara 1-8 hari. E.coli patogen dapat ditemukan pada pasien bahkan hingga 3
minggu setelah pasien tersebut sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang
sehat karena kuman ini bukanlah flora normal pada manusia.1

2.7 Patofisiologi

Patofisiologi Amebiasis Kolon


Entamoeba histolytica terdapat dalam 2 stadium, yaitu stadium kista dan
stadium trofozoit yang dapat bergerak. Penularan terutama terjadi melalui bentuk
kista yang tahan terhadap suasana asam dan dapat bertahan di luar tubuh untuk
jangka waktu yang cukup lama. Di dalam lumen usus halus, kista akan pecah
kemudian akan melepaskan trofozoit yang akan menjadi dewasa dalam lumen
kolon. Secara klinis, dapat bersifat asimtomatis atau dapat pula penderita
menunjukkan keadaan umum bervariasi dari sakit ringan hingga sakit berat.
Trofozoit yang telah dewasa kemudian akan menginvasi dinding usus dengan
mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dengan keadaan imunosupresi, terutama
pada pasien dengan penggunaan steroid akan lebih rentan terhadap infeksi oleh
parasit ini. Pelepasan bahan toksik oleh parasit akan memicu respons inflamasi

18
yang berujung pada destruksi mukosa. Apabila proses terus berlanjut, maka akan
timbul ulkus yang berbentuk seperti botol dengan dasar yang melebar, kedalaman
ulkus bisa mencapai submukosa atau bahkan bisa saja mencapai tunika
muskularis. Tepi ulkus akan menebal dengan sedikit reaksi peradangan, dengan
mukosa sekitarnya tetap normal. Ulkus dapat terbentuk pada seluruh bagian kolon,
paling sering ialah pada daerah sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid.
Akibat dari invasi parasit ini ke dinding usus, maka imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8 akan teraktivasi yang akan lebih memperpatah proses
inflamasi. Bila reaksi terus berlanjut pada lapisan muskularis kolon maka akan
terbentuk jaringan granulasi yang lama-kelamaan membentuk massa disebut
ameboma.1

Patofisiologi Disentri Basiler

Semua strain dari kuman Shigella akan menyebabkan disentri, yaitu keadaan
yang ditandai dengan diare dengan konsistensi tinja yang lunak (tidak cair),
disertai dengan eksudat inflamasi yang mengandung leukosit PMN dan darah.
Oleh karena itu, pada pemeriksaan tinja individu yang menderita disentri akan
ditemukan leukosit PMN dan darah secara mikroskopis.
Kuman Shigella terutama menyerang kolon, walaupun daerah ileum terminalis
tidak luput dari invasi kuman ini. Pada kasus yang lebih beratm kuman bahkan
dapat ditemukan pada gaster dan usus halus. Selanjutnya, kuman ini akan
menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan
invasi kuman ke sel sekitarnya dilakukan secara cell to cell transfer. Walaupun
lesi awal hanya terdapat pada lapisan epitel, namun respon inflamasi lokal yang
berat mengakibatkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, dan rusaknya
arsitektur jaringan, dan kadang disertai dengan ulserasi mukosa.
Selain menginvasi dan merusak sel epitel mukosa kolon, kuman ini juga
menghasilkan toksin terutama spesies Shigella dysenteriae, Shigella flexnerii, dan
Shigella sonnei. Toksin yang dihasilkan berupa eksotoksin antara lain ShET1,
ShET2, toksin Shiga, yang memiliki sifat enterotoksik, sitotoksik, dan
neurotoksik. Enterotoksin ini tidak menjadi faktor utama penyebab kolitis, namun
jenis toksin semakin meningkatkan virulensi kuman dan memperburuk gejala
klinis.1,10

19
Patofisiologi Kolitis oleh E.coli patogen

Sebagai penyebab dari infeksi enterik, setidaknya ada 6 mekanisme dari 6


varietas berbeda dari E.coli yang telah dilaporkan hingga saat ini. Enterotoxigenic
E.coli (ETEC) ialah penyebab dari traveler’s diarrhea. Enteropathogenic E.coli
(EPEC) ialah penyebab dari diare di usia kanak-kanak. Enteroinvasive E.coli
(EIEC) menyebabkan disentri seperti Shigella. Enterohemorrhagic E.coli (EHEC)
menyebabkan kolitis hemoragik atau sindrom hemolitis uremik (SHU).
Enteroaggregative E.coli (EAggEC) terutama dikaitkan dengan diare persisten
pada anak-anak di negara berkembang dan Enteroadherent E.coli (EAEC)
menyebabkan diare masa kanak-kanak dan traveler’s diarrhea di Meksiko dan
Afrika Utara. ETEC, EPEC, EAggEC dan EAEC terutama berkolonisasi di usus
kecil sedangkan untuk jenis EIEC dan EHEC lebih memilih berkolonisasi di usus
besar dan inilah yang akan menjadi penyebab utama kolitis.
Diduga E.coli patogen yang menyebabkan kolitis, memproduksi suatu toksin
yang bekerja secara lokal dan sistemik, toksin tersebut diberi istilah Shiga-like
toxin. E.coli yang memproduksi toksin ini dengan serotipe O157-H7 telah
menyebabkan sejumlah besar outbreak dan kasus sporadik diare berdarah dan
SHU. Toksin ini selanjutnya akan merusak pembuluh darah kolon dan
menyebabkan lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh
dan memicu SHU. Anak di bawah 5 tahun dan manula lebih sering mengalami
SHU daripada orang dewasa. Tidak didapatkan kekebalan yang protektif terhadap
E.coli patogen setelah infeksi.1,9

2.8 Tatalaksana

Tatalaksana Amebiasis Kolon

Farmakologi:

Di area endemis, infeksi asimtomatis tidak diobati namun di area yang non-
endemis infeksi asimtomatis sebaiknya diobati. Pengobatan untuk infeksi
semacam ini, digunakan luminal agents atau obat yang bekerja di lumen usus
untuk mengeradikasi kolonisasi dan membunuh kista dari E.histolytica seperti
Paromomycine dengan dosis 500 mg 3x sehari selama 10 hari, iodoquinol dengan
dosis 650 mg 3x/hari selama 20 hari, dan diloxanide. Rekomendasi ini

20
berdasarkan kemungkinan infeksi sejenis ini dapat berubah menjadi diare yang
invasif dan kista dari E.histolytica merupakan fokus public health.
Pada penderita dengan amebiasis akut yang invasif, diberikan metronidazole
sebagai terapi utama dengan dosis 750 mg 3x/hari selama 5-10 hari ditambah
dengan luminal agents. Penambahan luminal agents terutama berfungsi sebagai
kombinasi dengan nitroimidazole karena obat ini tidak dapat membunuh parasit
yang intraluminal untuk mencegah relaps. Nitroimidazole terutama baik untuk
amebiasis kolon yang ringan-sedang.1,8

Non-farmakologi:

Intervensi bedah diperlukan apabila terdapat:

a. Amebiasis kolon yang mengalami perforasi

b. Perdarahan GI yang sangat banyak

c. Megakolon toksik

d. Gagal merespon terapi metronidazole setelah 4 hari terapi

e. Abses hati oleh karena ameba yang menggambarkan risiko ruptur di dalam
perikardium

f. Pasien yang sakit parah dengan kondisi abses hati oleh karena ameba yang
telah ruptur8

Tatalaksana Disentri Basiler

Pada dasarnya, infeksi Shigella menyebabkan diare yang dapat sembuh


dengan sendirinya dan berlangsung selama 5-7 hari dan mungkin tidak
memerlukan antibiotik bagi individu yang sehat. Terapi antibiotik terutama
direkomendasikan bagi pasien dengan usia lanjut, anak-anak yang kurang gizi,
pasien yang telah terinfeksi HIV, penyaji makanan, pekerja kesehatan dan anak-
anak yang ada di tempat penitipan anak.
Untuk alasan kesehatan masyarakat, beberapa ahli justru merekomendasikan
untuk mengobati orang-orang yang memiliki kultur tinja positif akan spesies
Shigella. Lebih jauh lagi, antibiotik ternyata memberikan efek mengurangi durasi
demam dan diare untuk sekitar 2 hari dan hal ini terutama dapat mengurangi

21
kemungkinan penyebaran inter-personal. Selain antibiotik, Shigellosis juga
diterapi secara simtomatis dengan menggunakan analgesik-antipretik atau
antikonvulsi bila pasien anak mengalami kejang, pasien harus menghindari obat
antidiare yang mengandung narkotik dan anti-motility agents karena dapat
memperburuk gejala dan dapat memicu terjadinya megakolon toksik.
Farmakologi:

Antibiotik yang dapat diberikan, antara lain:

a. Ampisilin 500 mg 4x/hari, namun untuk saat ini terapi ampisilin sudah bukan
merupakan terapi empirik yang efektif lagi dikarenakan sudah banyaknya
resistensi yang terjadi.

b. Kotrimoksazol 2 tablet 2x/hari

c. Tetrasiklin 500 mg 4x/hari selama 5 hari

d. Untuk pasien dengan infeksi HIV, diberikan kuinolon selama 5 hari

e. Karena alasan resistensi, saat ini terapi empirik yang direkomendasikan untuk
fase akut penyakit yang digunakan ialah sefalosporin generasi 3, yaitu
seftriakson dengan dosis 102 g IV/IM atau dibagi dalam 2 kali selama 4-14
hari tergantung dari tipe dan keparahan infeksi.1,10

Non-farmakologi:

Untuk pasien dengan Shigellosis, terapi non-farmakologik yang dapat dilakukan,


antara lain:

a. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar


pasien disentri dapat diatasi dengan terapi rehidrasi oral. Pada pasien diare bert
dengan indikasi dehidrasi berat dan muntah yang berlebihan sehingga tidak
dapat dilakukan rehidrasi oral, maka dilakukan terapi rehidrasi intravena.

b. Diet bebas laktosa direkomendasikan hingga Shigellosis sembuh sempurna1,10

Tatalaksana Kolitis oleh E.coli patogen

Tatalaksana umum untuk kolitis oleh karena infeksi E.coli patogen tidak ada
yang bersifat spesifik, umumnya suportif dan simtomatis dan didasarkan pada

22
beratnya infeksi. Selain pemberian antibiotik, diberikan perawatan suportif seperti
yang sudah dikatakan sebelumnya, seperti hidrasi, oksigenasi yang cukup dan
dukungan tekanan darah bila memang ada indikasi kuat. Komplikasi SHU
dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat terapi antibiotik dan
obat penghambat motilitas. Antimikroba terutama berguna untuk kasus traveler’s
diarrhea, karena dapat memperpendek durasi diare untuk 24-36 jam. Antibiotik
tidak berguna untuk infeksi oleh EHEC dan justru menjadi faktor predisposisi
SHU berkembang. Anti-motility agents dikontraindikasikan untuk anak atau orang
dewasa dengan infeksi EIEC.

Farmakologi:

Antimikroba yang dapat digunakan untuk penyakit ini, antara lain:

a. Doksisiklin dengan dosis awal 200mg/hari dibagi dalam 2 kali makan secara
per oral, kemudian diberikan dosis maintenance 100-200mg/hari dibagi setiap
12 jam secara per oral.

b. Trimetoprim-Sulfametoksazol dengan bentuk sediaan tablet (Bactrim DS), 1


tablet setiap 12 jam secara per oral selama 5 hari.

c. Rifaximin dengan dosis 200 mg per oral tiap 8 jam selama 3 hari.

Non-farmakologi:

Terapi non-farmakologi yang dapat diberikan untuk pasien dengan kolitis karena
E.coli patogen, antara lain:

a. Terapi bedah, melakukan bedah debridement pada pasien dengan abses intra-
abdomen

b. Memberikan makanan bergizi tinggi untuk mencegah malnutrisi selama


periode diare

c. Aktivitas fisik ringan yang dapat ditoleransi

d. Menjaga keseimbangan cairan tubuh dengan terapi rehidrasi oral dan apabila
ada indikasi tekanan darah yang rendah maka diberikan blood-pressure
support

23
e. Pada pasien SHU, dilakukan hemodialisis untuk mencegah urea dalam darah
meracuni otak1,9

2.10 Komplikasi

Komplikasi Amebiasis Kolon

Komplikasi yang ditakutkan dari amebiasis kolon, antara lain:

a. Pada intestinal, berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma,


intususepsi, dan striktur, megakolon toksik, kolitis yang fulminan

b. Pada organ ekstraintestinal, dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit,


amebiasis pleuropulmonal, abses otak akibat amebiasis yang diseminata,
limpa atau organ lain.1,8

Komplikasi Disentri Basiler

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien disentri basiler, antara lain:

a. Pada intestinal, berupa megakolon toksik, perforasi intestinal, dehidrasi


dan terjadi syok hipovolemik, malnutrisi

b. Pada organ ekstraintestinal, dapat berupa pneumonia, meningismus,


neuropati perifer, reaksi leukemoid yang ditandai dengan kenaikan hitung
jenis leukosit hingga 50.000/mm3 umumnya pada pasien usia 2-10 tahun,
dan Reiter syndrome (artritis reaktif), ensefalopati dengan gejala letargi,
pusing dan sakit kepala pada sekitar 40% pasien anak, SHU yang menjadi
penyebab mortalitas pada sekitar 50% pasien ditandai dengan hemolisis
akut, gagal ginjal, uremia dan DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation)1,10

Komplikasi Kolitis oleh E.coli patogen

Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi kolon oleh E.coli patogen, yaitu:

a. SHU, yang terjadi antara 2-12 hari dari onset diare dengan gejala anemia
hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal, uremia

b. Komplikasi neurologik, berupa kejang, koma dan hemiparesis1

24
2.11 Preventif

Preventif Amebiasis Kolon

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena penyakit ini, ialah:

a. Mengeradikasi makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja dengan


meningkatkan sanitasi baik perorangan maupun kelompok, menjaga
higienitas air yang akan dikonsumsi. Di daerah non-endemik, pencegahan
penularan dapat dilakukan dengan merawat pasien carrier secara dini.

b. Bentuk kista tidak dapat dibunuh hanya dengan sabun atau konsentrasi
rendah klorin atau iodin, oleh karena itu air di area endemis harus direbus
lebih dari 1 menit dan sayuran harus dicuci lalu direndam di dalam asam
asetat (cuka) selama 10-15 menit sebelum dikonsumsi.

c. Hindari memakan buah mentah dan salad yang sulit untuk disterilkan,
makanlah makanan yang matang atau buah yang dikupas sendiri.

d. Menghindari hubungan seksual secara anal-oral untuk mengurangi risiko


penularan kista infektif secara seksual.8

Preventif Disentri Basiler

Tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini, ialah:

a. Penggunaan air yang sudah terbukti higienitasnya.

b. Melakukan klorinasi sumber air yang belum dapat dibuktikan


higienitasnya.

c. Melakukan tindakan cuci tangan dengan cermat dan tidak asal.

d. Pengolahan makanan dengan baik dan benar dengan proses pematangan


yang optimal.

e. Penyaji makanan harus diterapi dengan antibiotik dan tidak diperkenankan


untuk terlibat dalam pengolahan makanan selama kultur tinja masih positif
terhadap spesies Shigella, terapi dilakukan paling tidak selama 48 jam.10

Preventif Kolitis oleh E.coli patogen

25
Tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini, ialah:

a. Merawat personal hygiene dengan lebih baik dan cermat misalnya dengan
lebih memperhatikan tindakan cuci tangan dan memperhatikan teknik
pengolahan makanan..

b. Ketika melakukan perjalanan ke area endemik, sebaiknya meminum botol


berkemasan dan hindari meminum sembarang air yang belum terjamin
higienitasnya.

c. Melakukan profilaksis dengan antibiotik selama 3 minggu untuk


pelancong ke negara-negara berkembang yang risiko dan keuntungan
antibiotiknya sudah didiskusikan dengan baik.

d. Melalukan pengolahan makanan dengan lebih wajar dan higienis.9

2.12 Prognosis

Prognosis Amebiasis Kolon

Prognosis akan bertambah buruk apabila pasien merupakan:

a. Anak-anak, khususnya anak neonatus

b. Hamil dan wanita yang baru saja melahirkam

c. Pengguna kortikosteroid

d. Pasien dengan keadaan keganasan

e. Individu malnutrisi

Umumnya, infeksi intestinal karena amebiasis memberikan respon baik


terhadap perawatan yang sewajarnya dan pasien dapat sembuh dalam beberapa
minggu, walaupun harus diingat infeksi sebelumnya tidak akan memberikan
perlindungan terhadap kolonisasi di masa mendatang atau amebiasis invasif
yang rekuren atau individu tetap tinggal di area yang endemis.
Amebiasis intestinal yang asimtomatis, terjadi pada 90% individu
terinfeksi dan hanya 4-10% yang akan berkembang menjadi kolitis atau
menyebabkan penyakit ekstraintestinal.

26
Kolitis amebiasis memiliki tingkat ke-fatal-an kasus antara 1,9% hingga 9,1%/
Amebiasis kolon dapat berubah menjadi fulminant necrotizing colitis pada
sekitar 0,5% kasus, dengan tingkat kematian dapat sampai 40%.8

Prognosis Disentri Basiler

Pasien carrier post-infeksi umumnya akan sembuh sempurna kurang


dari 3-4 minggu. Keram ringan dan diare masih dapat berlanjut untuk
beberapa hari atau minggu setelah diterapi, namun biasanya terapi yang benar
akan memberikan outcome yang memuaskan.10

Prognosis Kolitis oleh E.coli patogen

Prognosis untuk penderita kolitis oleh karena E.coli umumnya baik


bahkan gejala dapat hilang tanpa penggunaan antibiotik, dan dapat menjadi
lebih baik dalam beberapa hari dengan asupan nutrisi yang baik dan dengan
terapi rehidrasi yang adekuat. Namun, dalam beberapa kasus dapat fatal dan
dapat menyebabkan anemia bahkan gagal ginjal.9

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima. Laki-laki tersebut menderita kolitis yang tergolong dalam
kolitis infeksi, dilihat dengan gejala yang dialaminya, terutama gejala feses yang
bercampur dengan darah dan lendir. Hal lain yang memperkuat hipotesis ialah
adanya peningkatan hitung jenis leukosit pada pasien, walaupun hal ini bukanlah
syarat mutlak pada kolitis infeksi.

28
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A et al, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.560-4.
2. Piccoli DA. Colitis. Medscape 2012 Aug 2. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/927845-overview#aw2aab6b2b5
3. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.
4. Grossman AB. Pediatric crohn disease. Medscape 2012 Jun 7. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/928288-overview
5. Basson MD. Ulcerative colitis. Medscape 2013 May 16. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/183084-overview
6. Dragonvich T. Colon adenocarcinoma. Medscape 2013 Apr 29. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/277496-overview
7. Shahedi K. Diverticulitis. Medscape 2013 May 8. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/173388-overview
8. Lacasse A. Amebiasis. Medscape 2013 May 1. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview#aw2aab6b2b5
9. Madappa T. Escherichia coli infections. Medscape 2012 Dec 11. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/217485-overview
10. Kroser JA. Shigellosis. Medscape 2011 Dec 5. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview

29
30

Anda mungkin juga menyukai