Eifraimdio Paisthalozie
10-2011-384
Kelompok E6
Alamat Korespondensi :
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
untuk dideskripsikan. Sifat nyeri terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu nyeri
viseral yang bersifat tumpul, rasa terbakar dan samar batas lokasinya.
Sedangkan nyeri peritoneum parietal lebih tajam dan lokasinya lebih jelas.
Lokasi nyeri yang spesifik pun perlu untuk ditanyakan untuk menunjang
diagnosis, apabila nyeri terasa pada daerah (1) epigastrium, kemungkinan
besar pasien mengalami gangguan pada gaster, pankreas, duodenum (2)
periumbilikalis, kemungkinan besar pasien mengalami gangguan pada usus
halusm duodenum (3) kuadran kanan atas, kemungkinan besar pasien
mengalami gangguan pada hati, duodenum, kandung empedu (4) kuadran kiri
atas, kemungkinan pasien mengalami gangguan pada pankreas, limpa, gaster,
kolon, ginjal.
Selain sifat dan lokasi, perlu juga ditanyakan mengenai kualitas nyeri,
intensitas nyeri dan faktor yang memperberat atau memperingan nyeri.
Kualitas nyeri seringkali sulit untuk dijelaskan dikarenakan perbedaan
interpretasi masing-masing individu yang merasakannya, perlu diketahui
apakan nyeri terasa sebagai nyeri kolik pada obstruksi intestinal dan bilier,
nyeri yang bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, nyeri seperti diremas pada
kolesistitis, rasa panas seperti pada esofagitis dan appendisitis yang kadang
terasa sebagai nyeri tumpul dan menetap. Intensitas nyeri perlu untuk
dipertimbangkan untuk menentukan seberapa hebat gangguan yang terjadi.
Faktor yang meringankan dan memperberat sebaiknya ditanyakan, misalnya
pada penderita tukak duodenum, setelah minum antasida, nyeri akan terasa
lebih ringan. Nyeri pada pankreas terjadi setelah makan. Pada penyakit kolon,
umumnya nyeri lebih ringan setelah buang air besar.1
a. Inspeksi
4
Pada bagian inspeksi, dapat diperhatikan secara seksama apakah
adanya massa abdomen untuk melihat adakah kemungkinan keganasan
pada pasien. Selain itu, perhatikan pula adanya sikatriks apabila pasien
mungkin pernah mengalami operasi sebelumnya dan pelebaran
vaskular pada regio abdomen pasien. Di luar abdomen, dapat pula
dilakukan pemeriksaan inspeksi pada konjungtiva pasien untuk
mendeteksi adanya keberadaan konjungtiva anemis.
b. Palpasi
Sebelum melakukan palpasi, dapat ditanyakan pada pasien titik-titik
mana yang sekiranya memberikan rasa nyeri, baik nyeri yang bersifat
ringan maupun berat untuk kemudian dilakukan pemeriksaan nyeri
tekan dan nyeri lepas. Nyeri tekan dan nyeri lepas pada regio abdomen
yang spesifik dapat memberikan gambaran organ apa yang mengalami
gangguan. Selain memeriksa nyeri tekan dan nyeri lepas, dilakukan
juga perabaan pada beberapa organ spesifik seperti hati dan lien untuk
melihat apakah ada pembesaran pada organ tersebut. Berikut ini
merupakan gambar pembagian regio abdomen. Pembagian regio ini
penting untuk menentukan membantu diagnosis dan mengetahui secara
spesifik organ yang mengalami gangguan.
Working Diagnosis
Diagnosis kerja atau working diagnosis saya untuk kasus kali ini kolitis infeksi.
Kolitis infeksi menurut penyebabnya terbagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu
kolitis amebik (amebiasis kolon), shigellosis (disentri basiler), kolitis oleh karena
E.coli patogen dan kolitis tuberkulosa. Kesemua kolitis infeksi ini memiliki gejala
klinis yang kurang lebih mirip dan oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan penyebab kolitis yang dialami pasien dalam
skenario. Untuk skenario kali ini, saya menduga kemungkinan besar pasien dapat
mengalami amebiasi kolon, disentri basiler atau dapat pula mengalami kolitis oleh
karena infeksi E.coli patogen.1
a. Carrier: pada pasien carrier, ameba tidak melalukan invasi ke dinding usus
dan umumnya didapati pasien yang asimptomatis atau pun dapat pula didapati
keadaan pasien dengan keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi
kadang disertai dengan diare. Sekitar 90% pasien akan sembuh sendiri dalam 1
tahun dan sisanya akan berlanjut menjadi kolitis ameba.
b. Disentri ameba ringan: pada pasien ini, akan didapatkan gejala kembung, nyeri
perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk dan
bercampur darah serta lendir, keadaan umum pasien rata-rata baik.
c. Disentri ameba sedang: pada pasien ini, didapatkan gejala kram perut, demam,
badan lemah, hepatomegali dan nyeri spontan.
6
d. Disentri ameba berat: pada pasien ini, didapatkan gejala diare disertai dengan
banyak darah, demam tinggi, mual dan anemia
e. Disentri ameba kronik: pasien ini tidak jauh berbeda dengan disentri ameba
ringan, diselingi dengan periode tanpa gejala yang dapat berlangsung selama
bertahun-tahun kemudian, diare pada pasien umumnya muncul ketika pasien
kelelahan atau mengkonsumsi makanan yang sukar dicerna.
Pada pasien dengan disentri basiler yang tidak diobati maka akan memberikan
gambaran yang kurang lebih sama seperti kolitis ulserosa. Pada fase awal, pasien
akan mengeluh nyeri pada bagian perut bawah, rasa panas pada rektal, diare
disertai dengan demam mencapai 400 C, selanjutnya diare akan berkurang namun
tinja masih tetap bercampur dengan darah dan lendir. Pasien juga mengeluh
tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak, gejalanya lebih berat
dengan demam tinggi disertai kejang, delirium, nyeri kepala dan kaku kuduk.1
Differential Diagnosis
7
Diagnosis banding atau differential diagnosis saya ialah:
Crohn’s disease
8
ini menyerang usus kecil, maka pada pasien terutama anak dapat
ditemukan keadaan malabsorpsi seperti diare, nyeri abdomen,
perlambatan pertumbuhan, penurunan berat badan dan anoreksia.
Kegagalan pertumbuhan dapat menjadi nyata ketika seseorang menderita
penyakit ini selama bertahun-tahun. Crohn’s disease yang terjadi pada
kolon mungkin akan sulit dibedakan dengan kolitis ulseratif dengan gejala
diare berdarah yang mukopurulen, nyeri perut disertai keram, dan urgensi
untuk selalu defekasi.
Kolitis ulseratif
Kolitis ulseratif ialah salah satu dari 2 tipe mayor dari Inflammatory
Bowel Disease bersama-sama dengan Crohn’s disease. Tidak seperti
Crohn’s disease yang dapat mengenai seluruh bagian dari traktur
gastrointestinal, kolitis ulseratif umumnya hanya melibatkan usus besar.
Etiologi pasti untuk penyakit ini sampai sejauh ini belum dapat diketahui
tetapi penyakit ini diduga merupakan penyakit dengan penyebab
multifaktor dan poligenik. Diduga disebabkan oleh faktor lingkungan,
disfungsi sistem imun dan lebih meyakinkan lagi disebabkan oleh
predisposisi genetik. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil bahwa
anak yang mengalami kolitis ulseratif memiliki ibu yang menderita hal
yang sama. HLA-B27 dapat diidentifikasi pada sebagai besar pasien
dengan kolitis ulseratif walaupun penemuan HLA-B27 ini tidak berjalan
beriringan dengan peningkatan risiko dari kolitis ulseratif.
Pada pasien dengan kolitis ulseratif, didapatkan mukosa kolon yang
hiperemik dengan hilangnya pola vaskular normal. Ulserasi pada kolon
seringkali menyebabkan adanya gambaran mukosa yang polipoid yang
9
akhirnya mengacu pada istilah pseudopolip. Diagnosa untuk kolitis
ulseratif sangat baik ditentukan dengan endoskopi dan biopsi mukosa
untuk pemeriksaan histopatologi dengan gambaran lesi yang tidak
terputus-putus atau adanya inflamasi uniform dengan area mukosa
sepenuhnya meradang, dan inilah yang membedakan dengan Crohn’s
disease yang cenderung menunjukkan gambaran skip lesion. Pemeriksaan
radiologi dapat digunakan untuk melihat adanya kehadiran fistula atau
kehadiran lesi pada usus kecil yang lebih proksimal yang mengacu pada
Crohn’s disease.
Kolitis ulseratif umumnya melibatkan seluruh bagian kolon dan
terkadang dapat melibatkan ileum terminalis sebagai hasil dari katup yang
inkompeten dan ini dapat menjadi faktor risiko refluks dari mediator
inflamator dari kolon ke ileum terminalis yang berakhir pada inflamasi
ileum terminalis.
Kehadiran kolitis ulseratif pada seorang pasien diduga juga berkaitan
dengan adanya reaksi imun pada tubuh yang menurunkan integritas dari
barrier epitel intestin. Autoantibodi serum dan mukosa yang melawan
epitel usus disinyalir terlibat dalam kasus ini. Adanya kehadiran dari anti-
neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-Saccharomyces
cereviseae anitbodies (ASCA) umum ditemukan pada IBD.
Manifestasi klinis:
Perdarahan rektal, frekuensi BAB meningkat, pelepasan mukus dari
rektum, tenesmus, nyeri pada regio abdomen bawah, dehidrasi berat, diare
yang parah, demam, distensi abdomen, penurunan berat badan, dan
keadaan takikardi.5
Pada tabel di bawah ini, kita bisa melihat apa perbedaan bermakna
antara Crohn’s disease dengan kolitis ulseratif untuk membuat diagnosis
lebih akurat.
10
Pathology Full thickness Mucosa only
Granulomas (30%) No granulomas
Radiology Entire GI tract Colon only
Karsinoma kolon
Karsinoma kolon atau kanker kolon adalah tipe kanker GIT yang
umum dijumpai, dan biasanya melibatkan proses yang multifaktorial
dengan etiologi faktor genetik yang diturunkan, eksposur lingkungan
(termasuk diet) dan kondisi peradangan pada traktus digestivus.
Karsinoma kolon ini seringkali juga ikut melibatkan rektum oleh karena
itu kadang juga disebut sebagai kanker kolorektal. Secara genetis, kanker
kolorektal menggambarkan sebuah penyakit yang kompleks dan
modifikasi genetis yang seringkali menyebabkan progresi dari lesi pre-
malignant (adenoma) menjadi adenokarsinoma yang invasif. Selain itu,
mutasi juga menyebabkan adanya metilasi abnormal DNA yang
menyebabkan aktivitas tumor supressor genes terhenti atau aktivasi dari
onkogen, yang berakhir pada transformasi kanker menjadi ganas.
Faktor konsumsi makanan sehari-hari juga ikut berpengaruh dan
berimbas pada perkembangan kanker ini, konsumsi daging merah dan
lemak hewan yang tinggi, diet rendah serat, intake buah dan sayuran yang
rendah disinyalir menjadi penyebab kanker ini, dapat berkembang. Serat
dari sereal dan gandum utuh diduga efektif untuk menurunkan resiko
kanker. Beberapa faktor risiko lain yang diduga berperan ialah rokok,
obesitas, dan konsumsi alkohol yang intens. IBD seperti kolitis ulseratif
11
dan Chron’s disease ikut berpengaruh meningkatkan risiko seseorang
mengidap kanker kolorektal ini. Risiko akan meningkat seiring dengan
durasi inflamasi yang semakin lama dan daerah inflamasi yang kian
meluas. Kanker kolon umumnya dideteksi selama prosedur screening dan
dengan memeriksa level CEA (Carcino Embryonic Antigen) selain itu
dapat pula dilakukan pemeriksaan kolonoskopi, dan MRI untuk
kepentingan penentuan stadium kanker.
Manifestasi klinis: anemia defisiensi besi, perdarahan rektal, nyeri
abdomen, perubahan kebiasaan usus, obstruksi usus atau perforasi, pada
tahap lanjut dapat ditemukan adanya massa abdomen yang palpable,
hepatomegali dan asites.6
Divertikulitis
12
segementasi kolon berlebihan. Pada orang tua, terjadi penurunan tekanan
mekanik dinding kolon sebagai akibat berkurangnya struktur kolagen
dinding usus.
Divertikulitis yang rekuren akan berakhir pada pembentukan jaringan
parut dan menyebabkan penyempitan dan selanjutnya obstruksi dari
lumen kolon. Perforasi pada divertikulitis umumnya terjadi akibat dari
tekanan intraluminal yang meningkat atau akibat divertikel yang
tersumbat oleh feses/bahan makanan yang tidak tercerna sehingga akan
menyebabkan erosi pada dinding divertikel yang berlanjut menjadi erosi,
inflamasi, dan nekrosis fokal. Perforasi kecil (mikroperforasi) yang
terlokalisir akan menyebabkan gambaran flegmon sedangkan perforasi
yang tidak terlokalisir akan berakhir pada perforasi bebas. Mikroperforasi
dan makorperforasi akan mengakibatkan iritasi dan inflamasi peritoneal
yang selanjutnya menjadi penyebab dari peritonitis generalisata.
Komplikasi lain dari divertikulitis ialah pembentukan fistel ke organ-
organ terdekat. Pada pria, fistel kolovesikal umum terbentuk sedangkan
pada wanita seringkali terbentuk fistel kolovaginal.
Manifestasi klinis: nyeri pada LLQ (70% pasien) karena umumnya
divertikula terbentuk di kolon sigmoid, nyeri pada RLQ yang menyerupai
apendisitis akut apabila divertikula terjadi di sisi kanan, kebiasaan usus
yang berubah, mual dan muntah, konstipasi, diare, flatulen, demam,
leukositosis, pada divertikulitis yang sudah komplikasi dapat teraba
adanya massa yang nyeri berupa flegmon atau abses, bising usus dapat
hilang, pada wanita dengan fistel kolovaginal dapat ditemukan sekret
vagina yang purulen, pada fistel kolovesikal dapat ditemukan gejala di
traktus urinarius dan kadang fekaluria.1,7
Pemeriksaan darah
13
C-reactive protein (CRP). Peningkatan CRP umum didapatkan pada 90%
pasien dengan Chron’s disease dan lebih dari 50% pada pasien dengan
kolitis ulseratif. Ketika kolitis disebabkan oleh sebab bakterial (mis:
Salmonella sp, Shigella sp, Campylobacter sp, Yersinia sp, E.coli atau C
difficile) maka dapat ditemukan adanya hitung jenis leukosit yang
meningkat atau bahkan di batas normal.2
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan serologi
Pada pasien 85-95% dengan infeksi ameba yang invasif maka aka
dideteksi adanya antibodi terhadap ameba dalam pemeriksaan serologi.
Sedangkan, pada infeksi kolon oleh karena Shigella sp, pada fase akut
infeksi justru pemeriksaan serologi tidak memberi makna apapun.
14
Pemeriksaan serologi untuk memastikan diagnosis kolitis infeksi
umumnya kurang bermakna dan lebih baik dilakukan pemeriksaan tinja.1
Pemeriksaan radiologi
Disentri basiler ialah infeksi akut pada ileum terminalis dan kolon yang
disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Shigella merupakan kelompok
enterobacteriacea yang merupakan bakteri Gram negatif, anaerob fakultatif dan
mempunyai kemiripan dengan E.coli. Beberapa hal yang membedakan antara
Shigella dengan E.coli ialah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi
gas dalam media glukosa dan pada umumnya tidak meragi laktosa. Saat ini, telah
dikenal adanya 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipenya, yaitu: Shigella
dysenteriae (12 serotipe), Shigella flexnerii (14 serotipe), Shigella boydii (15
serotipe) dan Shigella sonnei (1 serotipe). Secara berurutan, disebut sebagai
golongan A,B,C dan D. Infeksi paling berat terutama disebabkan oleh Shigella
dysenteriae, sedangkan infeksi ringan disebabkan oleh Shigella sonnei.1
Infeksi kolon jenis ini ialah infeksi kolon yang disebabkan oleh serotipe
tertentu Escherichia coli, yaitu serotipe O157:H7 yang menyebabkan diare
berdarah/tidak. Genus Escherichia terutama dinamai sesuai dengan nama Theodor
Escherich yang mengisolasi tipe-tipe spesies dari genus ini. Organisme
Escherichia ialah organisme basil Gram negatif yang dapat muncul sendiri-sendiri
atau berpasang-pasangan. E.coli sendiri merupakan kuman anaerobik fakultatif
dengan tipe metabolisme yang fermentatif. Bakteri bersifat non-motil atau ,ptil
16
dengan flagel yang peritrik. E.coli ialah bakteri fakultatif paling banyak yang
menghuni usus besar.1,9
2.6 Epidemiologi
Secara luas mencakup seluruh dunia, kira-kira terdapat 50 juta kasus dari
penyakit E.histolytica yang invasif muncul setiap tahunnya dan berakhir kematian
sebanyak 100.000 kasus. Insidens amebiasis meningkat pada negara-negara
berkembang. Prevalensi dari infeksi Entamoeba ini setinggi 50% di area Amerika
Tengah dan Selatan, Afrika, dan Asia. Amebiasis intestinal yang simptomatis
terjadi pada semua kelompok usia dengan anak-anak yang masih sangat kecil
sangat berisiko menderita kolitis fulminan. Amebiasis kolon menginfeksi kedua
jenis kelamin dengan kemungkinan sama, namun invasif amebiasis lebih sering
ditemukan pada laki-laki dewasa dibanding perempuan.8
Infeksi oleh Shigella terutama mudah terjadi pada daerah pemukiman padat
dengan sanitasi buruk, kurang air bersih, dan tingkat kebersihan perorangan
rendah. Pada daerah yang endemis, infeksi Shigella merupakan 10-15% penyebab
diare pada anak. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan penyakit relatif sedikit,
hanya sekitar 10-100 kuman, oleh karena itu penyakit ini menjadi sangat mudah
tertular melalui jalur fecal-oral, baik melalui kontak langsung ataupun melalui
17
konsumsi makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi sebelumnya. Di
daerah tropis termasuk Indonesia, disentri banyak terjadi terutama pada saat
musim kemarau dengan Shigella flexnerii menjadi penyebab infeksi terbanyak.1
Penyakit ini terutama banyak menyerang anak-anak usia 6 bulan hingga 5
tahun. Tidak ada predileksi seksual maupun ras yang lebih rentan pada infeksi
oleh Shigella. Infeksi Shigella di dunia, setidaknya sudah menyebabkan 1 juta
kematian dan 165 juta kasus diare setiap tahunnya.10
Pemeriksaan laboratorium untuk E.coli patogen hingga saat ini masih jarang
dilakukan, sehingg angka kejadian untuk kolitis yang disebabkan oleh kuman ini
masih belum dapat diketahui secara pasti. Pasien diare kronik yang ada di Jakarta
seringkali didapati adanya E.coli (O157:H7) dibandingkan dengan Shigella.
Kuman patogen ini terutama ditemukan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), dan
penularan ke manusia yang dapat menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) ialah
lewat daging yang telah terkontaminasi dan melalui proses pemanasan yang
kurang baik. Masa inkubasi reratanya ialah 3-4 hari, namun dapat pula terjadi
antara 1-8 hari. E.coli patogen dapat ditemukan pada pasien bahkan hingga 3
minggu setelah pasien tersebut sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang
sehat karena kuman ini bukanlah flora normal pada manusia.1
2.7 Patofisiologi
18
yang berujung pada destruksi mukosa. Apabila proses terus berlanjut, maka akan
timbul ulkus yang berbentuk seperti botol dengan dasar yang melebar, kedalaman
ulkus bisa mencapai submukosa atau bahkan bisa saja mencapai tunika
muskularis. Tepi ulkus akan menebal dengan sedikit reaksi peradangan, dengan
mukosa sekitarnya tetap normal. Ulkus dapat terbentuk pada seluruh bagian kolon,
paling sering ialah pada daerah sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid.
Akibat dari invasi parasit ini ke dinding usus, maka imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8 akan teraktivasi yang akan lebih memperpatah proses
inflamasi. Bila reaksi terus berlanjut pada lapisan muskularis kolon maka akan
terbentuk jaringan granulasi yang lama-kelamaan membentuk massa disebut
ameboma.1
Semua strain dari kuman Shigella akan menyebabkan disentri, yaitu keadaan
yang ditandai dengan diare dengan konsistensi tinja yang lunak (tidak cair),
disertai dengan eksudat inflamasi yang mengandung leukosit PMN dan darah.
Oleh karena itu, pada pemeriksaan tinja individu yang menderita disentri akan
ditemukan leukosit PMN dan darah secara mikroskopis.
Kuman Shigella terutama menyerang kolon, walaupun daerah ileum terminalis
tidak luput dari invasi kuman ini. Pada kasus yang lebih beratm kuman bahkan
dapat ditemukan pada gaster dan usus halus. Selanjutnya, kuman ini akan
menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan
invasi kuman ke sel sekitarnya dilakukan secara cell to cell transfer. Walaupun
lesi awal hanya terdapat pada lapisan epitel, namun respon inflamasi lokal yang
berat mengakibatkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, dan rusaknya
arsitektur jaringan, dan kadang disertai dengan ulserasi mukosa.
Selain menginvasi dan merusak sel epitel mukosa kolon, kuman ini juga
menghasilkan toksin terutama spesies Shigella dysenteriae, Shigella flexnerii, dan
Shigella sonnei. Toksin yang dihasilkan berupa eksotoksin antara lain ShET1,
ShET2, toksin Shiga, yang memiliki sifat enterotoksik, sitotoksik, dan
neurotoksik. Enterotoksin ini tidak menjadi faktor utama penyebab kolitis, namun
jenis toksin semakin meningkatkan virulensi kuman dan memperburuk gejala
klinis.1,10
19
Patofisiologi Kolitis oleh E.coli patogen
2.8 Tatalaksana
Farmakologi:
Di area endemis, infeksi asimtomatis tidak diobati namun di area yang non-
endemis infeksi asimtomatis sebaiknya diobati. Pengobatan untuk infeksi
semacam ini, digunakan luminal agents atau obat yang bekerja di lumen usus
untuk mengeradikasi kolonisasi dan membunuh kista dari E.histolytica seperti
Paromomycine dengan dosis 500 mg 3x sehari selama 10 hari, iodoquinol dengan
dosis 650 mg 3x/hari selama 20 hari, dan diloxanide. Rekomendasi ini
20
berdasarkan kemungkinan infeksi sejenis ini dapat berubah menjadi diare yang
invasif dan kista dari E.histolytica merupakan fokus public health.
Pada penderita dengan amebiasis akut yang invasif, diberikan metronidazole
sebagai terapi utama dengan dosis 750 mg 3x/hari selama 5-10 hari ditambah
dengan luminal agents. Penambahan luminal agents terutama berfungsi sebagai
kombinasi dengan nitroimidazole karena obat ini tidak dapat membunuh parasit
yang intraluminal untuk mencegah relaps. Nitroimidazole terutama baik untuk
amebiasis kolon yang ringan-sedang.1,8
Non-farmakologi:
c. Megakolon toksik
e. Abses hati oleh karena ameba yang menggambarkan risiko ruptur di dalam
perikardium
f. Pasien yang sakit parah dengan kondisi abses hati oleh karena ameba yang
telah ruptur8
21
kemungkinan penyebaran inter-personal. Selain antibiotik, Shigellosis juga
diterapi secara simtomatis dengan menggunakan analgesik-antipretik atau
antikonvulsi bila pasien anak mengalami kejang, pasien harus menghindari obat
antidiare yang mengandung narkotik dan anti-motility agents karena dapat
memperburuk gejala dan dapat memicu terjadinya megakolon toksik.
Farmakologi:
a. Ampisilin 500 mg 4x/hari, namun untuk saat ini terapi ampisilin sudah bukan
merupakan terapi empirik yang efektif lagi dikarenakan sudah banyaknya
resistensi yang terjadi.
e. Karena alasan resistensi, saat ini terapi empirik yang direkomendasikan untuk
fase akut penyakit yang digunakan ialah sefalosporin generasi 3, yaitu
seftriakson dengan dosis 102 g IV/IM atau dibagi dalam 2 kali selama 4-14
hari tergantung dari tipe dan keparahan infeksi.1,10
Non-farmakologi:
Tatalaksana umum untuk kolitis oleh karena infeksi E.coli patogen tidak ada
yang bersifat spesifik, umumnya suportif dan simtomatis dan didasarkan pada
22
beratnya infeksi. Selain pemberian antibiotik, diberikan perawatan suportif seperti
yang sudah dikatakan sebelumnya, seperti hidrasi, oksigenasi yang cukup dan
dukungan tekanan darah bila memang ada indikasi kuat. Komplikasi SHU
dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat terapi antibiotik dan
obat penghambat motilitas. Antimikroba terutama berguna untuk kasus traveler’s
diarrhea, karena dapat memperpendek durasi diare untuk 24-36 jam. Antibiotik
tidak berguna untuk infeksi oleh EHEC dan justru menjadi faktor predisposisi
SHU berkembang. Anti-motility agents dikontraindikasikan untuk anak atau orang
dewasa dengan infeksi EIEC.
Farmakologi:
a. Doksisiklin dengan dosis awal 200mg/hari dibagi dalam 2 kali makan secara
per oral, kemudian diberikan dosis maintenance 100-200mg/hari dibagi setiap
12 jam secara per oral.
c. Rifaximin dengan dosis 200 mg per oral tiap 8 jam selama 3 hari.
Non-farmakologi:
Terapi non-farmakologi yang dapat diberikan untuk pasien dengan kolitis karena
E.coli patogen, antara lain:
a. Terapi bedah, melakukan bedah debridement pada pasien dengan abses intra-
abdomen
d. Menjaga keseimbangan cairan tubuh dengan terapi rehidrasi oral dan apabila
ada indikasi tekanan darah yang rendah maka diberikan blood-pressure
support
23
e. Pada pasien SHU, dilakukan hemodialisis untuk mencegah urea dalam darah
meracuni otak1,9
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien disentri basiler, antara lain:
Komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi kolon oleh E.coli patogen, yaitu:
a. SHU, yang terjadi antara 2-12 hari dari onset diare dengan gejala anemia
hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal, uremia
24
2.11 Preventif
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena penyakit ini, ialah:
b. Bentuk kista tidak dapat dibunuh hanya dengan sabun atau konsentrasi
rendah klorin atau iodin, oleh karena itu air di area endemis harus direbus
lebih dari 1 menit dan sayuran harus dicuci lalu direndam di dalam asam
asetat (cuka) selama 10-15 menit sebelum dikonsumsi.
c. Hindari memakan buah mentah dan salad yang sulit untuk disterilkan,
makanlah makanan yang matang atau buah yang dikupas sendiri.
Tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini, ialah:
25
Tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini, ialah:
a. Merawat personal hygiene dengan lebih baik dan cermat misalnya dengan
lebih memperhatikan tindakan cuci tangan dan memperhatikan teknik
pengolahan makanan..
2.12 Prognosis
c. Pengguna kortikosteroid
e. Individu malnutrisi
26
Kolitis amebiasis memiliki tingkat ke-fatal-an kasus antara 1,9% hingga 9,1%/
Amebiasis kolon dapat berubah menjadi fulminant necrotizing colitis pada
sekitar 0,5% kasus, dengan tingkat kematian dapat sampai 40%.8
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima. Laki-laki tersebut menderita kolitis yang tergolong dalam
kolitis infeksi, dilihat dengan gejala yang dialaminya, terutama gejala feses yang
bercampur dengan darah dan lendir. Hal lain yang memperkuat hipotesis ialah
adanya peningkatan hitung jenis leukosit pada pasien, walaupun hal ini bukanlah
syarat mutlak pada kolitis infeksi.
28
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A et al, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.560-4.
2. Piccoli DA. Colitis. Medscape 2012 Aug 2. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/927845-overview#aw2aab6b2b5
3. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.
4. Grossman AB. Pediatric crohn disease. Medscape 2012 Jun 7. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/928288-overview
5. Basson MD. Ulcerative colitis. Medscape 2013 May 16. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/183084-overview
6. Dragonvich T. Colon adenocarcinoma. Medscape 2013 Apr 29. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/277496-overview
7. Shahedi K. Diverticulitis. Medscape 2013 May 8. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/173388-overview
8. Lacasse A. Amebiasis. Medscape 2013 May 1. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview#aw2aab6b2b5
9. Madappa T. Escherichia coli infections. Medscape 2012 Dec 11. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/217485-overview
10. Kroser JA. Shigellosis. Medscape 2011 Dec 5. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/182767-overview
29
30