Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Creeping eruption atau yang disebut juga cutaneus larva migrans, dermatosis
linearis migrans, sandworms disease adalah kelainan kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linear atau berkelok- kelok, menimbul dan progresif, disebabkan
oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Penyakit ini
banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di
Afrika, Amerika Selatan dan Barat, Asia Tenggara begitu juga Indonesia. Penyebab
kelainan ini adalah Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Manusia
terinfeksi melalui kontak kulit dengan tanah yang terkontaminasi ini. Manusia
merupakan hospes aksidental di mana larva jarang sekali namun dapat ditemukan
infiltrat paru yang disebut sindrom loeffler.
Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan karakteristik utama dari
creeping eruption. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas,
yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm,
dan berwarna kemerahan. Faktor resiko utama penyakit ini adalah kontak dengan tanah
lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feses anjing atau kucing.\

Creeping eruption ditemukan di seluruh dunia tapi paling sering terjadi di


daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika,
Amerika Selatan dan Barat, terutama Amerika Serikat bagian tenggara, Karibia,
Afrika, Amerika Selatan, Amerika Pusat, India, dan Asia Tenggara, di Indonesia pun
banyak dijumpai.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan case ini bertujuan untuk lebih memahami tentang diagnosis dan
penatalaksanaan pada Cutaneus Larva Migran.

1
1.3 Batasan Masalah
Dalam case ini hanya akan dibahas tentang diagnosis dan penatalaksanan pada
Cutaneus Larva Migran .

1.4 Metode Penulisan


Case ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
literatur .

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan


peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum . Selama
beberapa dekade, istilah CLM dan creeping eruption sering disamaartikan.
Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom, sedangkan creeping eruption
menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi
yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam
pola yang tidak teratur.

2.2. Epidemiologi

CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di daerah
yang lembab dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini sebagian besar
terjadi di negara bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat juga ditemukan secara
sporadik di negara bagian lain. Kasus CLM telah dilaporkan di Jerman, Prancis,
Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.

CLM endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang, seperti


Brazil, India, dan Hindia Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan
prevalensi CLM pada anak-anak selama musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah
perkumuhan di Timur Laut Brazil, didapati lebih dari 4% dari keseluruhan populasi
dan 15% pada anak-anak menderita CLM.

Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau


dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan
kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang.

3
Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan
antihelmintes secara teratur.
Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan distribusi geografi
Ancylostoma braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah wisatawan yang
sering berkunjung ke daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada anjing dan
kucing, sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara bagian tenggara,
Teluk Meksiko, Laut Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan, Somalia, Republik
Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia. Penyakit ini tidak muncul setelah terpapar
pantai yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense, misalnya Pantai Pasifik Amerika
Serikat dan Meksiko.

2.3. Faktor Risiko

1. Faktor perilaku

Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki

Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang


terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke
kulit sehingga menyebabkan CLM.

b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing

Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-
worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh
telur dan larva cacing tambang.
c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai

Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak


terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis Selain itu, kebiasaan
wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan
berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya

4
laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai .
Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan
Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua
wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama
liburannya.

2. Faktor lingkungan

Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Keberadaan anjing dan kucing

Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma


braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja
anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma
caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang
infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva
filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat
menembus kulit dan menyebabkan CLM.

b) Cuaca atau iklim lingkungan

Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak
kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah
yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara
luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga
mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing
sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi
dan risiko infeksi pada manusia.

c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab

Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan


Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing.

5
Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas
menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang
infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan
menyebabkan CLM.

3. Faktor demografis

Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Usia

CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini disebabkan
karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat
keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia
merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan
kejadian CLM.

b) Pekerjaan

Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab.
Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut
dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki
risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang
kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak
dengan tanah atau pasir.

c) Tingkat pendidikan

Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil


menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%)
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan
pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760
(4,5%) orang menderita CLM.

6
2.1.4. Etiologi

Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan
Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga
seperti Hypoderma dan Gasterophilus . Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan
oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia Caesar.

Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan


CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva
Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang
lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.

2.1.5. Morfologi

Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi .Panjang cacing jantan


dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa kopulatriks dan
cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm. Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000
telur setiap harinya.

Morfologi Ancylostoma braziliense mirip dengan Ancylostoma caninum, tetapi


kapsul bukalnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral
lebih besar, sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada Ancylostoma
braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul. Cacing betina
berukuran 6-9 mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat
mengeluarkan telur 4.000 butir setiap hari. Morfologi Ancylostoma ceylanicum juga
hampir sama dengan A. braziliense dan A. caninum, hanya saja pada rongga mulut A.
ceylanicum terdapat terdapat dua pasang gigi yang tidak sama besarnya.

7
Gambar 1. Bagian kepala Ancylostoma caninum

Gambar 2. Larva filariform ( larva stadium tiga) cacing tambang

2.1.6. Siklus Hidup

Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat,
dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform
tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang
infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4
minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing
dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah menuju

8
jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju
ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh
menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di
dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi
anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi
dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak
dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di
epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah
bermigrasi di kulit.

Gambar 3. Siklus hidup cacing tambang

2.1.7. Patogenesis

Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat
bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada
dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka
larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap di

9
sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya, larva menembus ke lapisan
korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat
bermigrasi di kulilt manusia. Selanjutnya,larva bermigrasi melalui jaringan subkutan
membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.

Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya
dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis,
sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya.
Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari
cacing ini berakhir.

2.1.8. Gejala Klinis

Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat
larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari,
jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder.Mula-mula akan timbul papul,
kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok,
menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang
eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama
beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti
benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk
terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter .Pada stadium yang lebih
lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal
dan nodul-nodul.

Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat
bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah
beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat
dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi.

Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa
menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit.

10
Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-
papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan
menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-
kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi.

Gambar 4. Gambaran klinis CLM

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan IgE serum dan eosinophil biasanya didapatkan meningkat dari


normal yang menandakan adanya infeksi parasit.Untuk menunjang diagnosa bisa
dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil tepat di atas lesi menunjukkan larva
(tes periodic asam Schiff positif) di terowongan suprabasilar, terowongan pada
membrane basalis, spongiosis dengan vesikel intraepidermal, nekrosis keratinosit dan
infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis bagian atas.

2.1.10. Diagnosis Banding

Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies.
Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila
dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai
dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering
diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa
papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal.

11
Gambar 5. Scabies

Gambar 6. Dermatofitosis

2.1.11. Penatalaksanaan

Cutaneous larva migrans ini adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri.
Berapa lama penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya tergantung spesies larva
yang menginfeksi. Pada beberapa kasus, lesi akan sembuh tanpa terapi dalam 4 sampai
8 minggu. Tetapi, terapi yang efektif dapat mempercepat penyembuhan penyakit ini.
Adapun terapi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

A. Non-Medika Mentosa
Infeksi cacing tambang binatang dapat dicegah dengan meningkatkan
sistem sanitasi yang baik terutama yang terkait dengan feses. Pemakaian sepatu
tertutup pada area dimana banyak terdapat penyakit cacing tambang.
Memperhatikan kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak
dengan hewan-hewan yang merupakan karier cacing tambang. Menghindari
kontak kulit langsung dengan tanah yang tercemar kotoran binatang.

12
Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan anjing merupakan hal yang
utama untuk mencegah creeping eruption. Kotoran binatang harus dipindahkan
secara benar dari area aktivitas manusia. Creeping eruption bisa dicegah dengan
mudah dengan memakai alas kaki yang memadai setiap saat.

B. Medikamentosa
Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi.
Meskipun penyakit ini self-limited, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi
sekunder memaksa seseorang untuk berobat. Untuk kasus yang ringan biasanya
tidak memerlukan pengobatan. Jika perlu dapat diberikan secara topikal.
Pengobatan topikal ditujukan untuk lesi awal yang terlokalisasi. Untuk
kasus yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral untuk
lesi yang luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin membantu mengurangi
rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.

1. Pengobatan Sistemik (Oral)


a. Anti-Helmintes
1. Tiabendazol
Merupakan drugs of choice. Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa
antihelminthes berspektrum luas, misalnya tiabendazol ternyata
efektif. Obat ini sukar didapat. Menghambat enzim fumarat
reductase sehingga menginhibisi pembentukan mikrotubuli. Akan
terjadi gangguan uptake glukosa dan inhibisi malat dehidrogenase.
Merupakan antihelminthes heterosiklik generasi ketiga. 1-3
Untuk dosis orang dewasa :
 Topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur dengan
krim kortikosteroid) secara oklusi, 2 kali sehari, selama
minimal 1 minggu
 Oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5 hari

13
Untuk dosis anak-anak :
 Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak
lebih dari 3 gr/hari.
Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol dan ivermectin
sehingga lebih dipilih agen yang lain. Efek samping yang sering
berupa pusing, anoreksia, nausea dan muntah. Permasalahan yang
lebih jarang seperti nyeri epigastrium, kram abdomen, diare,
pruritus, nyeri kepala, mengantuk, dan simtom neuroleptik.
Pernah dilaporkan kerusakan hati yang ireversibel dan sindrom
Steven Johnson. Tiabendazol pada anak di bawah 15 kg masih
terbatas penggunaaannya. Obat ini tidak boleh digunakan untuk ibu
hamil atau yang menderita penyakit hati maupun ginjal. 1-3
2. Ivermectin
Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas
terhadap nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis
flaksid melalui pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat.
Mungkin merupakan drug of choice karena keamanan, toksisitas
rendah dan dosis tunggal.
Untuk dosis dewasa :
 12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal
Untuk dosis anak-anak :
 <5tahun : 150 ug/kgBB dosis tunggal
 >5 tahun : sama dengan dewasa
Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea, muntah, nyeri
perut dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat
yang meningkatkan aktivitas GABA seperti barbiturat,
benzodiazepine dan asam valproat. Ivermectin tidak boleh
diberikan pada ibu hamil.
3. Albendazol

14
Antihelmintes bersepektrum luas yang mengganggu uptake glukosa
dan agregasi mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazol.
Untuk dosis dewasa :
 400 mg per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau
 2x200 mg sehari selama 5 hari
Untuk dosis anak-anak :
 <2tahun : 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu
kemudian jika perlu
 >2 tahun : sama seperti dewasa
Bila digunakan 1-3 hari, albendazol hampir bebas efek samping.
Bisa terjadi gejala ringan distres epigastrium, diare, sakit kepala,
nausea, pusing, lesu dan insomnia. Pada pemakaian jangka
panjang harus dicek darah dan fungsi hati. Tidak boleh
diberikan pada orang yang hipersensitif terhadap benzimidazol
lainnya atau orang dengan sirosis. Kemanan pada ibu hamil dan
anak kurang dari 2 tahun masih belum diketahui.
4. Mebendazol
Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan
mikrotubuli dan memblok uptake glukosa sehingga terjadi deplesi
cadangan glikogen parasit.
Untuk dosis dewasa :
 200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
Untuk dosis anak-anak :
 <2 tahun : tidak disarankan
 >2 tahun : seperti dewasa
Bisa terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal. Efek
samping yang jarang berupa reaksi hipersensitivitas,
agranulositosis, alopesia dan peningkatan enzim hati. Mebendazol
teratogenik pada binatang sehingga tidak disarankan untuk ibu
hamil. Pada anak kurang dari 2 tahun harus berhati-hati karena

15
masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bias berkurang pada
penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin. Meningkat ada
penggunaan bersama simetidin. Harus berhati-hati pada orang
dengan sirosis. Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim,
Byeung Song Lee, dan Wook Mok Sohn mendapatkan bahwa
ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak 21 pasien didapat
hasil lebih efektif daripada albendazol 400mg dosis tunggal.
Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif untuk
CLM. Namun ivermectin dan tiabendazol sukar didapat
sehingga disarankan pengobatan dengan albendazol dosis tunggal.

2. Pengobatan Topikal
Obat pilihan berupa tiabendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali sehari
selama satu minggu. Topikal tiabendazol adalah pilihan terapi pada lesi
yang awal, untuk melokalisir lesi, mengurangi lesi multipel dan infeksi
folikel oleh cacing tambang. Obat ini perlu diaplikasikan di sepanjang lesi
dan pada kulit normal di sekitar lesi. Dapat juga digunakan solutio
tiabendazol 2% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiabendazol topikal
ditambah kortikosteroid topikal yang digunakan secara oklusi dalam 24-48
jam.
Eyster mencoba pengobatan topikal solusio tiobendazol dalam DMSO
dan ternyata efektif. Demikian pula pengobatan secara oklusi selama 34-48
jam telah dicoba oleh Davis. Obat lain ialah albendazol, dosis sehari 400
mg sebagai obat dosis tunggal, oral atau tiabendazole topikal merupakan
terapi yang direkomendasikan. Namun pengobatan ini mempunyai efek
samping seperti nausea, diare, anoreksia, pusing, sakit kepala,
pembesaran KGB dan reaksi alergi. Keamanan pengobatan ini selama
kehamilan masih belum diketahui.

16
3. Bedah beku
Cara terapi ialah dengan bedah beku atau krioterapi yakni menggunakan
etil klorida atau dry ice dengan penekanan 45 detik sampai 1 menit, 2 hari
berturut-turut. Penggunaan NO2 cair juga pernah dicoba. Cara beku dengan
menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit
karena kita tidak mengetahui secara pasti di mana larva berada, dan
bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya. Terapi ini efektif
bila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh terowongan harus
dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini
bersifat traumatik dan hasilnya kurang dapat dipercaya.

Gambar 7. Cara melakukan krioterapi


2.1.12 Prognosis

CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva


akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena
larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada. Lesi tanpa komplikasi yang
tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat
memperpendek perjalanan penyakit.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. S
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Bukit tinggi
Suku : Minang
Agama : Islam
Status : Menikah

Anamnesa
Seorang pasien Perempuan berumur 55 tahun, datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUD dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 8 juni 2017.

Keluhan Utama
Timbul rasa gatal disertai kulit merah memanjang di perut sejak 1 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


- Timbul rasa gatal disertai kulit merah memanjang di perut sejak 1 minggu
yang lalu
- Sebelumnya pasien membersihkan kebun di belakang rumahnya, kemudian
keesokan harinya muncul bintik merah yang makin lama makin gatal di
perut berbelok-belok
- Pasien berobat kebidan dapat krim hidrokortison 2 kali sehari, tapi tidak ada
perbaikan

18
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah menderita sakit ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Ibu pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama

Riwayat pengobatan :
Pasien pernah berobat kebidan tetapi tidak sembuh

2.1 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata :
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Composmentis Cooperatif
- Status Gizi : Baik
- Pemeriksaan Thorax : diharapkan dalam batas normal
- Pemeriksaan abdomen : diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus :
- Lokasi : Perut
- Distribusi : Terlokalisir

- Bentuk : khas

- Batas : Tegas

- Susunan : polisiklik

- Ukuran : Plakat

- Efloresensi :Tampak Makula Hiperpigmentasi, Papul


eritematosa, skuama

19
Gambar 8. Kutaneus larva migran

Status Venereologikus : Tidak terdapat kelainan


Kelainan Selaput Lendir : Tidak terdapat kelainan
Kainan Kuku : Tidak terdapat kelainan
Kelainan Rambut : Tidak terdapat kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak terdapat kelainan

Pemeriksaan Anjuran
-
Diagnosa
Kutaneus larva migran

Penatalaksanaan
a. Terapi Umum :
a. Meningkatkan sistem sanitasi yang baik
b. Memakai alas kaki yang memadai setiap saat.
c. Menghindari kontak kulit langsung dengan tanah yang tercemar
kotoran binatang
d. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan anjing

20
b. Terapi Khusus :
 Sistemik
Albendazol 400 mg dosis tunggal
 Topikal
-
Prognosis
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad kosmetikum : bonam
- Quo et sanationam : bonam
- Quo et functionam : bonam

21
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Creeping eruption merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing
tambang binatang dan bersfiat self limited. Penyakit ini sering dijumpai di daerah tropis
dan subtropis. Orang yang beresiko terinfeksi adalah mereka yang sering berhubungan
dengan tanah berpasir dan tidak memakai alas kaki.

Penyebab kelainan ini adalah ancylostoma braziliense dan ancylostoma caninum.


Penyebab tersering adalah ancylostoma braziliense.

Manusia terinfeksi melalui kontak kulit denga tanah yang terkontaminasi ini.manusia
merupakan hospes aksidental di mana larva jarang sekali namun dapat ditemukan
infiltrat paru yang disebut sindrom loeffler.

Gejala klinis yang timbul berupa gatal, papul eritematosa, kadang disertai rasa nyeri,
serta lesi khas yang berbentuk linear berkelok-kelok. Dapat terjadi ekskoriasi dan
infeksi sekunder yang umumnya disebabkan oleh streptokokkus pyogenes. Ditemukan
eosinofilia perifer dan peningkatan kadar IgE. Tempat pedileksi di bagian tubuh mana
saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada.

Penatalaksanaan yang baik adalah edukasi mengenai pencegahan. Pengobatan dapat


diberikan antiheliminthes topikal maupun oral, digunakan antihelminthes berspektrum
luas. Ivermectin dosis tubggal 12 mg, Albendazol 400 mg dosis tunggal, Tiabendazol
50 mg/kgbb dalam 2 dosis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Peris,M. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller. CMAJ


2008;179:51-52.diunduh dari: http//:www.cmaj.ca/cgi/content/full/179/1/51
2. Djuanda. A,Hamzah. Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat,
cetakan pertama, Jakarta: Baai Penerbit FKUI.2005; 125-126.
3. Tierney,M, Papadakis.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam: Current
medical diagnosis & treatment 45th ed[ebook]. San Francisco:Mc Graw
Hill.2003.pg 1520.
4. Gerd P,Thomas J.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam: Fitzpatrick`s
dermatology in general medicine 6th ed[ebook]. New York:Mc Graw
Hill;2003.ch 236.
5. Ngan,V. Cutaneous larva migran. DermNetNZ:New Zealand.2007. diunduh
dari: http://www.dermnetnz.org/arthropods/larva-migrans.html
6. Lydia,M.Cutaneous larva migran. Emdeicine.2008.Diunduh
dari:http://emedicine.medscape.com/article/1108784
7. Baron, S, cuatneous larva migran. Terdapat dalam: medical mirobiology 4th ed.
Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?call=bv
8. Carlson,Amy Olivia. Cutaneous larva migran. 2005. Diunduh dari:
http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2005/CLM
9. CDC. Outbreak of cutaneous larva migrans at a children`s camp—Miami
Florida, 2006. Diunduh dari:
htttp://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5649a2.htm
10. Hotez et al. Hookworm Infection. N England J Med 2004;352:799-807.
Diunduh dari: http://www.nejm.org

23

Anda mungkin juga menyukai