Anda di halaman 1dari 23

HUBUNGAN SUATU ORGANISASI DENGAN PEMERINTAHAN

Disusun oleh :

Agnes Belinda Damanik (17483)

Silvanus Max S Boruk (17245)

Defi Dede Siboro (17533)

Fadhila Arwinda (17991)

Uji Rohmadhani (17489)

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN STIPER

YOGYAKARTA

2018
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam tataran akademik, dewasa ini ada trend perubahan dari konsepsi
government kepada governance. Pada konsep “government”, pemerintah ditempatkan
sebagaipelaku utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta
evaluasi. Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai
penerima benefit (beneficiary) terbesar. Dengan berkembangnya paradigma
governance, pola hubungan antar sektor (publik – privat) dan juga hubungan Pusat –
Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan demokratis. Pada pola seperti itu,
penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi
oleh satu pihak (cq. Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerja
sama harus lebih digalakkan.

Adapun pertimbangan atau alasan-alasan perlunya memperkuat kerjasama


publik – privat, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi sebagai berikut:
1. Alasan politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian governance)
serta untuk mendorong perwujudann good governance and good society
2. Alasan administratif: adanya keterbatasan sumber daya pemerintah (government
resources), baik dalam hal anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan manajemen.
3. Alasan ekonomis : mengurangi kesenjangan (disparity) atau ketimpangan (inequity),
memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan
kontinuiitas (quality and continuity), serta mengurangi resiko.

Wacana tentang desentralisasi dan otonomi daerah terus menggelinding. Saking


ramainya perdebatan tentang implementasi dan implikasi otonomi, banyak orang
melupakan hakekat dari otonomi itu sendiri. Jiwa atau semangat otonomi menurut UU
22/1999 adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur
urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup dalam pengertian kesatuan masyarakat
hukum disini tidak hanya pemerintah Kabupaten/Kota saja, tetapi juga meliputi para
pelaku bisnis lokal, NGO/organisasi kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit
pemerintahan yang lebih kecil seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun
Warga dan Rukun Tetangga.

Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak diterima oleh daerah otonom
yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota), dibanding oleh
komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya, UU 22/1999 lebih mencerminkan
pengaturan tentang “otonomi pemerintahan daerah” dari pada “otonomi daerah” itu
sendiri. Hal ini bisa disimak dari gelombang devolusi kewenangan yang teramat besar
dari pusat kedaerah, yang disusul dengan penataan kelembagaan yang cenderung gemuk
dan membebani anggaran. Akibatnya, mutu pelayanan publik bukan semakin membaik,
namun beban masyarakatlah yang justru bertambah berat dengan ditetapkannya
berbagai Perda tentang pungutan retribusi.

Penafsiran yang berlebihan – jika tidak dikatakan salah – terhadap otonomi


inilah yang telah melahirkan egoisme kedaerahan yang sempit. Egoisme ini pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yakni egoisme keatas (upward egoism) dan egoisme
kebawah Kondisi dimana daerah kurang mengindahkan aturan dan bimbingan dari atas,
serta kurang memberdayakan potensi dibawah inilah yang potensial melahirkan sosok
pemda yang tidak demokratis, atau bahkan otoritarian.. Tidaklah mengherankan jika
kemudian berkembang gagasan untuk menarik kembali sebagian kewenangan otonomi
ke Pusat (resentralisasi), atau memindahkan titik berat otonomi pada level Propinsi
(reklasifikasi).

Pemerintah sendiri telah menjamin tidak akan melakukan resentralisasi, karena


hal ini memang merupakan kebijakan yang tidak populer dan gegabah. Justru ide
reklasifikasi atau rekalkulasi kewenangan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota-lah yang
lebih masuk akal. Jika dalam konsep awal UU 22/1999 Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan luas sedang Propinsi terbatas; maka dengan kebijakan reklasifikasi akan
terdapat perimbangan kewenangan yang lebih proporsional. Dan hanya dengan
hubungan yang lebih berimbang inilah dapat dihindarkan egoisme atau otoritarianisme
lokal, sekaligus menjamin efektivitas roda pemerintahan dan pembangunan.

Pada saat bersamaan, ada hal ironis bahwa kewenangan dan sumber daya besar
yang dimiliki Kabupaten/Kota kurang berdampak pada pemberdayaan Kecamatan dan
Kelurahan. Padahal Kecamatan dan Kelurahan inilah yang semestinya diposisikan
sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Otonomi boleh saja menjadi
domein Pemkab/Pemkot, namun front line dari sebagian fungsi pelayanan mestinya
diserahkan kepada Kecamatan dan Kelurahan, disamping kepada Dinas Daerah. Dengan
demikian, Pemkab/Pemkot perlu lebih mengedepankan fungsi-fungsi steering seperti
koordinasi, pembinaan, fasilitasi, dan pengendalian, dari pada fungsi rowing atau
penyelenggaraan langsung suatu urusan.

Tuntutan memberdayakan Kecamatan dan Kelurahan ini adalah sebuah


keniscayaan. Sebab, sejak berlakunya UU No. 22/1999, ada beberapa perubahan
signifikan yang menyangkut status, fungsi dan peran Kecamatan. Saat ini, Kecamatan
bukan lagi sebagai perangkat kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, namun menjadi perangkat daerah otonom. Itulah
sebabnya, dalam pasal 66 diatur bahwa “Camat menerima pelimpahan sebagian
kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Pasal ini mengandung pengertian
bahwa Kecamatan berfungsi atau berperan menjalankan sebagian kewenangan
desentralisasi. Sementara itu, pasal 67 mengatur bahwa Kelurahan merupakan
perangkat Kecamatan, sehingga wajarlah jika Lurah sebagai Kepala Kelurahan
menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.

Dari perspektif administrasi publik, pelimpahan kewenangan dari


Bupati/Walikota kepada Camat, dan dari Camat kepada Kelurahan ini bukan hanya
sebuah kebutuhan, namun lebih merupakan suatu keharusan untuk menciptakan
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus meningkatkan
kualitas pelayanan umum di daerah. Sebab, jika kewenangan dibiarkan terkonsentrasi di
tingkat Kabupaten/Kota, maka akan didapatkan paling tidak dua permasalahan.Pertama,
Pemkab/Pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat (overload)
sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Disisi lain,
sebagai akibat kewenangan yang terlalu besar, maka organisasi Kabupaten/Kota juga
didesain untuk mewadahi seluruh kewenangannya sehingga justru menjadikan format
kelembagaan semakin besar dan tidak efisien. Kedua, Kecamatan sebagai perangkat
Kabupaten/Kota dan Kelurahan sebagai perangkat Kecamatan akan muncul sebagai
organisasi dengan fungsi minimal. Apa yang dilakukan oleh Kecamatan dan Kelurahan
hanyalah tugas-tugas rutin administratif yang selama ini dijalankan, tanpa ada upaya
untuk lebih memberdayakan kedua lembaga ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan
adanya pemborosan organisasi yang luar biasa.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari model transfer ofpower dari


pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kecamatan/Kelurahan ini antara lain adalah:
Beban Pemda dalam penyediaan/pemberian layanan semakin berkurang karena telah
diambil alih oleh Kecamatan atau Kelurahan/Desa sebagai ujung tombak;
Pemda tidak perlu membentuk kelembagaan yang besar sehingga dapat menghemat
anggaran; Alokasi dan distribusi anggaran lebih merata keseluruh wilayah sehingga
dapat menjadi stimulan bagi pertumbuhan ekonomi regional; Sebagai wahana
memberdayakan fungsi Kecamatan atau Kelurahan/Desa yang selama ini terabaikan.

Kerjasama dan Implikasi Kelembagaan


Political will pemerintah (daerah) untuk memperluas desentralisasi internal serta
mengembangkan kerjasama dengan masyarakat dan swasta akan berdampak secara
langsung maupun tidak langsung pada format lembaga pelayanan publik. Hal ini
sangatlah logis, mengingat setiap pengurangan peran/fungsi pemerintah di satu pihak,
dan penguatan peran/fungsi swasta atau masyarakat di pihak lain, secara otomatis
menuntut dilakukannya restrukturisasi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan
atau perangkat daerah konvensional yang kita kenal selama ini berdasarkan pasal 60 – 68
UU Nomor 22 Tahun 1999, boleh jadi menjadi kurang relevan dengan tuntutan riil di
lapangan.
Teknik Analisis Kebijakan Kemitraan dan Model-Model Kerjasama
Dari perspektif administrasi publik, program kerjasama dengan swasta dan/atau
masyarakat dapat dilakukan paling tidak dengan 2 (dua) metode, yakni teknik penalaran
strategis dalam penetapan kebijakan melalui pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior
option review), serta teknik analisis barang publik dan barang privat (public and private
goods).

Metode Prior Option Review (POR) Metode prior option review ini secara garis
besar bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau jenis-jenis urusan
pelayanan umum tertentu yang selama ini dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah
masih diperlukan atau tidak; dan apakah dengan demikian penyelenggaraan pelayanan
umum tersebut perlu dipertahankan, atau sebaiknya dialihkan saja kepada pihak swasta
(masyarakat). Adapun hasil dari analisis POR ini berupa model-model restrukturisasi
pemerintahan atau model-model kemitraan/kerjasama sebagai berikut:

Kebijakan Penghapusan: analisa penalaran strategis dimulai dengan analisis dan


identifikasi jenis-jenis pelayanan/jasa yang diselenggarakan dan dibiayai oleh
pemerintah. Dari analisis ini dapat disimpulkan apakah pelayanan atau jasa-jasa tersebut
masih dibutuhkan atau tidak. Jika tidak, maka instansi-instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pelayanan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dihapus
Swastanisasi: jika jenis-jenis pelayanan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan
selanjutnya adalah apakah pemerintah masih harus mendanai pelayanan tersebut. Jika
tidak, maka jenis-jenis pelayanan/jasa tersebut dapat dipertimbangkan untuk
diswastanisasi. Pertimbangan kemungkinan swastanisasi pelayanan tertentu antara lain
ada tidaknya kegagalan pasar (Market failures).

Kemitraan: apabila pemerintah masih berkepentingan menyelenggarakan


pelayanan umum tertentu, namun dana atau anggaran pemerintah terbatas, pertanyaan
selanjutnya diajukan untuk mencari kemungkinan mengikutsertakan dana pihak
swasta/masyarakat dalam penyediaan pelayanan/jasa tersebut. Pengikutsertaan dana
pihak swasta ini bisa dilakukan dalam bentuk swadaya masyarakat, BOT atau BOOT
dan sebagainya yang dikenal dengan istilah Private Funding Initiatives (PFI). Contoh
inisiatif swasta dalam bidang pelayanan umum antara lain: Pembangunan dan
Pengelolaan Jalan Tol Jakarta-Cikampek; Angkutan Umum Bis antar kota dan antar
Propinsi, angkutan umum perkotaan dan perdesaan; Rumah sakit swasta, Sekolah-
sekolah dan Perguruan Tinggi swasta; Penyediaan dan pembangunan Perumahan oleh
swasta; Panti asuhan anak-anak terlantar dan Rumah Jompo yang diselenggarakan oleh
badan-badan amal swasta; dan lalin-lain.

Kontrak Kerja/Karya: apabila dana/anggaran pemerintah masih dibutuhkan,


selanjutnya dipertanyakan juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum
tersebut juga harus dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak, maka pelayanan/jasa
pemerintah tersebut dapat dipertimbangkan untuk dikontrakkan Model kebijaksanaan
ini telah lama diterapkan di Indonesia, terutama untuk pekerjaan konstruksi dan
pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah. Strategi ini bisa dikembangkan untuk
pelaksanaan pekerjaan pelayanan umum bagi masyarakat oleh kontraktor swasta;
contohnya: PT SGS atau PT SI melaksanakan kegiatan survey kepabeanan berdasarkan
kontrak dengan Ditjen Bea dan Cukai; Perusahaan cleaning service untuk pemeliharaan
gedung-gedung perkantoran pemerintah; Perusahaan catering swasta untuk melayani
makan siang PNS; dan lain-lain.

Market Testing : jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan


sendiri untuk menyelenggarakan jenis pelayanan umum tertentu secara efisien dan
efektif, maka dapat dipertimbangkan pola “Uji Pasar” (Market testing) melalui proses
tender kompetitif antara team intern (In-house bidder) dengan pihak swasta atau team
kerja dari unit departemen/instansi lainnya. Konsep ini masih baru bagi Indonesia,
khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder, yaitu kelompok kerja intern
departemen atau lembaga pemerintahan tertentu yang dibentuk untuk mengikuti tender
kompetitifdalam rangka memperoleh kontrak kerja penyelenggaraan pelayanan umum
tertentu. Kelompok ini jika berhasil memenangkan tender akan bertindak sebagi
kontraktor dan status kepegawaian para anggotanya akan dialihkan menjadi swasta.
Hak-hak kepegawaian mereka selanjutnya bukan lagi menjadi tanggungan pemerintah,
tetapi menjadi tanggungan organisasi kelompok yang bersangkutan dan menjadi beban
biaya yang tercantum dalam kontrak kerja. Sedangkan hak pensiun dan jaminan sosial
lainnya akan dialihkan ke Perusahaan Swasta di bidang itu. Kebijaksanaan yang hampir
mirip "Market Testing" adalah pembentukan unit-unit swadana berdasarkan Keppres
Nomor 38 tahun 1991 untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada masyarakat
dengan menerapkan konsep "Self Funding Institution" dalam penyelenggaraan
pelayanan umum, misalnya: Pelayanan Rawat Inap kelas Utama dan Kelas I di Rumah
Sakit Umum Pemerintah di Pusat maupun di Daerah; Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi di Universitas Negeri; dan sebagainya.

Program Efisiensi Internal: setelah berbagai pertimbangan tersebut dilakukan


ternyata dinilai lebih baik jika penyelenggaraan pelayanan umum tertentu itu tetap
dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun oleh pemerintah daerah; maka unit kerja
yang bersangkutan harus melaksanakan program efisiensi, melalui misalnya: kegiatan
Benchmarking, Business Process Reengineering (BPR), Restrukturisasi, Rasionalisasi,
Standarisasi Kinerja dan Pola Evaluasi/Penilaiannya, dan sebagainya.
Pilihan kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kinerja pelayanan umum
(efisiensi, kualitas, efektifitas, maupun produktivitasnya) dapat dicapai atau
ditingkatkan melalui pendekatan mekanisme dan kompetisi. Sedangkan pada pilihan
kebijakan nomor 6, upaya peningkatan kinerja pelayanan umum dilakukan melalui
program efisiensi intern dengan penyempurnaan dan perubahan cara kerja atau proses
produksi, sehingga mampu menghasilkan kinerja dan kualitas yang diharapkan. Dengan
itu maka daya saing (Competitiveness) sektor publik dapat dibentuk dengan tingkat
biaya/pengorbanan yang lebih rendah.

Metode Analisis Barang Publik –Barang Privat Pada dasarnya, klasifikasi


barang dan jasa dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu barang publik (public goods) dan
barang privat (private goods). Secara dikotomis dapat dilakukan pemisahan bahwa
barang-barang publik wajib disediakan oleh lembaga publik (pemerintah), sementara
swasta-lah yang semestinya menyediakan barang-barang privat. Namun dalam
prakteknya, dikotomi seperti itu tidak berlaku. Bias jadi, barang-barang yang tergolong
private goods murni harus disediakan oleh pemerintah melalui mekanisme kontrol dan
regulasi. Misalnya, kebutuhan beras harus dipenuhi oleh pemerintah dengan sistem
operasi pasar, pada saat terjadi kelangkaan (shortage) beras. Dalam kondisi seperti itu,
status beras sebagai private goods bergeser menjadi public goods, atau paling tidak
semi-public goods. Sebaliknya, jasa pemadam kebakaran justru cenderung beralih dari
public goods menjadi private goods.

Dengan demikian, penggunaan teknik analisis barang publik – barang privat ini
hanya untuk memudahkan dalam melakukan penilaian terhadap suatu fungsi
pemerintahan atau jenis layanan tertentu, serta menentukan kebijakan tentang model
kelembagaan atau pola kerjasama yang terbaik untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan atau jenis layanan tersebut. Dengan teknik analisis ini, akan dapat
diperoleh gambaran tentang banyak sedikitnya peranan atau keharusan campur tangan
pemerintah terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan atau jenis layanan tertentu.
Semakin kecil intervensi pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis layanan tertentu,
maka semakin besarlah peluang kerjasama atau kemitraan antara sektor publik dengan
swasta. Tabel dibawah ini menggambarkan jenis dari setiap barang dan tingkat
intervensi pemerintah. Selanjutnya, dibawah Tabel disajikan kasus tentang jasa layanan
kesehatan (Puskesmas) dan model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.

Kasus: Layanan Puskesmas Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan


oleh karena itu sebaiknya “dijual” kepada dokter-dokterswasta agar dapat berkembang
menjadi klinik-klinik kesehatan swasta. Sebab, pelayanan Puskesmas pada dasarnya
merupakan “barang privat” (private goods) yang harus disediakan oleh sektor privat
pula. Barang publik (public goods) di bidang kesehatan seperti pencegahan penyakit
(menular), penanggulangan wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan
tanggung jawab Dinas Kesehatan, bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di
privatisasi, jelas akan menghemat anggaran pemerintah, dapat menjadi sumber baru
pendapatan daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Adapun model atau jenis-jenis kerjasama/kemitraan yang umum dilakukan


(selain opsi-opsi yang ditawarkan dalam teknik POR) adalah sebagai berikut: Pola Inti
Plasma Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha
sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Contoh pola kerjasama ini adalah
PIR (Perusahaan Inti Rakyat), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana
produksi, bimbingan teknis, manajemen, serta pengolahan dan pemasaran hasil
produksi. Sedangkan kelompok mitra usaha atau plasma (biasanya petani) memenuhi
kebutuhan perusahaan sesuai perjanjian yang disepakati. Pola Subkontrak
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara suatu perusahaan dengan kelompok
mitra usaha yang memproduksi kebutuhan perusahaan sebagai bagian dari komponen
produksinya. Pola ini sering diterapkan antara perusahaan besar dengan perusahaan
kecil.

Pola Dagang Umum Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara
kelompok yang memasarkan hasil dengan kelompok yang mensuplai
kebutuhan/produksi tertentu. Kegiatan agrobisnis yang berlokasi di Sukabumi dan
Puncak, banyak menerapkan pola dagang umum ini. Pola Keagenan
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus
untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai
mitranya.

Waralaba Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan dimana suatu


perusahaan memberikan hak lisensi atau merek dagang perusahaannya kepada
kelompok mitra usaha sebagai waralaba, dengan disertai bantuan berupa bimbingan
manajemen.Pertimbangan/Kriteria dan Tahapan Dalam Pengembangan Kerjasama
Kemitraan . Sesungguhnya tidak ada suatu pedoman baku dalam menetapkan suatu
kebijakan tentang kerjasama atau kemitraan bidang tertentu. Apa yang dikemukakan di
bawah ini hanyalah suatu pertimbangan atau kriteria logis yang dapat diterapkan untuk
semua jenis kerjasama/kemitraan.

Dalam hal ini, paling sedikit terdapat 4 (empat) pertimbangan pokok untuk
menggalang kerjasama antara sektor publik dan swasta atau masyarakat.

1. Kriteria Kelembagaan .Dampak restrukturisasi terhadap perubahan kelembagaan


instansi yang selama ini mengelola jenis layanantersebut. Dampak restrukturisasi
terhadap kepegawaian instansi yang selama ini mengelola/menyediakan jenis
layanantersebut.
2.Kriteria Ekonomi dan Finansial. Kemampuan pemerintah untuk membiayai
dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan layanan tersebut. Dapat diukur
dengan Rasio Antara Prediksi Total Biaya Operasional Yang Diperlukan (Jumlah
Masyarakat Yang Harus Dilayani x Rata-rata Biaya Per Orang) Terhadap Dana
Pemerintah Yang Tersedia Untuk Layanan Tersebut. Kelayakan pasardari jenis layanan
suatu jenis layanan. Apakah jenis layanantersebut laku atau tidak jika dijual dengan tarif
yang ditentukan. Kontribusi net income (pendapatan total dikurangi biaya operasional)
dari jenis layanan tersebut terhadap PADS, jika dikelola pemerintah, dibandingkan
dengan kontribusi pajak yang akan diterima terhadap PAD jika layanan tersebut
diserahkan kepada swasta.Tarif yang dikenakan jika dikelola oleh pemerintah
dibandingkan prediksi tarif yang akan dikenakan jika dikelola oleh swasta. Efisiensi
dalam menyelenggarakan layanan, yang tercermin dari rasio antara total penerimaan
terhadap total biaya operasional.

3. Kriteria Produk LayananKondisi kualitas layanansaat ini. Kesesuaian layanandengan


kebutuhan masyarakat saat ini.Kualitas layanansaat ini dibandingkan dengan jika
diselenggaran oleh swasta.

4. Kriteria Prosedur dan Mekanisme Pelayanan Kesederhanaan prosedur layanansaat


ini.Kemudahan persyaratan untuk mendapatkan layanansaat ini. Kemudahan dan
kesederhanaan prosedur pelayanan saat ini dibandingkan dengan prediksi jika
layanantersebut diselenggarakan oleh swasta.

Adapun tahapan yang sebaiknya ditempuh untuk menggalang kerjasama


kemitraan dengan swasta adalah sebagai berikut (M. Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha,
Sinar Harapan, 2000):1. Membangun hubungan dengan calon mitra.2. Mengerti kondisi
bisnis pihak yang bermitra.3. Mengembangkan strategi dan menilai detail bisnis.4.
Mengembangkan program.5. Memulai pelaksanaan.6. Memonitor dan mengevaluasi
perkembangan.

Contoh Best Practices Dalam Public – Private Partnership Dewasa ini, ada
kecenderungan untuk membudayakan praktek-praktek terbaik dalam proses
pembangunan kemasyarakatan ataupun kegiatan pemerintahan. Sekecil apapun lingkup
dan volume kegiatan, namun jika dapat menjadi contoh yang baik bagi reformasi
kelembagaan atau ketatalaksanaan, maka hal itu dapat diklasifikasikan sebagai best
practices yang perlu terus dikembangkan. Adapun beberapa contoh best practices di
wilayah Kota Bandung adalah:

1. Gerakan Lumbung Kota (GLK) adalah sebuah LSM yang memegang peran
cukup penting di bidang sosial selama berlangsungnya krisis moneter (1999-2001).
GLK memobilisasi sekitar 400 ketua dan sekretaris RW dan menjalankan 3 aktivitas
utama yakni: mendorong gerakan moral, mengumpulkan dana untuk beasiswa bagi
anak-anak miskin, serta memberdayakan usaha kecil dengan cara memberi pinjaman
dana lunak. Metode penggalangan dana dilakukan melalui pengumpulan dan penjualan
barang-barang bekas, yang dikelola oleh Radio Cepi. Rata-rata, usaha ini mampu
meraih Rp. 6-8 juta/tahun yang dipergunakan untuk membeli sembako. Sembako ini
selanjutnya dijual kepada penduduk miskin dengan harga yang jauh lebih rendah dari
harga pasaran, yakni hanya 40% dari harga normal. Uang yang terkumpul lantas
dialokasikan dalam program beasiswa dan kredit kecil. Dalam hal ini, setiap pelaku
bisnis kecil memperoleh pinjaman paling besar Rp 200.000. Walaupun jumlahnya
relative kecil, namun sangat membantu masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Disaat
pemerintah menghadapi krisis keuangan, organisasi kemasyarakatan ini dapat
berkontribusi secara nyata terhadap pembangunan.
BAB.II PEMBAHASAN

KEMITRAAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN SWASTA

Peran swasta di sektor publik bukan merupakan hal baru dalam pembangunan
infrastruktur, tetapi isu ini menjadi menarik karena menjadi tren di berbagai negara
dalam satu dekade terakhir. Secara nasional, konsep ini menjadi populer ketika
pemerintah menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit I pada awal tahun 2005.
Beberapa proyek pemerintah seperti jalan tol, pengelolaan air minum, listrik dan
telekomunikasi ditawarkan kepada swasta sebagai proyek kerjasama. Bahkan di tingkat
lokal, beberapa daerah melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek infrastruktur
mereka. Misalnya Pemerintah DKI Jakarta dengan Proyek Mass Rapid Transport
(MRT), Pengelolaan Air Minum Tirta Nadi di Medan atau rencana pembangunan Pasar
Modern Angso Duo di Jambi yang merupakan contoh kerja sama pemerintah daerah
dengan pihak swasta berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.

Upaya melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek pemerintah bukan tanpa
alasan kuat. Ide ini terutama dilandasi oleh pemikiran bahwa pemenuhan infrastruktur
publik memerlukan dana yang besar. Sementara, kebutuhan infrastruktur terus
meningkat baik karena pertambahan penduduk maupun untuk penggantian infrastruktur
lama yang telah usang. Jika pembangunan hanya mengandalkan dana yang bersumber
dari pemerintah, maka usaha menyediakan infrastruktur yang layak akan sulit
diwujudkan. Pada akhirnya, negara/daerah menjadi semakin tidak kompetitif karena
tidak mampu menyediakan infrastruktur secara memadai.

Masuknya pihak swasta melalui pola kemitraan dengan pemerintah memiliki


beberapa manfaat, diantaranya adalah (partnership, 2011): 1. Tersedianya alternatif
berbagai sumber pembiayaan; 2. Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat;3.
Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah; 4. Infrastruktur yang dapat
disediakan semakin banyak; 5. Kinerja layanan masyarakat semakin baik;6.
Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan; 7. Swasta menyumbangkan modal, teknologi,
dan kemampuan manajerial. dari berbagai manfaat kerjasama pemerintah dan swasta di
atas cukup memberi gambaran mengapa Public Private Partnership dapat menjadi
sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan pembangunan infrastruktur yang sering
terkendala karena masalah pendanaan, teknologi, maupun manajerial. Selanjutnya
melalui tulisan ini sedikit akan diulas tentang apa dan bagaimana konsep kerjasama
pemerintah dan swasta khususnya dalam penyediaan fasilitas publik serta bagaimana
implementasinya di Indonesia.
Kerjasama Pemerintah Swasta(Public Private Partnership/PPP)
Konsep kerjasama pemerintah dan swasta memiliki dimensi yang cukup luas, sehingga
berbagai institusi mendefinisikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, esensi
Public Private Partnership terletak pada kerjasama penyediaan hingga pengoperasian
infrastruktur publik yang melibatkan pihak pemerintah dan swasta. Bank Dunia (2012)
misalnya, memberikan definisi Public Private Partnership (PPP)
sebagai suatu kontrak jangka panjang antara pihak pemerintah dan swasta untuk
menyediakan barang dan layanan publik, dimana pihak swasta menanggung resiko
secara signifikan dan bertanggungjawab dalam pengelolaan proyek kerjasama.

Dalam kaitannya dengan pihak swasta, konsep kerjasama memiliki beberapa


bentuk yang seringkali digunakan secara bergantian sebagai konsep Public Private
Partnership. Asian Development Bank (2013) menyebutkan, terdapat 2 (dua) istilah lain
untuk menjelaskan konsep kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta, yaitu
partisipasi sektor swasta (private sector paricipation/PSP) dan privitasisasi, dimana
kedua istilah ini dalam implementasinya memiliki ciri yang berbeda dengan public
private partnership.

Sebuah kerangka kerjasama yang kuat dalam Public Private Partnership yakni
mencakup ke dalam aspek pembagian tugas, kewajiban dan resiko antara pihak
pemerintah dan swasta secara optimal. Pihak pemerintah dalam konsep PPP bisa
merupakan sebuah kementerian, departemen, kabupaten/kota atau badan usaha milik
negara. Sedangkan pihak swasta dapat bersifat lokal atau internasional dari kalangan
bisnis dan investor yang memiliki keahlian teknis dan keuangan yang relevan dengan
proyek, dan bahkan dalam konteks yang lebih luas pihak swasta dalam hal ini dapat
termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi berbasis masyarakat
yang mewakili pemangku kepentingan secara langsung terhadap kegiatan
pembangunan.

Istilah partisipasi sektor swasta (private sector participation) sering digunakan


secara bergantian dengan public private partnership, namun kerjasama dalam PSP lebih
menekankan pengalihan kewajiban kepada sektor swasta daripada kesempatan untuk
melakukan kemitraan. Sedangkan privatisasi merupakan pelepasan kepemilikan
pemerintah melalui penjualan saham, aset dan jasa operasi yang dimiliki sektor publik.
Biasanya, ketika privatisasi terjadi diikuti dengan pengaturan sektor tertentu untuk
menangani masalah sosial dan kebijakan yang terkait dengan penjualan, serta kelanjutan
pengoperasian aset yang digunakan untuk pelayanan publik.

Jadi istilah kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnership)


memiliki 4 (empat) prinsip dasar, yaitu (partnership, 2011) : 1. Adanya pembagian
risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi pengelolaan jenis risiko kepada
pihak yang dapat mengelolanya; 2. Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di
antara pihak dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan
pengelolaannya atau kombinasi keduanya ; 3. Pengembalian investasi dibayar melalui
pendapatan proyek (revenue) yang dibayar oleh pengguna (user charge);
4. Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah, untuk itu
bila swasta tidak dapat memenuhi pelayanan (sesuai kontrak), pemerintah dapat
mengambil alih.

Model Public Private Partnership Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta


dalam skema public private partnership memiliki berbagai bentuk dan tidak ada satupun
model yang persis sama dengan model lainnya. Dalam prakteknya merupakan
kombinasi dari fungsi-fungsi berikut :

1. Design-Build-Finance-Operate (DBFO). Model ini merupakan bentuk paling umum


dari PPP. Model ini mengintegrasikan empat fungsi dalam kontrak kemitraan mulai dari
perancangan, pembangunan, pembiayaan hingga pengoperasian. Penyediaan
infrastruktur publik dibiayai dari penghimpunan dana swasta seperti perbankan dan
pasar modal. Penyedia akan membangun, memelihara dan mengoperasikan infrastruktur
untuk memenuhi kebutuhan sektor publik. Penyedia akan dibayar sesuai dengan
layanan yang diberikan untuk suatu standar kinerja tertentu sesuai kontrak.

2. Design-Build-Operate (DBO), merupakan salah satu variasi model DBFO. Dalam


model ini, pemerintah menyediakan dana untuk perancangan dan pembangunan fasilitas
publik. Setelah proyek selesai, fasilitas diserahkan kepada pihak swasta untuk
mengoperasikannya dengan biaya pengelolaan ditanggung oleh pihak swasta.
Penerapan di Indonesia

Saat ini kerjasama pemerintah dengan swasta yang populer di Indonesia dengan
istilah KPS dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan berikut, yaitu
:1. Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 2. Peraturan Presiden RI Nomor 13
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun
2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur 3. Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 4. Peraturan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
5. Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
disamping peraturan-peraturan di atas, terdapat peraturan di bawahnya seperti
Peraturan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah yang juga mengatur dan memberi ruang bagi swasta untuk
menjadi mitra kerjasama pemerintah daerah dalam pemanfaatan aset/barang milik
daerah. Jika ini dikelola dengan baik, tentunya aset daerah akan menjadi sumber
pendapatan yang sangat potensial sekaligus peluang mempercepat pembangunan
infrastruktur wilayah.

Tahapan Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta


Dalam peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas Nomor 3 Tahun 2014 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dijelaskan mengenai
tahap pelaksanaan proyek kerjasama yang terdiri dari :1. Perencanaan Proyek , meliputi
kegiatan identifikasi dan pemilihan Proyek dan Penetapan Prioritas Proyek Kerjasama.
2. Penyiapan Proyek, meliputi kajian awal prastudi kelayakan (Outline Business Case)
dan kajian kesiapan proyek kerjasama (Project Readness). 3. Transaksi Proyek, meliputi
penyelesaian prastudi kelayakan, dan pelelangan umum badan usaha; dan
4. Manajemen Pelaksanaan Proyek yang meliputi perencanaan manajemen pelaksanaan
perjanjian kerjasama dan implementasi manajemen pelaksanaan perjanjian kerjasama

Kepemimpinan Pemerintahan Daerah, Sasaran dan strategi kesejahteraan sosial


Pola Perilaku Kemimpinan Kepala Daerah dalam mencapai tujuannya,yakni
1.menciptakan good governance, para pemimpin daerah harus mempunyai perilaku -
perilaku kepemimpinan yang positif, seperti:Menyebarkan Informasi ( informating )
Perilaku ini dalam menyebarkan informasi yang relevan seperti keputusan dan rencana,
memberi informasi teknis yang dibutuhkan bawahan dalam melakukan pekerjaannya,
menginformasikan kepada bawahan tentang kemajuan yang dicapai organisasi secara
keseluruhan. penyebaran informasi juga merupakan sarana organisasi dalam rangka
pengembangan organisasi maupun untuk membina hubungan kerja antara anggota
2.organisasi.Konsultasi dan Delegasi ( Consulting and Delegating )
Perilaku ini merupakan tindakan pemimpin untuk membahas bersama pihak lain
sebelum membuat keputusan, memberikan saran yang dapat mendorong kemajuan,
memberikan kesempatan atau keleluasaan kepada bawahan untuk mengambil keputusan
serta memberi kesempatan kepada bawahan untuk melaksanakan tanggungjawab atas
pelaksanaan tugas pokok. 3. Perilaku Perencanaan dan Pengorganisasian ( Planning and
Organizing )Perilaku ini merupakan tindakan pemimpin dalam wujud merumuskan
tujuan dan strategi untuk dapat menyesuiakan dengan perubahan lingkungan,
merumuskan bagaiamana mengalokasikan dan memanfaatkan sumber daya manusia
dalam rangka mencapai tujuan , merumuskan bagaimana mengembangkan efesiensi
dalam pelaksanaan kegiatan , dan bagaimana melakukan koordinasi yang baik dengan
pihak lain. 4. Perilaku Pemecahan Masalah ( Problem Solving )
Merupakan tindakan pemimpin dalam mengidentifikasi masalah - masalah yang
berhubungan dengan pekerjaan , menganalisis masalah secara sistematis dan terus
menerus guna mengidentifikasi penyebab dan menemukan pemecahannya, konsekuen
melaksanakan keputusan dan tegas dalam mengatasi masalah atau krisis yang dihadapi
organisasi. 5. Perilaku Merumuskan Peranan dan Tujuan ( Clarifying )
Perilaku yang dalam wujud merumuskan tugas - tugas, menetapkan arah pekerjaan ,
memberi pengertian tentang tanggung jawab yang diemban sehubungan dengan jabatan,
merumuskan tujuan yang akan dicapai, menentukan batas waktu penyelesaian tugas dan
mengarahkan bawahan dalam penyelenggaraan tugas - tugas organisasi.6. Perilaku
Pemantauan ( Monitorng ) Sikap dan tindakan pemimpin guna memperoleh informasi
tentang kegiatan kerja, melakukan pengecekan tentang kemajuan dan kualitas
pekerjaan, evaluasi kinerja bawahan dan unit instansi di lingkungan organisasi dan
melakukan pengamatan untuk mengetahui berbagai peluang dan hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan tugas - tugas dan program organisasi.
7. Perilaku Motivasi Sikap atau tindakan seorang pemimpin untuk mempengaruhi emosi
bawahan dengan menggunakan nilai - nilai serta logika guna mendorong antusiasme
atau semangat kerja pegawai, menumbuhkan komitmen terhadap tujuan dan tugas,
bersedia melakukan kerja sama, memberi bantuan dan dukungan. Pemberian motivasi
juga dimaksudkan untuk mempengaruhi emosi bawahan dan menumbuhkan komitmen
terhadap tugas dan tujuan, serta mengembangakan hubungan kerja sama, yang
diharapkan dapat meningkatkan semangat dan kegairahan bawahan dalam menjalankan
tugasnya.
8.Perilaku Pengakuan dan Penghargaan Perilaku atau sikap pemimpin untuk
menyediakan hadiah, pengakuan dan penghargaan kepada bawahan yang kecakapannya
baik, dan yang memberikan kontribusi bagi keberhasilan pelaksanaan tugas - tugas di
lingkungan organisasi.
9. Perilaku Dukungan ( Supporting )Merupakan perilaku atau sikap dan tindakan
pimpinan yang terungkap dalam bentuk sifat bersahabat , baik budi, suka membantu,
selalu menunjukan dukungan dan simpati kepada bawahan dan melakukan sesuatu
untuk mendorong bawahan agar skillnya meningkat dan kariernya berkembang.
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi antara lain dipengaruhi oleh adanya perilaku
saling mendukung antara pemimpin terhadap bawahan, bawahan terhadap pimpinan,
maupun bawahan dengan bawahan.

10. Perilaku Mencegah Konflik dan Mengembangkan Kelompok ( Managing


Conflict and Team Building ) Perilaku atau sikap pemimpin untuk mendorong dan
menyediakan fasilitas yang konstruktifdalam pemecahan masalah, dan mendorong atau
mengembangkan kerjasama kelompok yang cocok dalam penyelenggaraan tugas –
tugas atau program organisasi.
11. Perilaku Membuat JaringanSikap seorang pimpinan dalam wujud membaur
secara informal, membangun hubungan dengan orang yang memiliki sumber informasi
dan dukungan, memantapkan hubungan dengan semua pihak yang terkait secara
periodik melalui kunjungan, telepon, surat - menyurat dan kehadiran dalam rapat - rapat
serta even- even sosial lainnya.

2. Perilaku Kepala Daerah Yang Dapat Melaksanakan Good Governance


Secara teoritis good governance mengandung makna bahwa pengelolaan kekuasaan
yang didasarkan pada aturan - aturan hukum yang berlaku, pengambilan kebijaksanaan
secara transparan, serta pertanggungjawaban kepada masyarakat. kekuasaan juga
didasarkan pada aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau kelompok
tertentu. kekuasaan juga harus taat pada prinsip bahwa semua warga negara mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dimata hukum. Kesejahteraan Sosial Pembangunan
kesejahteraan sosial yang telah dilaksanakan pada umumnya telah memberi kontribusi
peran pemerintah dan masyarakat di dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang
makin adil dan merata. Sasaran utama program pembangunan kesejahteraan sosial
adalah manusia, maka perubahan-perubahan yang secara langsung terkait dengan
sasaran program tersebut terutama permasalahan dan kebutuhannya,serta ukuran-ukuran
taraf kesejahteraan sosialnya sangat berpengaruh terhadap arah,tujuan dan kegiatan-
kegiatan program.

Permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan manusia tidak terlepas dari kondisi dan


perubahan lingkungan baik fisik maupun non-fisik; dalam kawasan lokal, nasional dan
global. Maka perencanaan yang lebih cermat perlu dilakukan dengan memperhatikan
aspek manusia, lingkungan fisik, sosial dan lingkungan strategisnya. Hal-hal ini akan
mengkaitkan pembangunan kesejahteraan sosial dengan bidang pembangunan yang
lain; ekonomi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan. Di dalam konteks
inilah sesungguhnya posisi pembangunan kesejahteraan sosial dapat diperhitungkan
sebagai bagian integral dan bagian strategis pembangunan nasional.

B. KEMITRAAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

Setelah strategi berbasis permintaan itu menjadi bagian inheren dari langkah dan
kebijakan pengembangan ekonomi daerah, kini daerah otonom perlu melakukan
langkah pemberdayaan kemitraan. Pemberdayaan kemitraan (partnership) tripartit
pelaku ekonomi dan stakeholders: penyelenggara negara, dunia usaha dan masyarakat
madani adalah salah satu langkah aplikasi pendekatan berbasis permintaan yang tentu
sangat kompatibel dengan peningkatan daya saing di daerah. Pemberdayaan kemitraan
juga merupakan suatu katalisator pada sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(good governance) dan diharapkan lebih transparan dan akuntabel kepada masyarakat
luas.
Selain basis atau keniscayan dari suatu perjalanan proses demokrasi, esensi dari
aspek kemitraan ini adalah harmoni dari hubungan keteraturan antara tiga komponen
utama di atas, dan kesetaraan para aktor dalam pengambilan keputusan bersama
(shared-decision process) yang amat dibutuhkan untuk mengawal perjalanan agenda
pemulihan ekonomi dan demokratisasi. Dalam demokrasi yang mengakomodasi
pertentangan dan perbedaan pendapatan, proses penyelesaian perbedaan tersebut perlu
lebih santun dan beradab, jika perlu selesaikan di ruang rapat/meja perundingan tanpa
harus mengorbankan prinsip-prinsip tanggung jawab moral dan akuntabilitas publik.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pelaku pembangunan di setiap negara demokrasi
secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama: dunia usaha
(business society), penyelenggara negara (political society), dan masyarakat madani
(civil society). Dunia usaha merujuk pada sektor swasta besar dan kecil yang
seharusnya menjadi penggerak pembangunan ekonomi yang paling utama.

Di Indonesia memang dikenal dengan berbagai bentuk dunia usaha atau sektor
swasta (private sector) yang dilindungi dengan sekian macam perangkat undang-undang
keperdataan, usaha kecil, dan perdagangan lainnya. Mereka memiliki falsafah besar
maksimisasi keuntungan (profit maximizer) untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, mengembangan usaha, dan secara langsung dan tidak langsung berkontribusi
pada pembangunan ekonomi. Mereka umumnya dikritik karena sering kali merlupakan
falsafah moralitas dan tanggung jawab sosial, sampai akhirnya berkembang suatu
paradigma social corporate responsibility, karena visi keberlanjutan dan kesejahteraan
jauh lebih penting dari hanya mengeruk keuntungan.

Penyelenggara negara (political society) merujuk kepada komponen eksekutif


(pemerintah), legislatif (wakil rakyat) dan yudikatif (penegak hukum). Bahkan ada
yang mengatakan bahwa political society merujuk kepada dunia kepartaian (dan semua
kepentingannya). Argumen ini pecaya bahwa partai adalah satu-satunya kendaraan yang
dikenal untuk memperebutkan posisi di pemerintahan melalui pemilu. Kombinasi dan
interaksi antara birokrasi dan dunia kepartaian amat menentukan posisi di pemerintahan
dan proses perumusan kebijakan publik. Mereka seharusnya memiliki falsafah
membuat dan menegakkan aturan main, basis peraturan (rules of the game) dalam
mengisi, mewarnai dan menyelenggarakan kepemerintahan dalam suatu negara.
Masyarakat madani (civil society) sebenarnya lauh lebih luas dari sekedar kelompok
kepentingan masyarakat, karena berakar kata madaniah yang berarti menjunjung tinggi
keteraturan dan keberadaban.

Di Indonesia, civil society sering merujuk pada lembaga swadaya masyarakat


(LSM), bahkan sampai perguruan tinggi, lembaga pengembang LSM, asosiasi dan lain-
lain. LSM jelas bukan partai politik dan memang didirikan bukan untuk merebut kursi
pemerintahan, baik di parlemen ataupun eksekutif. Falsafah sebuah civil society
seharusnya mampu memperjuangkan nilai-nilai yang dipercaya dan dianutnya, tanpa
harus tergoda untuk berpikir sempit, parsial dan kekanakan. LSM idealnya dibangun
untuk memengaruhi atau mengontrol jalannya pemerintahan melalui area di luar dunia
kepartaian. Sebagai kelompok kepentingan, LSM semestinya berhubungan dengan
dunia kepartaian dan dunia usaha.

Di dunia demokrasi yang sudah maju, ketiga komponen tripartit ini sangat mesra
berhubungan. Misalnya di Amerika Serikat, pada era Presiden George W. Bush, para
petinggi Partai Republik dikenal sangat dekat dengan industri dan sektor swasta besar,
sampai-sampai sering dikaitkan dengan skandal akuntansi Enron, World Com, Merck,
Arthur Andersen dan lain-lain. Partai Republik juga amat dekat dengan LSM yang
bergerak dalam isu agama, sebagaimana sikap konservatifnya yang tidak setuju
terhadap aborsi. Sementara pada era Presiden Barack Obama sekarang ini, Partai
Demokrat sangat dekat dan harmonis dengan civil society yang bergerak dalam isu
perburuhan, lingkungan hidup, gender, dan multikulturalisme. Kebijakan Presiden
Clinton yang masih dikenang orang adalah langkah affirmative action yang amat
relevan untuk mengembangkan usaha kecil menengah (UKM), termasuk kelompok
minoritas kulit hitam yang memperoleh naunangan cukup memadai untuk berkiprah
dalam dunia usaha dan pendidikan.

C. PERSYARATAN DAN DASAR KEMITRAAN

Kemitraan Usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan


antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (Perusahaan Mitra) disertai
dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling
memerlukan, menguntungkan dan memperkuat. Kemitraan usaha akan menghasilkan
efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan
karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra.

Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang


efisien dan produktif. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat
turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan
yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari
keluwesan dan kelincahan usaha kecil.Kemitraan hanya dapat berlangsung secara
efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir
pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif
belas kasihan atau kedermawanan.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka perlunya pemikiran tentang


alasan terjadi kemitraan, analisa kemitraan, kendala umum kemitraan, syarat-syarat
kemitraan.
Alasan terjadi Kemitraan Kemitraan usaha haruslah berdasarkan asas sukarela
dan suka sama suka. Dalam kemitraan harus dijauhkan “kawin paksa”. Oleh karena itu,
pihak-pihak yang bermitra harus sudah siap untuk bermitra, baik kesiapan budaya
maupun kesiapan ekonomi. Jika tidak, maka kemitraan akan berakhir sebagai
penguasaan yang besar terhadap yang kecil atau gagal karena tidak bisa jalan. Artinya,
harapan yang satu terhadap yang lain tidak terpenuhi, maka beberapa alasan terjadi
kemitraan dikemukakan sebagai berikut: a. Meningkatkan profit atau sales pihak-pihak
yang bermitra b. Memperbaiki pengetahuan situasi pasar c. Memperoleh tambahan
pelanggan atau para pemasok baru d. Meningkatkan pengembangan produk e.
Memperbaiki proses produksi f. Memperbaiki kualitas g. Meningkatkan akses terhadap
teknologi

Analisis Kemitraan ,Kemitraan adalah suatu sikap menjalankan bisnis yang


diberi ciri dengan hubungan jangka panjang, suatu kerjasama bertingkat tinggi, saling
percaya, dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan
bisnis bersama. Selama ini istilah kemitraan ini telah dikenal dengan sejumlah nama,
diantaranya strategi kerjasama dengan pelanggan(strategic customer alliance), strategi
kerjasama dengan pemasok (strategic supplier alliance) dan pemanfaatan sumber daya
kemitraan(partnership sourcing). Bertolak dari ha tersebut maka dapat di analisis kinerja
kemitraan sebagai berikut: a. Kurang transparasi dalam pelaksanaan Kepres 16 b.
Realisasi gelar kemitraan masih belum memuaskan c. Kemitraan tidak berkembang baik
d. Waralaba dalam negeri belum banyak yang bermunculan.

Kendala umum KemitraanKemitraan pada dasarnya menggabungkan aktivitas


beberapa badan usaha bisnis, oleh karena itu sangat dibutuhkan suatu organisasi yang
memadai. Dengan pendekatan konsep sistem, diketahui bahwa organisasi pada dasarnya
terdiri dari sejumlah unit atau sub unit yang saling berinteraksi dan interdepedensi.
Performansi dan satu unit dapat menyebabkan kerugian pada unit-unit lainnya. Tidak
terlepas dari keterkaitan hal diatas maka akan mengalami beberapa kendala antara lain:
a. Perbedaan yang masih besar antara Usaha Besar dan Usaha Kecil b. Kualitas
produksi belum terjamin c. Kerja sama kurang berkembang d. UB bersifat integrai
vertical e. Belum terjadi alih teknologi dan manajemen dari UB dan UK f. Belum
berkembangnya system dan pola kemitraan dan belumberkembangnya unsur pendukung
Pada Negara maju, mereka melakukan kemitraan karena adanya tuntutan pasar, atas
dasar tanggung jawab bersama, mengurangi pengangguran, tumbuhnya Usaha
Menengah dan Usaha Kecil, dan dalam rangka meningkatkan daya saing nasionalnya.

Pola dan system kemitraan dikembangkan oleh suatu perusahaan hingga


menjadi Good Practice. Lima jenis kemitraan yang dikembangkan di Eropa dan dapat
ditiru: a. Buying and selling yang meliputi kegiatan suppliers dan subcontracting b.
Positive restructuring yang meliputioutsourcing, spin offs, management by-outs,
community renewal dan trade offs. c. SME support yang meliputi start-up companies,
mentoring, kerjasama penelitian dan pengembangan (R&D) dan bantuan ekspor. d.
Training dan education, misalnya untuk supplier dan magang serta recruitment calon
pemitra e. Local focus adalah kegiatan kemitraan dengan tujuan mengembangkan
ekonomi wilayah.Latihan manajemen dan ketrampilan, magang, studivisit dan alih
teknologi adalah salah satu kegiatan yang dilakukan dalam rangka memodernisasi UK.
Jadi, agar kesenjangan manajemen dan teknologi antara UB dan UK tidak terlalu jauh
ketinggalan, maka pengembangan SDM harus selalu menjadi agenda kemitraan.

Syarat-syarat Kemitraan :Kemitraan usaha bukanlah penguasaan yang satu atas


yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil, melainkan menjamin kemandirian
pihak-pihak yang bermitra, karena kemitraan bukanlah proses merger atau akuisisi.
Kemitraan usaha yang kita inginkan bukanlah kemitraan yang bebas nilai, melainkan
kemitraan yang tetap dilandasi oleh tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat,
yang sesuai dengan demokrasi ekonomi. Adapun syarat-syarat kemitraan adalah sebagai
berikut:a. Tujuan umum yang sama b. Kesetaraan c. Saling menghargai d. Saling
memberi kontribusi e. Ada efeksinergi f. Saling menguntungkan

D. BENTUK BENTUK KEMITRAAN

Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah
dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha
Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan.Pola-Pola Kemitraan
Inti-Plasma Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau
Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai
inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari
penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil
produksi. Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha menengah sebagai inti
membina dan mengembangkan Usaha Kecil yang menjadi plasmanya dalam: 1.
Penyediaan dan penyiapan lahan 2. Penyediaan sarana produksi 3. Pemberian
bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi 4. Perolehan, penguasaan dan
peningkatan teknologi yang diperlukan 5. Pembiayaan 6. Pemberian bantuan lainnya
yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.
Subkontrak

Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha
Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh
Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.
Dalam hal kemitraan Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil
berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, Usaha
Besar atau Usaha Menengah memberikan bantuan berupa:
1. Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen 2.
Kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya
secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar 3. Bimbingan dan
kemampuan teknis produksi atau manajemen 4. Perolehan, penguasaan dan peningkatan
teknologi yang diperlukan 5. Pembiayaan

Dagang umum Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha


Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar
memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang
diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. Dalam kegiatan
perdagangan pada umumnya, kemitraan antara Usaha Besar dan atau Usaha Menengah
dengan Usaha Kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan
lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Kecil mitra usahanya untuk
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah
yang bersangkutan.

Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau
penjualan barang dan atau jasa. Hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi
waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi
perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan
manajemen. Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan
hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba.

Keagenan Hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak


khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar
mitranya.Bentuk-bentuk lain Pola bentuk-bentuk lain di luar pola sebagaimana tertera di
atas adalah pola kemitraan yang pada saat ini sudah berkembang, tetapi belum
dibakukan, atau pola baru yang akan timbul di masa yang akan datang.
Sebagai contoh, dalam pengembangan usaha kecil di sektor perikanan di Indonesia,
terdapat beberapa pola atau bentuk kemitraan antara usaha kecil atau petani dengan
pengusaha besar, yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Pola kemitraan inti-plasma. Pada pola ini umumnya merupakan hubungan antara
petani, kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha.
Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra
berkewajiban memenuhi kebutuan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah
disepakati bersama. Pola ini dapat diterapkan dalam pengembangan Tambak Inti
Rakyat.
2. Pola Kemitraan subkontrak. Pola ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan
dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan
mitra sebagai bagian dari hasil produksinya. Pada pola ini ditandai dengan adanya
kesepakatan tentang kontrak bersama yang menyangkut volume, harga, mutu dan
waktu. Pola ini sangat bermanfaat dalam transfer alih teknologi, modal, ketrampilan,dan
produktifitas.
3. Pola Kemitraan dagang umum.Pola ini merupakan hubungan usaha dalam pemasaran
hasil produksi. Dalam pola ini pihak yang terlibat adalah pihak pemasaran dengan
kelompok usaha pemasok komoditas tertentu. Penerapan pola banyak dijumpai pada
kegiatan agribisnis hortikultura, dimana kelompok tani hortikultura bergabung dalam
bentuk koperasi kemudian bermitra dengan swalayan atau kelompok supermarket.
Pihak kelompok tani berkewajiban memasok barang-barang dengan persyaratan dan
kualitas produk yang telah disepakati bersama.
4. Pola kemitraan kerjasama operasional.Pola kemitraan ini merupakan pola hubungan
bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Umumnya
kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja.
Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan
sarana produksi lainnya. Terkadang perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin
pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan.
Pola ini sering diterapkan pada usaha perkebunan tebu,tembakau, sayuran dan
pertambakan. Dalam pola ini telah diatur tentang kesepakan pembagian hasil dan
resiko.
BAB III
PENUTUP

Tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan fasilitas publik terus meningkat baik


secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah akan sulit mengimbangi jika hanya
menggunakan metode penyediaan secara tradisional karena akan terkendala dengan
sumber pembiayaan, teknologi bahkan manajerial. Salah satu alternatif untuk mengatasi
berbagai kendala tersebut adalah penyediaan fasilitas publik melalui kerangka kerja
Public Private Partnership.

Konsep ini telah diterapkan di berbagai negara dan daerah dengan berbagai
manfaat dan kekurangan yang ada di dalamnya. Bagi daerah, ini merupakan sebuah
alternatif untuk mempercepat pembangunan infrastruktur wilayah dan optimalisasi
pengelolaan aset/kekayaan daerah sekaligus potensi sumber pendapatan daerah.
Komitmen pengambil kebijakan dan berbagai pertimbangan teknis akan sangat
menentukan keberhasilan implementasinya di daerah.

Anda mungkin juga menyukai