NIM : PO.71.4.211.15.1.017
Asuhan neonatus dengan jejas persalinan adalah asuhan yang diberikan oleh
bidan pada bayi baru lahir (neonatus). Neonatus dengan jejas persalinan adalah
suatu keadaan trauma pada neonatus yang terjadi selama proses persalinan dan
dapat menyebabkan gangguan pada neonatus apabila tidak diberikan asuhan yang
tepat dan benar (Dewi, 2010).
Jejas atau trauma persalinan adalah trauma pada bayi yang diterima dalam
atau karena proses kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukan
trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan atau yang tidak dapat
dihindarkan (Rukiyah, 2012).
A. CAPUT SUCCEDANEUM
1. Pengertian
2. Etiologi
Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya caput succedaneum pada
bayi baru lahir (Obstetri fisiologi, UNPAD, 1985, hal 254), yaitu :
a. Persalinan lama : dapat menyebabkan caput succedaneum karena terjadi
tekanan pada jalan lahir yang terlalu lama, menyebabkan pembuluh darah
vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi hingga cairan masuk
kedalam cairan longgar di bawah lingkaran tekanan dan pada tempat yang
terendah.
b. Persalinan dengan ekstraksi vakum : pada bayi yang dilahirkan vakum
yang cukup berat, sering terlihat adanya caput vakum sebagai edema
sirkulasi berbatas dengan sebesar alat penyedot vakum yang digunakan.
3. Patofisiologi
Kelainan ini timbul karena tekanan yang keras pada kepala ketika
memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe
disertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstra vaskuler. Benjolan caput
ini berisi cairan serum dan sering bercampur dengan sedikit darah. Benjolan
dapat terjadi sebagai akibat bertumpang tindihnya tulang kepala di daerah
sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah satu upaya bayi untuk
mengecilkan lingkaran kepalanya agar dapat melalui jalan lahir. Umumnya
moulage ini ditemukan pada sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi
lahir. Moulage ini umumnya jelas terlihat pada bayi premature dan akan hilang
sendiri dalam satu sampai dua hari.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E,
Behrman.dkk.2000), tanda dan gejala yang dapat ditemui pada anak dengan
caput succedaneum adalah sebagi berikut :
a. Adanya edema dikepala
b. Pada perabaan teraba lembut dan lunak
c. Edema melampaui sela-sela tengkorak
d. Batas yang tidak jelas
e. Biasanya menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya dalam pemeriksaan caput succedaneum tidak perlu
dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut melihat caput succedaneum
sangat mudah untuk dikenali. Namun juga sangat perlu untuk melakukan
diagnosa banding dengan menggunakan foto rontgen (X-Ray) terkait dengan
penyerta caput succedaneum yaitu fraktur tengkorak, koagulopati dan
perdarahan intracranial (Meida, 2009).
6. Penatalaksanaan
Berikut adalah penatalaksanaan secara umum yang bisa diberikan pada
anak dengan caput succedaneum :
a. Perawatan bayi sama dengan perawatan bayi normal
b. Observasi keadaan umum bayi.
c. Berikan lingkungan yang baik, adanya ventilasi dan sinar matahari yang
cukup
d. Bayi dengan caput succedaneum diberi ASI langsung dari ibu tanpa
makanan tambahan apapun, maka dari itu perlu diperhatikan
penatalaksanaan pemberian ASI yang adekuat dan teratur.
e. Bayi jangan sering diangkat karena dapat memperluas daerah edema
kepala.
f. Atur posisi tidur bayi tanpa menggunakan bantal
g. Mencegah terjadinya infeksi dengan :
1) Perawatan tali pusat
2) Personal hygiene baik
h. Berikan penyuluhan pada orang tua tentang :
1) Perawatan bayi sehari-hari, bayi dirawat seperti perawatan bayi normal.
2) Keadaan trauma pada bayi , agar tidak usah khawatir karena benjolan
akan menghilang 2-3 hari. Berikan lingkungan yang nyaman dan hangat
pada bayi. Awasi keadaan umum bayi.
B. CEPHALHEMATOMA
1. Pengertian
Cephal hematoma adalah perdarahan subperiosteal akibat kerusakan
jaringan poriesteum karena tarikan atau tekanan jalan lahir. Dan tidak pernah
melampaui batas sutura garis tengah. Tulang tengkorak yang sering terkena
adalah tulang temporal atau parietal ditemukan pada 0,5 – 2 % dari kelahiran
hidup. (Prawiraharjo,Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)
Menurut Abdul Bari Saifudin, cephal hematoma adalah pendarahan sub
periosteum akibat kerusakan jaringan periosteum karena tarikan/tekanan jalan
lahir dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah.(Ika Nugroho.
2011).
Perbedaan Caput Succedaneum dan Cephal Hematoma
CAPUT
PERBEDAAN SEFAL HEMATOMA
SUKSEDANEUM
Muncul waktu lahir/
Muncul waktu lahir,
MUNCUL SAAT setelah lahir, dapat
mengecil setelah lahir.
membesar sesudah lahir.
2. Klasifikasi
Menurut letak jaringan yang terkena ada 2 jenis yaitu :
a. Subgaleal
Galea merupakan lapiasan aponeurotik yang melekat secara longgar
pada sisi sebelah dalam periosteum. Pembuluh-pembuluh darah vena di
daerah ini dapat tercabik sehingga mengakibatkan hematoma yang berisi
sampai sebanyak 250 ml darah. Terjadi anemia dan bisa menjadi shock.
Hematoma tidak terbatas pada suatu daerah tertentu (Oxorn, Harry, 1996).
Penyebabnya adalah perdarahan yang letaknya antara aponeurosis
epikranial dan periosteum. Dapat terjadi setelah tindakan ekstraksi vakum.
Jarang terjadi karena komplikasi tindakan mengambil darah janin untuk
pemeriksaan selama persalinan, risiko terjadinya terutama pada bayi
dengan gangguan hemostasis darah.
Sedangkan untuk kadang-kadang sukar didiagnosis, karena terdapat
edema menyeluruh pada kulit kepala. Perdarahan biasanya lebih berat
dibandingkan dengan perdarahan subperiosteal, bahaya ikterus lebih
besar.
b. Subperiosteal
Karena periosteum melekat pada tulang tengkorak di garis-garis
sutura, maka hematoma terbatas pada daerah yang dibatasi oleh sutura-
sutura tersebut. Jumlah darah pada tipe subperiosteal ini lebih sedikit
dibandingkan pada tipe subgaleal, fraktur tengkorak bisa menyertai.
3. Etiologi
Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, cephal
hematom dapat terjadi karena :
a. Persalinan lama
Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya
tekanan tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan
robeknya pembuluh darah.
b. Tarikan vakum atau cunam
Persalinan yang dibantu dengan vacum atau cunam yang kuat dapat
menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang
melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.
c. Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
4. Patofisiologi
Kadang-kadang, cephal hematom terjadi ketika pembuluh darah pecah
selama persalinan atau kelahiran yang menyebabkan perdarahan ke dalam
daerah antara tulang dan periosteum. Cedera ini terjadi paling sering pada
wanita primipara dan sering berhubungan dengan persalinan dengan forsep
dan ekstraksi vacum. Tidak seperti caput suksedaneum, cephal hematoma
berbatas tegas dan tidak melebar sampai batas tulang. Cephal hematom
dapat melibatkan salah satu atau kedua tulang parietal. Tulang oksipetal lebih
jarang terlibat, dan tulang frontal sangat jarang terkena. Pembengkakan
biasanya minimal atau tidak ada saat kelahiran dan bertambah ukuranya pada
hari kedua atau ketiga. Kehilangan darah biasanya tidak bermakna.(Wong,
2008)
Menurut FK. UNPAD. 1985 dalam Obstetri Fisiologi Bandung, proses
perjalanan penyakit cephal hematom adalah : cephal hematom terjadi akibat
robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan
poriosteum. Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada persalinan lama.
Akibat pembuluh darah ini timbul timbunan darah di daerah sub periosteal
yang dari luar terlihat benjolan. Bagian kepala yang hematoma bisanya
berwarna merah akibat adanya penumpukan daerah yang perdarahan
subperiosteum.
5. Manifestasi Klinis
Berikut ini adalah tanda-tanda dan gejala Cephal hematom (Menurut
Prawiraharjo, Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan):
a. Adanya fluktuasi
b. Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas setelah 2 jam setelah bayi
lahir
c. Adanya cephal hematom timbul di daerah tulang parietal. Berupa benjolan
timbunan kalsium dan sisa jaringan fibrosa yang masih teraba. Sebagian
benjolan keras sampai umur 1-2 tahun.
d. Tanda dan gejala yang muncul pada bayi dengan cephal hematoma adalah
sebagai berikut:
1) Kepala tampak bengkak dan berwarna merah
2) Tampak benjolan dengan batas yang tegas dan tidak melampaui tulang
tengkorak
3) Pada perabaan terasa mula-mula keras kemudian menjadi lunak
4) Benjolan tampak jelas ± 6 sampai 8 jamsetelah lahir
5) Benjolan membesar pada hari kedua dan ketiga
6) Benjolan akan menghilang dalam beberapa minggu.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan X-Ray tengkorak dilakukan bila dicurigai adanya fraktur
(mendekati hampir 5% dari seluruh cephal hematom). Dan pemeriksaan darah
lengkap untuk menilai kadar bilirubin, hematokrit, dan haemoglobin (Alpers,
ann.2006).
7. Penatalaksanaan
Tidak diperlukan penanganan untuk cephal hematom tanpa komplikasi.
kebanyakan lesi diabsorbsi dalam 2 minggu sampai 3 bulan. Lesi yang
menyebabkan kehilangan darah hebat ke daerah tersebut atau yang
melibatkan fraktur tulang di bawahnya perlu evaluasi lebih lanjut.
Hiperbilirubinemia dapat tejadi selama resolusi hematoma ini. Infeksi lokal
dapat terjadi dan harus dicurigai bila terjadi pembengkakan mendadak yang
bertambah besar (Wong, 2008).
Menurut Ida Bagus Gede Manuaba 1998, cephal hematoma umumnya
tidak memerlukan perawatan khusus. Biasanya akan mengalami resolusi
khusus sendiri dalam 2-8 minggu tergantung dari besar kecilnya benjolan.
Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini akan agak lama
menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :
a. Perawatan yang dilakukan hampir sama dengan caput suksedanium.
b. Menjaga kebersihan luka.
c. Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan cephal hematoma.
d. Pemberian vitamin K, bila perlu.
e. Bayi dengan cephal hematoma tidak boleh langsung disusui oleh ibunya
karena pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah yang mulai pulih.
f. Pemantauan bilirubinia, hematokrit, dan hemoglobin.
g. Aspirasi darah dengan jarum suntik tidak diperlukan.
h. Apabila dicurigai terjadi fraktur tulang tengkorak, harus dilakukan
pemeriksaan lain seperti foto torak.
i. Lakukan pemeriksaaan radiologic apabila dicurigai terdapat gangguan
susunan saraf pusat, seperti tampak benjolan yang sangat luas.
8. Komplikasi Cephalhematoma antara lain:
a. Ikterus
b. Anemia
c. Infeksi
d. Klasifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun. Gejala lanjut yang mungkin
terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia. Kadang-kadang disertai dengan
fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan intra kranial.
3. Etiologi
Etiologi trauma fleksus brakhialis pada bayi baru lahir dapat terjadi
karena beberapa faktor antara lain:
a. Faktor bayi sendiri : makrosomia, presentasi ganda, letak sunsang,
distosia bahu, malpresentasi, bayi kurang bulan.
b. Faktor ibu : ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit), umur ibu
yang sudah tua, adanya penyulit saat persalinan
c. Faktor penolong persalinan : tarikan yang berlebihan pada kepala dan
leher saat menolong kelahiran bahu pada presentasi kepala, tarikan yang
berlebihan pada bahu pada presentasi bokong.
4. Patofisiologis
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami
traksi atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang
relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore armakan melukai pleksus.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak
pembuluh darah. Cedera pleksus brachialis dianggap disebabkan oleh traksi
yang berlebihan diterapkan pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena
distosia bahu, penggunaan traksi yang berlebihan atau salah arah, atau
hiperekstensi dari alat ekstraksi sungsang.
Mekanisme ukuran panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi janin
selama proses persalinan untuk menentukan cedera pada pleksus brachialis.
Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu, namun lengan
posterior biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi
yang kuat diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa
dipungkuri dapat menyebabkan cedera, cedera pleksus brakiali. Kompresi
yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural,dimana akan menjepit
jaringan saraf sekitarnya.
1. Fraktur humerus
a. Pengertian
Fraktur humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
tulang humerus (Mansjoer, Arif, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidayat
(2004) Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang
disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung.
Fraktur humerus adalah Kelainan yang terjadi pada kesalahan teknik
dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak kepala atau letak
sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini
biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada
sisi tersebut menghilang.
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak
sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan
tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus
yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan
fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang
humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur
total.
b. Klasifikasi fraktur humerus
Fraktur atau patah tulang humerus terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar humerus. Jenis fraktur ini dapat dibedakan
menjadi :
a) Jenis ekstensi yang terjadi karena trauma langsung pada humerus
distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah pada posisi
supinasidan lengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan
terfikasi
b) Jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak
tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan
siku dalam posisi sedikit fleksi
2) Fraktur interkondiler humerus : fraktur yang sering terjadi pada anak
adalah fraktur kondiler lateralis dan fraktur kondiler medialis humerus
3) Fraktur batang humerus : fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung
yang mengakibatkan fraktur spiral (fraktur yang arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi)
4) Fraktur kolum humerus : fraktur ini dapat terjadi pada kolum antomikum
(terletak di bawah kaput humeri) dan kolum sirurgikum (terletak di
bawah tuberkulum)
a) Complete fraktur (fraktur komplet), patah pada seluruh garis tengah
tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan
posisi tulang dan melintang .
b) Closed fraktur (simple frakture),tidak menyebabkan robeknya kulit,
integritas kulit masih utuh.
c) Open frakture (compound frakture /komplikata/kompleks), merupakan
fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang
menonjol sampai menonjol sampai menembus kulit) atau membran
mukosa sampai ke patahan tulang.
d) Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok; Tranversal,fraktur sepanjanggaris tulang
tengah tulang; Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
e) Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen;
Depresi fraktur dengan fragmen pecahan terdorong ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
5) Kompresi, fraktur dimna tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakng; Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit
(kista tulang,paget, metastasis tulang, tumor).
6) Avulasi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada
pelektannya; Epifisial, farktur melalui epifilisis. Fraktur dimana fragmen
tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.
c. Etiologi
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak
sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan
tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus
yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan
fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang
humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur
total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling sering sekunder akibat
kesulitan pelahiran (misalnya makrosemia dan disproporsi sefalopelvik,
serta malpresentasi).
d. Gejala
1) Berkurangnya gerakan tangan yang sakit
2) Refleks moro asimetris
3) Terabanya deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit
4) Terjadinya tangisan bayi pada gerakan pasif.
e. Gejala klinis
1) Diketahui beberapa hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan
kaki yang berkurang dan asimetris.
2) Adanya gerakan asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi
pada tulang femur.
3) Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan radiologik.
f. Penanganan
Penanganan yang dilakukan pada kasus fraktur humerus menurut
Kosim (2003) yaitu sebagai berikut :
1) Beri bantalan kapas atau kasa antara lengan yang terkena dan dada
dari ketiak sampai siku.
2) Balut lengan atas sampai ke dada dengan kasa pembalut
3) Fleksikan siku 90° dan balut dengan kasa pembalut lain, balut lengan
atas menyilang dinding perut. Yakinkan bahwa tali pusat tidak tertutup
kasa pembalut.
4) Nasihat ibu agar kembali 10 hari kemudian untuk mengganti pembalut.
5) Imobilisasi lengan pada sisi bayi dengan siku fleksi 90 derajat selama 10
sampai 14 hari serta control nyeri. Daya penyembuhan fraktur tulang
bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan dengan
deformitas, umumnya akan baik. Dalam masa pertumbuhan dan
pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang yang fraktur tersebut akan
tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang yang normal
b. Etiologi
Fraktur klavikula dapat terjadi pada persalinan letak sungsang dengan
lengan menumbung ke atas, persalinan presentasi kepala bayi besar atau
bahu besar (Muslihatun, 2010).
d. Penanganan
Penanganan yang dilakukan fraktur klavikula pada neonatus menurut
Kosim (2003) yaitu sebagai berikut :
1) Bila bayi tampak kesakitan saat digerakan, lakukan penanganan seperti
pada fraktur humerus.
2) Bila tidak ada keluhan, meskipun ditemukan fraktur greenstick (fraktur
yang masih ada peraturan tulangnya) atau fraktur yang benar-benar
terpisah atau lepas, pada neonates tidak perlu difikasi. Periode
penyembuhan berkisar 3 minggu.
3) Fraktur klavikula sering disertai paralisis nervus brakhialias akibat
trauma persalinan, yang mengakibatkan palsi lengan. Lakukan
manajemen palsi lengan.
4) Nasihati ibu agar kembali 5 hari kemudian, untuk mengganti pembalut.
5) Penatalaksanaan yang dilakukan pada bayi fraktur klavikula yaitu batasi
pergerakan bayi, immobilisasi lengan dan bahu pada sisi yang sakit,
rawat bayi dengan hati – hati, berikan nutrisi yang adekuat (pemberian
ASI yang adekuat dengan cara mengajarkan kepala ibu cara pemberian
ASI dengan posisi tidur, sendok atau pipet) dan rujuk dengan pemberian
informed consent/informed choise (Dewi, 2010).