Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROM NEFROTIK

1. Pengertian

Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan

permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan

kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).

Sindrom Nefrotik merupakan Kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri

glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,

hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita

Yuliani, 2001).

Sindrom nefrotik (SN) merupakan Sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria

massif, hipoalbuminemia yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan

hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).

Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah Suatu sindroma

(kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang

ginjal dan menyebabkan: – proteinuria (protein di dalam air kemih) – menurunnya

kadar albumin dalam darah – penimbunan garam dan air yang berlebihan –

meningkatnya kadar lemak dalam darah.

Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering timbul

pada usia 18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.

2. Etiologi

Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap sebagi

suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi.

Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :

1
a) Sindroma nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal

b) Sindroma nefrotik sekunder

Disebabkan oleh parasit malaria, penyakit kolagen, glomerulonefritis akut,

glomerulonefrits kronik, trombosis vena renalis, bahan kimia (trimetadion,

paradion, penisilamin, garam emas, raksa), amiloidosis, dan lain-lain.

c) Sindroma nefrotik idiopati (tidak diketahui penyebabnya) (Arif

Mansjoer,2000 :488)

d) Glumerulosklerosis fokal segmental

3. Insiden

a. Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan

perbandingan pria ; wanita =2:1.

b. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi

berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang

mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan

c. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun

d. Sindrom nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari

semua kasus sindrom nefrotik pada anak

e. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan

majunya terapi dan pemberian steroid.

f. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi

bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002)

2
4. Patofisiologi

a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada

hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan

dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya

albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler

berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan

volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran

darah ke renal karena hypovolemi.

b. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi

dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi

anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi

retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan

edema.

c. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari

peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma

albumin dan penurunan onkotik plasma

d. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein

dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan

lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)

e. Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan

oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi

dan Rita yuliani, 2001 :217)

3
6. Manifestasi klinik

Gejala awalnya bisa berupa :

 Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. pembengkakan

jaringan akibat penimbunan garam dan air Edema biasanya bervariasi dari

bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung

bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital)

dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.

 Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa

 Pucat

 Hematuri

 Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

 Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan

keletihan umumnya terjadi.

 Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 :

335 ).

 Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria).

Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari

cairan tertimbun di kelopak mata dan setalah berjalan cairan akan

tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh

pembengkakan.

 Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat penderita

berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan syok).

Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun tinggi.

4
 Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena

rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. Kadang

gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi secara tiba-

tiba.

 Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya

glukosa) ke dalam air kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat.

Kalsium akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan

bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis

horisontal putih yang penyebabnya tidak diketahui.

 Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi

infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal

tidak berbahaya). Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat

hilangnya antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya

pembentukan antibodi.

 Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko

terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di

dalam vena ginjal yang utama. Di lain fihak, darah bisa tidak membeku

dan menyebabkan perdarahan hebat.

 Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak paling

mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan penyakit

jaringan ikat.

7. Komplikasi

a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat

hipoalbuminemia.

5
b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml)

yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga

terjadi peninggian fibrinogen plasma.

d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal

8. Pemeriksaan diagnostik

a. Uji urine

1) Protein urin – meningkat

2) Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria

3) Dipstick urin – positif untuk protein dan darah

4) Berat jenis urin – meningkat

b. Uji darah

1) Albumin serum – menurun

2) Kolesterol serum – meningkat

3) Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)

4) Laju endap darah (LED) – meningkat

5) Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.

c. Uji diagnostic

Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin.

9. Evaluasi Diagnostik

Urinalisis menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan abnormalitas

lain. Jarum biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan histology terhadap

jaringan renal untuk memperkuat diagnosis.

6
Terdapat proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini

dapat ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema banyak, diuresis

berkurang, berat jenis urine meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa toraks

hialin, dan granula lipoid, terdapat pula sel darah putih. Dalam urine ditemukan

double refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes fungsi ginjal seperti : glomerular

fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi . Sedangkan maximal

konsentrating ability dan acidification kencing normal . Kemudian timbul

perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat perubahan yang progresif

pada glomerulus.

Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau

meninggi sehingga terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik,

hiperkolesterolemia, fibrinogen meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak

dapat menderita defisiensi Fe karena banyak transferin ke luar melalui urine. Laju

endap darah tinggi, kadar kalsium darah sering rendah dalam keadaan lanjut

kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia.

10. Penatalaksanaan Medik

a. Terapi nonfarmakologis

1) Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari

karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano

dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah

gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar

albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.

2) Istirahat sampai oedema tinggal sedikit

7
b. Terapi farmakologis

Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau

penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan

proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi

penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua

kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti

lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40%

pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.

Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati

membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik

untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka

tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati

jenis ini. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di

antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis

dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat

diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5

mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1

hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan

sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan

setelah kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam.

Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per

48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang

per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya. Pada anak-

anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat

8
badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2

hari selama 4 minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi

menjadi :

a. Remisi lengkap

 proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)

 albumin serum >3 g/dl

 kolesterol serum < 300 mg/dl

 diuresis lancar dan edema hilang

b. Remisi parsial

 proteinuri <3,5 g/harI

 albumin serum >2,5 g/dl

 kolesterol serum <350 mg/dl

 diuresis kurang lancar dan masih edema

c. Resisten

 klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan

setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.

 Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN

nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN

nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal

segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid

jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,

hipertensi, diabetes melitus. Pada pasien yang tidak responsif terhadap

kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi

simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI),

9
misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan

setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal

indometasin 3×50mg.

 Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi

protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus

dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik

obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat

dihentikan).Angiotensin receptor blocker (ARB)(ARB) ternyata juga

dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan

fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor

pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada

ginjal.

 Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri

lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian

ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan

pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal

segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini

menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler

glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai

75%.

 Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related

antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu

diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi

10
ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens

kreatinin < 50 ml/menit.

 Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten

terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan

siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang

lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis

2-3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid

adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan

infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan

dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu. Efek samping

klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan

kawan-kawan menemukan bahwa pada nefropati membranosa

idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan

menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal

dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini

berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak

bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1

g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari

diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.

 Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2

mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa

bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu obat cacing, dapat

digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak

dengan dosis 2,5mg/kg bb tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari.

11
Efek samping yang jarang terjadi adalah netropeni, trombositopeni dan

skin rash.

 Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi

siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah

pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan

sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan).

Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan

prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain.

Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis,

hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum

terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12

bulan.

 Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan,

saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate

mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat proliferasi sel limfosit

B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi

molekul adhesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah.

Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi

histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi

parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.

 Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram

natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan

tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing

12
diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi

terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton).

 Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga

hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke

tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan

merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat

diberikan infussalt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat

meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus,

aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus albumin ini

masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat

urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema

paru pada pasien hipervolemi.

 Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya

aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan

penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A(HMG Co-A)

reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan

ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil,

bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan

sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar

biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan

kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar

kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap

trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan

lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan

13
kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol

LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi

vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.

 Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang

terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati

membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100

mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.

Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan

fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini

diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl

atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin

intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3

bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan

pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali

kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin

time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized

Ratio (INR) 2-3 kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial

(pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang

sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk

mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.

 Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti

campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya

hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik

(setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini

14
pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis,

dapat dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada

pasien glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi

ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin

disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-

faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi

protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN

karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa

maupun SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi

melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor

yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

15
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian.

Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam

mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses

keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap

pengkajian.

Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien dengan sindrom nefrotik sebagai

berikut :

a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema

b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan

dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.

c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :

1) Penambahan berat badan

2) Edema

3) Wajah sembab :

 Khususnya di sekitar mata

 Timbul pada saat bangun pagi

 Berkurang di siang hari

4) Pembengkakan abdomen (asites)

5) Kesulitan pernafasan (efusi pleura)

6) Pembengkakan labial (scrotal)

7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :

 Diare

 Anoreksia

16
 Absorbsi usus buruk

 Pucat kulit ekstrim (sering)

8) Peka rangsang

9) Mudah lelah

10) Letargi

11) Tekanan darah normal atau sedikit menurun

12) Kerentanan terhadap infeksi

13) Perubahan urin :

 Penurunan volume

 Gelap

 Berbau buah

 Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa

urine akan adanya protein, silinder dan sel darah merah; analisa

darah untuk protein serum (total, perbandingan albumin/globulin,

kolesterol), jumlah darah merah, natrium serum.

2. Diagnosa keperawatan

a. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi

cairan dalam jaringan.

1) Tujuan

Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien

mendapatkan volume cairan yang tepat).

2) Kriteria hasil

a) Penurunan edema, ascites.

17
b) Tidak mengalami peningkatan edema

c) Berat badan kembali dalam batas normal

d) Output urine adekuat (450 – 900 cc/hr)

3) Intervensi

a) Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat.

R/ Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian

cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.

b) Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika

diindikasikan).

R/ Mengkaji retensi cairan

c) Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus

serta pantau edema sekitar mata.

R/ Untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum

edema.

d) Atur masukan cairan dengan cermat.

R/ Agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan

e) Pantau infus intra vena

R/ Untuk mempertahankan masukan yang diresepkan

f) Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan.

R/ Untuk menurunkan ekskresi proteinuria

g) Berikan diuretik bila diinstruksikan.

R/ untuk memberikan penghilangan sementara dari edema.

18
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebtuhan tubuh b/d kehilangan nafsu

makan

1) Tujuan

Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal

2) Intervensi

a) Beri diet yang bergizi

R/ Amembantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan daya

tahan tubuh anak

b) Batasi natrium selama edema dan trerapi kortikosteroid

R/ Asupan natrium dapat memperberat edema usus yang

menyebabkan hilangnya nafsu makan anak

c) Beri lingkungan yang menyenangkan, bersih, dan rileks pada saat

makan

R/ Agar anak lebih mungkin untuk makan

d) Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya

R/ Untuk merangsang nafsu makan anak

e) Beri makanan spesial dan disukai anak

R/ Untuk mendorong agar anak mau makan

f) Beri makanan dengan cara yang menarik

R/ Untuk menrangsang nafsu makan anak

19
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan

dengan kehilangan protein dan cairan, edema.

1) Tujuan

Klien tidak menunjukkan kehilangan cairan intravaskuler atau shock

hipovolemik yang ditunjukkan pasien minimum atau tidak ada

2) Kriteria hasil

a) Penurunan oedema, ascites.

b) Kadar protein darah meningkat/cukup

c) Berat badan kembali dalam batas normal

d) Output urine adekuat (450 – 900 cc/hr)

e) Tekanan darah dalam batas normal (D < 54 S > 90)

3) Intervensi

a) Catat intake dan output secara akurat

R/ Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan

b) Kaji dan catat TD, Pembesaran abdomen, BJ Urine, nilai laboratorik

setiap 4 jam.

R/ TD dan BJ Urine dapat menjadi indikator regimen terapi

c) Timbang BB tiap hari dalam skala yang sama

R/ Estimasi penurunan oedema tubuh

d) Pegang daerah oedema secara hati-hati, laki-laki mungkin perlu

menggunakan penyangga scrotum

R/ Mengurangi cidera yang mungkin timbul, mengurangi oedema

e) Berikan steroid (prednison) sesuai jadwal. Kaji efektifitas dan efek

samping (retensi Natrium, Kehilangan Potasium)

20
R/ Peningkatan ekses cairan tubuh

f) Sesuai indikasi, berikan diuretik dan antasid (untuk mencegah

perdarahan GI akibat terapi steroid)

R/ Pengurangan cairan ekstravaskuler sangat diperlukan dalam

mengurangi oedema

d. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema.

1) Tujuan

Kulit tidak menunjukkan adanya kerusakan integritas : kemerahan atau

iritasi

2) Ktiteria hasil

a) Integritas kulit baik

b) Memperlihatkan prilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit.

3) Intervensi

a) Berikan perawatan kulit

R/ Memberikan kenyamanandan mencegah kerusakan kulit

b) Hindari pakaian ketat

R/ Dapat mengakibatkan area yang menonjol tertekan

c) Bersihkan dan bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari

R/ Untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena gesekan

dengan alat tenun

d) Topang organ edema, seperti skrotum

21
R/ Untuk menghilangkan aea tekanan

e) Ubah posisi dengan sering ; pertahankan kesejajaran tubuh dengan

baik

R/ Karena anak dengan edema massif selalu letargis, mudah lelah dan

diam saja

f) Gunakan penghilang tekanan atau matras atau tempat tidur penurun

tekanan sesuai kebutuhan

R/ Untuk mencegah terjadinya ulkus

e. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan

1) Tujuan

Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuan dan

mendapatkan istirahat dan tidur yang adekuat

2) Intervensi

a) Pertahankan tirah baring awal bila terjadi edema hebat

R/ Tirah baring yang sesuai gaya gravitasi dapat menurunkan

edema

b) Seimbangkan istirahat dan aktifitas bila ambulasi

R/ Ambulasi menyebabkan kelelahan

c) Rencanakan dan berikan aktivitas tenang

R/ Aktivitas yang tenang mengurangi penggunaan energi yang

dapat menyebabkan kelelahan

d) Instruksikan istirahat bila anak mulai merasa lelah

R/ Mengadekuatkan fase istirahat anak

22
e) Berikan periode istirahat tanpa gangguan

R/ Anak dapat menikmati masa istirahatnya

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :

Jakarta

2. Marilynn, E. Dongoes Dkk, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC : Jakarta

3. Smeltzer, Suzanne C, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,

edisi 8, Volume 2, EGC : Jakarta

4. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/27/askep-sindrom-nefrotik/

5. http://idmgarut.wordpress.com/…/28/sindroma-nefrotik

6. http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/03/askep-sindroma-nefrotik.html

23
RESUME KEPERAWATAN ANAK

A. Identitas Klien

1. Nama : An. “I”

2. Umur : 10 Tahun

3. No. RM : 58 48 34

4. Diagnosa : Sindrom Nefrotik

5. Pendidika : SD

6. Alamat : Gowa

7. Tanggal masuk : 26 November 2014

8. Tanggal pengkajian : 26 November 2014

B. Tindakan Pre Hospital : Tidak ada

C. Triage

a. Keluhan utama : Bengkak pada daera wajah dan leher

b. Riwayat keluhan utama:

- Sebelumnya klien pernah dirawat dirumah sakit Gowa dan dirujuk ke

RSUP Dr. wahidin sudirohusodo pada Tanggal 15 Juli 2014 yang lalu,

klien dirawat dengan diagnose Sindrom Nefrotik kemudian pada Tanggal

23 Juli 2014 klien sudah dibolehkan pulang kerumah dengan alas an

sudah KU Baik, klien dianjurkan untuk rawat jalan. Sebelumnya klien

perna control pada Tanggal 12 November 2014, pada saat pengkajian

Tanggal 26 November 2014 klien masih edema, Ibu klien

mengatakan tentang tahu mengenai penyakit anaknya, Ibu klien bingung

saat ditanya mengenai penyakit anaknya

24
.

c. Tanda - Tanda Vital

TD : -

N : 100 x/menit

P : 28x/menit

S : 36,70 C

d. Berat Badan : 20 kg

e. PB 113 cm

f. LILA 15.5 cm

g. Lingkar Kepala 52 cm

h. Lingkar dada 58 cm

i. Lingar Perut 61 cm

D. Pengkajian Primer

a. Airway: Jalan napas patent, tidak ada obstruksi

b. Breating: RR 28 x/menit, pengembangan dada simetris kiri dan kanan.

c. Circulation: Nadi 100 x/menit, tidak ada sianosis, CRT < 2 detik

d. Disintegrity: GCS 15 (composmentis), reaksi pupil +/+

E. Pengkajian Sekunder

a. Kepala

Bentuk: mesochepal

Warna rambut hitam, penyebaran rambut merata

Nyeri tekan, massa (-), Edema pada daera wajah

b. Mata

Palpebra: ada edema palpebra

25
Konjungtiva: merah mudah

Sklera: tidak ikterus

c. Mulut

Mukosa bibir lembab

d. Dada

Pergerakan simetris ikut gerak napas

Tidak ada nyeri tekan

Bunyi napas vesikuler, tidak ada ronchi dan wheezing

Vokal premitus seimbang kiri dan kanan

e. Abdomen

Tidak ada keluhan

f. Ekstremitas

Tidak ada edema, turgor kulit elastis, massa otot kenyal, tonus otot aktif, kekuatan

otot (5/5 kanan, 5/5 kiri), nyeri tekan (-)

F. Terapi Medikasi

- Methil Prednisolon 14 mg

- Catopril 6,25 mg tiap 12 jam

G. Diagnosa Keperawatan

a. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan

akumulasi cairan dalam jaringan.

DS:

- Ibu klien mengatakan anaknya bengkak pada wajah dan leher

DO: Edema pada daera wajah dan leher

26
1) Tujuan

Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien

mendapatkan volume cairan yang tepat).

2) Kriteria hasil

a) Penurunan edema, ascites.

b) Tidak mengalami peningkatan edema

c) Berat badan kembali dalam batas normal

3) Intervensi

a) Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat.

R/ Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian

cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.

b) Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika

diindikasikan).

R/ Mengkaji retensi cairan

c) Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus

serta pantau edema sekitar mata.

R/ Untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum

edema.

d) Atur masukan cairan dengan cermat.

R/ Agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan

e) Pantau infus intra vena

R/ Untuk mempertahankan masukan yang diresepkan

g) Berikan diuretik bila diinstruksikan.

R/ untuk memberikan penghilangan sementara dari edema.

27
b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai

proses penyakitnya

DS:

- Ibu klien mengatakan tentang tahu mengenai penyakit anaknya

DO :

- Ibu klien bingung saat ditanya mengenai penyakit anaknya

Memberikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk

mencegah penyebaran, jelaskan pemberian antibiotik, pemeriksaan

diagnostik: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan

sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.

Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas

dan membantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan

terapetik.

Hasil : Ibu klien mengerti dan mengatakan tidak merasa bingung lagi

tentang penyakit anaknya.

H. Tindakan Keperawatan

a. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi

cairan dalam jaringan.

1) Tujuan

Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi cairan (pasien

mendapatkan volume cairan yang tepat).

2) Kriteria hasil

a) Penurunan edema, ascites.

28
b) Tidak mengalami peningkatan edema

c) Berat badan kembali dalam batas normal

3) Intervensi

a) Mengkaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat.

Hasil: Ibu klien mengatakan anaknya malas minum

b) Menimbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika

diindikasikan).

Hasil: BB 20 Kg

c) Mengkajiaji perubahan edema : pantau edema sekitar mata.

Hasil: Ada edema sekitar wajah, palpebra, leher, Edema sudah

mulai menurun debandingkan dengan yang sebelumnya

g) Berikan diuretik bila diinstruksik

Hasil : Klien deberikan obat methyl prednisolon

b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses

penyakitnya

1. Memberikan informasi tentang: pengertian sindrom nefrotik,

Penyebabnya, jelaskan pemberian Diuretik, pemeriksaan diagnostik:

tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum

pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.

Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas

dan membantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan

terapetik.

Hasil : Ibu klien mengerti dan mengatakan tidak merasa bingung lagi

tentang penyakit anaknya.

29
I. Evaluasi (SOAP)

a. Kelebihan volume cairan (total tubuh) berhubungan dengan akumulasi

cairan dalam jaringan.

S:

- Ibu klien mengatakan Anaknya bengkak pada daerah wajah dan leher

O:

- Edema pada wajah dan leher

A : Masalah Kelebihan volume cairan belum teratasi

P : Lanjutkan intervensi keperawatan

b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai

proses penyakitnya

S : Ibu klien sudah mulai mengerti mengenai penyakit anaknya

O : Klien dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan mengenai penyakit

anaknya setelah diberikan health education

A : Masalah teratasi

P : Pertahankan intervensi keperawatan

30

Anda mungkin juga menyukai