Anda di halaman 1dari 5

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Telah dilakukan eksperimen tentang identifikasi pola absorbansi dan transmitansi glukosa pada suatu
larutan dengan spektrofotometer-vis. Dalam hal ini, tujuan dilakukan eksperimen ini adalah untuk menentukan
pola absorbansi dan transmitansi glukosa serta untuk mengidentifikasi pola absorbansi dan transmitansi glukosa
pada suatu larutan tertentu.

No. Konsentrasi (gr) Absorbansi Transmitansi


1 0.5 0 100
2 1 0 99.8
3 1.5 0 97.8
4 2 0 100
5 2.5 0 100
6 3 0 100
Transmitansi rata-rata 99.6
Tabel 1. Tingkat Absorbansi dan Transmitansi pada Glukosa

Absorbansi
No. konsentrasi (gr)
Larutan A Larutan B glukosa
1 1 0.001 0 0
2 1.5 0.001 0 0
3 2 0 0 0
4 2.5 0 0 0
Tabel 2. Tingkat Absorbansi pada Suatu Larutan

Transmitansi
No. Konsentrasi (gr)
Larutan A Larutan B
1 1 100.1 100
2 1.5 100.1 100.1
3 2 100.3 100
4 2.5 100 100
Transmitansi rata-rata 100.125 100.025
Tabel 3. Tingkat Transmitansi pada Suatu Larutan

Berdasarkan hasil eksperimen, didapatkan pola absorbansi dan transmitansi pada glukosa dan untuk
larutan A dan larutan B seperti pada gambar 1, 2 dan 3. Pada grafik tersebut, dapat diamati bahwa terdapat
perbedaan antara pola absorbansi untuk larutan A dan B terhadap pola absorbansi glukosa. Pada glukosa, tingkat
absorbansinya adalah 0% untuk semua jenis konsentrasi (0.5-3.0 gr), sehingga didapatkan grafik yang lurus
dengan tingkat kemiringan 0 sehingga nilai absorbansinya adalah 0%. Berdasarkan hasil ini, maka tidak dapat
ditentukan kadar glukosa pada larutan A dan B dengan mengacu pada pola absorbansi glukosa. Namun, pada
larutan B, memiliki pola absorbansi yang sama dengan pola absorbansi glukosa. Berdasarkan hokum Lambert-
Beer, absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi, hal ini dikarenakan b atau l dengan harga 1 cm dapat
diabaikan dan ε merupakan suatu tetapan absorbansi molar. Sehingga semakin tinggi konsentrasi suatu
larutan maka tingkat absorbansi yang dihasilkan juga semakin besar. Sehingga didapatkan suatu grafik yang
linear, yang merupakan analisis kuantitatif berdasarkan hokum Lambert-Beer. Dengan demikian, ketika
konsentrasi larutan semakin tinggi, maka tingkat transmitansi cahaya pada larutan tersebut akan semakin
berkurang. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi konsentrasi, maka larutan akan semakin pekat. Sehingga cahaya
akan lebih sulit untuk melewati larutan tersebut.

Pola Absornasi dan Transmitansi pada Larutan Glukosa


120

100
f(x) = 0.16x + 99.32
80 R² = 0.03
Absorbansi
Linear (Absorbansi)
tngkat (%)

60
Transmitansi
40 Linear (Transmitansi)

20

0
0 0.5 f(x) 1= 1.5 2 2.5 3 3.5
R² = 0
konsentrasi

Gambar 1 Pola Absorbansi dan Transmitansi pada Larutan Glukosa

Pola Absorbansi pada Suatu Larutan


0

0
Absorbansi (%)

Absorbansi Larutan A
0
Absorbansi Larutan B
0

0 0
0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6
Konsentrasi (gr)

Gambar 2 Pola Absorbansi pada Suatu Larutan


Pola Transmitansi pada Suatu Larutan
100.35
100.3
100.25
100.2
Transmitasni (%)

100.15
100.1 Transmitansi Larutan A
100.05 Transmitansi Larutan B
100
99.95
99.9
99.85
99.8
0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6
Konsentrasi (gr)

Gambar 3. Pola Transmitansi pada Suatu Larutan


Pada grafik pola transmitansi pada glukosa, maka tingkat transmitansi mulai turun pada saat konsentrasi
larutan glukosa meningkat, yakni pada konsentrasi 1 gr dan 1.5 gr. Namun pada konsentrasi 2 gr- 3 gr tingkat
transmitansi pada larutan tersebut meningkat kembali menjadi 100%. Sedangkan untuk larutan A, tingkat
transmitansi mulai naik dari 100,1% pada konsentrasi 1 gr hingga 100,3% pada konsentrasi 2 gr, lalu turun
menjadi 100% ketika pada konsentrasi 2.5 gr. Sehingga hasil pola transmitansi pada larutan A ini memenuhi
hokum Lambert-Beer. Begitu pula untuk larutan B, yang memiliki tingkat transmitansi relative konstan yakni
100%-100.1%-100%-100%. Sehingga dalam hasil ini, pola tingkat transmitansi pada larutan B juga memenuhi
hokum Lambert-Beer dimana tingkat transmitansi menurun seiring bertambahnya besarnya konsentrasi pada
larutan tersebut.
Apabila melihat pola transmitansi di atas, maka dengan pendekatan formula, yakni kadar glukosa murni
adalah 100 %, maka kandungan glukosa pada larutan A dan B dapat ditentukan melalui hubungan:

kadar glukosa murni


kandungan glukosa= ( )
kadar glukosa larutan
×100

Dimana kadar glukosa larutan diperoleh dari persamaan regresi pada pola transmitansi glukosa murni, yaitu

0.16 x+ 99.32
)%.
y =¿
Table 4. Kandungan Glukosa Murni pada Suatu Larutan
Kadar Glukosa
No Konsentrasi Larutan
Larutan A
B
1 1.0 86.7032 86.715
2 1.5 86.7032 86.703
3 2.0 86.679 86.715
4 2.5 86.715 86.715
Kandungan Glukosa Rata- 86.700 86.712
rata

Berdasarkan hubungan tersebut, maka dapat ditentukan kadar glukosa pada masing-masing larutan A
dan B yang dapat dilihat pada tabel 4. kandungan glukosa pada larutan B lebih besar dibandingkan kandungan
glukosa pada larutan A, yakni 87.712% sedangkan pada larutan A, kandungan glukosa adalah 86.700%. Apabila
diamati dalam grafik, pola transmitansi maupun absorbansi pada larutan B lebih menyerupai pola transmitansi
dan absorbansi pada larutan glukosa. Kandungan gula pada kedua larutan ini telah sesuai dengan takaran
komposisi yang tertera pada kemasan produk, yaitu ±87.5% tiap kemasan dengan tingkat error 0.8%. Perbedaan
ini dapat terjadi karena kurangnya ketelitian pada alat dan kurang telitinya praktikan saat melakukan pengamatan
hasil.
Pada hasil eksperimen, didapatkan pola absorbansi vs konsentrasi yang tidak linear, hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya serapan oleh pelarut, hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan blangko yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis termasuk zat pembentuk
warna. Selain itu dapat terjadi karena adanya serapan oleh kuvet, kesalahan fotometrik normal pada pengukuran
dengan absorbansi yang sangat rendah atau sangat tinggi,
Penggunaan spektrofotometer-vis dapat digunakan pada zat dalam bentuk larutan dan zat tersebut harus
tampak berwarna, sehingga analisis yang didasarkan pada pembetukan larutan berwarna disebut pula dengan
metode kalorimetri. Jika zat tidak berwarna, maka larutan tersebut harus dijadikan berwarna dengan cara
memberi reagen tertentu yang spesifik. Misalnya pada larutan glukosa hendaknya diberi suatu reagen pembentuk
warna supaya larutan tidak bening. Hal inilah yang menyebabkan ketidaksesuaian antara teori dan hasil
eksperimen pada pola absorbansinya. Tentunya, ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh reagen pembentuk
warna yaitu kestabilan dalam larutan, pembentukan warna yang dianalisis harus cepat, reaksi dengan komponen
yang dianalisa harus berlangsung secara stokiometrik, pereaksi tidak boleh menyerap cahaya dalam spectrum
dimana dilakukan pengukuran, pereaksi harus selektif dan spesifik untuk komponen yang dianalisa, sehingga
warna yang terjadi benar-benar merupakan ukuran bagi komponen tersebut.
Namun, setelah ditambahkan reagen, maka larutan tersebut juga harus memiliki sifat sebagai berikut,
yaitu kestabilan warna yang cukup lama untuk memungkinkan pengukuran absorbansi dengan teliti, warna
larutan yang akan diukur harus mempunyai intensitas yang cukup tinggi (warna harus cukup tua) sehingga
absortivitas molarnya besar, kemudian warna larutan yang diukur sebaiknya bebas dari pengaruh kecil dalam
nilai pH, suhu maupun kondisi lain. Serta hasil reaksi dalam larutan yang telah diberi reagen harus homogen dan
larutan ini harus memenuhi hokum Lambert-Beer.
Dewasa ini, spektrofotomer UV-VIS maupun spektrofotometer-VIS telah banyak diguanakn dalam
beberapa penelitian lain seperti penentuan kadar flavonoid dalam tumbuhan obat, penentuan kadar ketoprofen
dalam sediaan gel, identifikasi kadar kafein dalam kopi, penentuan kadar besi pada padi selama fase pematangan
dan pada lingkungan di sekitar padi serta analisis ion Cd(II) pada penentuan Fe 3+ dengan pengompleks 1,10-
fenantrolin.

Anda mungkin juga menyukai