Anda di halaman 1dari 13

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

BPH (BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA)

Kelompok 2 :

Pandan Mardyaningsih (1610701008)

Aditya Wira Pratama (16107010)

Anida Karina (1610701027)

Asri Nurani (1610701029)

Dosen :

Ns. Ani Widyastuti

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NEGERI VETERAN JAKARTA

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN D-III KEPERAWATAN


1. PENGERTIAN

Prostat adalah kelenjar bagian dari sistem reproduksi pria yang berukuran sebesar kacang
kenari. Prostat tersusun atas dua bagian membentuk kerucut dan luarnya dilapisi suatu jaringan.
Selain kelenjar, prostat juga tersusun atas jaringan otot sebanyak 30-50%. Prostat terletak di
depan rektum dan tepat di bawah kandung kemih. Fungsi prostat yang diketahui baru untuk
memproduksi cairan sebagai zat makanan bagi sperma dan mengubah keasaman liang vagina.
Cairan ini baru dikeluarkan saat sperma melewati uretra (saluran kencing), yang berjalan di
bagian tengah prostat, ketika seorang laki-laki berada dalam fase klimaks seksual.

BPH adalah tumor jinak pada prostat akibat sel prostat yang terus mengalami pertumbuhan.
Secara mikroskopik, perubahan prostat bisa dilihat sejak seseorang berusia 35 tahun. Pada usia
60-69 tahun, pembesaran prostat mulai menimbulkan keluhan klinis pada 50% pria. Sementara
pada usia 80 tahun, BPH terjadi pada hampir 100% pria. Pada tahun 2000, WHO mencatat ada
sekitar 800 juta orang yang mengalami BPH di seluruh dunia. Selama hidupnya, seorang pria
memiliki dua periode pertumbuhan prostat, yakni saat pubertas dan setelah usia 25 tahun. Saat
pubertas, prostat membesar dua kali lipat ukuran aslinya, sementara di usia 25 prostat tumbuh
secara perlahan dan bisa berlangsung seumur hidup. pembesaran inilah yang kemudian menjadi
cikal BPH. Ketika prostat membesar, jaringan yang melapisinya di luar tidak ikut berekspansi,
hal ini menyebabkan uretra terjepit. Dinding kandung kemih pun menebal dan mudah
terangsang, ditandai dengan gampangnya kandung kemih berkontraksi meskipun hanya berisi
sedikit urin. Lama kelamaan kandung kemih akan kehilangan kemampuannya berkontraksi
sehingga tak mampu mengeluarkan urin. Hal-hal inilah yang menyebabkan keluhan klinis pada
pasien dengan pembesaran prostat.

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) menurut para ahli:

Benigna Prostat Hiperplasia adalah kelenjar prostat mengalami, memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra (Brunner &
suddarth, 2001).

Benigna Prostat Hiperplasi adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Price, 2006).

Benigna Prostat Hiperplasi adalah hiperplasia kelenjer periuretra yang mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, 2000).

Benigna Prostat Hiperplasi adalah kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini
dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari
buli-buli (Purnomo 2011).
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa benigna prostat hyperplasia adalah
pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang
mendesak saluran perkemihan.

2. ETIOLOGI

Menurut Nursalam (2008), penyebab khusus hiperplasia prostat belum diketahui secara
pasti, beberapa hipotesis menyatakan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah adanya perubahan keseimbangan antara hormone
testosteron dan estrogen pada lanjut usia. Apabila peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat akan meningkatkan lama hidup sel-sel prostat karena
kekurangan sel yang mati. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Akibatnya uretra prostatic
menjadi tertekan dan sempit yang menyebabkan kandung kemih menjadi kencang untuk bekerja
lebih keras mengeluarkan urine. Normalnya jaringan yang tipis dan fibrous pada permukaan
kapsul prostat menjadi spons menebal dan membesar menimbulkan efek obstruksi yang lama
dapat menyebabkan tegangan dinding kandung kemih dan menurun elastisitasnya. Hal lain yang
dikaitkan dengan gangguan ini adalah stres kronis, pola makan tinggi lemak, tidak aktif olahraga
dan seksual.

3. PATOFISIOLOGI

Menurut Purnomo 2011 pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra


prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan natomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan sebagai keluhkan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian bulibuli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot
polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Menurut Mansjoer tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas.
4. TANDA DAN GEJALA

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :


a. Obstruksi :
1) Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)
2) Pancaran waktu miksi lemah
3) Intermitten (miksi terputus)
4) Miksi tidak puas
5) Distensi abdomen
6) Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.

b. Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.
3. Gejala di luar saluran kemih :
Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Sjamsuhidayat, 2004).

Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertroplasi:
a. Sering buang air kecil dan tidak sanggup menahan buang iar kecil, sulit mengeluarkan atau
menghentikan urin. Mungkin juga urin yang keluar hanya merupakan tetesan belaka.
b. Sering terbangun waktu tidur di malam hari, karena keinginan buang air kecil yang berulang-
ulang.
c. Pancaran atau lajunya urin lemah
d. Kandung kemih terasa penuh dan ingin buang iar kecil lagi
e. Pada beberapa kasus, timbul rasa nyeri berat pada perut akibat tertahannya urin atau menahan
buang air kecil (Alam, 2004).

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2002).
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:
Derajat 1: Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal examination) atau
colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
Derajat 2: Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas atas
masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3: Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100
ml. Derajat 4: Apabila sudah terjadi retensi total.
5. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Modalitas terapi BPH adalah :


a. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien.
b. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya :
Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor
androgen.
2. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien buang
air kecil > 100 Ml.
c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti retensi
urine atau oliguria.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowcytometri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :


1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).
a) Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan melalui uretra.
b) Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
c) Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
2) Prostatektomi Suprapubis
a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
b) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah operasi.
3) Prostatektomi Neuropubis
a) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
b) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4) Prostatektomi Perineal
a) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.
d) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet
rendah sisa dan antibiotik).
e) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada
tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat meliputi:
1. Inkotenensi urinarius temporer
2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan kemandulan sementara
(jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy.
Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific Antigen Density
(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
b. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume
BPH, menentukan derajat disfungsi buli– buli dan volume residu urine, mencari kelainan
patologi lain, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari
semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
1) Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli – buli.
2) Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis
dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok–belok di vesika)
3) Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal, mendeteksi
residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli (Mansjoer, 2000).
c. Pemeriksaan Diagnostik.
1) Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang, penampilan keruh, Ph :
7 atau lebih besar, bacteria
2) Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e. coli.
3) BUN / kreatinin : meningkat.
4) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya pembesaran
prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.
5) Sistogram : suatu gambaran rontgen dari kandung kemih yang diperoleh melalui
urografi intravena.
6) Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih
dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal.
7) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung
kemih.
8) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine dan
keadaan patologi seperti tumor atau batu (Sjamsuhidayat, 2004).

7. KOMPLIKASI

Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi


perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat
dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai
8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal
mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth,
2002).
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin
terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehinnga
tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal
(Mansjoer, 2000).
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Gangguan rasa nyaman nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme


otot spincter.
a. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
b. Kriteria hasil:
Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
c. Intervensi:
1) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan factor pencetus serta
penghilang nyeri.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
2) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi).
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan keefektifan
dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.
3) Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot.
4) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen
tegang).
Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.
5)Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
6) Lakukan perawatan aseptik terapeutik.
Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi.
7) Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.
Rasional : Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya sebagian kelenjar.
2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
a. Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine
b. Kriteria hasil :
1) Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
2) Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengantak adanya
tetesan/kelebihan.
c. Intervensi :
1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril.
Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup.
Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada Kandung kemih.
3) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit
lembab, takikardi, dispnea).
Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut.
4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah
menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau
jaringan.
Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi nosokomial.
Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan dan pasien.
5) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari
kedua post operasi).
Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh.
Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan
melalui ginjal.
6) Ukur intake output cairan.
Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
7) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra
indikasi.
Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh.
Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan
melalui ginjal.
8) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu,
anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.
Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri.
3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi,
hilangnya fungsi tubuh.
a. Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual
b. Kriteria hasil : Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual
dan aktivitas secara optimal.
c. Intervensi :
1) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan
perubahannya.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
2) Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.
Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.
3) Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek
prostatektomi dalam fungsi seksual.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
4) Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
5) Beri penjelasan penting tentang:
a) Impoten terjadi pada prosedur radikal
b) Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
c) Adanya kemunduran ejakulasi.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan


atau keefektifan
intervensi.
6) Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4
minggu) setelah operasi.
Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
7) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra
indikasi.
Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh.
Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan
melalui ginjal.
8) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu,
anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.
Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri.
4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée
mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.
a. Tujuan : Tidak terjadinya infeksi
b. Kriteria hasil:
1). Tanda-tanda vital dalam batas normal
2). Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
3). Luka insisi semakin sembuh dengan baik
c. Intervensi :
1) Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih.
2) Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan,
kebocoran).
Rasional : Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat menyebabkan distensi
kandung kemih, dengan peningkatan spasme.
3) Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan
drainage.
Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi
4) Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin
dressing.
Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.
5) Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi yang tepat dapat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen..
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit,
perawatannya.
a. Tujuan : Pengetahuan pasien dapat meningkat
b. Kriteria hasil : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan
mendemonstrasikan perawatan.
c. Intervensi :
1) Motivasi pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang
penyakit.
Rasional : Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien tentang
penyakit yang dialami.
2) Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
a) Perawatan lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter.
b) Perawatan di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi.
Rasional : Memberikan informasi kepada klien/keluarga klien
cara perawatan pasca operasi.
6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi, ditandai dengan : Gelisah, Informasi kurang
a. Tujuan : Tidak terjadinya ansietas.
b. kriteria hasil :
1) Klien tidak gelisah.
2) Tampak rileks
c. Intervensi :
1) Kaji tingkat anxietas.
Rasional : Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan
dalam memberikan tindakan selanjutnya.
2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas
yang dialami klien.
3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Rasional : Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.
4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional : Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa
dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan.

Anda mungkin juga menyukai