Anda di halaman 1dari 5

Setelah membaca dengan seksama buku karangan McDonald yang berjudul “Western Political Theory”

dengan kekhususnya pada bagian 2, bab 9 tentang Reformasi dan Dampak Politiknya, maka dapat
disusun suatu telaah kritis sebagai berikut. Sebagai bahan kajian ilmiah, peristiwa reformasi agama di
Eropa dapat ditempatkan sebagai peristiwa sejarah. Suatu peristiwa memiliki nilai sejarah apabila bersifat
unik dan memiliki dampak yang luas bagi kehidupan manusia. Para teoritikus tradisional, seperti Sabine
memandang pendekatan sejarah sebagai hal yang sangat penting. Teori politik menurut Sabine,
senantiasa ‘mengacu pada situasi yang agak khusus’, sehingga rekontruksi, tempat dan keadaan yang
melahirkan teori-teori politik itu sangat perlu dipahami. Kenyataan bahwa teori politik senantiasa berakar
pada ‘situasi khusus’ tidak berarti bahwa ia tidak mempunyai keterkaitan dengan masa yang datang.
Teori politik yang pokok tidak hanya meliputi analisa situasi sesaat, tetapi juga menunjuk pada situasi-
situasi yang lain. Teori politik semacam itu, sekalipun merupakan produk dari keadaan sejarah tertentu,
akan tetap mempunyai nilai dalam waktu-waktu mendatang. Inilah sifat universal teori politik yang
menyebabkannya tetap ditoleh. Menurut Sabine, teori politik mempunyai tiga elemen dasar, yaitu: faktual,
kausal dan penilaian. Beranjak dari pemikiran Sabine itu, maka kita dapat melihat dan memahami secara
lebih jelas ‘situasi khusus’ Reformasi Agama di Eropa (abad XIV-XVI) dan pengaruhnya terhadap
pemikiran politik serta pengaruhnya terhadap bidang-bidang lainnya sebagaimana dipaparkan oleh
McDonald. Pemaparan McDonald dapat dianalisis dengan penghampiran sejarah. Di dalam sejarah lebih
dari 2500 tahun yang lalu, tercatat ada dua tempat dimana filsafat politik telah berkembang dengan subur
selama kurang lebih lima puluh tahun, yakni: 1) di Athena, antara tahun 350 SM sampai tahun 375 SM,
pada saat Plato dan Aristoteles menulis karya besar mereka, dan 2) di Inggris, antara tahun 1640 sampai
tahun 1690, pada saat Hobbes, Locke dan para pemikir lainya mengembangkan teori – teori politik
mereka. Kedua periode ini merupakan periode perubahan penting dalam sejarah sosial dan intelektual di
Eropa. Perkembangan yang kedua tersebut pada dasarnya merupakan implikasi dari perubahan radikal
yang terjadi dalam peradaban bangsa Barat (Eropa). Perubahan radikal yang menandai terbentuknya
peradaban politik modern tersebut adalah: pertama, gerakan Renaisan (renaissance), suatu pencerahan
dalam aspek kehidupan dunia yang inspirasi awalnya digerakkan oleh adanya penemuan (invention) baru
dibidang sains dan teknologi. Kedua, gerakan Reformasi (reformation), suatu pencerahan dalam aspek
kehidupan keagamaan yang inspirasi awalnya digerakan oleh adanya kesadaran baru di bidang teologi
Kristiani dan aplikasi ajaranya. Fokus kajian dalam analisa ini lebih ditekankan pada gerakan Reformasi
agama di Eropa dan dampaknya terhadap pemikiran politik, terutama pemikiran politik Barat. Menurut
Burn dan Ralp dalam bukunya, World Civilization (1964), bahwa kemunculan gerakan reformasi
Protestan Eropa karena alasan-alasan keagamaan. Sekalipun demikian dampak dari refromasi tersebut
menentukan perjalanan nasib seluruh dunia. Menurut Karen Amstrong, abad kelima belas dan keenam
belas adalah abad paling menentukan bagi semua umat beragama. yang kemudian menuntut agar pajak
itu dihapuskan. Dalam hal pembangunan Gereja terjadi ketimpangan

Periode ini merupakan periode paling krusial, khususnya bagi Kristen Barat, yang bukan hanya berhasil
mengejar ketertingalannya dari kebudayaan-kebudayaan lain dalam oikume tetapi bahkan nyaris
menaklukannya. Dua abad ini telah menjadi saksi bagi Renaisans Italia yang dengan cepat menyebar ke
Eropa Utara, serta penemuan Dunia Baru dan awal revolusi ilmiah yang akan menimbulkan pengaruh
sangat menentukan bagi perjalanan nasib seluruh dunia. Pada akhir abad keenam belas, Barat mulai
menciptakan bentuk peradaban yang sangat berbeda. Periode ini merupakan sebuah masa transisi dan,
karenanya, ditandai oleh kecemasan dan berbagai prestasi. Hal ini terlihat dengan jelas dalam konsepsi
Barat tentang Tuhan pada peride tersebut. Kontradiksi konsepsi Tuhan inilah yang tampaknya menjadi
substansi kunci terjadinya reformasi agama di Eropa. Di tengah keberhasilan sekular mereka, orang
Barat semakin menaruh perhatian pada iman melebihi masa-masa sebelumnya. Kaum awam merasa
tidak puas terhadap bentuk agama yang tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka di dunia yang
baru. Para reformis semisal Marthin Luther dan Calvin menyuarakan kegelisahan ini dan menemukan
cara baru dalam memandang Tuhan dan penyelamatan. Akibatnya Eropa terpecah ke dalam dua kubu
yang saling bertikai yaitu antara Katolik dan Protestan, yang hingga kini tak pernah benar-benar bebas
dari kebencian dan saling curiga satu sama lain. Selama masa Reformasi, kaum pembaharu Katolik dan
Protestan menghimbau para penganutnya agar meninggalkan kesetiaan lahiriah kepada orang-orang
suci dan para malaikat, dan memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Pada masa itu, Eropa
tampaknya sedang terobsesi oleh Tuhan. Namun demikian, pada awal abad ketujuh belas, beberapa
diantara mereka terobsesi tentang ‘ateisme’. Jika ditelusuri lebih jauh, Gerakan Reformasi agama pada
mulanya hanya tindakan protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium
Katolik Roma saat itu. Dalam perkembangan selanjutnya gerakan tersebut menjadi gerakan keagamaan
yang terorganisir yang memiliki perbedaan pandangan keagamaan dengan pandangan mainstream masa
itu. Gerakan Reformasi Protestan ini dipelopori oleh Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingli, Jhon Knox
dan yang lainnya. Gerakan ini sangat berdampak luas tidak hanya dalam bidang teologi, tetapi juga
merambah ke bidang lainnya, yaitu sosial, politik dan sejarah masyarakat Eropa. Para reformator
menentang eksistensi kekuasaan yang absolut dari Paus sebagai pemegang tahta tertinggi Kristen yang
berpusat di Vatikan, Roma. Fenomena menunjukkan adanya pergeseran yang demikian hebat dalam
tubuh penganut keyakinan Kristiani di Eropa. Walaupun para reformator tetap mempertahankan prinsip-
prinsip utama ajaran Katolik, yakni kepercayaan akan ketuhanan serta dua sifat Yesus serta Trinitas
(Tuhan Allah, Bapak, dan Roh Kudus), gagasan mereka telah menumbuhkan paradigma baru di dalam
ritus-ritus keagamaan dan etos Kapitalisme di Barat. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan
Niebuhr bahwa reformasi merupakan fase keagamaan modern bagi peradaban Barat dan sebagai
kelanjutan dari gerakan Renaisans yang memiliki prinsip-prinsip seperti nikmat hidup, manusia pada
hakikatnya baik, percaya pada akal, dan toleransi. Gerakan pembaharuan apapun, termasuk gerakan
reformasi senantiasa dimaksudkan untuk merekontruksi keadaan yang ada. Gerakan ini dimaksudkan
untuk memperbaiki keadaan yang ada, baik karena kebutuhan maupun sebagai korekasi atas
penyimpangan yang terjadi. Bagi kalangan Kristiani yang menuntut reformasi atau pembaruan mereka
melihat telah terjadi berbagai penyimpangan yang demikian hebat dalam tubuh keagamaan yang
berlangsung selama berabad-abad. Dominasi gereja yang dogmatis bukan hanya berpotensi
menumbuhkan penyimpangan pihak Gereja, tetapi juga menghambat perkembangan peradaban yang
bersandar pada rasionalitas. Pertentangan dunia gereja dengan intelektual atau rasionalitas, telah
menimbulkan kritik dari beberapa pemikir, tetapi selalu gagal. Perlawanan itu, secara dramatis misalnya
dialami G. Bruno yang tewas dibakar karena berusaha meluruskan penyimpangan itu. Penyimpangan itu
terjadi dalam berbagai bentuk yang dapat di jelaskan sebagai berikut; pertama, banyak pemuka Katolik
memperoleh posisi sosial keagamaan melalui cara-cara yang tidak etis dan amoral, dengan cara
menyogok petinggi gereja untuk berkuasa. Sebagai contoh kasus paus Leo X, ia mendapatkan
$5.250.000 (?) per tahun dari hasil penjualan jabatan-jabatan gereja. Kedua, penjualan surat
pengampunan dosa (indulgencies), merupakan penyimpangan lainya yang turut memicu lahirnya
reformasi Protestan. Ketika membangun Gereja Sento Petrus di Roma Vatikan, Paus Leo X,
mengumpulkan dana dengan menjual surat itu dan bagi yang membelinya akan memperoleh ampunan
Tuhan. Besarnya ampunan berbanding lurus dengan besarnya uang yang dibayarkan. Lebih jauh lagi,
Paus berani mendeklarasikan bahwa surat pengampunan itu dapat menghapus dosa orang-orang, yakni
sanak keluarga, sahabat dan lainya yang telah meninggal dunia; ketiga, pada wilayah ritualitas, Gereja
Katolik telah menjadi agen utama untuk veneration of relics; sakramen suci atau ritus pemujaan terhadap
benda-benda keramat atau tokoh suci (Yesus, Bunda Maria, serta para santo) dalam sakramen suci.
Para pemuka agama, pastor misalnya yang pada hakikatnya memiliki sifat-sifat manusia juga mengalami
pengkultusan, dengan dianggap keramat. Bagi kalangan reformator, sakramen, pemujaan dan
pengkultusan itu menimbulkan tahayul serta mitologisasi yang tidak masuk akal. Hal lainnya paham
Agustianisme yang mengasumsikan manusia hanya sebagai objek penderita di hadapan Tuhan dianggap
sebagai penyebab fatalisme sosial. Keempa, masalah penetapan pajak yang diterapkan imperium gereja
Katolik. Penerapan pajak dalam berbagai bentuk menyebabkan penduduk terutama kalangan kelas
bawah (petani, pekerja) serta lainya dalam keadaan tertekan dan menimbulkan kisis ekonomi serius,
ketimpangan sosial serta kecemburuan sosial di kalangan kaum bangsawan lokal antara wilayah Vatikan
dengan daerah lainnya, misalnya Jerman. Lahirnya Gerakan Reformasi juga di dorong oleh faktor
eksternal lainnya. Kapitalisme yang tumbuh di Eropa sejak masa renaisans saat itu telah mendorong
digugatnya doktrin keagamaan serta krisis ekonomi di kawasan Roma telah menjadi katalisator lahirnya
gerakan reformasi. Perkembangan Kapitalisme, menuntut reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap
doktrin Katolikisme, seperti paham pembuangan uang, apakah dihalalkan atau diharamkan. Kegagalan
gereja dalam mengantisipasi krisis ekonomi telah menimbulkan krisis kepercayaan. Peran kaum
bangsawan (penguasa lokal) menjadi memiliki peranan penting dalam membidani lahirnya gerakan
Reformasi Protestan bersama kalangan reformator. Dukungan dari masing-masing pihak bukan semata
kesamaan cita-cita, juga adanya kesadaran akibat terjadinya penyimpangan dalam keagamaan Kristiani.
Masalah cita-cita, ini berkaitan juga dengan semangat nasionalisme, yakni keinginan mereka untuk
melepaskan diri dari ikatan kekuasaan spiritual maupun politik imperium Romawi Katolik dengan
bermaksudmembentuk pemerintahan sendiri dengan batas wilayahnya sendiri. Cita-cita nasionalisme
inilah yang kemudian mendorong untuk terbentuknya apa yang dikenal kemudian sebagai negara
bangsa. Perkembangan dari Gerakan nasionalisme tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Di
Ingris, misalnya hak Paus untuk mengangkat pejabat gereja dihapuskan, di Perancis hak Paus menarik
pajak dan mengangkat pejabat juga dihilangkan dan hakim sipil diberikan wewenang penuh untuk
mengatur persoalan keagamaan di wilayahnya. Di Jerman semangat nasionalisme termanifestasi dalam
bentuk pemberontakan terhadap pendeta serta penentangan yang gigih terhadap penjualan surat
pengampunan dosa. Dengan demikian Reformasi Protestan menjadi menjadi agen utama perubahan
sosial dan politik di Eropa. Runtuhnya imperium Roma yang diikuti lahirnya negara-negara otonom
menandai lahirnya eksistensi negara sekuler. Disamping itu juga melahirkan absolutisme raja-raja di
Eropa. Dari sisi hubungan penganut penganut agama, telah terjadi fragmentasi hubungan yang berujung
pada pertikaian untuk masa yang berabad-abad lamanya. Bahkan pertentangan antara calvinisme
dengan Katolik telah melahirkan gerakan anti historical christianity (agama Kristen yang termanifestasi
dalam sejarah). Hal ini menyebabkan dihancurkanya berbagai karya seni dalam bentuk fisik yang berbau
Katolisisme dihancurkan oleh kaum Protestan. Konflik seagama itu pada puncaknya hampir
menghancurkan Prancis. Dalam catatan sejarah telah terjadi delapan kali perang saudara dari 1962-
1593. Kota, desa, keluarga telah terjadi keretakan sosial keagamaan, bahkan pembantaian massal.
Dengan adanya Reformasi Gereja, maka terjadi diversifikasi aliran di dalam tubuh Kristen. Aliran-aliran
itu antara lain: Lutherisme, Calvinisme, Anglicanisme, Quakerisme, Katolikisme. Perkembangan aliran ini
juga diikuti dengan terbentuknya sekat-sekat geografis. Hal itu dapat dilihat dengan tumbuhnya
Lutherisme di Jerman Utara serta negara-negara Skandinavia (Swedia dan Norwegia). Sementara
Skotlandia, Belanda, Switzerland dan Prancis menganut Calvinisme, Inggris menganut Anglicanisme,
negara-negara Eropa lainya seperti Spanyol dan Italia menganut Katolikisme (Ortodoks). • Sumbangan
Pemikiran Politik Para Reformator Selain kontribusi Gerakan Reformasi secara keseluruhan terhadap
perubahan peradaban di Eropa, perlu juga dikaji pemikiran para agen yang berperan menggulirkan
terjadinya reformasi tersebut. Dalam konteks ini secara terbatas kita dapat mengkaji pemikiran politik
Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-1564). Keduanya memiliki perbedaan gagasan secara
artifiasial, tetapi tidak secara subtansial. Gerakan yang dipelopori keduanya, sama-sama berakar pada
tradisi protes, menentang aristokrasi, dan terkait penegakkan pemerintahan sekuler. Perbedaan diantara
keduanya, bahwa Luther pemikiranya lebih liberal daripada Calvin, ia telah mendirikan gereja-gereja
negara yang dikuasai oleh kekuasaan politik yang bersifat sekuler, lebih-lebih dengan perpecahan dari
gereja yang tunggal, penindasan terhadap lembaga kebiaraan dan badan-badan kepaderian serta
penarikan kembali hukum Canon ini semua yang menghilangkan rintangan untuk mempercepat
perubahan itu. Dalam istilah Peter L. Berger, apa yang dikerjakan oleh Luther di sebut debunking,
penelanjangan segala mitos keagamaan dan sosial dalam lembaga keagamaan kristiani. Luther
membongkar mitos gereja dan Paus. Di bidang politik, Luther secara tegas menolak doktrin universal
Paus, menurutnya kekuasaan paus tidak universal sebab Paus harus mengakui kekuasaan para
pangeran atau penguasa sekuler menurut prinsip-prinsip kenegaraaan yang berdasarkan nasionalisme.
Tampaknya karena gagasan inilah yang membuat Luther memperoleh dukungan luas dari para
pengauasa dan bangsawan. Akibatnya Imperium Katolik Roma tidak berani berbuat sewenang-wenang
terhadap Luther sebagaimana para pengkritik sebelumnya. Misalnya Bruno dan Savanarola. Luther
hanya dieksomunikasi (dipecat) dari jabatan keagamaannya. Secara tegas dalam konteks hubungan
negara dan agama, Luther menghendaki adanya pemisahan yang jelas. Paus harus mengakui otoritas
politik penguasa negara dan tidak mencampuradukannya dengan otoritas agama. Tuntutan ini
membuahkan hasil dengan ditempatkannya gereja menjadi subordinasi dan bagian integral negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuntutan Luther secara keseluruhan berhasil. Negara-negara
Eropa, terutama Jerman menjadi pendukung terwujudnya gagasan Luther. Gerakan Reformasi Kritiani ini
yang kemudian terkenal sebagai Protestan membawa implikasi yang luas bagi tumbuhnya federalisme,
nasionalisme dan separatisme yang mengakibatkan Imperium Roma mengalami demoralisasai. Eropa
yang semula menjadi entitas politik dengan dengan Katolik Roma sebagai pusatnya, mulai mengalami
disintegrasi politik yang terpecah-pecah ke dalam unit-unit negara yang otonom. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Luther telah mendorong lahirnya kekuasaan
mutlak ke tangan kalangan bangsawan/pangeran/penguasa negara. Gagasan ini kemudian
mempengaruhi praktek dan pemikiran politik Barat. Menurut Luther, seorang Kristiani yang benar hidup
dan bekerja di dunia tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk tetangga, maka pedang sangat
diperlukan dan memang perlu bagi seluruh dunia untuk memelihara perdamaian, untuk menghukum
mereka yang berdosa dan untuk menghalangi kejahatan. Ia pun harus dengan suka rela benar tunduk
pada pengaturan pedang, membayar pajak, membantu, dan berbuat apapun untuk melanjutkan
keberadaan pemerintahan, sehingga ia dapat dipertahankan dan diakui dengan kehormatan dan rasa
takut. Menurut G.H. Sabine, pandangan politik Luther lebih banyak dipengaruhi oleh filosofinya tentang
‘keadaan dan taat pasif’, baginya bahwa perlawanan terhadap kekuasaan sipil dalam semua keadaan
moral adalah salah. Tokoh refromasi kedua yang perlu dikaji pemikirannya disini adalah John Calvin.
Berbeda dengan Luther, pemikiran calvin jauh lebih konservatif. Ajaran Calvin sangat menentang
liberalisme, konstitualisme atau asas-asas perwakilan. Tampaknya ajaran Calvin yang mengarah ke
teokrasi, dan semacam Oligarki yang dijalankan persekutuan antara gereja dan bangsawan. Calvininisme
tidak menyukai kebebasan, tetapi menyukai penjajahan dan bersifat reaksioner. Ciri pemerintahan
semacam ini dapat dilihat di Jenewa dan pemerintahan puritan di Masschusetts. Jadi Calvin
mendasarkan diri politiknya yang menggabungkan negara dengan gereja. Oleh karena itu kita dapat
berkesimpulan bahwa teori Calvin tentang gereja lebih sesuai dengan semangat ajaran keagamaaan
abad pertengahan yang ekstrem, serupa yang dianut kaum Katolik nasional, sebab itu pula bagi anggota
gereja nasional Calvin dan Jessuit seakan-akan dua nama untuk hal yang sama. Dalam pandangan G.H.
Sabine, bahwa gereja di Belanda, Irlandia, dan Amerika merupakan alat utama bagi penyebaran paham
yang membenarkan perlawanan di seluruh Eropa Barat. Kenyataan bahwa aliran Calvin khususnya di
Prancis dan Skotlandia, berlawanan dengan pemerintah, pada dasarnya dilakukan oleh pengikutnya
untuk bertindak murtad suatu hal yang biasa di Jenewa dilakukan, sepanjang ada harapan akan
menangnya gerakan reformasi di Perancis. Calvin lebih menempatkan dua pedang daripada adat Kristen
dalam gereja, dan lebih memberikan pimpinan kekuasaan keduniawian kepada pejabat gereja daripada
penguasa keduniawian. Hasilnya menyerupai pemerintahan para suci yang tidak mengenal toleransi. Ia
lebih merupakan kepercayaan dalam ajaran keduniawian tentang disiplin yang bersifat kuasi-militer.
Dengan demikian, Calvin menghabiskan kekayaan kata hukum Romawi untuk melukiskan kekuasaan
tertinggi dari Tuhan atas dunia dan manusia. Kesusilaan tidak begitu banyak mengajar kasih terhadap
sesamanya. Moral inilah yang menjadikan gereja-gereja Calvin bagian dari Protestan yang militan sekali.
Pemikiran politik Calvin sendiri lebih condong ke arah oligarki daripada monarki, dalam ajaranya hanya
ada ruang untuk seorang raja saja, yakni Tuhan itu sendiri. Prinsip dasar ajarannya yang terpenting
adalah adanya hak gereja untuk menetapkan ajaran yang suci dan menjalankan pengawasan umum
dengan bantuan keduniawian. Oleh sebab itu dalam pandangan gereja Calvin, apabila dalam suatu
negara yang para penguasanya menolak untuk menerima kebenaran ajaranya serta memaksakan
disiplinnya, makai ia harus melepaskan kewajiban untuk taat dan mempertahankan haknya untuk
melawan. Sekalipun pemikiran calvin dan Luther berpengaruh terhadap praktek penyelenggaraan
pemerintahan di Eropa, tetapi Gerakan Reformasi tidak menghasilkan teori politik protestan. Berbeda
dengan Katolik yang menghasilkan ajaran politik Katolik pada abad pertengahan. Perbedaan dan
persamaan tersebut karena keadaan dan peranan gereja di dalam agama. Pada akhirnya kita dapat kita
dapat menarik kesimpulan bahwa Reformasi Agama di Eropa telah membawa perubahan di bidang
keduniawaian, namun pada sisi teologis akan tetap menyisakan persoalan. Kedua kekuatan antara
Katolik dan Protestan itu masing-masing kukuh pada pendiriannya masing-masing. Pertarungan ini tidak
dapat diselesaikan melalui kalim kebenaran, melainkan oleh kekuasaan. Sejarah Barat maupun Timur
telah membuktikan bahwa kebenaran yang dipaksakan dari penguasa di dalam bidang agama maupun
politik akan cenderung ditolak, dan inilah pengalaman yang dituai oleh Gereja Katolik Roma.

Anda mungkin juga menyukai