Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan

saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas.

Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu colitis ulseratif (ulcerative colitis),

penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit membedakan kedua hal ini dimasukan dalam

kategori indeterminate colitis.1

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasan yang

memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum diperkirakan bahwa proses patogenesis

IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang

terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun,

lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Manifestasi

tersering dari IBD adalah diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut.1,2

Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia muda (usia

25-30 tahun). Akan tetapi pada Penyakit Crohn laki-laki mempunyai insidens 20% lebih

tinggi daripada perempuan. IBD cenderung terjadi pada kelompok sosial ekonomi tinggi,

bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah serat.1,2

Tingginya angka kejadian IBD menciptakan tantangan bagi klinisi terkait dengan

pengetahuan yang belum komplit tentang penegakan diagnosis pada crohn diseases atau

kolitis ulseratif. Maka dari itu, radiologi atau pencitraan diperlukan untuk membantu

menegakkan diagnosis.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Crohn’s Disease
1.1 Definisi Crohn’s disease

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna
dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari
saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan
colon.

Saat ini, diagnosis penyakit Crohn memerlukan hasil analisis klinis, radiologis,
endoskopi, patologis, dan feses. Radiografi dengan kontras digunakan untuk melokalisasi
luasnya, dan tingkat keparahan penyakit. CT Scan memberikan gambar cross-sectional untuk
menilai keterlibatan mural dan ekstramural; endoskopi memungkinkan visualisasi langsung
mukosa dan kemampuan untuk mendapatkan spesimen biopsi untuk korelasi histopatologis;
dan ultrasonografi dan MRI adalah alternatif pada populasi yang paparan radiasi menjadi
perhatian.

1.2 Epidemiologi Crohn’s disease

Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan
insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan
Eropa Utara. Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2
kasus per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per 100.000 populasi.
Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohn’s disease secara dramatis di
Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada
tahun 1980-an.

2
Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa
distribusi jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada
Crohn’s disease.

Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak


insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 – 80
tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak
menyerang usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease lebih
banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui.

Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun
terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu
hanya usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja
(25%). 30% dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal,
dan 33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal,
dan fistula perianal.

Mortalitas dan Morbiditas


Penyakit Crohn dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi. Pengamatan ini
disebabkan oleh komplikasi penyakit Crohn, yang meliputi abses, fistula, obstuksi dan
perforasi usus, dan kanker kolorektal.

Sekitar 15% kasus penyakit Crohn muncul pada orang yang berusia lebih dari 50
tahun. Pada populasi yang lebih tua, penyakit Crohn cenderung melibatkan usus besar, dan
komplikasi obstruktif dan inflamasi usus sering terjadi. Namun, pasien yang lebih tua terbukti
dapat mentolerir terapi medis dan bedah serta pasien muda.

Abses berkembang pada kira-kira 15-20% pasien dengan penyakit Crohn karena hasil
pembentukan jalur sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di
mesenterium, rongga peritoneum, atau retroperitoneum atau di lokasi ekstraperitoneal.
Tempat yang paling umum dari abses retroperitoneal adalah fosa ischiorectal, ruang

3
presacral, dan daerah iliopsoas. Ileum terminal adalah tempat asal abses yang paling umum.
Ini adalah salah satu penyebab utama kematian pada penyakit Crohn.

Obstruksi terjadi pada 20-30% pasien selama perjalanan penyakit. Pada awal
penyakit, tampak sebagai obstruksi postprandial reversibel intermiten akibat edema dan
spasme usus. Selama beberapa tahun, peradangan yang terus-menerus ini berangsur-angsur
berkembang menjadi fibrostenotik dan striktur, yang mungkin memerlukan reseksi regional.

Pembentukan fistula adalah komplikasi yang sering terjadi pada penyakit Crohn pada
usus besar. Fistula dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok: jinak, mengganggu, dan sulit
dikendalikan. Fistula jinak sederhana dan termasuk fistula ileoileal, ileocecal, dan
ileosigmoid, yang memberikan gejala diare ringan atau sedang. Bahkan tetap asimtomatik
selama bertahun-tahun tanpa pengobatan apapun. Gangguan fistula harus ditutup karena
gejala yang mengganggu dan konsekuensi patofisiologis yang mengganggu, namun
komplikasi maupun penyakit usus yang mendasarinya cukup parah untuk memerlukan
pembedahan. Mencakup fistula enterikular, enterokutaneous, cologastrik, dan coloduodenal.

Fistula yang komplikasi dengan abses atau penyakit usus besar yang mendasarinya
(baik radang ulserasi atau penyumbatan distal) adalah yang paling sulit ditangani. Terjadi
pada 50% pasien dengan penyakit Crohn. Peran terapi medis hanya untuk mengendalikan
proses penghambatan, peradangan, atau supuratif sebelum operasi definitif dilakukan.
Tujuan dari operasi adalah evakuasi abses dan, jika tidak dikontraindikasikan oleh sepsis,
dilakukan reseksi usus. Bentuk fistula ini menyebabkan perforasi usus spontan pada 1-2%
pasien.

Kanker GI telah menjadi penyebab utama kematian pada penyakit Crohn.


Adenocarcinoma biasanya muncul pada penyakit kronis. Risiko kanker lebih tinggi pada usus
kecil dan usus besar. Risiko relatif adenokarsinoma ileum setidaknya 100 kali lebih besar
pada kontrol usia dan jenis kelamin. Kanker usus kecil biasanya muncul di lokasi penyakit
makroskopik setelah usia rata-rata 18 tahun.

Sayangnya, kebanyakan kanker yang berkaitan dengan penyakit Crohn tidak


terdeteksi sampai stadium lanjut, dan pasien memiliki prognosis yang buruk. Bukti dari

4
penelitian menunjukkan bahwa penyakit Crohn dikaitkan dengan risiko kanker yang sama
dengan kolitis ulserativa. Beberapa kanker ekstraintestinal (misalnya kanker sel skuamosa
pada pasien dengan penyakit perianal kronis, vulva, atau dubur) dan limfoma Hodgkin atau
non-Hodgkin juga terbukti lebih umum pada pasien penyakit Crohn.

1.3 Etiologi dan Faktor – faktor Resiko Crohn’s disease

Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui. Terdapat beberapa penyebab
potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohn’s disease, yang paling
mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor
lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial.

1.3.1 Faktor Infeksi

Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab


potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian
(1)
yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles .
Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus.

1.3.2 Faktor Imunologis

Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan


Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-
sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga
berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-
sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan
respons imun pada Crohn’s disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat
dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit (5).

1.3.3 Faktor Genetik

5
Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohn’s
disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya
riwayat keluarga dengan Crohn’s disease (5). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease
(7)
(20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama . Pada
berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan dengan kelainan pada
gen-gen HLA-DR1 dan DQw5 (6).

1.3.4 Faktor-faktor Lain

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi


terhadap timbulnya Crohn’s disease (7)
. Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral
meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan
lamanya penggunaan (6).

1.4 Patologi Crohn’s disease

Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran
folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang
menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa.
Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas
tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai
tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses
inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (7,9).

Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan
sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus
menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan
pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi,
maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang
telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus

6
yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam
suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (9).

Keterlibatan awal mukosa terdiri dari ulserasi aphthous longitudinal dan transversal,
sehingga menimbulkan cobblestone appearance. Seiring perkembangan penyakit, fissura
dalam, sinus, dan fistula berkembang. Akhirnya, terjadi kontak antara segmen usus yang
sakit, dinding perut, struktur retroperitoneal, dan saluran kemih terjadi.

Karena sifat transmural penyakit, manifestasi mesenterika dan perianal cukup umum
terjadi. Karena peradangan, penyempitan akibat edema, pembengkakan, dan akhirnya
fibrosis dan luka, sering terjadi. Proses patologis dasar penyakit dapat terjadi pada setiap
segmen saluran pencernaan.

Penyakit Crohn dan kolitis ulserativa memiliki perubahan inflamasi serupa. Cryptitis
dan abses crypt berikutnya yang terdiri dari sel polimorfonuklear identik untuk kedua
penyakit. Namun, selama inflamasi, penyakit Crohn melibatkan peningkatan jumlah sel yang
mengandung imunoglobulin G2 (IgG2) dan kolitis ulserativa yang melibatkan peningkatan
paling dominan pada jenis sel imunoglobulin G1 (IgG1) dan imunoglobulin G3 (IgG3).

Infiltrasi inflamasi dari lamina propria dalam penyakit Crohn menyebabkan agregasi
makrofag, dan menyebabkan granuloma noncaseating, yang melibatkan semua lapisan
dinding usus dari mukosa ke serosa. Kadang-kadang dapat dilihat pada laparoskopi sebagai
nodul milier, dan berfungsi sebagai penyebaran penyakit yang bersebelahan dari usus.
Dengan peradangan kronis, dinding usus menjadi menebal, fibrotik, dan stenotik pada
penyakit Crohn, dan perpanjangan pembengkakan dan pembentukan fistula sering terjadi
akibat fisura transmural.

Pada kolitis ulserativa, peradangan hemoragik dan ulseratif sebagian besar terbatas
pada mukosa, dengan kekambuhan yang mengarah ke mukosa atrofik. Bisul sering memiliki
batas yang tidak beraturan, sehingga menimbulkan collar-stud effect. Pada penyakit
kambuhan, polip inflamasi berkembang dari regenerasi epitel. Ketika infiltrasi inflamasi
meluas ke dalam submukosa dan muskularis propria, ia melakukannya dengan pola yang
menyebar, berbeda dengan penyakit Crohn, di mana mereka tampak sebagai agregat limfoid.

7
1.5 Diagnosis Crohn’s disease

1.5.1 Anamnesis

Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare,
dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan
colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri
yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (6,7,9).

1.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang
dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan,
leukositosis, dan peningkatan LED (6).

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada
stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat
reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang
berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat
penyempitan lumen usus (6).

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula


cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat
terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (6,9).

1.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal
saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT, dan
pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang
jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras.

8
Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna
dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis
penyakit.

1.6 DIAGNOSIS BANDING Crohn’s disease

Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai diagnosis banding Crohn’s disease


antara lain (6):

 Cholangitis
 Colitis iskemik
 Colitis pseudomembranosa
 Diverticulitis colon
 Tuberculosis gastrointestinalis
 Colitis ulserativa
 Enteritis infeksiosa
 Colitis infeksiosa

1.7 Tata Laksana Crohn’s disease


1.7.1 Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi terapi


terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan
akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi
lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid
intravena (6).

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease mencakup


antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator (7).

Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon


intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan

9
usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu
singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti
osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan
inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien
menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi kortikosteroid (6,7).

Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat


merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan,
yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan
balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum
distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal,
sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal (6,7).

Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem imun


non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis
dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi
asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari
azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid (6,7).

Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap


azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri
pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas (6,7).

Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti
TNF-α, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan
adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan
penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab.
Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa
nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat limfosit B dan T (6,7).

10
1.7.2 Terapi Bedah

Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi
terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau
timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan
fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi
(5,6)
urologis, kanker, dan penyakit-penyakit perianal . Terapi bedah pada pasien dengan
Crohn’s disease harus ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat
dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari
terjadinya short bowel syndrome (5).

Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan


tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi
usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi utama
terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus (5).

Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan
anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease. Alternatif
prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty.
Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok
untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik
yang mungkin telah pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short
bowel syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup
tinggi. Prosedur-prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi
abses-abses intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa
inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur
bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana
prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an,
telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohn’s
disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit (7).

11
1.8 Komplikasi Crohn’s disease

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema


nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis
sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan
ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai
akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine,
azathioprine atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat
reseksi bedah; dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi
tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer (5,6,7,9).

1.8.1. Abses

Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease sebagai akibat
dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat
ditemukan di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi
ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang
presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses.
Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada Crohn’s disease (6).

1.8.2. Obstruksi

Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada awal perjalanan
penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah
makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi
yang menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur
lumen akibat fibrostenotik (6).

1.8.3. Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s disease pada
colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal

12
ini terjadi pada pasien dengan Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah
untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya
terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan,
jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit.
Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 – 2% pasien (6).

1.8.4. Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohn’s disease.
Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis.
Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak
terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan
saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien
dengan penyakit kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-
Hodgkin juga terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease (6).

1.9 Prognosis Crohn’s disease

Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease yang sudah
menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%. Komplikasi bedah yang paling sering terjadi
adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran
anastomosis (5,7).

Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan
penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun
setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s
disease. Sekitar ⅓ pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi
yang pertama (5,7).

13
1.10 PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA CROHN’S DISEASE

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah radiografi polos, pemeriksaan double-contrast


barium enema, single-contrast upper GI series dengan small-bowel follow-though atau
patologi dengan CT, dan evaluasi double-cotrast usus kecil. Ultrasonografi dan MRI dapat
digunakan jika paparan radiasi adalah masalah dalam memantau aktivitas penyakit.

Secara umum, dokter memilih CT dalam evaluasi penyakit Crohn. CT tidak begitu
sensitif dalam menggambarkan fisura atau fistula dibandingkan barium, namun lebih unggul
dari barium dalam menunjukkan sekuele ekstraluminal penyakit Crohn.

Studi kontras barium terbatas dalam evaluasi peradangan transluminal pada penyakit
Crohn; distensi usus halus dengan bahan kontras diperlukan untuk evaluasi yang tepat.
Bagian yang lambat dari agen kontras melalui pilorus dapat menyebabkan nonvisualisasi lesi
usus kecil dalam rangkaian usus kecil. Enteroclysis adalah salah satu cara untuk menghindari
dilema dengan mengirimkan kateter ke persimpangan jejunum duodenal.

Temuan radiografi abdomen tidak spesifik untuk penyakit Crohn. Radiografi berguna
dalam mengevaluasi distensi loop usus dan pneumoperitoneum. Temuan sonografi memiliki
variabilitas yang tinggi karena ketergantungan operator dalam mendeteksi perubahan dinding
usus yang terlihat pada penyakit Crohn. Transmisi gelombang ultrasound melalui jaringan
lemak terbatas, dan deteksi mungkin sangat dibatasi oleh habitus tubuh pasien.

Secara tradisional, MRI terbatas dalam evaluasi abdomen dan panggul karena artefak
gerak. Dengan gradien yang kuat, pencitraan terus-menerus, dan urutan yang lebih cepat,
MRI abdomen dan panggul dapat segera dilakukan pada kebanyakan pasien. Saat ini aktif
digunakan dalam penilaian rutin pelvis fistula dan jalur sinus. Di banyak pusat kesehatan,
enterografi MRI dan enteroclysis aktif digunakan dalam surveilans penyakit usus kecil dan
penyakit mesenterika ekstrauminal. MRI adalah alternatif yang menarik untuk fluoroscopy
tradisional dan pemindaian CT, terutama pada populasi anak-anak di mana paparan radiasi
jangka panjang menjadi perhatian.

14
Komplikasi dan Kontraindikasi

Pemberian oral bahan kontras harus dihindari bila terdapat obstruksi kolon grade
moderate-severe. Pemeriksaan Double-contrast (air contrast) barium enema
dikontraindikasikan pada pasien dengan kolitis berat, karena injeksi udara dengan zat kontras
dapat memicu megacolon toksik atau perforasi kolon. Studi barium dikontraindikasikan bila
ada tanda dan gejala peritonitis atau bila ada tanda radiografi gas di dinding usus atau
pneumoperitoneum. Injeksi bahan kontras untuk CT harus dihindari apabila terdapat
insufisiensi ginjal kronis, penggunaan Glucophage yang berlanjut, atau bila ada tanda dan
gejala gagal ginjal akut. Studi CT dan barium menggunakan radiasi pengion, yang dapat
menyebabkan beban radiasi yang cukup besar. Paparan ini merupakan kontraindikasi relatif
pada kehamilan dan masa kanak-kanak. Sonografi dan MRI dapat menjadi alternatif
pencitraan alternatif yang bermanfaat.

1.10.1 X – Foto

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah terbatas. Dua
keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan (2)
untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan
radiologis lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu
ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s disease.

Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit


inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa,
khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohn’s disease tahap
dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik
barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah
oleh jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions (6,9).

15
Fitur pada barium small bowel follow-through meliputi:

 ulkus mukosa
 ulkus aphthous
 Ulkus dalam (kedalaman> 3 mm)
 fissura longitudinal
 garis melintang
 Saat parah mengarah ke cobblestone appearance
 dapat menyebabkan saluran sinus dan fistula
 loop usus yang terpisah secara luas karena proliferasi fibrofat (lemak merambat)
2lipatan menebal akibat edema
 formasi pseudodiverticula: karena kontraksi di tempat ulkus dengan balon dari tempat
yang berlawanan
 string sign: penyempitan tubular akibat spasme atau penyempitan tergantung pada
kronisitasnya obstruksi parsial
 Pada film kontrol adanya batu empedu, batu ginjal oksalat, dan sendi sakroiliaka atau
perubahan tulang belakang lumbosakral harus dicari.

Crohn disease versus ulcerative colitis

Studi Double-contrast barium enema berguna untuk mendiagnosis penyakit radang


usus dan untuk membedakan penyakit Crohn dari kolitis ulserativa, terutama pada fase awal
penyakit ini. Pada studi Double-contrast, penyakit Crohn awal ditandai oleh ulkus aphthoid,
yang dipandang sebagai koleksi barium yang tertusuk atau seperti celah yang dikelilingi oleh
gumpalan edema radiolusen. Ulkus aphthoid sering dipisahkan oleh usus halus normal dan
muncul sebagai skip lession. Sebaliknya, kolitis ulserativa meluas secara proksimal pada
berbagai tingkat dari rektum sebagai daerah penyakit kontinu yang pada akhirnya
menyebabkan pancolitis. Kolitis ulseratif dini ditandai dengan granular appearance pada
pemeriksaan Double-contrast akibat edema dan hiperemia pada mukosa. Dengan demikian,
2 penyakit dapat dibedakan berdasarkan temuan radiografi.

16
Dalam perbandingan 23 pasien dengan kolitis ulserativa dengan 27 pasien dengan
penyakit Crohn, Laufer dkk menetapkan ciri khas kondisi dengan menggunakan studi
barium. Mereka menemukan bahwa kolitis ulserativa melibatkan mukosa granular,
keterlibatan rektal difus, dan perubahan inflamasi terus-menerus di usus tanpa mengenai
ileum terminal. Penyakit Crohn melibatkan sebagian rectal dengan ulkus punched-out, ulkus
pada mukosa normal, dan peradangan usus diskontinue biasanya dengan keterlibatan ileum
terminal. Kriteria ini membedakan 95% pasien. Kesulitan dalam membedakan 2 penyakit
terjadi pada tahap kronis selanjutnya, di mana banyak remisi dan eksaserbasi dapat
menyebabkan kolitis ulseratif diskontinu. Meski mengalami kesulitan ini, pemeriksaan
permukaan mukosa yang cermat dengan pemeriksaan barium memungkinkan
pembedaannya.

Ulkus aphthoid

Ulkus aphthoid, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah, terdeteksi pada
penelitian barium pada 25-50% pasien dengan penyakit Crohn. Ini diidentifikasi sebanyak
75% spesimen bedah dengan penyakit Crohn. Endoskopi sedikit lebih tinggi dari pada studi
barium dalam demonstrasi ulkus aphthoid terisolasi atau beberapa ulkus aphthoid.

Gambar 1. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan sejumlah
ulkus aptosa

17
Gambar 2. Penyakit Crohn. Ulkus aphthous Pemeriksaan Double-contrast barium enema pada
colitis chron menunjukkan banyak ulkus aphthous.

Gambar 3. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan ulserasi,
inflamasi, dan penyempitan lumen colon.

18
Cobblestoning

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar,
lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang,
berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal
disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohn’s disease.
Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut
terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras
terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras pada
lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen (6,9).

Gambar 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk
“cobblestone appearance”.

19
Gambar 4. Cobblestoning. Terlihat ileum terminal dari small-bowel follow-through menunjukkan
ulserasi longitudinal dan melintang linear yang menciptakan cobblestone appearance. Perhatikan juga
keterlibatan yang relatif lebih besar dari sisi mesenterika ileum terminal dan perpindahan loop yang
terlibat dari usus kecil normal sekunder akibat peradangan mesenterika dan proliferasi fibrofat.

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter


lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai “string sign” (6,9).

Gambar 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan gambaran
“string sign”.

20
Gambar 6. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis
memperlihatkan gambaran “string sign”.

Gambar 7. Penyakit Crohn. Terlihat ileum terminal dari small-bowel follow-through menunjukkan
beberapa penyempitan dan striktur, konsisten dengan string sign. Perhatikan juga saluran sinus yang
berasal dari dinding medial ileum terminal dan keterlibatan dinding medial sekum.

Pembesaran vili

Peradangan kronis pada lamina propria dari usus halus mengakibatkan pembesaran
vili secara radiografi tampak sebagai nodul 0,5 sampai 2 mm, bulat atau poligonal.
Nodularitas mukosa halus ini terjadi di usus kecil dan tidak boleh disalahartikan dengan
granularitas mukosa yang terlihat pada usus besar pasien dengan kolitis ulserativa.

21
Limitasi

Nodularitas atau granularitas mukosa pada rangkaian usus kecil adalah temuan
nonspesifik yang dapat dilihat pada penyakit yang menginfiltrasi lamina propria, seperti
amyloidosis atau enteritis radiasi. Pemeriksaan Small-bowel follow-though dibatasi oleh
kecepatan barium melalui pilorus. Jika terlalu lambat, distensi yang tidak lengkap di lumen
usus dapat menyebabkan skip lession pendek, massa, atau lesi obstruksi pada usus kecil yang
akan dilewati.Gambaran barium pada penyakit Crohn ditunjukkan di bawah ini.

Gambar 8. Penyakit Crohn. Crohn colitis. Studi Double-contrast barium enema menunjukkan
adanya ulserasi, perubahan inflamasi, dan penyempitan usus besar kanan.

Gambar 9. Penyakit Crohn. Studi Single-contrast barium enema menunjukkan striktur dari kaput
caecum, yang disebut coned caecum.

22
Gambar 10. Penyakit Crohn. Fistula enterocolic. Studi Double-contrast barium enema menunjukkan
banyak saluran fistula antara ileum terminal dan kolon kanan yang berdekatan dengan katup ileocecal,
yang disebut double-tracking pada valva ileocaecal.

Gambar 11. Penyakit Crohn. Studi Small-bowel follow-through menunjukkan penyempitan lumen
dan multiple enteroenteric fistulae, namun gagal menunjukkan fistula enterematis.

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 – 50%
pasien dengan Crohn’s disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 –
20% kasus. Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan
antara Crohn’s disease dengan colitis ulserativa (6).

1.10.2 CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah diterima secara luas.
Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya,

23
abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan
CT pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya
melibatkan usus halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna
dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 – 15 mm.

Pemeriksaan CT dapat dilakukan dengan kontras intravena dan intraluminal (positif


atau negatif):

 fat halo sign


 comb sign
 penambahan dinding usus
 Penebalan dinding usus (1-2 cm) yang paling sering terlihat pada ileum
terminal (hadir hingga 83% pasien)
 striktur dan fistula
 abses mesenterika / intra abdomen atau pembentukan phlegmon, abses terlihat
pada 15-20% pasien

CT merupakan prosedur radiologis pertama yang dilakukan pada pasien dengan


gejala akut dan dugaan penyakit Crohn yang diketahui. Kemampuan untuk langsung
menunjukkan dinding usus, organ abdomen yang berdekatan, mesenterium, dan
retroperitoneum membuat CT lebih unggul dari studi barium dalam mendiagnosis komplikasi
penyakit Crohn. CT langsung mendemonstrasikan penebalan dinding usus, edema
mesenterika, dan limfadenopati, serta phlegmon dan abses. Lihat gambar di bawah ini.

Gambar 12. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease, tampak penebalan dinding
ileum dan inflamasi mesenterium.

24
Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat
adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula,
dan abses (6,9).

Gambar 13. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan
inflamasi dan adenopati pada mesenterium.

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan


hilangnya densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan
lemak yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang
melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas
campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses.
Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi
mesenterium (6,9).

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan
densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembung-
gelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul
dari infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas (2).

25
Gambar 14. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan
inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Gambar 15. CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding colon kanan
tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan, dan sejumlah
besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan yang memisahkan colon dari
keseluruhan usus, sehingga disebut “creeping fat”.

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien dengan


gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus,
organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan
retroperitoneum membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional
dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohn’s
disease. CT Scan dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema
mesenterika, limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s
disease adalah sekitar 71% (6).

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula
digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous
abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan (2).

26
Crohn disease versus ulcerative colitis

Ada banyak tumpang tindih antara temuan CT dengan kolitis ulserativa dan penyakit
Crohn. Terlepas dari kenyataan ini, ciri-ciri tertentu dari setiap penyakit telah ditandai.
Kolitis ulserativa didominasi penyakit mukosa. Namun, dengan perkembangan penyakit, ada
hipertrofi muscularis sering kali 40 kali lipat, meningkatkan deposisi lemak submukosa, dan
penebalan lamina propria dari infiltrasi sel bulat, yang semuanya menyebabkan penebalan
dinding usus. Rata-rata, penebalan dinding luminal adalah 7,8 mm pada kolitis ulserativa,
yang kurang dari jumlah penebalan dinding yang biasanya terlihat pada penyakit Crohn.

Lemak submukosa adalah temuan yang menonjol pada kolitis ulserativa kronis dan
merupakan salah satu ciri khas stratifikasi mural yang terlihat pada kolitis ulserativa. Sebagai
perbandingan, penyakit Crohn memiliki keterlibatan transmural yang seiring waktu
menyebabkan penggantian lemak submukosa dengan fibrosis dan hilangnya stratifikasi
mural. Berbeda dengan kolitis ulserativa, penyakit Crohn juga memiliki beberapa temuan CT
ekstraluminal, termasuk proliferasi dan abses fibofat mesenterika.

Gambar tambahan penyakit Crohn pada CT Scan tersedia di bawah ini.

Gambar 17. Penyakit Crohn. CT dengan korelasi MRI. CT scan pada pasien dengan penyakit Crohn
kronis tidak aktif menunjukkan penebalan dinding kolon kanan dengan lendir intramural. Hal ini
diyakini mewakili deposisi lemak intramural.

27
Gambar 18. Penyakit Crohn. MRI dengan korelasi CT. MRI menunjukkan penebalan dinding kolon
kanan dengan sinyal peningkatan intramural pada gambar tertimbang T1. Hal ini diyakini mewakili
deposisi lemak intramural.

Gambar 19. Penyakit Crohn. Abses perianal. CT scan menunjukkan banyak cairan, bahan kontras,
dan koleksi udara di sekitar anorektum. Perhatikan adanya tabung rectal

Gambar 20. Penyakit Crohn. Abses perianal. CT scan menunjukkan beberapa cairan, agen kontras,
dan koleksi udara di sekitar anorektum. Perhatikan adanya tabung rectal.

28
Gambar 21. Penyakit Crohn. Obstruksi usus kecil pada pasien dengan rekurensi proksimal terhadap
anastomosis. CT scan pada pasien dengan ileocolektomi sebelumnya menunjukkan dilatasi usus kecil
dan penebalan dinding proksimal usus kecil pada anastomosis.

Gambar 22. Penyakit Crohn. Fistula enteroenterik. CT scan menunjukkan traktus fistula
enteroenterik.

Gambar 23. Penyakit Crohn. Fistula enterokutan. CT scan menunjukkan pembentukan fistula
enterokutan dan kolokutan.

29
1.10.3. MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam


pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan
gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI
terhadap abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk
mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan
sejumlah besar volume zat kontras positif atau negatif yang diberikan baik secara oral atau
melalui selang nasojejunal atau rectal. Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin
tidak dapat men-toleransi pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus
suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-
inflamasi (6).

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal


Crohn’s disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-echo,dapat mendeteksi
adanya fistula, saluran sinus, dan abses pada regio anorectal (6,9).

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-weighted dan
hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal
cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-
weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah
dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted,
khususnya pada fossa ischioanal (6)

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa


dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase
inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-
weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement
dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease (2,)

30
Gambar 24. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding
colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada pencitraan T1-
weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi lemak
intramural.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85


– 89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi sekitar 94 – 91% untuk mendeteksi penyakit
akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 – 52%,
spesifisitas sekitar 98 – 96%, dan akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil positif palsu paling sering
terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif
palsu paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal (6)

1.10.4. USG

Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada
keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus.

USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-


manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohn’s disease. Dinding saluran cerna yang normal
terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-

31
seling; gambaran ini dikenal sebagai “the gut signature”. Dinding saluran cerna yang normal
mempunyai ketebalan kurang dari 5 mm (6)

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga
2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang
merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang
hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya
yang berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau
menghilang, dan segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya
haustra (6).

Gambar 25. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohn’s disease, terlihat adanya
penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya “gut signature”, dan garis
hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen usus.

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen yang tidak


terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan
“skip lesions” pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan
pencitraan berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang
hiperemis atau terinflamasi selama fase aktif penyakit (6).

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium
yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat

32
seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran
ini tampak sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic
ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat
lebih heterogen atau bahkan hypoechoic (2).

Ultrasound memiliki peran terbatas, namun karena harganya murah dan tersedia dan
tidak melibatkan radiasi pengion, telah dievaluasi sebagai alat skrining awal untuk penyakit
aktif dan juga untuk tindak lanjut dan untuk menilai komplikasi. Biasanya pemeriksaan
terbatas pada usus halus dan penilaian tebal dinding: tebal dinding usus harus <3 mm

Kegunaan temuan ini perlu ditafsirkan dalam konteks probabilitas pretest (yaitu
ketebalan kurang dari 3 mm membantu menyingkirkan penyakit pada pasien berisiko rendah,
dan ketebalan lebih dari 4 mm membantu menegakkan diagnosis pada pasien dengan tingkat
risiko tinggi. pasien berisiko). Karena sulit memeriksa seluruh usus, tidak tepat sebagai tes
diagnostik.

Pada evaluasi Doppler, peningkatan volume aliran SMA dan penurunan indeks
resistivitas SMA (SMA RI) juga berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pengobatan yang
berhasil dapat menyebabkan normalisasi parameter pencitraan ini .

Fitur lain pada ultrasound:

 dinding usus kaku, dan tetap


 cairan periestial
 daerah ekogenik yang menjalar (mewakili proliferasi jaringan adiposa yang
meluas di seputar peradangan aktif) yang memisahkan loop usus
 tanda usus - hilang atau dipertahankan
 striktur - fibrotik (menjaga tanda usus) atau inflamasi (kehilangan tanda usus)
 abses
 fistula

33
Lihat gambar di bawah ini.

Gambar 26. Penyakit Crohn pada ileum terminal dengan korelasi CT dan sonografi. Perhatikan
penebalan dinding hypoechoic, hilangnya tanda usus, dan garis hiperekoik yang mewakili lumen yang
menyempit.

Gambar 27. Penyakit Crohn. Sonogram dinding usus yang menebal menunjukkan penampilan yang
disebut pseudokidney.

1.10.5 RADIONUKLIR

Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat


digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease.
111 99m
Dibandingkan dengan penanda In, penanda Tc HMPAO mempunyai karakteristik

34
pencitraan yang lebih baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan
tetapi, biasanya pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah injeksi
99m
leukosit berlabel Tc HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi normal ke usus, tidak
seperti leukosit berlabel 111In, yang tidak mempunyai ekskresi ke usus (6).

99m
Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel Tc HMPAO pada
Crohn’s disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih
baik dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan,
sementara CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi (6).

Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit
(misalnya, dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau
aktivitas yang berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake
leukosit tidak spesifik untuk Crohn’s disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-
proses infeksius atau inflamasi usus (6).

35
1. Kolitis Ulseratif

2.1 Definisi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada usus (inflammatory bowel
disease) yang menyebabkan inflamasi yang terus-menerus dan ulkus pada lapisan yang
paling dalam pada kolon dan rektum. Ulkus tersebut akan berdarah dan menghasilkan pus,
mukus dan inflamasi tersebut menyebabkan pengosongan rektum menjadi lebih sering,
sehingga dapat mengakibatkan diare. Kolitis ulseratif menyerupai penyakit Crohn,
merupakan jenis lain dari penyakit inflamasi pada usus.1 Tidak seperti dengan penyakit
Crohn, yang dapat mengenai setiap bagian dari traktus gastrointestinal, kolitis ulseratif secara
khusus hanya melibatkan usus besar.2 Kolitis ulseratif jarang mengenai usus halus, kecuali
pada bagian bawah, yaitu ileum.3
Etiologi yang pasti dari kolitis ulseratif tidak diketahui, tetapi penyakit ini memiliki
penyebab yang multifaktorial dan poligenik. Kolitis ulseratif merupakan penyakit jangka
panjang yang memiliki efek pada emosi dan sosial yang dapat mempengaruhi pasien.2

2.2 Epidemiologi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif dapat mengenai 150 orang dari 100.000 populasi pada negara bagian
barat.5 Kolitis ulseratif memiliki prevalensi tiga kali lebih sering dibandingkan dengan
penyakit Crohn. Kolitis ulseratif lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.
Di Amerika Serikat, kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada populasi dengan ras kulit putih.
Berdasarkan statistik internasional, kolitis ulseratif sering terdapat di negara-negara bagian
barat dan utara, insidensnya rendah di negara-negara Asia dan Timur Tengah.2
Onset usia mengikuti pola bimodal, puncaknya berada di usia 15-25 tahun dan
onsetnya menurun pada usia 55-65 tahun, meskipun penyakit ini dapat mengenai segala jenis
usia. Kolitis ulseratif jarang mengenai populasi yang berusia lebih muda dari 10 tahun. Dua
dari 100.000 anak terkena penyakit ini, namun 20-25% dari semua kasus kolitis ulseratif
terjadi pada usia 20 tahun ke bawah.2

36
2.3 Klasifikasi Kolitis Ulseratif

Klasifikasi yang menunjukkan berat ringannya kolitis ulseratif, dapat dilihat pada tabel
berikut ini:2,4
Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif
Ringan Sedang Berat
Pergerakan usus <4 per hari 4-6 per hari >6 per hari
Darah pada feses Sedikit Lumayan banyak Banyak
Demam Tidak ada Rata-rata <37,5oC Rata-rata >37,5oC
Rata-rata Rata-rata
Takikardia Tidak ada
<90×/menit >90×/menit
Anemia Ringan >75% ≤75%
Laju sedimentasi <30 mm >30 mm
Eritema, granula
Eritema, kasar, corak
penurunan vaskuler tidak Terjadi perdarahan
Gambaran
corak vaskuler, ada, terjadi spontan dan
endoskopi
granula yang perdarahan terdapat ulserasi
masih baik kontak, dan tidak
ada ulserasi

2.4 Etiologi Kolitis Ulseratif

Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa kolitis
ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang salah, pengaruh
dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid, kurangnya kadar anti
oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau tidaknya riwayat merokok, dan riwayat
mengonsumsi produk susu. Sebagai contoh, beberapa orang memiliki risiko secara genetik
untuk terkena penyakit ini. Bakteri dan virus dapat memicu sistem imun mereka, sehingga
mengakibatkan suatu inflamasi. Karena kolitis ulseratif lebih sering muncul di negara-negara

37
berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak jenuh dan makanan yang diawetkan
memiliki kontribusi pada penyakit ini.1,2
a. Penyebab genetik
Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan seseorang
memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang dimediasi sel
dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri komensal dan
menyebabkan disregulasi respon imun pada mukosa sehingga mengakibatkan inflamasi pada
kolon. Riwayat adanya kolitis ulseratif pada keluarga diasosiasikan dengan seseorang yang
memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini. Kesesuaian penyakit ini ditemukan pada anak
kembar monozigot. Penelitian genetik telah mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di
antaranya terkait dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus
yang diidentifikasi juga dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma kolorektal.
Kromosom pada pasien dengan kolitis ulseratif dianggap kurang stabil. Fenomena ini juga
dapat berkontribusi pada risiko karsinoma yang meningkat. Apakah abnormalitas ini
merupakan penyebab atau akibat dari respon inflamasi sistemik yang terus-menerus pada
kolitis ulseratif, hal ini juga belum diketahui.2
b. Reaksi imun
Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat menyebabkan
kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang sifatnya melawan sel epitel usus
mungkin terlibat. Adanya antibodi antineutrofil sitoplasma/antineutrophil cytoplasmic
antibodies (ANCA) dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodi (ASCA) adalah ciri-ciri
utama dari penyakit inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas yang terjadi pada sistem imun
dianggap sedikit berperan pada rendahnya insiden kolitis ulseratif pada pasien yang telah
menjalani operasi usus buntu sebelumnya. Pasien-pasien yang telah menjalani appendektomi
memiliki insidens yang rendah untuk terkena kolitis ulseratif.2
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi sulfat,
memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan kolitis ulseratif, dan
produksi sulfat pada lebih tinggi pada pasien kolitis ulseratif dibandingkan pasien-pasien
lainnya.2

38
d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada pasien dengan
kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol, dan sepertiga pasien dengan kolitis ulseratif
eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obat-obatan anti inflamasi non-steroid.
Penemuan ini dapat menjadi bukti bahwa penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
harus dihindari pada pasien dengan kolitis ulseratif.2
e. Etiologi lainnya
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kolitis ulseratif, antara lain:2
 Vitamin A dan E, di mana keduanya merupakan antioksidan, memiliki kadar
yang rendah pada anak-anak dengan kolitis ulseratif eksaserbasi.
 Stress psikologik dan stress psikososial berperan pada kolitis ulseratif dan dapat
mempresipitasi terjadinya eksaserbasi
 Merokok biasanya tidak berhubungan dengan kolitis ulseratif. Hal ini
berkebalikan dengan penyakit Crohn
 Konsumsi susu dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit ini

2.5 Patofisiologi Kolitis Ulseratif


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kolitis ulseratif merupakan salah satu
bentuk dari penyakit inflamasi pada usus. Dalam penyakit inflamasi usus atau inflammatory
bowel disease, lamina propria diinfiltrasi oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain dari sistem
imunitas. Penelitian yang intensif pada antigen yang memicu respon imun belum menemukan
suatu mikroba patogen tertentu. Antibodi anti-kolon telah jelas teridentifikasi dalam serum
pasien kolitis ulseratif. Penyakit inflamasi usus mungkin juga berkaitan dengan kegagalan
supresi (atau "downregulasi") dari peradangan kronis level rendah pada lamina propria
sebagai respon paparan kronis terhadap antigen luminal, khususnya bakteri komensal.8
Apapun pemicu antigeniknya, sel T lamina propria yang teraktivasi terlibat dalam
patogenesis penyakit inflamasi usus. Pada penyakit inflamasi usus, yaitu penyakit Crohn,
limfosit yang teraktivasi menjadi limfosit TH1 yang menghasilkan interferon-γ (IFN-γ).
Sitokin pro-inflamasi, termasuk interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α),
dapat memperkuat respon imun. Cedera epitel pada penyakit inflamasi usus tampaknya

39
disebabkan jenis oksigen reaktif dari neutrofil dan makrofag, serta sitokin seperti TNF-α dan
IFN-γ.8
Pada tikus, kolitis terjadi ketika gen IL-2, IL-10, atau transforming growth factor-β1
terkalahkan atau ketika ada beberapa sel T pada reseptor mutan, dan kolitis berkembang pada
tikus transgenik jika gen manusia HLA-B27 telah lebih dulu diperkenalkan. Jika hewan yang
sama dibesarkan dalam lingkungan yang bebas dari kuman, kolitis tidak berkembang,
sehingga menunjukkan bahwa kolitis bisa menjadi satu-satunya manifestasi dari berbagai
abnormalitas dalam imunitas sistemik dan kolitis adalah hasil dari respon imun abnormal
terhadap bakteri komensal.8

Gambar 28. Patogenesis kolitis ulseratif

40
2.6 Diagnosis Kolitis Ulseratif
1. Gejala Klinis
Gejala utama dari kolitis ulseratif adalah diare, perdarahan pada rektum, tenesmus,
adanya mukus, dan nyeri (kram) abdomen. Berat atau tidaknya gejala penyakit berjalan
seiring dengan luasnya proses penyakit. Meskipun kolitis ulseratif dapat bersifat akut, rata-
rata gejala klinis bermanifestasi dalam jangka waktu berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan. Seringkali diare dan perdarahan saluran cerna bersifat sangat ringan jadi pasien tidak
memeriksakan dirinya ke dokter.3,4,9
Diare menandakan terjadinya gangguan yang meluas pada kolon. Pada pasien dengan
kolitis ulseratif yang berat atau fulminan, gejala sistemik berupa keringat malam, demam,
mual dan muntah, serta penurunan berat badan dapat menyertai diare. Kolitis ulseratif dapat
bermanifesasi pada ekstrakolon, antara lain: uveitis, gangrenosum pioderma, pleuritis,
eritema nodosum, spondilitis ankilosing, dan spondiloarthropati.2,3,10,11
2. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, khususnya pemeriksaan fisik pada region abdomen, tidak
khas. Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien dengan gejala klinis yang ringan,
kecuali terdapat nyeri perut pada kuadran kiri bawah. Pasien dengan kolitis ulseratif yang
berat dapat memiliki gejala defisit cairan dan gejala-gejala toksisitas, antara lain: demam,
takikardia, nyeri perut yang signifikan, dan penurunan berat badan.2
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan anemia dan trombositosis, Dapat
ditemukan leukositosis, namun bukan merupakan indikator yang spesifik pada penyakit ini.
Pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan hipoalbuminemia, hipokalemia,
hipomagnesemia, dan alkali fosfatase yang meningkat.2,4
Peningkatan sedimentasi eritrosit dan C-reaktif protein berhubungan dengan fase akut
dari penyakit ini. Sedangkan, pemeriksaan feses dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari gejala yang ditimbulkan.2

41
3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Pemeriksaan endoskopi dan biopsi
Sekali kita mencurigai kolitis ulseratif, pemeriksaan endoskopi berupa kolonoskopi,
harus dilakukan. Selain itu, harus dilakukan biopsi pada mukosa yang meradang dan pada
mukosa yang normal. Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dapat
mengonfirmasi diagnosis kolitis ulseratif, dan juga berguna untuk melihat atau memantau
sejauh mana perjalanan penyakit tersebut. Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan hati-
hati karena kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau komplikasi lainnya. Kasus
kolitis ulseratif yang berat ditandai dengan adanya ulser dan perdarahan spontan.2,16

Gambar 29. Gambaran kolitis ulseratif pada kolonoskopi

b. Pemeriksaan histopatologi
Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan perjalanan klinis dan hasil
pemeriksaan endoskopi dari kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif terbatas pada mukosa dan
submukosa yang superfisial, lapisan bagian dalam tidak terlibat kecuali pada kolitis ulseratif
fulminan. Pada kolitis ulseratif, terdapat dua tanda histologis yang menunjukkan kronisitas
dan membantu membedakannya dari kolitis ulseratif akut dan kolitis ulseratif yang self-

42
limiting. Pertama, terdapat kripte yang terdistorsi pada kolon; kripte bisa saja berbentuk
bifida dan sedikit jumlahnya, dan seringkali terdapat celah di antara dasar kripte dan
muskularis mukosa. Kedua, beberapa pasien memiliki sel basal plasma dan agregasi limfoid
basal multipel. Dapat juga ditemukan kongesti vaskuler pada mukosa, dengan edema dan
perdarahan fokal, dan infiltrat sel-sel inflamasi, seperti neutrofil, limfosit, sel plasma, dan
makrofag. Neutrofil menginvasi epithelium, biasanya ke dalam kripte, dan dapat
menimbulkan kriptitis dan abses kripte.4,5

Gambar 30. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif kronik eksaserbasi
akut menunjukkan inflamasi difus, limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas
pada kripte, dan erosi superfisial

2.7 Diagnosis Banding Kolitis Ulseratif


Kolitis ulseratif paling sering didiagnosis banding dengan penyakit Crohn, karena
diagnosis yang beda memiliki terapi yang berbeda pula. Perbedaan antara kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn dapat dilihat pada tabel di bawah ini:2

43
Tabel 2. Perbedaan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn
Hanya kolon yang terlibat / jarang
Panintestinal
pada usus halus
Inflamasi terus-menerus yang
Skip-lesions dengan mukosa yang normal
berasal dari rektum yang meluas
di antaranya
secara proksimal
Inflamasi hanya terdapat pada
Inflamasi terdapat pada transmural
mukosa dan submukosa
Tidak terdapat granuloma Terdapat granuloma non-kaseosa
ANCA perinuklear (pANCA) positif ASCA positif
Perdarahan sering terjadi Perdarahan jarang terjadi
Jarang terdapat fistula Sering terdapat fistula

Selain itu, kolitis ulseratif dapat juga didiagnosis banding dengan tuberkulosis
gastrointestinal. Gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium dapat memberikan gejala yang
serupa, kecuali tuberkulosis gastrointestinal biasanya terdapat nyeri pada fossa iliaka yang
disertai dengan massa yang dapat dipalpasi. Cara membedakannya juga bisa melalui foto
toraks, di mana lesi pulmoner yang aktif dapat ditemukan pada 60% kasus tuberkulosis
gastrointestinal. Pemeriksaan foto polos abdomen pada tuberkulosis gastrointestinal dapat
menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami kalsifikasi. Selain itu, untuk
membedakannya, dapat juga kita lakukan pemeriksaan bakteri tahan asam.2,17

44
Gambar 31. Foto polos abdomen yang menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami
klasifikasi pada pasien dengan tuberkulosis gastrointestinal

2.8 Penatalaksanaan Kolitis Ulseratif


2.8.1 Penatalaksanaan Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien kolitis ulseratif, antara lain:
 Asam aminosalisilat
Obat ini memiliki efek anti-inflamasi lokal, secara khusus pada kolon, dan dapat
diberikan secara rektal atau oral. Formulasi obat yang slow-release (pentasa
atau asacol) dipecah di kolon.1,5
 Kortikosteroid
Pengobatan kolitis ulseratif dengan menggunakan steroid biasanya efektif
dalam menimbulkan remisi dan digunakan secara khusus untuk mengobati
kolitis ulseratif eksaserbasi akut. Kortikosteroid ini dapat diberikan secara
intravena, oral, atau rektal..1,2,5,16
 Antibiotik
Antibiotik digunakan dalam mengobati kolitis ulseratif namun tidak
memberikan hasil yang baik..2

45
 Probiotik
Probiotik digunakan untuk mengembalikan flora normal pada usus, dan telah
dilaporkan berhasil pada beberapa kasus.

2.8.2 Penatalaksanaan Bedah


Pembedahan, berupa panproktokolektomi (memotong kolon dan rektum), merupakan
terapi definitif pada kolitis ulseratif. Indikasi operasi pada kolitis ulseratif bervariasi. Terapi
medikamentosa yang gagal merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan
pembedahan. Indikasi tindakan pembedahan segera pada pasien kolitis ulseratif adalah
adanya toksik megakolon yang refrakter dengan terapi medikamentosa, adanya serangan
fulminan yang refrakter dengan terapi medikamentosa, dan perdarahan pada kolon yang tidak
terkontrol. Sedangkan, indikasi elektif adalah ketergantungan jangka panjang pada steroid,
ditemukannya displasia dan adenokarsinoma pada biopsi skrining, dan durasi penyakit yang
sudah mencapai 7-10 tahun.2,5,16

2.9 Prognosis Kolitis Ulseratif


Prognosis yang buruk ditandai dengan takikardia, demam tinggi, dan penurunan
peristaltik usus, serta adanya hipoalbuminemia. Kolitis ulseratif merupakan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian meningkat pada pasien-pasien usia tua, dan
pada pasien yang disertai komplikasi (misalnya: syok, malnutrisi, anemia). Kasus-kasus yang
berat dan kronik dapat menjadi lesi prakanker. Penyebab kematian yang tersering pada kolitis
ulseratif adalah megakolon toksik.

46
2.10 PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA KOLITIS ULSERATIF
2.10.1 Foto polos abdomen
Foto polos abdomen seringkali dapat membantu dalam penegakan diagnosis kolitis
ulseratif. Foto polos abdomen dapat menunjukkan dilatasi kolon yang masif yang disertai
dengan kontur mukosa yang abnormal. Dilatasi yang terjadi seringkali terdapat pada kolon
transversal. Perforasi kolon merupakan salah satu komplikasi dari kolitis ulseratif. Perforasi
dapat terjadi dengan atau tanpa megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif biasanya
menyertai perforasi kolon. Residu feses biasanya tidak terlihat pada usus yang mengalami
inflamasi. Gambaran edema pada dinding usus biasa tampak pada fase akut dari kolitis
ulseratif, yang disebut juga gambaran thumbprinting. Terdapat juga gambaran pseudopolip
yang menunjukkan mukosa yang udem diantara mukosa yang mengalami ulserasi. Pada fase
kronik, terjadi pemendekan usus akibat spasme muskulus longitudinal atau fibrosis yang
ireversibel. Selain itu, haustra pada kolon desendens menghilang.

Thumbprinting

Gambar 32. Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi
akut menunjukkan gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon

47
Gambar 33. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis ulseratif
menunjukkan striktur/spasme yang panjang pada kolon asendens/sekum. Perhatikan
bahwa terdapat pseudopoliposis pada kolon desendens

2.10.2 Barium enema


Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema sangat
bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih sempit, dan hal ini bisa
saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak sempurna akibat spasme dan iritabilitas
pada kolon.
Pemeriksaan barium enema dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumen kolon.
Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosa yang dapat
menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar dan menutupi semua lapisan
mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa akibat perlengketan barium pada
ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan ulserasi yang lebih dalam pada mukosa
yang udem dengan kripte abses pada submucosa.
Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita kolitis ulseratif dalam jangka
waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan pada kolon asendens.

48
Gambar 34. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan kolitis
ulseratif pada stadium awal, di mana mukosa masih normal dan tampak pseudopolip

Gambar 35. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan


keterlibatan kolon dengan collar button ulcers yang banyak seperti yang diperlihatkan
dengan tanda panah

49
Gambar 36. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan striktur yang
panjang pada kolitis ulseratif, yang ditandai dengan penyempitan lumen kolon
desendens yang ireguler

Gambar 37. Pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada seluruh
kolon desendens disertai dengan ulserasi, sehingga memberikan gambaran “lead-
pipe”

50
2.10.3 Computed tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu ahli radiologi dalam membedakan kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium enema menunjukkan kemiripan di
antara keduanya. CT dapat mendeteksi bagaimana karakteristik dari kolitis ulseratif. CT-
Scan abdomen dan pelvis menunjukkan dilatasi, penebalan pada bagian mural, dan
permukaan mukosa yang ireguler, serta terdapat target sign. Dapat juga terlihat pseudopolip
pada dinding kolon, dan pembuluh darah yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan
hiperemia.12,15

Gambar 37. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan penebalan
dinding mukosa dan iregularitas yang terjadi pada kolon asendens dan desendens,
seperti yang diperlihatkan pada tanda panah

Gambar 38. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan target sign,
seperti yang diperlihatkan pada tanda panah

51
Gambar 39. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan pelebaran
pembuluh darah perisigmoid dan ascites, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah

2.10.4 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Giovagnoni dkk menggunakan MRI dengan resolusi yang tinggi untuk meneliti 16
spesimen rektosigmoid yang telah direseksi akibat kolitis ulseratif, dan mengungkapkan
bahwa MRI dapat menjadi modalitas pencitraan yang baru untuk mendeteksi perubahan
dinding kolon pada kolitis ulseratif. Hasil in vitro menunjukkan bahwa MRI dapat melihat
lapisan dinding kolon secara keseluruhan. Secara khusus pada kolitis ulseratif, T1-weighted
spin-echo MRI menunjukkan penebalan dan hiperintensitas dari lapisan mukosa dan
submukosa.12

52
DAFTAR PUSTAKA

53

Anda mungkin juga menyukai