Disusun oleh :
FAKULTAS PERTANIAN
YOGYAKARTA
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam tataran akademik, dewasa ini ada trend perubahan dari konsepsi
government kepada governance. Pada konsep “government”, pemerintah ditempatkan
sebagaipelaku utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta
evaluasi. Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai
penerima benefit (beneficiary) terbesar. Dengan berkembangnya paradigma
governance, pola hubungan antar sektor (publik – privat) dan juga hubungan Pusat –
Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola seperti itu,
penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi
oleh satu pihak (cq. Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerja
sama harus lebih digalakkan.
Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak diterima oleh daerah otonom
yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota), dibanding oleh
komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya, UU 22/1999 lebih mencerminkan
pengaturan tentang “otonomi pemerintahan daerah” dari pada “otonomi daerah” itu
sendiri. Hal ini bisa disimak dari gelombang devolusi kewenangan yang teramat besar
dari pusat kedaerah, yang disusul dengan penataan kelembagaan yang cenderung gemuk
dan membebani anggaran. Akibatnya, mutu pelayanan publik bukan semakin membaik,
namun beban masyarakatlah yang justru bertambah berat dengan ditetapkannya
berbagai Perda tentang pungutan retribusi.
Pada saat bersamaan, ada hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar
yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan
Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan
sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi
domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya
diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan
demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti
koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau
penyelenggaraan langsung suatu urusan.
Metode Prior Option Review (POR) Metode prior option review ini secara garis
besar bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau jenis-jenis urusan
pelayanan umum tertentu yang selama ini dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah
masih diperlukan atau tidak; dan apakah dengan demikian penyelenggaraan pelayanan
umum tersebut perlu dipertahankan, atau sebaiknya dialihkan saja kepada pihak swasta
(masyarakat). Adapun hasil dari analisis POR ini berupa model-model restrukturisasi
pemerintahan atau model-model kemitraan/kerjasama sebagai berikut:
Dengan demikian, penggunaan teknik analisis barang publik – barang privat ini
hanya untuk memudahkan dalam melakukan penilaian terhadap suatu fungsi
pemerintahan atau jenis layanan tertentu, serta menentukan kebijakan tentang model
kelembagaan atau pola kerjasama yang terbaik untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan atau jenis layanan tersebut. Dengan teknik analisis ini, akan dapat
diperoleh gambaran tentang banyak sedikitnya peranan atau keharusan campur tangan
pemerintah terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau jenis layanan tertentu.
Semakin kecil intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis layanan tertentu,
maka semakin besarlah peluang kerjasama atau kemitraan antara sektor publik dengan
swasta. Tabel dibawah ini menggambarkan jenis dari setiap barang dan tingkat
intervensi pemerintah. Selanjutnya, dibawah Tabel disajikan kasus tentang jasa layanan
kesehatan (Puskesmas) dan model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.
Pola Dagang Umum Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara
kelompok yang memasarkan hasil dengan kelompok yang mensuplai
kebutuhan/produksi tertentu. Kegiatan agrobisnis yang berlokasi di Sukabumi dan
Puncak, banyak menerapkan pola dagang umum ini. Pola Keagenan
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus
untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai
mitranya.
Dalam hal ini, paling sedikit terdapat 4 (empat) pertimbangan pokok untuk
menggalang kerjasama antara sektor publik dan swasta atau masyarakat.
Contoh Best Practices Dalam Public – Private Partnership Dewasa ini, ada
kecenderungan untuk membudayakan praktek-praktek terbaik dalam proses
pembangunan kemasyarakatan ataupun kegiatan pemerintahan. Sekecil apapun lingkup
dan volume kegiatan, namun jika dapat menjadi contoh yang baik bagi reformasi
kelembagaan atau ketatalaksanaan, maka hal itu dapat diklasifikasikan sebagai best
practices yang perlu terus dikembangkan. Adapun beberapa contoh best practices di
wilayah Kota Bandung adalah:
1. Gerakan Lumbung Kota (GLK) adalah sebuah LSM yang memegang peran
cukup penting di bidang sosial selama berlangsungnya krisis moneter (1999-2001).
GLK memobilisasi sekitar 400 ketua dan sekretaris RW dan menjalankan 3 aktivitas
utama yakni: mendorong gerakan moral, mengumpulkan dana untuk beasiswa bagi
anak-anak miskin, serta memberdayakan usaha kecil dengan cara memberi pinjaman
dana lunak. Metode penggalangan dana dilakukan melalui pengumpulan dan penjualan
barang-barang bekas, yang dikelola oleh Radio Cepi. Rata-rata, usaha ini mampu
meraih Rp. 6-8 juta/tahun yang dipergunakan untuk membeli sembako. Sembako ini
selanjutnya dijual kepada penduduk miskin dengan harga yang jauh lebih rendah dari
harga pasaran, yakni hanya 40% dari harga normal. Uang yang terkumpul lantas
dialokasikan dalam program beasiswa dan kredit kecil. Dalam hal ini, setiap pelaku
bisnis kecil memperoleh pinjaman paling besar Rp 200.000. Walaupun jumlahnya
relative kecil, namun sangat membantu masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Disaat
pemerintah menghadapi krisis keuangan, organisasi kemasyarakatan ini dapat
berkontribusi secara nyata terhadap pembangunan.
BAB.II PEMBAHASAN
Peran swasta di sektor publik bukan merupakan hal baru dalam pembangunan
infrastruktur, tetapi isu ini menjadi menarik karena menjadi tren di berbagai negara
dalam satu dekade terakhir. Secara nasional, konsep ini menjadi populer ketika
pemerintah menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit I pada awal tahun 2005.
Beberapa proyek pemerintah seperti jalan tol, pengelolaan air minum, listrik dan
telekomunikasi ditawarkan kepada swasta sebagai proyek kerjasama. Bahkan di tingkat
lokal, beberapa daerah melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek infrastruktur
mereka. Misalnya Pemerintah DKI Jakarta dengan Proyek Mass Rapid Transport
(MRT), Pengelolaan Air Minum Tirta Nadi di Medan atau rencana pembangunan Pasar
Modern Angso Duo di Jambi yang merupakan contoh kerja sama pemerintah daerah
dengan pihak swasta berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Upaya melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek pemerintah bukan tanpa
alasan kuat. Ide ini terutama dilandasi oleh pemikiran bahwa pemenuhan infrastruktur
publik memerlukan dana yang besar. Sementara, kebutuhan infrastruktur terus
meningkat baik karena pertambahan penduduk maupun untuk penggantian infrastruktur
lama yang telah usang. Jika pembangunan hanya mengandalkan dana yang bersumber
dari pemerintah, maka usaha menyediakan infrastruktur yang layak akan sulit
diwujudkan. Pada akhirnya, negara/daerah menjadi semakin tidak kompetitif karena
tidak mampu menyediakan infrastruktur secara memadai.
Sebuah kerangka kerjasama yang kuat dalam Public Private Partnership yakni
mencakup ke dalam aspek pembagian tugas, kewajiban dan resiko antara pihak
pemerintah dan swasta secara optimal. Pihak pemerintah dalam konsep PPP bisa
merupakan sebuah kementerian, departemen, kabupaten/kota atau badan usaha milik
negara. Sedangkan pihak swasta dapat bersifat lokal atau internasional dari kalangan
bisnis dan investor yang memiliki keahlian teknis dan keuangan yang relevan dengan
proyek, dan bahkan dalam konteks yang lebih luas pihak swasta dalam hal ini dapat
termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi berbasis masyarakat
yang mewakili pemangku kepentingan secara langsung terhadap kegiatan
pembangunan.
Saat ini kerjasama pemerintah dengan swasta yang populer di Indonesia dengan
istilah KPS dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan berikut, yaitu
:1. Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 2. Peraturan Presiden RI Nomor 13
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun
2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur 3. Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 4. Peraturan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
5. Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
disamping peraturan-peraturan di atas, terdapat peraturan di bawahnya seperti
Peraturan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah yang juga mengatur dan memberi ruang bagi swasta untuk
menjadi mitra kerjasama pemerintah daerah dalam pemanfaatan aset/barang milik
daerah. Jika ini dikelola dengan baik, tentunya aset daerah akan menjadi sumber
pendapatan yang sangat potensial sekaligus peluang mempercepat pembangunan
infrastruktur wilayah.
Setelah strategi berbasis permintaan itu menjadi bagian inheren dari langkah dan
kebijakan pengembangan ekonomi daerah, kini daerah otonom perlu melakukan
langkah pemberdayaan kemitraan. Pemberdayaan kemitraan (partnership) tripartit
pelaku ekonomi dan stakeholders: penyelenggara negara, dunia usaha dan masyarakat
madani adalah salah satu langkah aplikasi pendekatan berbasis permintaan yang tentu
sangat kompatibel dengan peningkatan daya saing di daerah. Pemberdayaan kemitraan
juga merupakan suatu katalisator pada sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(good governance) dan diharapkan lebih transparan dan akuntabel kepada masyarakat
luas.
Selain basis atau keniscayan dari suatu perjalanan proses demokrasi, esensi dari
aspek kemitraan ini adalah harmoni dari hubungan keteraturan antara tiga komponen
utama di atas, dan kesetaraan para aktor dalam pengambilan keputusan bersama
(shared-decision process) yang amat dibutuhkan untuk mengawal perjalanan agenda
pemulihan ekonomi dan demokratisasi. Dalam demokrasi yang mengakomodasi
pertentangan dan perbedaan pendapatan, proses penyelesaian perbedaan tersebut perlu
lebih santun dan beradab, jika perlu selesaikan di ruang rapat/meja perundingan tanpa
harus mengorbankan prinsip-prinsip tanggung jawab moral dan akuntabilitas publik.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pelaku pembangunan di setiap negara demokrasi
secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama: dunia usaha
(business society), penyelenggara negara (political society), dan masyarakat madani
(civil society). Dunia usaha merujuk pada sektor swasta besar dan kecil yang
seharusnya menjadi penggerak pembangunan ekonomi yang paling utama.
Di Indonesia memang dikenal dengan berbagai bentuk dunia usaha atau sektor
swasta (private sector) yang dilindungi dengan sekian macam perangkat undang-undang
keperdataan, usaha kecil, dan perdagangan lainnya. Mereka memiliki falsafah besar
maksimisasi keuntungan (profit maximizer) untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, mengembangan usaha, dan secara langsung dan tidak langsung berkontribusi
pada pembangunan ekonomi. Mereka umumnya dikritik karena sering kali merlupakan
falsafah moralitas dan tanggung jawab sosial, sampai akhirnya berkembang suatu
paradigma social corporate responsibility, karena visi keberlanjutan dan kesejahteraan
jauh lebih penting dari hanya mengeruk keuntungan.
Di dunia demokrasi yang sudah maju, ketiga komponen tripartit ini sangat mesra
berhubungan. Misalnya di Amerika Serikat, pada era Presiden George W. Bush, para
petinggi Partai Republik dikenal sangat dekat dengan industri dan sektor swasta besar,
sampai-sampai sering dikaitkan dengan skandal akuntansi Enron, World Com, Merck,
Arthur Andersen dan lain-lain. Partai Republik juga amat dekat dengan LSM yang
bergerak dalam isu agama, sebagaimana sikap konservatifnya yang tidak setuju
terhadap aborsi. Sementara pada era Presiden Barack Obama sekarang ini, Partai
Demokrat sangat dekat dan harmonis dengan civil society yang bergerak dalam isu
perburuhan, lingkungan hidup, gender, dan multikulturalisme. Kebijakan Presiden
Clinton yang masih dikenang orang adalah langkah affirmative action yang amat
relevan untuk mengembangkan usaha kecil menengah (UKM), termasuk kelompok
minoritas kulit hitam yang memperoleh naunangan cukup memadai untuk berkiprah
dalam dunia usaha dan pendidikan.
Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah
dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha
Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan.Pola-Pola Kemitraan
Inti-Plasma Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau
Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai
inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari
penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil
produksi. Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha menengah sebagai inti
membina dan mengembangkan Usaha Kecil yang menjadi plasmanya dalam: 1.
Penyediaan dan penyiapan lahan 2. Penyediaan sarana produksi 3. Pemberian
bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi 4. Perolehan, penguasaan dan
peningkatan teknologi yang diperlukan 5. Pembiayaan 6. Pemberian bantuan lainnya
yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.
Subkontrak
Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha
Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh
Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.
Dalam hal kemitraan Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil
berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, Usaha
Besar atau Usaha Menengah memberikan bantuan berupa:
1. Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen 2.
Kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya
secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar 3. Bimbingan dan
kemampuan teknis produksi atau manajemen 4. Perolehan, penguasaan dan peningkatan
teknologi yang diperlukan 5. Pembiayaan
Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau
penjualan barang dan atau jasa. Hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi
waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi
perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan
manajemen. Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan
hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba.
Konsep ini telah diterapkan di berbagai negara dan daerah dengan berbagai
manfaat dan kekurangan yang ada di dalamnya. Bagi daerah, ini merupakan sebuah
alternatif untuk mempercepat pembangunan infrastruktur wilayah dan optimalisasi
pengelolaan aset/kekayaan daerah sekaligus potensi sumber pendapatan daerah.
Komitmen pengambil kebijakan dan berbagai pertimbangan teknis akan sangat
menentukan keberhasilan implementasinya di daerah.