Anda di halaman 1dari 13

Cekungan Barito, Kalimantan Selatan

Cekungan Barito terletak bagian tenggara Kalimantan. Cekungan Barito disebelah


barat dibatasi oleh dataran sunda, sebelah timur Pegunungan Meratus, sebelah utara dibatasi oleh
Cekungan Kutai. Sedimen tersier dibawah cekungan ini relatif tipis.
Cekungan ini khas asimetris. Dari sebelah barat dekat paparan sunda terdapat
Cekungan Barito dengan kemiringan relatif datar, ke arah timur menjadi
cekungan yang dalam yang dibatasi oleh sesar-sesar naik ke arah barat dari
punggungan Meratus yang merupakan bongkah naik. Cekungan Barito memiliki potensi besar
dalam hal penghasil Hidrokarbon, yang dapat di tinjau dari beberapa aspek pendukung seperti
source rock, reservoir rock, seal rock, dan migrasi hidrokarbon. Selatan Cekungan ini memiliki
suksesi tebal dari batuan sedimen yang tersingkap dengan basik sepanjang tepi cekungan sebelah
timur. Cekungan barito dibatasi oleh Kompleks Schwaner di bagian Barat yang merupakan
batuan metamorfik dan batuan granitik pluton berumur cretaceous dan juga batuan vulkanik.
Pada Utara berbatasan dengan tinggian Barito (Moss, dkk, 1997) yang merupakan kelanjutan
dari trend zona sesar Adang yang menerus hingga ke darat. Tinggian ini yang memisahkan
Cekungan Barito dari Cekungan Kutai. Pada bagian timur
cekungan berbatasan dengan Kompleks Meratus. Batas ini menghasilkan sabuk
ophiolit, metamrf akibat subduksi, dan batuan tipe busur dengan rentang umur
Jura hingga Cretaceous yang tersingkap dengan trend Barat Laut – Tenggara
(Wakita dkk,1998). Kompleks ini yang juga membatasi Cekungan Barito dengan
cekungan Asam-Asam yang berukuran lebih kecil dan juga Platform Patenosfer di
Timurnya. Ada kemiripan tratigrafi diantar dua area ini sehingga diperkirakan dua
cekungan ini pernah terhubung, membentuk depocentre tunggal selama
Paleogen dan Awal Neogen, sebelum pengangkatan Meratus.

STRATIGRAFI REGIONAL
Secara umum stratigrafi Cekungan Barito dari muda ke tua secara berurut adalah sebagai berikut
:
1. Formasi Dahor, litologinya terdiri dari batupasir kuarsa berbutir sedang terpilah buruk,
konglomerat lepas dengan komponen kuarsa berdiameter 1-3 cm, batulempung lunak,
setempat dijumpai lignit dan limonit, terendapkan sekitar lingkungan fluviatil dengan tebal
sekitar 250 meter, dan berumur Plio-Plistosen.
2. Formasi Warukin, batupasir kuarsa dan batulempung sisipan batubara, terendapkan di
lingkungan fluviatil dengan ketebalan sekitar 400 meter, berumur Miocene Tengah sampai
dengan Miocene Akhir.
3. Formasi Berai, litologinya terdiri dari batugamping mengandung fosil foraminifera besar
seperti Spiroclypeus orbitodeus, Spiroclypeus sp, dll yang menunjukkan umur Oligosen-
Miocene Awal dan bersisipan napal, terendapkan dalam lingkungan neritik, dan
mempunyai ketebalan sekitar 1000 meter.
4. Formasi Tanjung terdiri dari beberapa facies diantaranya :
a. Facies Konglomerat terdiri dari Konglomerat alas, dengan komponen sebagian besar
terdiri komponen seperti batuan malihan, batuan beku, batuan klastika, batugamping
dan kuarsa asap. Komponennya berukuran dari 1 cm sampai 8 cm, berbentuk bulat
sampai membulat tanggung, terpilah buruk, bermassa dasar batupasir kuarsa berbutir
kasar. Facies ini merupakan bagian paling bawah dari Formasi Tanjung yang
diendapkan tidak selaras diatas batuan alas Pra-Tersier, tebalnya berkisar antara 8 meter
dan 15 meter. Di tepi barat Pegunungan Meratus, Facies Konglomerat lebih tebal dari
yang di tepi timurnya. Di beberapa tempat di tepi timur ditemukan sisipan batupasir
berbutir kasar dengan ketebalan antara 75 cm dan 100 cm, yang memperlihatkan
structure sedimen lapisan silang-siur berskala menengah. Adanya perbedaan ketebalan
pada Facies Konglomerat dan structure perlapisan silang-siur pada batupasir
menunjukkan arah arus purba dari barat.
b. Facies Batupasir Bawah terdiri dari batupasir berbutir sedang sampai kasar setempat
konglomeratan. Batupasir ini disusun terutama oleh butiran kuarsa dengan sedikit
kepingan batuan vulkanik, rijang, dan feldspar. Facies ini berlapis tebal yaitu antara 50
cm dan 200 cm. Structure sedimennya adalah lapisan sejajar, lapisan silang-siur dan
lapisan tersusun. Tebal facies ini terukur di tepi barat Pegunungan Meratus antara 46
meter dan 48 meter, sedangkan di bagian tengah dan tepi timurnya antara 30 meter dan
35 meter.
c. Facies Batulempung Bawah terdiri dari batulempung berwarna kelabu (kecoklatan
sampai kehitaman), dengan sisipan batubara dan batupasir. Ketebalan facies ini berkisar
dari 28 meter sampai 68 meter. Structure sedimen di dalam batulempung, yang terlihat
berupa lapisan pejal, laminasi sejajar, setempat berlaminasi silang-siur dengan
ketebalan berkisar antara 3 cm sampai 5 cm. Batubara berwarna hitam mengkilap
terdapat sebagai sisipan dengan ketebalan berkisar antara 30 cm dan 200 cm. Setempat
lapisan batubara berasosiasi dengan batulempung berwarna kehitaman. Sisipan
batupasir berbutir halus sampai sedang dengan ketebalan perlapisan antara 5 cm dan 25
cm, menyendiri atau berkelompok memiliki ketebalan mencapai 10 meter. Structure
sedimennya adalah laminasi sejajar dan setempat laminasi silang-siur. Setempat
ditemukan pula sisipan tufa berwarna putih dengan ketebalan perlapisan antara 5 cm
dan 15 cm, sebagian terubah menjadi kaolin.
d. Facies Batupasir Atas terdiri dari batupasir berbutir halus sampai sedang, berlapis baik,
dengan ketebalan perlapisan antara 3 cm dan 25 cm. Tebal facies ini berkisar dari 12
meter sampai 26 meter. Structure sedimennya lapisan sejajar serta lapisan silang-siur
pada batupasir berbutir sedang dan laminasi sejajar serta silang-siur pada batupasir
berbutir halus dan yang terakhir adalah Facies Batulempung Atas terdiri dari
batulempung berwarna kelabu kehijauan dan masif.

Gambar 1. Formasi-formasi, paleofacies, dan periode tektonik pada


Cekungan Barito.
Gambar 2. Penampang cekungan Barito yang berarah
Barat laut - Tenggara
TEKTONIK DAN STRUCTURE GEOLOGY
Berdasarkan konsep tektonik lempeng, hampir semua kepulauan di Indonesia terletak
pada zona subduksi, yaitu tumbukan antara Paparan Sunda dengan lempeng benua. Dalam
konteks ini, Pulau Kalimantan sendiri merupakan daerah tektonik yang stabil dimana merupakan
bagian dari Lempeng Mikro Sunda yang mempunyai karakteristik dan tatanan structure yang
cukup berbeda dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Lempeng Mikro Sunda merupakan pecahan atau fragmental Lempeng Eurasia yang terpisah ke
bagian tenggara akibat tumbukan dengan kerak Benua Asia. Dengan demikian perkembangan
dan pola tektonik yang berkembang pada Cekungan Barito di Kalimantan ini mengikuti pola
tektonik pada Lempeng Mikro. Pada dasarnya pola tektonik yang terjadi pada Lempeng Mikro
Sunda merupakan proses pemisahan akibat tekanan yang terjadi pada lempeng itu sendiri. Faktor
eksternal yang ikut berperan dalam perkembangan tatanan tektonik di Pulau Kalimantan adalah
interaksi antara Lempeng Sunda dengan Lempeng Pasifik di sebelah timur, Lempeng Hindia
Australia di selatan, dan Lempeng Laut Cina Selatan. Keadaan Tektonik dan Stratigrafi di
Cekungan Barito secara umum dapat
digambarkan dalam 4 fase (Satyana, dan
Silitongan,1994) sebagai berikut :
Prerift
Merupakan fase komplek tektonik yang berpengaruh pada batuan dasar cekungan. Batuan dasar
terleta di sepanjang Paparan Sunda, yang
terususn oleh berbagai macam variasi litologi yang berasal dari sumber yang
berbeda-beda yaitu batuan dasar dari kerak benua pada bagian Barat, zona
akresi Mesozoic dan batuan Paleogen di bagianb barat. Tidak ditemukan
referensi yang menjelaskan distribusi dari tipe batuan di bawah permukaan.
Namun Gaffney dan Cline (1971) menyebutkan di bagian timur cekungan
menunjukkan tipe batuan dari Baritoplatform, hal ini yang menimnbukan
spekulasi mengenai kontak dari dua tipe batuan dasar dan menerangkan batuan dasar tipe
Meratus mengalami pensesaran.
Synrift
Tumbukan antara lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik bagian barat pada
Eosen Tengah menyebabkan proses rifting pada Cekungan Barito (Daly,
Hooper, dan Smith, 1987; Kusumam dan Darin 1989;Daly et al., 1991; van
de Weerd and Armin, 1992). Fase synrift pada cekungan terjadi Paleosen-
Eosen Tengah, yaitu pada pengendapan Formasi Tanjung bagian bawah.
Formasi ini diendapakan langsung pada permukaan basement yang tidak
rata akibat proses pemekaran.
Postrift
Subsidence regional setelah pemekaran terjadi secara luas dari miosen tengah
samapi awal miosen. Selama itu terjadi sedimentasu dari Fomasi Tanjung
bagian Bawah, Tanjung bagian atas, dan Berai. Ketiga sedimen ini
merupakan bagian dari transgressive system. Perubahan berbeda pada
karekter sedimenter muncul pada batas antara sekuen synrift dan postrift. Pada
section bawah, sedimentasi dibatasi oleh ketebalan yang cukup dan
perubahan fasies yang mengindikasikan pengisian cekungan pada saat pemekaran. Sedangkan
pada bagian atas sekuen, sedimen lebih
dapat dikorelasikan secara regional, mengindikasikan berkurangnya
pengaruh dari daerah horst dan graben yang tidak rata.
Syninversi
Pada pertengahan Miosen , fragmen benua Laut China Selatan bertumbukan
dengan Kalimantan Utara yang menghasilkan tinggian Kuching
terangkat. Pada saat yang sama, tumbukan pada lengan timur Sulawesi mengakhiri pemekaran
Sleat Makassar dan mengangkat proto-Meratus. Kedua
event tektonik mengawali inversi pada cekungan Barito. Inversi pada
cekungan lebih kuat tergambar pada saat Pasif Margin barat laut Australia
berumbukan dengan Sunda Trench dan Banda Firearc pada awal Pliosen
dimana Inversi diakomodasi oleh sistem sesar mendatar, melalui
Sulawesi(Daly, Hooper, and Smith, 1987; Letouzey, Werner, and Marty,
1990; Daly et al., 1991 dalam Satyana 1994). Tinggian Kuching yang
terangkat meberikan sedimen yang mengisi cekungan, sedangkan Proto-
Meratus Range memisahkan cekungan Barito dari laut terbuka di sebelah
Timur yang menghasilkan karakteristik sedimen berganti dari siklus trangressive ke regressive.
Pada cekungan barito, jika diurutkan sejarah structure ditandai oleh perbedaan yang jelas
pada zaman Paleogen dan Neogen. Pemekaran basement adalah awal mula pembentukan
structure cekungan pada kala Paleo – Eosen. Kondisi ini terus terjadi hingga kala Oligosen –
Miocene dengan terjadi subsidence secara lokal dan regional serta proses peregangan lithosfer
yang mempengaruhi cekungan pada pertengahan miocene, structure yang terjadi berubah
menjadi pengkerutan. Pengangkatan secara regional dan patahan yang bersifat kompresional
muncul pada kala miocene tengah hingga plio-plistosen. Proses inversi dan pengaktifan kembali
sesar tua secara extensional menghasilkan kenampakan yang sekarang terbentuk pada cekungan
barito.

GEOLOGI
SEJARAH
CEKUNGA
N BARITO
Ceku
ngan barito
dibentuk
mulai dari
adanya
proses rifting
( pemekaran )
yang
membentuk
basement
yang
merupakan
pencampuran
Gambar 3. Proses tektoni
basement continental sebelah barat dan batuan zona akresi pada masa Mesozoikum dan awal
Paleogen disebelah timur. Distribusi tipe batuan di bawah permukaan tidak jelas terlihat. Hal
tersebut dapat dimaklumi, bagaimanapun basement lebih jelas menunjukkan tipe batuan Meratus
dibandingkan batuan kirstalin-asam di Barito platform. Ini membawa pada hal-hal yang
diperkirakan terjadi kontak pada batuan tersebut yang mungkin disebabkan oleh patahan
(Gaffney-Cline, 1971).
Pada Paleogen akhir hingga Eosen tengah diendapkan formasi Tanjung Pengendapan
Formasi Tanjung yang terdiri dari beberapa facies, dimulai dalam lingkungan fluviatil (Facies
Konglomerat dan Facies Batupasir Bawah), kemudian berubah menjadi dataran banjir yang
sebagian berawa (Facies Batulempung Bawah), kemudian berubah menjadi lingkungan fluviatil
dengan saluran sekunder (Facies Batupasir Atas), dan terakhir menjadi lingkungan Laguna
(Facies Batulempung Atas).
Setelah terjadi penurunan ( subsidence ) akibat pemekaran yang mempengaruhi cekungan
mulai dari Eosen tengah sampai awal – tengah miocene, selama itu pula sedimen dari formasi
Tanjung, Upper Tanjung dan Berai diendapkan.
Pada pertengahan miocene lempeng laut cina selatan mengalami collision dengan Kalimantan
Utara mengakibatkan Tinggian Kuching. Di saat yang bersamaan, tumbukan ke timur Sulawesi
mengakhiri pemekaran selat Makasar dan pengangkatan Pegunungan Proto-Meratus. Kedua
masa tektonik memulai proses structure inversi di cekungan Barito disertai dengan
diendapkannya formasi warukin. Pengangkatan Daratan tinggi Kuching memberikan kontribusi
sedimen ke cekungan yang lebih rendah, kemudian terjadi pengangkatan Proto-Meratus yang
terjadi pada kala plio-pistosen yang memisahkan Cekungan Barito terhadap laut terbuka di
daerah timur sehingga terjadi perubahan karakteristik sedimen dari proses transgresi menjadi
regresi berupa endapan formasi dahor.

PETROLEUM SYSTEM
Pada area Tanjung raya hidrokarbon terbentuk dari source rock lower Tanjung dan lower
Warukin. Hidrokarbon terjebak pada struktural trap yang mengandung lower Tanjung dan Upper
Warukin sand.

Source Rock
Tahap pertama, Sedimen diendapkan di graben paleogen berupa alluvial channel dan fan
mengalami progradasi hingga ke lingkungan lacustrine. Sejumlah lapisan tipis batubara diduga
diendapkan sepanjang tepi danau. Lingkung lacustrine dalam terbentuk pada bagian sumbu
graben. Lingkungan ini menghasilkan lingkungan reduksi yang baik bagi akumulasi algae.
Lapisan source rock berupa Lacustrine alga dapat membentuk prolific oil.
Carbonaceous clay/ shale dan lapisan tebal batubara lebih dari 10 meter di temukan sedimentasi
tahap 2. Kebnyakan hidrokarbon di Tanjung raya field diduga terbentuk dari tahap 2 ini.
Maturasi
Dari analisismaturasi Lower Tanjung source rock diketahui :
Pada bagian baratlaut matursi hidrokarbonnya immature – early mature, dan pada bagian
tengahnya mature, sedangkan dibagian tenggaranya maturasinya overmature ( bagian paling
dalam basin ini).

Reservoar
Reservoar utama berupa synrift sand tahap 1, post rift sag fill tahap 2 dan 3. batu pasir synrift
pada tahap 1 ( disebut batupasir A dan B atau Z 1015 dan Z 950 ) diendapkan dilingkungan
alluvial fan dan lingkungan delta front lacustrine. Memiliki ketebalan 30 – 50 meter.
Batupasir pada tahap 2 ( batupasir c dan d atau Z.860 dan Z.825 ) mewakili batupair alluvial fan.
Reservoar properties pada batupasir Z.860 ini lebih baik di bandingkan batupasir pada formasi
Lower Tanjung, Batupasir ini memiliki sorting yang bagus dan mineralogy maturity yang bagus,
ketbalan 25 – 30 meter, dengan nilai porisitas dan permeabilitas rata-rata yang bagus. Tidak
seperti Z.860, batupasir Z.825 tipis dan diskontinyu ( melensa ) dengan ketebalan 3 – 5 meter.
Tahap 3 reservoarnya terdiri dari Batupasir – e ( Z.710 dan Z. 670 ). Batupasir-E di endapakn
pada pantai/ barrier bar pada lingkungan garis pantau yang terus mengalami regresi.Ketebalan
maksimum dari batupasir- E ini 30 meter.

SEALING ROCK.
Pase postrifting dari transgresi regional/ subsidence setelah pengendapan dari sag-fill sedimen
menghasilikan shallow marine mudstone pada tahao 4 formasi Upper Tanjung. Batuan mudstone
marine ini menyediakan sealing yang efektif bagi reservoir Lower Tanjung. Tersusun atas 800
meter dengan dominasi neritic shale dan silty shale.

TRAPPING MECHANISM

Hydrocarbon terbentuk, bermigrasi dari Lower-middle tanjung coals, carbonaceous shales, dan
lower warukin carbonaceous shales. Kitchen utama terletak pada depocentre basin sekarang.
Sealing rocks dihasilkan dari intra-formational shales. Generation, migration, dan
pemerangkapan hydrocarbon terjadi sejak middle early miocene (20 Ma). Barito basin
merupakan contoh dari efek interaksi tektonik terhadap tempat pembentukan hydrocarbon
(petroleum system).
Extensional tectonics pada early tertiary membentuk rifted basin, dan grabennya diisi oleh
lacustrine tanjung shales dan coals. Lingkungan lacustrine inilah yang akan membentuk tanjung
source rocks. Karena subsidence yang terus berlangsung dan rifted structure makin turun, shale
diendapkan semakin melebar, dan akan membentuk seal untuk reservoir yang ada dibawahnya.
Kondisi ini juga yang menyebabkan penyebaran pengendapan reservoir rocks. Extensional faults
merupakan media untuk migrasinya hydrocarbon yang terbentuk dibagian terbawah dari graben.
Selama late miocene, basin mengalami permbalikan akibat naiknya Meratus, membentuk
asymmetric basin, Barito basin mengalami dipping kearah NW dan makin ke SE semakin curam.
Akibatnya bagian tengah dari mengalami subsidence, sehingga tanjung source rocks semakin
terkubur, dan menghasilkan kedalaman yang cukup bagi source rock untuk menjadi
hydrocarbon.
Hydrocarbon mengisi jebakan melalui patahan dan melalui permeable sands. Pada awal
Pliocene, Tanjung source rocks kehabisan liquid hydrocarbon, sehingga membentuk gas dan
bermigrasi mengisi jebakan yang telah ada.
Lower Warukin shales pada depocentre basin mencapai kedalaman dari oil window selama plio-
pleistocene. Minyak terbentuk dan bermigrasi ke structural traps dibawah warukin sand

METODE EKSPLORASI
Penelitian geologi pertama di Cekungan Barito dilakukan pada 1854. pada akhir abad 19-
an, B.P.M (Badan Eksplorasi Kerajaan Belanda) melakukan penelitian sistematik eksplorasi
pertama di Cekungan Barito. Ditemukan sejumlah kecil minyak di pengeboran sekitar
permukaan Formasi Warkin, tapi tidak ada yang komersial. B.P.M memulai pencarian lebih
ekstensif di cekungan itu pada 1930-an yang meliputi pemetaan permukaan secara mendetail,
eksplorasi permukaan besar-besaran, pengeboran shallow hand auger, dan survey gravimetri.
Walupun banyak rembesan minyak di permukaan daerah Tanjung Raya, B.P.M
memfokuskan pencarian ke bagian barat dari cekungan tersebut dimana telah ditemukan anomali
gravitasi, tapi hanya satu dari empat puluh lubang bor yang mengandung sedikit gas. Pada 1937,
N.K.P.M (Badan Eksplorasi STANVAC) juga ikut melakukan pemboran di beberapa tempat di
daerah barat, disekitar S.Kahajan tanpa menghasilkan tanda-tanda adanya hidrokarbon.
B.P.M kembali mengalihkan fokus eksplorasinya ke arah barat, dimana banyak
ditemukan daerah rembesan di daerah Tanjung Raya pada tahun 1930-an, dengan pencarian
ekstensif melalui survey geologi permukaan. Beberapa kolom stratigrafi yang dibor sepanjang
Antiklin Tanjung yang terpatahkan, menghasilkan minyak. Penemuan minyak di sumur Tanjung-
1 pada batupasir Formasi Tanjung bagian Bawah terjadi pada tahun 1938. Jumlah kecil juga
ditemukan pada struktur Kambitin di bagian barat. Tes pada kedua endapan delta Miosen
Warukin dan Paringin, yang berstruktur ke timur, tidak menghasilkan hidrokarbon yang
signifikan. Hanya karena terjadinya perang beberapa sumur yang ada di lapangan Tanjung
beserta hasil penelitian foto udara dan foto geologi diambil alih.
Setelah perang, B.P.M berkonsentrasi untuk pengembangan pencarian di lapangan
Tanjung, dan pembangunan jalur pipa ke Balikpapan, dan pada tahun 1965 telah berhasil
melakukan 89 kali pemboran di lapangan tersebut. Empat sumur tambahan yang mengikuti
penemuan sejumlah kecil minyak di sumur Kambitin-1, struktur Kambitin pada tahun 1959-
1964, juga hanya menghasilkan sedikit minyak. Region Menunggul dan Hayub pada Formasi
Tanjung Bawah juga tidak menghasilkan.
Pada tahun 1965, minyak yang ditemukan melalui offset pada struktur Warukin yang
berumur Miosen Bawah, sangat komersil. Dan pada akhir tahun 1965, PERTAMINA mengambil
alih tanggung jawab eksplorasi di Cekungan Barito dari SHELL.
PERTAMINA melanjutkan pengembangan lapangan Tanjung dan Warukin, dan berhasil
melakukan pemetaan bawah permukaan regional menggunakan metode seismik pantul. Tes
Miosen yang dilakukan selanjutnya dengan mengebor sepanjang lipatan antiklinal di Lapangan
Warukin, melihat dari penenmuan minyak di Lapangan Tapian Timur tahun 1967. Formasi
Tanjung Bawah yang juga di tes di struktur Bongkang tidak menghasilkan hidrokarbon.
Pengujian di Dahor Selatan-1 yang terletak sebelah selatan struktur Lapangan Tanjung,
dibatalkan karena adanya semburan minyak di Formasi Warukin Bawah, sayangnya, sumur
offset yang dibuat tidak mengarah ke reservoirnya. Tahun 1972, PERTAMINA melakukan
pemboran besar-besaran yang melibatkan struktur-struktur yang mudah dikenali dari permukaan,
juga melakukan penyelidikan seismik untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang struktur
bawah permukaan. Secara umum Formasi Tanjung Bawah tidak memiliki banyak potensi
hidrokarbon, ini dibuktikan dengan sedikitnya keberhasilan dalam pemboran yang dilakukan.
Tantau-1 yang di bor di atas basemen tinggi Antiklin Tanjung bagian selatan, beberapa titik
minyak yang cukup menjanjikan didapat dari batugamping Formasi Berai yang berumur
Oligosen. Lapisan pasir Formasi Tanjung Bawah dengan kedalaman rendah juga menghasilkan
gas alam dalam jumlah kecil di sumur Bongkang-2. Dua dari tiga sumur yang ditambahkan
kemudian juga menyemburkan minyak dalam jumlah kecil. Tahun 1986, Bagok-1 dibor pada
struktur Kambitin yang merupakan bagian dari Formasi Tanjung Bawah, hanya menghasilkan air
tanah. Pembentukan karbonat berhenti pada Awal Miosen dengan dimulainya komponen
cebakan stratigrafi yang signifikan pada batupasir Tanjung Bawah.Tahun 1983, penolakan akan
produksi di lapangan Tanjung, telah membuat 2 bagian yang terpisah dari proyek pilot
waterflood, tetapi miskin akan pemahaman dari kompleksnya stratigrafi Tanjung Bawah yang
membuat hasil yang mengecewakan.
Pada tahun 1968, CONOCO memperoleh hak eksplorasi untuk bagian yang luas dari
cekungan arah utara dan memfokuskan usaha mereka pada pada Berai reef plays. Lima sumur
dalam area laut dangkal gagal untuk mendapatkan biohermal build-up yang signifikan atau
hidrokarbon. pada tahun 1972, CONOCO menggarapkan ke PHILIPS yang berkonstrasi pada
tipe pegunungan di depa struktur dari sesar mendatar. Bagian dari struktural sub-thrust
(Martapura-1x) menemui kenampakan minor dari minyak pada Tanjung bawah yang
pengembangan batupasirnya, dan PHILIPS PSC merugi beberapa hektar.
PEXAMIN mendapatkan hak untuk eksplorasi pada suatu area sekitar sumur Kamtibin
sebelah utara pada tahun 1970. Dua sumur dipisahkan untuk mengecek kenampakan dari
antiklin, tetapi perkembangan dari Tanjung Bawah kurang memuaskan dan tidak ada indikasi
kedapatan dari hidrokarbon.
Pada tahun 1981, AMOCO mendapatkan Blok “C” mencakup daerah bagian barat shelfal
dari cekungan dimana CONOCO telah kerja di situ terlebih dahulu. Keterdapatan seismik dari 25
lipatan menuitupi daerah jauh lebih menghasilkan dari CONOCO dahulu yang hanya 6 lipatan.
Pemboran pertama yang bertujuan untuk pada Tanjung Bawah menyilang dari sistem seismik
meneyebar secara lateral pada dasar atas, namun, target batupasir tidak ada dan sumet telah
“sidetracked” untuk mengecek dari interpretasi dari Berai yang reefal build-up-nya dekat.
Beberapa Karbonat Biohermal post-Berai yang terbatas didapatkan, tetapi yang dicek hanya
berupa air biasa. Dan AMOCO mengalami kerugian pada blok tersebut pada tahun 1984.
Juga pada tahun 1981, TREND mendapatkan hak eksplorasi Blok “B” mengkover bagian
selatan dan porsi utama dari Cekungan. Trend memfokuskan pada pegunungan depan (dimana
indikasi sejumlah minyak telah ditemukan). Sepanjang 1196 km dari 24 lipatan seismik
ditemukan. Pemboran pertama yang bernama Miyawa – 1 mengecek Tanjung Bawah pada sub-
thrust fault trap, dan mendapatkan lebih dari 600 indikasi bagus dari kenampakkan minyak.
Bagamanapun, sumur tersebut telah memasuki zona yang kompleks dari patahan dan interval
dari tests gagal untuk menemukan sumber zat cair. Sumur kedua, Birik-1 telah dibor untuk
mengecek secara seismik penjabaran dari dalamnya sub-thrust rool-over pada Formasi Minosen
Warukin. Sejumlah kenampakan dari minyak telah ditemukan, tetapi kualitas dari reservoir lagi-
lagi sangat miskin. Hasilnya juga menunjukkan bahwa interpretasi struktur telh memungkinkan
artifak dari velocity untuk ketebalan lapisan dari konglomerat Darok. Lalu TREND
memfokuskan pada pusat dari daerah cekungan dengan didapatkannya sejauh 1687 km dari
seismik dan 1900 km gravitasi. Bangkau-1 diuji patahan yang sulit untuk dipisahkan dekat
dengan rool-over dalam Formasi Warukin dan memperoleh sejumlah indikasi minyak yang baik
didapt pada kenampakkan reservoir batupasir yang jelek. Sumur telah disuspensi pada beberapa
jenis tekanan dengan sejumlah besar perolehan minyak dari borehole pada lapisan tipis silt
lamina pada Warukin Bawah yang pro-deltaics. Semuda-1 telah dibor untuk menguji penjabarans
eismik dari basemen yang tinggi, dan mendapatkan hanya veneer tipis dari shaley Tanjung
Bawah batupasir dengan kenampakan bagus dari minyak sebelum penetrasi volkanik andesit
Paleosen dimana sumur telah terendapkan.
TREND lalu memasuki kedalam joint technical (kerjasama) selama 9 bulan untuk studi
dengan PERTAMINA memanfaatkan kombinasi dari database dan lebih detail kerja lapangan
dalam usaha untuk deskripsi yang lebih baik dari perkembangan dan distribusi dari Formasi
Tanjung Bawah. Konsep Awal Tersier pencelahan (rifting) didapatkan sepanjang 300 km dari
seismik oleh TREND pada tahun 1988.

Anda mungkin juga menyukai